Cerpen ini terdapat dalam buku antologi cerpenku "Rindu Rumpun Ilalang" Terbitan KSI Banjarmasin, 2010
Sabtu, 29 Desember 2012
RINDU RUMPUN ILALANG
Oleh Nailiya Nikmah JKF
“Ayolah...kita
bermain di padang ilalang. Sebentar...aja.”
Aku suka ilalang. Tidak semata-mata karena
kesederhanaan yang ditampilkannya seperti awenku
Bakumpai tapi juga karena hal-hal misterius yang selalu menjelma di sela-sela
rimbunnya. Setiap aku menatap rumpunnya yang bergoyang ditiup angin, akan
terbit rasa rinduku. Rindu yang tak terbatas dan tak terbalas pada yang tak
tertentu. Rindu yang tak dapat kupahami, yang selalu berubah-ubah bentuk.
Ketika aku masih berseragam putih merah, menatap
rumpun ilalang di belakang rumah kami membuatku rindu Ibu. Uma yaku hantarawang kan langit. Iye melay si awan.* Begitulah kata
Ayah dan Neneng. Mulanya aku percaya.
Kupikir, kalau sudah lelah di atas langit, Ibu pasti akan pulang dan mencariku.
Seiring berjalannya waktu, aku jadi mengerti kemana Ibu sebenarnya. Saat
pertama kalin memahami makna kepergian Ibu sebenarnya, aku menangis seperti
langitg menumpahkan hujan. Aku memeluk nisan bertuliskan nama Ibu. Aku merasa
tak ada lagi harapan bertemu Ibu. Aku menyesali perjalanan waktu. Kadang aku
berpura-pura belum mengerti dan memaksakan diriku untuk tetap menganggap Ibu
ada di atas langit, dan kalau sudah lelah Ibu pun akan pulang. Tapi usaha itu
sia-sia. Waktu sudah mengatakan yang sebenarnya.
Lambat laun kesedihanku berkurang. Ketika aku SMP,
mentap rumpun ilalang membuatku tersipu-sipu dan tersenyum sendiri. Aku tidak
tahu mengapa di sela-sela rimbunnya kutemukan wajah Aldi. Aldi adalah ketua
kelasku. Aldi adalah teman laki-laki pertama yang memujiku. Dia bilang aku
manis. Saat itu kunyatakan padanya bukankah Lala lebih cantik? Lala adalah anak
tercantik disekolahku. “Cantik dan manis itu tidak sama. Manis itu tidak
membosankan “kurang lebih begitu yang dikatakan Aldi. Lalu aku merasa rumpun
ilalang menarik tanganku dan mengajakku menari. Hanya itu, tak ada sesuatu yang
berlebih . sesederhana para ilalang, sesederhana itulah kerinduanku.
Aku terlanjur mencintai ilalang dibelakang rumah
kami. Sampai-sampai ketika ayah memaksaku melanjutkan sekolah ke Marabahan, aku
sempat berontak. Aku ingin di Tabukan.
Neneng sama saja, ia bilang sekolah di Marabahan lebih bagus. Aku tak ingin
jauh dari makam ibu- alasan ini dipatahkan Ayah. Kata Ayah Tabukan-Marabahan
tidak terlalu jauh. Tapi aku tak ingin berpisah dengan ilalangku. Kusaksikan
rumpun ilalangku menunduk sedih. Dan betapa kecewanya aku, sesampainya di
Marabahan ternyata Ayah sudah menyiapkan Ibu baru untukku.
Kekecewaanku tak bertahan lama. Ibu baruku yang
juga awen Bakumpai dan masih ada
ikatan kerabat dengan Neneng sangat
pandai mengambil hatiku (aku agak heran juga, mengapa Ayah yang berdarah Jawa
tidak mencari istri sesukunya). Selain itu, aku menemukan rumpun ilalang yang
baru! Ketika menatap rumpun ilalang itu, seperti biasanya terbitlah rasa
rinduku. Pertama kali yang kurindukan adalah rimbun ilalang di Tabukan!
Kesibukan di bangku SMA membuatku jarang menatap
ilalang berlama-lama. Aku anggota Pramuka, PMR, KIR, OSIS, pokoknya semua
organisasi aku ikuti. Ayah sampai memperingatkanku agar tidak melupakan
belajar. Peringatan Ayah kujawab dengan prestasi. Aku selalu juara kelas. Lalu
tibalah hari itu. Hari prmbagian jurusan di kelas tiga. Aku dipanggil ke ruang
BP.
“Kema, apa benar kamu memilih jurusan IPS?”Tanya bu
Ida.
“Ya, Bu.”Jawabku.
“Kamu yakin?Tatapanya mencoba mencari kepastian.
“Sangat yakin”
“Ibu tidak ingin kamu salah pilih dan menyasal di
kemudian hari,Nak”Guru BP ku meredakan nada bicaranya.
“Kema sudah memikirkannya sejak kelas satu,Bu”
Ujarku menutup sidang tak resmi bdi ruang BP.
Berdengunglah seisi sekolahku. Ayah dipanggil ke
sekolah. Semua orang seakan-akan tak rela aku masuk jurusan IPS. Aku heran,
apakah pemisahan IPA-IPS sama dengan pemisahan pintar dan tak pintar? Kudengar
di kota lain malah ada jurusan Bahasa. Berhubung tidak ada, ya sudah kupilih
IPS. Yang jelas aku tak minat di IPA.
