Sabtu, 07 Juni 2014
Bersahabat dengan Orang Tua (Versi aku)
Kutuliskan
kisah ini untukmu karena kupikir kisah ini adalah beberapa kepingan puzzle yang
hilang yang seharusnya melengkapi puzzle-mu agar kamu bisa melihat gambarnya
secara utuh (meski mungkin tidak segamblang dengan seandainya kau sendiri yang
mengalaminya).
Sepeninggalmu
dari White House beberapa waktu sebelumnya, tentu saja, sudah tidak mungkin
lagi buatku untuk turut pergi meninggalkannya. Memang, sudah tidak ada lagi
halamannya yang terbentang luas tempat kita bermain-main (membuat video klip
berlatar bunga-bunga dan asap bakaran dedaunan); sudah tidak ada lagi kolam
cantik tempat bebek-bebek tetangga biasa numpang berenang di pagi hari; sudah
tidak ada lagi pagar kayu dan kawatnya yang berwarna putih (yang membuat rumah
kita mirip rumah praktik dokter); pun sudah tidak ada lagi para aktivis kampus
sepekan sekali berkumpul di berandanya yang teduh. Bagaimanapun itu semua sudah
sangat lama berlalu, bukan? Dalam sekejap, kita sudah bukan anak-anak kecil
lagi di rumah itu. Dalam sekejap, kita sudah bukan mahasiswa aktivis lagi yang
biasa mengundang kawan seperjuangan di rumah itu. Dalam sekejap, bebek-bebek
itu sudah tidak pernah datang lagi karena kolam dan halamannya sudah dibanguni
ruang tambahan. Dalam sekejap, kita sudah sibuk dengan tanggung jawab
masing-masing. Dalam sekejap, kita sudah menjadi orang tua yang punya banyak
anak (kusebut banyak karena lebih dari dua).
Meski
aku sempat berpikir untuk meninggalkan White House sepertimu (bahkan mungkin
idenya lebih dulu daripada kamu), sama sekali bukan karena aku membenci semua
yang ada di dalamnya. Aku malah teramat mencintainya. Terlalu mencintai kenangan inilah yang
menahan langkahku. Tidak hanya kenangan tentang rumah serba putih itu tapi
kenangan dengan orang-orang di dalamnya terutama kedua orang tua kita.
Aku
tahu, kedua orang tua kita sudah cukup bersedih dengan kepergianmu waktu itu.
Ah, tak perlu lah aku menceritakannya lagi. Orang tua mana yang tak sedih
ditinggal pergi anaknya. Apalagi orang tuanya model orang tua kita. Hehehe.
Meski begitu, aku yakin, kepergianmu menyimpan banyak kebaikan dan hikmah buat
kita semua.
Pernahkah kaubaca tentang orang tua yang
menjalani masa tuanya? Siapa sangka, masa-masa itu sudah dimulai bersamaan
dengan kepergianmu ke negeri orang. Inilah hari-hari itu.
Hari
itu, di subuh yang beku, Ibu menggedor pintu kamarku. Dia terlihat panik. Ayah
tiba-tiba jatuh dan tidak bisa bangun ketika mau sholat subuh. Dari hasil
pemeriksaan dokter yang datang ke rumah, diagnosanya Ayah kena stroke. Tekanan
darah Ayah sangat tinggi. Kautahu, Ibu sudah tidak karuan. Meski ayah masih
bisa bicara, aku yakin, yang ada di benak Ibu saat itu hanyalah kedatangan
malaikat maut ke rumah kita. Rumah kita penuh kedatangan para keluarga yang
menengok Ayah. Karena Ayah tidak mau dibawa ke rumah sakit, sepupu kita yang
dokter itu awalnya setiap hari datang ke rumah. Dia datang dua kali sehari
untuk menensi tekanan darah Ayah dan membawakan obat darah tinggi. Kadang
bergantian dengan adik atau ayahnya. Lama-lama kasian juga, rumahnya kan jauh dari rumah
kita. Lagi pula tidak enak juga telpon-telpon hanya untuk minta tensikan. Ibu
membeli alat tensian. Bukan yang digital lho, yang beneran, yang sama dipakai
oleh para dokter. Aku belajar cara menggunakannya. Cukup sulit sih awalnya tapi
lama-lama bisa juga. (Hm…berasa jadi bu dokter). Hanya saja, kadang Ayah tidak
percaya dengan hasil tensianku.
Aku
sempat membeli perlak, tissue basah, kapas, alat semprot air, diapers dan
pispot untuk Ayah BAB. Kata Ibu, buat jaga-jaga. Ternyata Ayah tak mau
memakainya. Dia lebih memilih berupaya perlahan-lahan ke kamar mandi daripada
memakai diapers dan atau pispot. Kautahu, ketika membelinya di apotek, aku
melihat banyak alat kesehatan. Tongkat, kursi roda, bermacam pispot, dan
lain-lain. Aku teringat para orang tua jompo yang uzur di film-fillm dan di
buku-buku cerita, aku teringat kakek dan nenek kita dahulu. Aku tersentak,
inikah saatnya bagi Ayah menjalani masa tersebut? Inikah saatnya bagiku
menjalani masa bakti sebagai anak yang sesungguhnya?
Kata
para tamu, makan Ayah harus dijaga. Tidak bisa lagi yang asin-asin yang seperti
biasa aku beli. Sejak itu, aku termotivasi memasak sendiri makanan untuk Ayah.
Kadang bubur, kadang tempe
goreng, kadang sop tahu, kadang sop ikan, dan yang lainnya yang semuanya hambar
alias tanpa garam. Inilah saat tersulit buatku. Syukur ayah bukan kakek-kakek
yang cerewet. Dia makan saja apa yang kuhidangkan. Cuma, sebagai orang yang
sangat tidak terampil memasak, ini menjadi satu hal yang cukup berat buatku.
