Jumat, 20 Maret 2020

Catatan Hari-hari Pembelajaran Daringku dengan Zoom Cloud Meetings

13.59 0 Comments




Ditetapkannya corona sebagai pandemi oleh WHO, membuat berbagai kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah yang wilayahnya telah terdapat kasus covid-19. Berbagai spekulasi dan persepsi bertebaran di media. Semua berusaha belajar dari China dan Italia. Masyarakat mulai lebih melek setelah Arab Saudi (KSA) menutup akses umrah bagi sebagian besar negara yang terdapat kasus covid-19. Indonesia yang semula nyaris membusungkan dada karena nol kasus, nyatanya harus mengambil langkah juga setelah diumumkan secara resmi oleh presiden tentang adanya pasien 01 dan 02.

Masyarakat yang lebih dulu paham, mulai melakukan edukasi di media-media yang mereka punya. Hingga sampailah Indonesia pada fase menerapkan 14 hari di rumah alias work from home (WFH) untuk menekan angka penyebaran virus ini. Hal ini menimbulkan efek ke berbagai hal, di antaranya dalam dunia pendidikan. Kampus-kampus mulai menerapkan pembelajaran jarak jauh, melarang kegiatan yang menimbulkan potensi berkumpulnya orang-orang bahkan menunda kegiatan penting yang sebelumnya sudah direncanakan hingga akhir Maret 2020.

Sebagai pengajar, aku turut merasakan dampaknya. Kami harus kreatif melakukan pembelajaran dari jarak jauh. Aku di rumahku. Mahasiswaku di rumahnya masing-masing. Berbagai aplikasi dan platform yang ada aku coba. Sebenarnya aku sudah tidak asing dengan pembelajaran elektronik (e-learning). Aku pernah menggunakan edmodo dan google classroom serta sarana e-learning yang telah disediakan kampusku.  Hanya saja beberapa aplikasi masih ada yang aku belum terampil menggunakannya. Ini yang aku coba dalam situasi sekarang.


Hari pertama
Aku nekat menggunakan aplikasi zoom meeting cloud, meski sebelumnya aku hanya pernah berperan sebagai peserta sebuah teleconference dengan aplikasi ini. Tepat pada hari dan jam perkuliahan aku mengunduh aplikasi tersebut di laptop. Mahasiswaku juga sudah kuberitahu di grup WA. Aku membagi password dan meeting ID agar mahasiswaku bisa bergabung.

Pengalaman pertama sungguh lucu dan membuat aku ternganga. Aku bersiap seperti biasa. Mandi, berbaju kerja, berias muka, memakai jam tangan, dan tetap berparfum. Bagiku itu penting untuk membangun suasana kerja. Ya, aku kan mau mengajar. Hehe. Jam perkuliahanku ada di jam pertama. Ternyata, mahasiswaku rata-rata baru bangun tidur. Mereka masih awut-awutan. Aku yakin mereka belum mandi. Kumaafkan karena ini hari pertama dan salahku juga tidak membuat aturan sebelumnya.

Pesanku, buatlah aturan dan kesepakatan sebelumnya tentang ini. Penampilan harus tetap dijaga. Berpakaian rapi dan sopan selayaknya peserta kuliah.



Hari Kedua
Aku sudah memberitahu mahasiswaku agar berpakaian rapi dan sopan sebelum mengaktifkan kamera. Hari ini lebih baik meski masih ada beberapa yang sepertinya cuma cuci muka. Ada beberapa orang yang gagal join entah apa masalahnya.




Di tengah PBM, aku tiba-tiba kehilangan akses. Ya ampun, ternyata hp yang kupakai untuk teathring kuota kehabisan batrai. Setelah kuisi baterai, aku gagal masuk room lagi. Akhirnya PBM kulanjutkan di grup WA.

Pesanku di hari kedua: Cek baterai selalu, jangan sampai putus di tengah jalan

Hari Ketiga

Persiapanku lebih matang. Mahasiswaku juga telah melakukan simulasi sebelumnya. Malamnya aku juga sudah membuat kelas-kelas di google classroom buat jaga-jaga. Materi sudah kukirim. Penjelasan bisa lebih efektif dan selesai hampir tanpa gangguan berarti. Mahasiswa komen berebut, ada suara lain yang masuk, dan semua terhenti atas kesadaran mereka sendiri mematikan mikrofon.

Tiba-tiba aku kehilangan akses padahal baterai masih ada, mahasiswaku ramai chat di grup wa, “Kami keluar sendiri, Bu.”

Pesanku di hari ketiga: kenali, pelajari dan teruslah berusaha menguasai aplikasi yang kamu pilih

Rupanya waktu yang disediakan zoom sudah habis, alias 40 menit gratisan sudah berakhir. Untunglah materi memang sudah selesai dan sudah sempat tanya jawab. Hari ini, aku tidak memberikan tugas. Setahuku, dosen lain sudah banyak yang memberi mereka tugas. Kasihan juga, kan?

Pekan Kedua

Aku mulai lebih memahami aplikasi tersebut (Begitu juga dengan mahasiswaku hehe- pastilah mereka ada yang iseng dan mengakal. Cari saja lelucon seputar ini. Banyak berhamburan di dunia maya). Ada banyak tools yang bisa digunakan. Aku bisa mengajar sambil menjalankan slide PPT; sambil menulis-nulis di layar; sambil mempelajari manajemen personalnya. Aku juga mulai menyadari ada beberapa bagian dari materi yang harus ku-setting ulang. Ada tugas-tugas yang harus direvisi; ada pencapaian-pencapaian yang akan diminimalkan.

Pesanku di pekan kedua: Jangan terlalu serius, kendorkan sedikit agar kita tetap waras

Pekan Ketiga

Aku mulai mengurangi power, menghemat energi. Ternyata WFH kami tidak cukup dua pekan. Akupun mulai yakin, WFH ini akan berlangsung masih sangat lama. Aku benar-benar serius memikirkan PBM dan ketercapaiannya. Sekali lagi, jangan terlalu memberatkan, baik diri sendiri maupun mahasiswa.

Pekan Keempat


Aku memberikan opsi-opsi kepada mahasiswaku. Mereka boleh me-request hendak PBM menggunakan aplikasi apapun. Masih ada kelas yang menyukai zoom; ada kelas yang minta menggunakan WA; ada yang meminta menggunakan google classroom. Apapun, akan kuterima, asal mereka tetap semangat belajar. Sayangnya, di tiap kelas ada saja yang absen. Bukan apa-apa, mereka ternyata pada pulang kampung alias mudik. Terus, di kampung tidak ada sinyal. Ya, gitu deh.

Pesanku di pekan keempat: Jika sudah pulang kampung, sudahlah, relakan saja mereka.

Oiya, sejak pekan kedua aku sudah mulai merekam sebagian pertemuan kami. Bukan apa-apa. Aku hanya ingin menyimpannya sebagai sebuah kenangan, sebuah dokumen. Seperti halnya tulisan receh ini, aku hanya ingin meninggalkan jejak digital tentang secuil peranku dalam perjuangan manusia menghadapi covid-19.

Jika kamu membacanya, terima kasih telah singgah di rumahku.[]Nai