“Kema sayang, mengapa harus memilih IPS? Kamu mampu
di IPA, Nak” bujuk Ayah.
“Kenapa
harus IPA, Yah?” balasku. Ayah tak menyahut. Perundingan berakhir dengan
kemenanganku.
“Tapi, Kema... kalau kau di IPA, kita akan tetap
bersama. Aku ingin kita sekelas. Dayat rekan sekelompokku setiap kali praktikum
ikut-ikutan membujuk.
“Memang kenapa kita harus harus sekelas?” Tanyaku
polos.
“Aku hanya ingin kita sekela. Itu saja”. Dayat
ghelagapan. Ia seperti penjahat tertangkap yang menyembunyikan barang bukti.
Aku tak puas. Kutatap matanya. Ia melengos. Benar
kata pepatah, mata adalah jendela hati. Kalau ingin kejujuran lawan bicara,
tataplah matanya.
“Tak ada alasan yang logis kan?” ucapku senang
karena mematahkan argumen Dayat.
“Cinta
kadang-kadang tak ada logika**” gumam Dayat.
“Apa? Kau bilang apa, tadi?” tanyaku.
“Cinta!” Dayat balik menatapku tajam. “Yaku mancintai ikaw! Bawi”***
Detik berikutnya aku yang tak berani menatap
matanya. Dayat? Cinta? Kenapa kata-kata itu begitu tiba-tiba datangnya?
Tiba-tiba aku ingin mengulang seluruh praktikum di laboratorium. Tiba-tiba aku
ingin Ibu BP memanggilku dan melakukan sidang ulang. Tiba-tiba aku ingin Ayah
mendebatku lagi. Aku berlari menerjang rumpun ilalang. Aku ingin ada yang
menjelaskan ketiba-tibaan ini. Aku menatap rumpun ilalang. Oh, sungguh kacau
rindu yang diterbitkannya. Mula-mula terselip wajah Dayat, lalu ini’ Aldi, lalu...apa-apaan ini, aku
merindukan para perempuan Bakumpai uang sedang berdendang menumbuk padi dengan
halu di Tabukan. Terakhir ada awan putih di langit. Itu pasti Ibu! Kutanya
ilalang itu. Mereka tak memberiku jawaban lain. Ilalang itu membiarkanku pada
pilihan pertamaku.
***
Keindahan rumpun ilalang terakhir kunikmati seminggu menjelang
pernikahanku. Di sela rimbunnya tak ada lagi wajah Aldi, Dayat atau siapa pun.
Ya..sejak mengikuti kajian intensif di kampusku, aku menatap rumpun ilalang
sambil menyebut asma-Nya dan aku tak pernah lagi menemukan wajah-wajah nonmahram terselip di sela rumpun
ilalangku. Biasanya yang kurindukan adalah Ibu, Ayah, Neneng dan sahabat-sahabatku di kelompok kajian pekanan. Di sela
rimbunnya waktu itu, kutemukan wajah calon suamiku, memperkuat hasil istikharahku. Sejak itu ilalang-ilalang
itu berganti sosok anak-anakku yang lincah dan aktif.
“Ayolah ...kita bermain di padang ilalang.
Sebentar...aja.”
Lalu hari ini, anak-anakku merengekkan ilalang.
Sama seperti aku dulu, mereka tak kalah gilanya daripadsa aku dalam urusan
ilalang. Sebenarnya aku agak takut dan ragu. Hampir lima tahun aku tak lagi
menatap rimbunan ilalang sekhusyuk dulu. Apakah ilalang itu marah padaku?
Apakah mereka juga semakin tua sepertiku? Aku memberanikan diri membawa
anak-anakku ke sebuah padang ilalang. Kedua balitaku berteriak kegirangan.
Kupejamkan mataku beberapa saat. Pelan-pelan kubuka kedua mataku...Oh, tidak!
Di sela rimbunnya kutemukan wajah seorang laki-laki. Bukan, ia bukan ayahku.
Suamiku pun bukan. Aku tak percaya. Wajah itu...
“...merupakan gambaran hidup dan kehidupan... di
dalamnya ada realitas...substansinya harus kita pahami...”
Aku terngiang-ngiang kalimat-kalimatnya yang dulu
pernah menghipnotisku. Meski terpotong-potong, kenangan yang ditampilkannya
menerbitkan kerinduan yang sangat besar. Ini pasti gara-gara perbincanganku
dengan Mitha seminggu lalu. Mitha begitu antusias bercerita tentang dia padaku.
“Dia sekarang sudah berubah. Tidak seperti dulu
lagi. Kamu pasti terpesona” ucap Mitha sungguh-sungguh.
“Kenapa terpesona?” tanyaku.
“Penampilannya sekarang seperti idolamu dulu” jawab
Mitha.
“Idolaku? Siapa?”
“Osama bin Laden!” Mitha terbahak lalu berlari
meninggalkanku yang mulai tertusuk rindu.
Tergesa ku kemasi anak-anak. Aku ingin segera
pulang. Kerinduan ini menakutkanku. Tapi sayang, kerinduan yang diterbitkan
ilalang itu terbawa sampai ke kamarku dan menjadi topik perbincanganku dengan
suami setiap mamal.
“Apakah kau pernah bertemu dengannya baru-baru
ini??” aku menanyakan lelaki itu pada suamiku. Lelaki yang juga pernah dikenal
olehnya.