Aku sempat mati gaya
juga. Cooking is my weakness…J
Beberapa
hari silih berganti para keluarga datang menjenguk. Ajaib, Ayah terlihat
membaik. Setiap ada tamu, Ayah terlihat lebih segar. Pahamlah aku sekarang.
Ayah butuh teman bicara selain ibu tentunya. Kau tahu kan banyak topik yang ada di kepala Ayah
yang belum tentu Ibu nyambung (politik, ekonomi, agama, budaya, hukum, banyak
deh). Ini tahun keempat Ayah pensiun. Pasti banyak hal yang ia simpan. Tak
jarang aku menyuruh Ayah menuliskannya tapi sayang dia menolak.
Sekarang,
keadaan Ayah sudah jauh lebih baik. Dan aku kembali nakal, tidak lagi memasak
menu khusus buat Ayah tapi malah membeli lauk dan sayur di warung langganan.
Maafkan aku tapi percayalah kalau aku sedang rajin dan punya ide menu, aku
sempatkan memasak menu sehat untuk Ayah kok.
Janganlah dulu kau iri denganku karena
(mungkin) kamu pikir pahalaku akan lebih banyak daripada pahalamu dalam hal
mengurus orang tua. Hahaha…Just kidding.
Hm… bisa jadi sebaliknya, akulah yang berpeluang mendapat dosa lebih banyak
daripada kamu. Kautahu, menghadapi orang tua kadang mirip dengan menghadapi
anak-anak yang masih kecil. Kau tentu paham maksudku.
Pernah
suatu hari, sepulang kerja aku bertanya pada Ibu apakah dia sudah makan karena hari
itu aku ada pulang sebentar ke rumah membawa makanan di saat jam istirahat
kantor. Ibu menjawab dia tidak bisa memakan apa-apa karena makanan yang kubawa
tidak enak. Akupun jadi sedih. Eh, pas kutanya Ayah, Ayah bilang mereka berdua
sudah makan. Aku hanya bisa mengerutkan kening. Mungkin ibu lupa bahwa ibu
sudah makan. Yang paling sedih itu kalau Ibu bilang makanan yang kubuat atau
yang kubeli tidak ada rasanya sama sekali alias tidak enak padahal menurut
lidahku sudah sangat enak. Awalnya aku heran mengapa ini bisa terjadi.
Belakangan aku tidak heran dan tidak risau lagi setelah aku membaca sebuah buku
yang ditulis oleh teman kita Nurul Asmayani (Bersahabat dengan Orang Tua).
Nanti kamu baca sendiri bukunya ya? Intinya, menurut buku itu, lidah orang yang
sudah usia pensiun macam ortu kita itu memang tidak sama lagi dengan lidah
kita. Ya kekuatannya, ya pengecapan rasanya. Bahkan kadang orang-orang tua
tidak pengen alias tidak punya selera makan apa-apa lagi.
Satu
lagi, orang tua tidak suka digurui atau dinasehati apalagi dilarang-larang.
Harga dirinya akan terinjak-injak. Padahal, kita melarang mereka melakukan ini
itu untuk kebaikan mereka sendiri. Misal, ayah suka sekali mengelap-lap
mobilnya di subuh yang dingin. Ya kadang kularang takut kenapa-napa. Pernah ayah
jatuh terduduk dekat mobilnya dan tidak bisa bangkit dari duduknya. Aku panik
sekali. Inilah maksudku melarang ayah. Untuk kebaikannya juga. Eh, kok
kedengarannya mirip dengan alasan mereka dulu melarang kita ini itu juga ya?
Ayah juga masih suka minum kopi padahal sudah kuberitahu bahwa pantangan utama
penyakit stroke adalah kopi. Tetap saja ayah minum kopi. Ayah masih suka
mencuci bajunya sendiri dan menyetrikanya. Aku sudah bilang, aku bisa saja
mengerjakannya tapi ayah bilang kalau
menunggu kamu, lambat…. Ya, iya sih. Aku mengerjakannya tergantung sikon
anak-anakku. Kalau lagi rewel bin cerewet ya aku tidak bisa mengerjakan
apa-apa.
Pasca
stroke ringan, ayah satu pekan tidak bisa ke mana-mana termasuk untuk sholat
Jumat. Pekan berikutnya, ayah meminta aku mencarikan becak. Kubilang, aku bisa
kok mengantar dan menunggui ayah di masjid tapi lagi-lagi ayah menolak. Sempat
beberapa pekan ayah pergi jumatan naik becak. Setelah agak kuat berdiri, ayah
tidak lagi naik becak. Ia naik motor sendiri! Teman-temanku bilang, sebaiknya
ayah jangan dibiarkan mengendarai motor sendiri. Setelah kuat jumatan naik
motor sendiri, ayah memberanikan diri mengantar ibu bepergian naik motor. Aku
tidak tahan lagi untuk tidak mengingatkan ayah. Suatu hari pas ayah mau bepergian
naik motor aku tanya pelan-pelan, “Ayah, apa tidak berbahaya naik motor
sendirian?” Rupanya pertanyaanku tidak tepat. Ayah marah-marah, “Jangan maharai
aku kaya itu!” (: jangan menakut-nakutiku seperti itu) lalu ayah masuk ke dalam
rumah dan tidak jadi pergi. Aku menyesal mengucapkannya. Sejak itu aku tidak
pernah lagi melarang ayah kalau ia ingin bepergian naik motor meski hatiku
was-was. Mungkin seperti ini perasaan ayah dan ibu kita dulu setiap melepas
kita bepergian naik motor di awal-awal kita bisa mengendarainya. Aku hanya bisa
berdoa, semoga ayah baik-baik saja.[]