Sabtu, 07 Juni 2014

Bersahabat dengan Orang Tua (versi aku)

04.28 0 Comments


Bersahabat dengan Orang Tua (Versi aku)


Kutuliskan kisah ini untukmu karena kupikir kisah ini adalah beberapa kepingan puzzle yang hilang yang seharusnya melengkapi puzzle-mu agar kamu bisa melihat gambarnya secara utuh (meski mungkin tidak segamblang dengan seandainya kau sendiri yang mengalaminya).
Sepeninggalmu dari White House beberapa waktu sebelumnya, tentu saja, sudah tidak mungkin lagi buatku untuk turut pergi meninggalkannya. Memang, sudah tidak ada lagi halamannya yang terbentang luas tempat kita bermain-main (membuat video klip berlatar bunga-bunga dan asap bakaran dedaunan); sudah tidak ada lagi kolam cantik tempat bebek-bebek tetangga biasa numpang berenang di pagi hari; sudah tidak ada lagi pagar kayu dan kawatnya yang berwarna putih (yang membuat rumah kita mirip rumah praktik dokter); pun sudah tidak ada lagi para aktivis kampus sepekan sekali berkumpul di berandanya yang teduh. Bagaimanapun itu semua sudah sangat lama berlalu, bukan? Dalam sekejap, kita sudah bukan anak-anak kecil lagi di rumah itu. Dalam sekejap, kita sudah bukan mahasiswa aktivis lagi yang biasa mengundang kawan seperjuangan di rumah itu. Dalam sekejap, bebek-bebek itu sudah tidak pernah datang lagi karena kolam dan halamannya sudah dibanguni ruang tambahan. Dalam sekejap, kita sudah sibuk dengan tanggung jawab masing-masing. Dalam sekejap, kita sudah menjadi orang tua yang punya banyak anak (kusebut banyak karena lebih dari dua).
Meski aku sempat berpikir untuk meninggalkan White House sepertimu (bahkan mungkin idenya lebih dulu daripada kamu), sama sekali bukan karena aku membenci semua yang ada di dalamnya. Aku malah teramat mencintainya.  Terlalu mencintai kenangan inilah yang menahan langkahku. Tidak hanya kenangan tentang rumah serba putih itu tapi kenangan dengan orang-orang di dalamnya terutama kedua orang tua kita.
Aku tahu, kedua orang tua kita sudah cukup bersedih dengan kepergianmu waktu itu. Ah, tak perlu lah aku menceritakannya lagi. Orang tua mana yang tak sedih ditinggal pergi anaknya. Apalagi orang tuanya model orang tua kita. Hehehe. Meski begitu, aku yakin, kepergianmu menyimpan banyak kebaikan dan hikmah buat kita semua.
 Pernahkah kaubaca tentang orang tua yang menjalani masa tuanya? Siapa sangka, masa-masa itu sudah dimulai bersamaan dengan kepergianmu ke negeri orang. Inilah hari-hari itu.
Hari itu, di subuh yang beku, Ibu menggedor pintu kamarku. Dia terlihat panik. Ayah tiba-tiba jatuh dan tidak bisa bangun ketika mau sholat subuh. Dari hasil pemeriksaan dokter yang datang ke rumah, diagnosanya Ayah kena stroke. Tekanan darah Ayah sangat tinggi. Kautahu, Ibu sudah tidak karuan. Meski ayah masih bisa bicara, aku yakin, yang ada di benak Ibu saat itu hanyalah kedatangan malaikat maut ke rumah kita. Rumah kita penuh kedatangan para keluarga yang menengok Ayah. Karena Ayah tidak mau dibawa ke rumah sakit, sepupu kita yang dokter itu awalnya setiap hari datang ke rumah. Dia datang dua kali sehari untuk menensi tekanan darah Ayah dan membawakan obat darah tinggi. Kadang bergantian dengan adik atau ayahnya. Lama-lama kasian juga, rumahnya kan jauh dari rumah kita. Lagi pula tidak enak juga telpon-telpon hanya untuk minta tensikan. Ibu membeli alat tensian. Bukan yang digital lho, yang beneran, yang sama dipakai oleh para dokter. Aku belajar cara menggunakannya. Cukup sulit sih awalnya tapi lama-lama bisa juga. (Hm…berasa jadi bu dokter). Hanya saja, kadang Ayah tidak percaya dengan hasil tensianku.