“Kenapa kayu menanyakannya terus?” Tanya suamiku.
“Aku... merindukannya”lirihku.
Mata suamiku membesar. Tapi hanya beberapa detik.
“Kalau begitu, kau temui saja dia!”
“Tidak mungkin. Tidak ada alasan yang sangat
penting untuk bertemu dengannya”keluhku.
Setelah itu ia tersenyum. “Nanti kalau aku bertemu
dengannya, akan kuceritakan bagaimana keadaannya sekarang. Yang jelas, dia
sudah berubah”
Begitulah berbulan-bulan aku ditikam kerinduan yang
terbatas. Maka, belangsarlah aku
ketika mendapat pesan singkat di ponselku. Pengirimnya tak jelas siapa.
Sepertinya pesan yang diteruskan dari pengirim lain. “EsokSeminarPmbcrxDF” DF adalah inisial laki-laki itu. Aku
penasaran, apa yang akan dipaparkannya tentang sastra setelah perubahan
habis-habisan yang ia lakoni?
“Pokoknya, besok aku ke kampus. Wajib” begitulah
gayaku kalau meminta izin pada suami. Untunglah suamiku tidak terlalu sulit
dimintai izin. Ia sangat memahami kecenderunganku pada dunia sastra. Aku sibuk
menata hati. Ada gemuruh yang tak bisa kusunyikan. Ketika menapaki anak tangga
gedung tempat seminar berlangsung aku nyaris terjatuh saking gugupnya. Di anak tangga terakhir, sebelum sampai di pintu
masuk, aku menarik nafas. Aku tak ingin kelihatan kacau di hadapannya. Nanti
kalau bertanya apa ya? Gumamku dalam hati.
Betapa terkejutnya aku ketika tak menemukan
sosoknya di forum itu. Sepertinya ia sengaja tak ingin menghadiri acara. Aku
menelan kecewa. Tapi kekecewaan ini tak sama dengan kekecewaan ketika aku
kehilangan Aldi dan Dayat. Bukan, ini bukan pencarian yang berakar dari
romantisme konyol karena untuk urusan romantisme aku sudah ada ikatan
perjanjian dengan-Nya. Laki-laki itu adalah orang yang sangat kuhormati. Orang
yang pernah memberiku pengajaran dan pendidikan tentang sastra. Orang yang
pernah meminjamiku buku langka-yang rela mengopikannya karena kerapiannya
mengarsip pustaka. Dia adalah dosenku.
Aku manuruni anak tangga dengan hampa. Kuterabas
rumpun ilalang. Kupejamkan mataku lalu perlahan-lahan kubuka. Kulihat rindu itu
masih terselip di sela rimbunnya.
(Assalamu’alaikum
yaa Ustadz)
*Ibuku pergi di langit, ia tinggal di langit. (Bahasa Bakumpai)
**Cuplikan lagu Agnes Monica
***Aku mencintaimu, Gadis!
Cerpen ini terdapat dalam buku antologi cerpenku "Rindu Rumpun Ilalang" Terbitan KSI Banjarmasin, 2010
Cerpen ini terdapat dalam buku antologi cerpenku "Rindu Rumpun Ilalang" Terbitan KSI Banjarmasin, 2010
RUMAH DI BAWAH
PELANGI*
Cerpen Nailiya Nikmah
JKF
Imah
berdecak kagum menatap rumah mungil bercat biru muda itu. Daun pintu dan
jendela-jendelanya berwarna merah muda. Mirip rumah-rumahan barbie milik Sasha.
Hanya saja rumah yang di hadapannya ini tidak bertingkat dan modelnya sangat
sederhana. Pekarangannya cukup luas. Tak ada pagar pembatas. Yang membuat rumah
itu istimewa adalah lengkungan indah warna-warni di atasnya. Ya, ada pelangi di
atas rumah mungil itu. Kapan pun Imah datang, di langit di atas rumah itu
selalu ada pelangi. Kurang lebih lima
belas menit ia menikmati pemandangan tersebut. Setelah itu, seperti hari-hari
sebelumnya, ia pun menghidupkan motornya dan melaju menuju rumahnya sendiri.
Imah
tak sengaja menemukan rumah itu. Suatu sore Sasha mengamuk tidak mau berangkat
ke tempat les piano. Biasanya tiap Senin dan Jumat sore Sasha ke les piano
diantar papanya tapi sore itu Sasha mogok. Entah apa sebabnya, ia baru mau
berangkat setelah dipaksa Imah dan Imah sendiri yang harus mengantarnya. Karena
merasa sudah terlambat, padahal guru les piano sangat disiplin, Imah pun
tergesa-gesa. Ia lupa membawa dompet. Ia juga lupa memakai helm. Di tengah
perjalanan, dari jauh Imah melihat ada keramaian di depannya. Seseorang
meneriakinya, “muter, muter, razia, razia!”
Imah
tiba-tiba sadar ia tidak memakai helm, ia pun panik. Tak sengaja matanya
tertuju pada belokan sempit di sebelah kirinya. Ia lihat beberapa pengendara
membelok ke sana.
Tanpa pikir panjang Imah mengikuti para pengendara yang sama paniknya dengan
dirinya. Rupanya belokan tersebut adalah jalan tembus ke Jalan utama yang akan
ditujunya. Nah, dalam jalan tembus itulah Imah menemukan rumah berpelangi
tersebut. Sebenarnya bukan Imah yag menemukan pertama kali. Sasha lah yang
pertama menemukannya. Sasha berteriak, “Ma, berhenti Ma, Sasha mau lihat
pelangi! Ada
pelangi, Ma!”
Imah
gusar mendengar celoteh Sasha. “Sha, kita sedang kabur dari polisi, nih. Kamu jangan macam-macam. Lagipula
kamu sudah telat les pianonya!” teriak Imah.
“Sebentar
saja, Ma. Pelanginya aneh. Masa pelanginya cuma di atas rumah biru itu?” Suara
Sasha mulai menjadi rengekan.
“Balik
lagi dong Ma ke rumah yang sudah kita lewati tadiii” Sasha merengek lagi. Imah
hafal betul, kalau sudah nada rengekan yang seperti itu, Sasha pasti akan
mengamuk kalau tidak dituruti. Imah pun membalikkan arah motornya.
Bukan
hanya Sasha yang melongo, Imah pun ternganga melihat rumah di bawah pelangi
tersebut. Anehnya pemakai jalan yang lain tak ada yang tertarik melihat
pemandangan langka itu. Bahkan sepertinya mereka tidak melihatnya. Imah
merasakan kedamaian yang luar biasa saat memandanginya. Mungkin yang ia rasakan
dirasakan pula oleh Sasha. Sejak itulah, Imah setiap hari menyempatkan diri
melewati jalan itu hanya untuk melihat rumah di bawah pelangi.
Ini
pekan keempat Imah menjadi pengagum rumah orang. Selama ini, Imah menganggap
rumahnya adalah rumah terindah di kotanya, eits rumah terindah di dunia malah.
Rumah yang dibeli suaminya itu menurutnya sangat spesial. Selain bahan dan
arsitektur rumah yang elegan, rumah tersebut ada kolam renangnya, ada tiruan
air terjun Niagaranya, ada hutan kecilnya – yang ditanami tetumbuhan hutan pada
umumnya lengkap dengan danau buatan, ada
ruang pameran karya seni, tak lupa mushola kecil untuk beribadah. Memiliki rumah mewah dan suami yang punya
banyak duit membuat Imah merasa menjadi orang yang paling beruntung. Apalagi
setelah kelahiran Sasha, putri tunggalnya yang bermata kejora. Ia merasa sangat
lengkap, kecuali satu hal. Sampai saat ini ia tak berani menyetir mobil
sendiri. Ia harus puas dengan hanya mengendarai motor kerennya. Setelah
menemukan rumah berpelangi itu, Imah merasa ada sesuatu yang kurang dalam
hidupnya.
Pekan
keempat mengagumi rumah itu, Imah menginginkan rumah tersebut. Sebenarnya bukan
rumahnya, melainkan pelanginya. Imah ingin pelangi itu bisa dipindah ke langit
di atas rumahnya. Sang suami tertawa waktu mendengar keinginan Imah, “Hahaha,
pelangi itu tidak bisa dibeli, Imah. Pelangi itu tak bisa dimiliki. Ia milik
semua orang. Ada-ada saja kamu,”
“Tapi
rumah biru itu memiliki pelangi sendiri, Bang,” Imah menyahut.
Suaminya
berhenti tertawa. Laki-laki berambut keriting itu menyentuh dahi istrinya. Imah
menepis tangan suaminya, “Apa-apaan sih, Bang!”
“Hm, kupikir kau demam atau sakit tapi…tidak,”
suami Imah menggeleng-geleng.
Imah
hampir putus asa meyakinkan suaminya. Tiba-tiba ia berteriak, “Aha, Sasha,
Sasha, Bang!”
“Kenapa
dengan Sasha, Ma?”
“Dia
yang pertama kali melihatnya. Kalau Abang tak percaya, coba tanyakan pada
Sasha,” Imah bersemangat.
Setelah
menjemput Sasha yang sedang bermain di rumah sebelah, mereka bertiga pergi ke
rumah pelangi. Sebelum berangkat, Imah hampir meledak melihat tangan Sasha
belepotan warna-warni bekas krayon. Imah sudah berulang kali melarang Sasha
bermain-main dengan alat warna. Ia tak ngin Sasha jadi pelukis. Ia ingin Sasha
jadi pemain piano yang hebat. Imah membersihkan tangan Sasha. “Tanganmu ini
untuk main piano, Sha!”
Sesampainya
di sana giliran
suami Imah yang melongo. Ia berkali-kali mengucek-ngucek matanya, mencubit
lengannya dan menepuk-nepuk pipinya sendiri.
“Jadi,
kita mau membeli rumah ini, Ma? Pa?” tanya Sasha.
“Tidak,
sayang. Kita mau membeli pelanginya saja” suara suami Imah membuat Imah riang.
Mereka
disambut hangat oleh pemilik rumah. Sepasang suami istri yang ramah. Sasha
senang sekali disuguhi semangkuk es krim rasa vanilla dengan butiran coklat
chip di atasnya. Imah dan suaminya disuguhi teh hangat beraroma cengkeh dan
mint, teman yang pas untuk kue brownis kukus buatan istri pemilik rumah.
“Jadi,
apakah kami bisa membeli pelangi punya Bapak dan Ibu?” tanya suami Imah setelah
mengelap bibirnya dengan tisu.
Imah
sangat senang, kini justru suaminya yang terlihat lebih bersemangat. Suami dan istri
pemilik rumah saling berpandangan lalu tersenyum mesra. Sang suami memberi
isyarat agar istrinya yang berbicara.
“Begini
Pak, Bu, pelangi yang di atas rumah kami tak bisa dibeli, tak bisa
dipindah-pindahkan. Kami merawatnya sejak kecil. Kalau Bapak dan Ibu mau, kami
mempunyai bibitnya. Ya… Bapak, Ibu harus sabar merawatnya, menyirami, memberi
pupuk, nanti lama-lama dia akan tumbuh besar sepeti pelangi di rumah kami ini”
Perempuan itu tersenyum, terlihat lekuk kecil di kedua pipinya.
Imah
dan suaminya mengangguk dan berkata bersamaan, “Mau, mau.” Mereka semua tertawa.
Sasha kebingungan melihat semua orang tertawa, gadis kelas satu SD itu dari
tadi asyik dengan es krimnya. Bibir dan pipinya belepotan es krim. Ia pikir
orang-orang menertawakannya. Ia buru-buru menyeka pipinya dengan tangan.
Bukannya membersihkan, Sasha malah menambah kotor mukanya karena tangannya sudah
berlumuran es krim. Imah segera mengelap muka Sasha dengan tisu.
“Mungkin
dia perlu cuci muka dengan air, mari saya antar dia ke belakang” Istri pemilik
rumah menggandeng Sasha. Ia membawa Sasha menuju ruang makan, di sudutnya ada
tempat untuk cuci tangan. Ada sabun dan kain lap
di sana. Agak
ke kiri, Sasha mendapati sebuah lukisan tergantung di dindingnya. Lukisan bunga
matahari yang sangat indah. Warnanya kuning keemasan. Sasha menatapnya. Ia berjinjit,
lalu tangan mungilnya mencoba menyentuh lukisan itu.
“Hm,
cuci tangan dulu, Sayang…” kata istri pemilik rumah.
Sasha
segera mencuci dan mengeringkan tangannya. Ia kembali ke lukisan bunga
matahari. Karena tubuhnya masih kecil, ia hanya bisa menyentuh bagian bawah
lukisan. Istri pemilik rumah menggendongnya. “Kau suka lukisan, Nak?” tanyanya
lembut.
“Ya,
aku suka melukis, di kamarku banyak lukisan, lukisanku sendiri. Ada mawar, melati,
anggrek, raflesia arnoldi. Aku juga suka melukis binatang. Ada kelinci, kucing, hamster, burung kakatua,
panda…” celoteh Sasha. Sasha sangat senang. Belum pernah ia seriang ini
berbicara dengan orang asing.
“Kalau
rumah, kebun, taman, kau pernah melukisnya?” tanya istri pemilik rumah sambil
membelai kepala Sasha.
“Ada sih, tapi tidak
terlalu bagus” jawab Sasha takut.
“Tak
apa Sayang, kalau latihan dan belajar, lama-lama nanti juga bagus hasilnya”
Istri pemilik rumah tersenyum.
Sasha
lega. Ia sangat takut jawabannya mengecewakan istri pemilik rumah. Ia takut
istri pemilik rumah berubah sangar seperti guru les pianonya kalau lagi kesel
karena ia salah memainkan nada. Sebenarnya Sasha sudah tidak tahan lagi dengan
les pianonya. Ia lebih senang melukis tapi sayang mamanya tak membolehkannya
ikut sanggar melukis di taman budaya dekat rumahnya.
Begitulah,
keesokan paginya, sesuai instruksi pemilik rumah pelangi, Imah dan suaminya
menabur bibit pelangi. Hampir saja terjadi pertengkaran seru antara Imah dan
suaminya soal di mana mereka akan menabur bibit pelangi. Imah ingin menaburnya
dekat air terjun. Suaminya ingin menaburnya dekat hutan mini mereka. Akhirnya
Imah mengalah karena ia sudah tak sabar lagi menabur bibit pelangi. Imah dan
suaminya bergantian menyiram dan memberi pupuk. Mereka sabar menanti lengkungan
pelangi di atas langit di hutan mini.
Hingga
suatu pagi Sasha menjerit, “Mama…Papa! Lihat! Banyak awan gelap di atas
langit!”
Imah
dan suaminya bingung, bibit pelangi tumbuh menjadi awan gelap. Sungguh aneh
padahal mereka sudah rajin merawatnya. Mereka bertiga mendatangi pemilik rumah
pelangi lagi.
“Dengan
apa kalian menyirami dan memupukinya?” tanya suami pemilik rumah.
“Tentu
saja dengan air dan pupuk, pupuk yang paling bagus” jawab suami Imah.
Sepasang
suami istri pemilik rumah tersenyum. “Pantas saja” sahut sang Suami.
“Seharusnya,
kalian menyiramnya dengan kebahagiaan dan memupukinya dengan ketulusan” jelas
sang istri.
“Kebahagiaan
dan ketulusan? Maksudnya?”tanya Imah.
“Penghuni
rumah harus lah merasa bahagia sepanjang hari dan melakukan semua perbuatan
dengan tulus, tidak karena terpaksa. Ingat, semua perbuatan.” Suami pemilik
rumah menjelaskan panjang lebar.
“Apa
kamu tidak bahagia, Ma?” tanya suami Imah seolah menyalahkan Imah.
“Ah,
selama ini aku bahagia, sangat bahagia malah. Dan aku, tidak pernah terpaksa
melakukan segalanya. Aku memasak, mencuci, membersihkan rumah, mengantar Sasha,
semua kulakukan tidak karena terpaksa,” Imah agak kesal, “jangan-jangan kau
yang tidak bahagia, Bang?” selidik Imah.
“Jangan
menuduhku, Ma. Aku lelaki paling bahagia di dunia ini” bantah suaminya.
“Tunggu,
masih ada satu orang yang belum ditanya” kata istri pemilik rumah.
“Tidak,
Bu. Tidak ada orang lain lagi di rumah kami. Kami cuma ber..tiga,”suara Imah
mendadak datar dan kaku.
“Bertiga?
Ada Sasha, kan? Hei, ke mana Sasha tadi?” Suami pemilik
rumah bertanya.
“Dia
pasti di dalam, ayo…” Istri pemilik rumah menggiring semuanya ke ruang makan.
Di sana
terlihat Sasha sedang duduk di lantai dengan peralatan gambarnya. Sesekali
kepalanya mendongak ke atas, ke lukisan bunga matahari.
“Saya
tahu sekarang… Hm, kalau kalian masih menginginkan pelangi itu, hentikan les
piano Sasha. Masukkan ia ke sanggar lukis” kata istri pemilik rumah tegas.
Epilog
Belasan tahun
kemudian, di salah satu hari Senin di bulan Desember, seluruh media
memberitakan: pameran tunggal pelukis muda berbakat, Rumaisa. Telah terjual
dengan harga fantastis, lukisan berjudul Rumah di Bawah Pelangi.
*Cerpen ini
terdapat dalam buku Kiat Menulis dan
Cerpen Pilihan
DONGENG DALAM BECAK*
Oleh Nailiya Nikmah JKF
Menunggu adalah pekerjaan yang paling
membosankan. Sayangnya, aku selalu tak bisa lepas dari pekerjaan yang satu ini.
Waktu kecil, aku harus menunggu lama agar bisa pamer baju baru pada teman-teman
karena ayahku terlalu lama mengumpulkan duitnya. Ayahku baru bisa dapat duit
kalau ada orang yang dapat musibah dengan kendaraannya, khususnya bagian ban.
Ya, ayahku adalah seorang tukang tambal ban. Sebuah profesi yang membuatku ngetop semasa SD. Bagaimana tidak, aku
menjadi terkenal dengan tambahan lain di belakang nama asliku. Namaku Hamdan.
Teman-teman menjuluki Hamdan ATT. Bukan, bukan karena wajahku atau suaraku
mirip penyanyi dangdut itu. ATT di belakang namaku adalah kependekan dari anak tukang tambal. Menurut teman-temanku,
aku cocok sekali menyandang nama itu ditambah dengan kemiskinan yang begitu
melekat di hidupku, jadilah aku Hamdan ATT,
orang termiskin di dunia.
Aku harus menunggu sekian lama untuk bisa
melihat angka-angka yang tertawa di raporku. Lagi-lagi karena masalah duit. Aku
tak bisa mengambil rapor karena belum melunasi bermacam-macam pembayaran.
Aku harus menunggu lama agar bisa
mengerjakan tugas dan belajar dengan tenang sampai dagangan gorenganku habis.
Aku bahkan pernah harus menunggu lama agar bisa memejamkan mataku di malam hari
karena perutku yang keroncongan minta diisi. Tapi sejujurnya masih ada
saat-saat aku terbebas dari pekerjaan menunggu, yaitu ketika teman-temanku
serentak berlarian sambil berteriak “Kelengan
pagat! Kelengan pagat!” Aku orang paling cepat merespon teriakan itu. O,iya
masih ada satu hal lagi yang membuatku pernah terbebas dari pekerjaan menunggu.
Waktu itu aku habis menerima ijazah. “Bu, Hamdan setelah ini sekolah di mana?”
Mendengar tanyaku, tanpa basa-basi ibuku
langsung menjawab,”Sekarang giliran adik-adikmu, Dan. Giliranmu itu, tuh...” Ibu
menunjuk tempat mangkal operasi ayah. Tiga tahun kemudian, ketika teman-temanku
merengek seragam abu-abu putih, Ibu menunjukan jarinya ke sebuah becak yang
terparkir manis depan rumah kami.
Sebenarnya itu adalah mimpi buruk bagiku.
Aku bisa malu berat kalau bertemu Wenny-gadis pujaanku. Wenny teman SD yang
selalu berkepang dua itu begitu baik padaku. Ia satu-satunya teman yang selalu
menanyakan apakah aku sudah mengerjakan PR atau belum. Ia juga pernah merelakan
roti bekalnya untukku ketika ia memergokiku sedang memungut sisa nasi bungkus
di tempat sampah kantin sekolah. Wenny pasti melanjutkan ke sekolah yang
terbaik. Aku tidak tahu bagaimana menamai perasaanku waktu itu. Perasaan ingin
terus sekolah-kalau bisa sekelas lagi dengan Wenny. Perasaan malu membayangkan
Wenny melihatku sedang menarik becak. Yang jelas, perasaan-perasaan itu
dikalahkan oleh tatapan adik-adikku yang tak mau menunggu. Mereka juga ingin
sekolah. Becak itu mungkin merupakan mimpi buruk bagiku tapi bagi adik-adikku
tentu becak itu adalah sebuah harapan.
Tak terasa tiga belas tahunan sudah aku
menjadi tukang becak. Mulai dari menarik becak sewaan sampai akhirnya aku punya
becak sendiri. Sejak jadi tukang becak, aku pun tak lepas dari menunggu.
Menunggu kedatangan penumpang yang tak pasti sehari itu ada; menunggu penumpang
yang minta dijemput, eh tidak tahunya lama sekali baru berangkat; menunggu
penumpang yang minta mampir-mampir dulu sebelum sampai ke tujuan yang disepakati
di awal. Enak benar sopir taksi, kudengar kalau menunggu lama seperti itu bisa
dikenai hitungan oleh mesinnya. Kalau tidak salah namanya argo.
Hari ini, aku sedang menunggu. Anehnya,
menunggu kali ini terasa berbeda dibanding pertungguanku
yang sebelum-sebelumnya. Aku memang merasa jemu dan gelisah tapi ketika yang
kutunggu sudah datang, aku malah tambah gelisah. Sebelum pertungguanku yang
satu ini aku belum pernah merasa serumit ini untuk menjelaskan sesuatu, selain
tentang perasaanku pada Wenny dulu.
Semua ini bermula ketika Abang Jacky
memintaku menggantikan tugasnya. Jangan berprasangka yang wah dulu mendengar nama Bang Jacky. Namanya memang keren seperti
orang sugih tapi ia beda tipis
denganku. Ia seniorku dalam urusan perbecakan. Nama sebenarnya aku tidak tahu
siapa. Mungkin Zaki, Muzakki, Yuzakki...entahlah sampai hari ini tidak ada yang
tahu siapa nama aslinya.
“Dan, beberapa hari ini tolong gantikan
tugas Abang ya. Istriku lagi sakit, aku khawatir meninggalkannya sendirian di
rumah. Kemarin ia jatuh pingsan di kamar mandi” itulah prolog cerita
pertungguanku yang beda ini.
Aku diminta menjemput seorang perempuan
di rumah mewah di tepi jalan raya, lalu ke sebuah sekolah-menjemput anaknya,
setelah itu balik lagi ke rumah semula. Enak juga Bang Jacky punya langganan
seperti ini. Paling tidak dalam sehari sudah ada rezeki pasti yang sudah
menunggu. Tidak sepertiku yang serba tak pasti. Tapi kalau kuingat penjelasan
guru agama dulu, katanya rezeki manusia itu sudah pasti, sudah di atur oleh Allah.
Manusia tinggal berusaha. Mungkin inilah masalahnya, usahaku yang belum pas.
Hari pertama aku menjalankan tugas aku
bertanya-tanya. Penumpangku ini masih terlalu muda untuk punya anak. Terlalu
muda? Ah mungkin tidak juga. Bukankah Fatma teman sekelasku dulu lulus SD
langsung kawin? Aku tersenyum miris mengingat Fatma dikejar-kejar ibunya sehari
sebelum pernikahannya. Fatma tidak mau kawin tapi kemiskinan memaksanya.
Penumpangku ini tentu kawin muda bukan karena alasan ekonomi. Tidak ada
tanda-tanda kemiskinan dipenampilannya. Jangan-jangan dia “kecelakaan”? aku
menepis prasangka burukku. Tidak mungkin, dia berkerudung rapi dan selalu
berbaju panjang. Tampang alim begitu sepertinya tidak mungkin bergaul bebas
apalagi sampai kebablasan.
Hari kedua, aku mencuri-curi wajahnya.
Mulanya sih sekedar mencoba mengenali lama-lama aku ketagihan. Wajahnya cantik bersinar.
Persis bintang iklan produk pemutih wajah. Mataku dan matanya belum pernah
bertemu. Mana berani aku menatapnya. Bisa-bisa aku dipecat. Lalu aku mulai
menyimak setiap tuturnya dengan anaknya. Suaranya lembut.
“Rini senang sekolah hari ini?” sapanya pada
anak kecilnya.
“Senang, Bu...”anak itu menjawab dengan
riang. Lalu ia berceloteh ke sana kemari tentang sekolahnya.
“Oh, iya tadi ada PR. Nanti Ibu bantu
Rini ya...?”
“Tentu sayang. Tentu Ibu akan membantu
Rini”
Percakapan mereka membuatku teringat masa
lalu. “Kena aja belajarnya, Dan. Sawat
godoh lawan jalabianya dingin. Kada nyaman lagi” Ibu selalu marah melihatku
mengulang pelajaran sepulang sekolah. Gorenganku sampai pukul lima sore baru
habis. Itu juga kalau lagi mujur. Setelah itu teman-teman mengajakku main
sambil sesekali membantu ayah, habis magrib aku nonton tv di kelurahan. Usai
Isya aku sudah kelelahan. Besok pagi saja belajarnya pikirku. Paginya rumah
kami ribut. Ibu berteriak, ayah menyumpah, adik-adik menangis. Lama-lama aku
jadi malas belajar.
Hari ketiga, penumpangku mendongeng. Perjalanan
jadi tak terasa. Sumpah, baru kali ini aku mendengar dongeng Cinderella seindah
dan seutuh itu. “Bekesah pang
Ma...kakawalan di kelas bagus-bagus karangannya. Buhannya raja-raja mengarang, jarnya
mun handak guring dikesahi kuitannya.” Aku pernah meminta.
Ibuku menjawab “Mama haur. Banyak gawian tahu lah! Kena, isuk-isuk aja bakesahnya” Besoknya dan besoknya Ibuku tak pernah
menepati janjinya. Sampai aku lupa, tepatnya sampai aku tak ingin memintanya
lagi.
Malamnya aku tak sabar ingin segera siang
dan menjemput penumpangku. Kira-kira besok apakah ia mendongeng lagi? Semoga
besok ia mendongeng lagi. Apakah ia akan mendongeng kisah Timun Mas, Putri
Salju, atau... Bawang Merah Bawang Putih seperti yang pernah diceritakan Wenny
di depan kelas? Aku tertidur. Dalam tidur aku bermimpi jadi pangeran yang
sedang berdansa dengan Cinderella.
Hari keempat, aku tambah terpesona dengan
penumpangku. Kali ini ia mengajari anaknya menghafal ayat Quran. Kalau tidak
salah namanya surat Al Fiil. Hafalan
ayat tidak terasa menakutkan karena ia menambahnya dengan cerita indah tentang
pasukan bergajah yang dilempari kerikil. Aku menyeka keringat dengan handuk
kecil yang setia menggantung di leherku. Aku tersenyum sendiri teringat dulu
aku berkeringat dingin ketika di panggil Bu Guru ke depan kelas untuk
menyetorkan hafalan surat ini. Aku ketakutan. Aku sama sekali tidak hafal karena
aku memang tak pernah menghafalnya. Aku jadi iri berat dengan Rini. Betapa
beruntung anak kecil ini punya orang tua kaya raya dan baik seperti
penumpangku. Aku menjelma anak kecil sedang naik becak bersama ibu sesempurna
penumpangku.
Ini hari kelima. Aku kecewa berat ketika
Bang Jacky datang mengambil alih lagi rezekinya. Ingin rasanya aku marah-marah
pada Bang Jacky. Setelah mengenalkanku pada keindahan ini kenapa sekarang ia
ingin merebutnya dariku? Lho, kenapa aku jadi begini rumit? Bukankah keinginan
Bang Jacky sederhana saja. Ia hanya ingin mengambil lagi langganan
penumpangnya. Kenapa aku jadi sakit hati?
“Kenapa, Dan? Ada yang tidak beres?” tanyanya.
Aku menggeleng pelan.”Tak ada Bang.”
“Ya sudah, Abang narik dulu,” ia pamit.
“Bang...!” aku menahannya. Ingin sekali
aku memberanikan diri untuk berkata biarkan aku yang menjemputnya. Duitnya buat
Abang. Tapi lidahku kelu.
“Ada apa, Dan? Bayaranmu kurang?” desak
Bang Jacky.
Lagi-lagi aku menggeleng.”Anu bang...nama
Ibu itu siapa ya?”tanyaku asal.
“Oh...itu. namanya Rahimah. Dia pembantu
Nyonya Lisda tapi sudah dianggap seperti adik sendiri oleh Nyonya” jawaban Bang
Jacky membuat mulutku ternganga.
“Pembantu? Tapi..kok dipanggilnya
Ibu?”tanyaku.
Bang Jacky tersenyum. “Makanya gaul dikit, Dan. Kalau sore ia ngajar
ngaji di TPA kampung kita”
Aku masih menganga sampai Bang Jacky
berteriak. “Woi! Mikir apa? Kamu naksir ya?
Abang pergi dulu. Nanti kita ngobrol lagi”
Aku tak tahu bagaimana menamai perasaan
ini. Ada sedikit harapan menari di benakku. Aku berharap suatu saat ada dongeng
indah dalam becakku. Dongeng tentang aku dan Rahimah. Tapi sampai kapan aku
menunggu dongeng itu datang?
(Kado spesial untuk teman-teman
SD ku yangekarang mencoba mengukir pelangi dalam becaknya masing-masing)
*Pernah dimuat di Harian Radar Banjarmasin dan termasuk dalam buku Kalimantan dalam Prosa (Ed Korrie Layun Rampan).
Minggu, 23 Desember 2012
Puisi Nailiya Nikmah JKF
Banjarmasin
Kangen
(Buat Aliman Syahrani)
kukatakan aku kangen
dan ingin pulang
katamu, “Di Pahuluan kada rami,
hanya ada embun yang luruh bersama
puisi”
Kangenku jadi berlipat-lipat!
Banjarmasin, 13 November
2012
Pengantar
Rinduku
kau kah yang mengetuk pintu
senja-senja
meletakkan serumpun ilalang
di ambin rumahku
lalu pergi diam-diam
kau kah pengantar rindu
yang kucari ke segala musim
sekali bertemu
dinding-dinding sudah temaram
kau kah yang sembunyi-sembunyi meningkalung
jendela hatiku dengan cinta
hingga kacanya berceraian
mengapa engkau terlampau sunyi
padahal di sini banyak nyanyian
Banjarmasin, 23 November 2012
Mimpi di Bulan Desember
maukah kau menemaniku
menyusuri jalan bersalju
sambil memainkan kata-kata
yang menumpuk di balik sweater
lihatlah, Desember membekukan sungai Martapura
aku dan kamu asyik melempar kata. Aku tahu ini hanya mimpi,
mimpi di bulan Desember
Jangan bangunkan aku sebab kata-kata masih menumpuk di balik sweater
(Flamboyan, 12/12/12)