Aku sempat membeli perlak, tissue basah, kapas, alat semprot air, diapers dan pispot untuk Ayah BAB. Kata Ibu, buat jaga-jaga. Ternyata Ayah tak mau memakainya. Dia lebih memilih berupaya perlahan-lahan ke kamar mandi daripada memakai diapers dan atau pispot. Kautahu, ketika membelinya di apotek, aku melihat banyak alat kesehatan. Tongkat, kursi roda, bermacam pispot, dan lain-lain. Aku teringat para orang tua jompo yang uzur di film-fillm dan di buku-buku cerita, aku teringat kakek dan nenek kita dahulu. Aku tersentak, inikah saatnya bagi Ayah menjalani masa tersebut? Inikah saatnya bagiku menjalani masa bakti sebagai anak yang sesungguhnya?
Kata para tamu, makan Ayah harus dijaga. Tidak bisa lagi yang asin-asin yang seperti biasa aku beli. Sejak itu, aku termotivasi memasak sendiri makanan untuk Ayah. Kadang bubur, kadang tempe goreng, kadang sop tahu, kadang sop ikan, dan yang lainnya yang semuanya hambar alias tanpa garam. Inilah saat tersulit buatku. Syukur ayah bukan kakek-kakek yang cerewet. Dia makan saja apa yang kuhidangkan. Cuma, sebagai orang yang sangat tidak terampil memasak, ini menjadi satu hal yang cukup berat buatku. Aku sempat mati gaya juga. Cooking is my weaknessJ
Beberapa hari silih berganti para keluarga datang menjenguk. Ajaib, Ayah terlihat membaik. Setiap ada tamu, Ayah terlihat lebih segar. Pahamlah aku sekarang. Ayah butuh teman bicara selain ibu tentunya. Kau tahu kan banyak topik yang ada di kepala Ayah yang belum tentu Ibu nyambung (politik, ekonomi, agama, budaya, hukum, banyak deh). Ini tahun keempat Ayah pensiun. Pasti banyak hal yang ia simpan. Tak jarang aku menyuruh Ayah menuliskannya tapi sayang dia menolak.
Sekarang, keadaan Ayah sudah jauh lebih baik. Dan aku kembali nakal, tidak lagi memasak menu khusus buat Ayah tapi malah membeli lauk dan sayur di warung langganan. Maafkan aku tapi percayalah kalau aku sedang rajin dan punya ide menu, aku sempatkan memasak menu sehat untuk Ayah kok.
 Janganlah dulu kau iri denganku karena (mungkin) kamu pikir pahalaku akan lebih banyak daripada pahalamu dalam hal mengurus orang tua. Hahaha…Just kidding. Hm… bisa jadi sebaliknya, akulah yang berpeluang mendapat dosa lebih banyak daripada kamu. Kautahu, menghadapi orang tua kadang mirip dengan menghadapi anak-anak yang masih kecil. Kau tentu paham maksudku.
Pernah suatu hari, sepulang kerja aku bertanya pada Ibu apakah dia sudah makan karena hari itu aku ada pulang sebentar ke rumah membawa makanan di saat jam istirahat kantor. Ibu menjawab dia tidak bisa memakan apa-apa karena makanan yang kubawa tidak enak. Akupun jadi sedih. Eh, pas kutanya Ayah, Ayah bilang mereka berdua sudah makan. Aku hanya bisa mengerutkan kening. Mungkin ibu lupa bahwa ibu sudah makan. Yang paling sedih itu kalau Ibu bilang makanan yang kubuat atau yang kubeli tidak ada rasanya sama sekali alias tidak enak padahal menurut lidahku sudah sangat enak. Awalnya aku heran mengapa ini bisa terjadi. Belakangan aku tidak heran dan tidak risau lagi setelah aku membaca sebuah buku yang ditulis oleh teman kita Nurul Asmayani (Bersahabat dengan Orang Tua). Nanti kamu baca sendiri bukunya ya? Intinya, menurut buku itu, lidah orang yang sudah usia pensiun macam ortu kita itu memang tidak sama lagi dengan lidah kita. Ya kekuatannya, ya pengecapan rasanya. Bahkan kadang orang-orang tua tidak pengen alias tidak punya selera makan apa-apa lagi.
Satu lagi, orang tua tidak suka digurui atau dinasehati apalagi dilarang-larang. Harga dirinya akan terinjak-injak. Padahal, kita melarang mereka melakukan ini itu untuk kebaikan mereka sendiri. Misal, ayah suka sekali mengelap-lap mobilnya di subuh yang dingin. Ya kadang kularang takut kenapa-napa. Pernah ayah jatuh terduduk dekat mobilnya dan tidak bisa bangkit dari duduknya. Aku panik sekali. Inilah maksudku melarang ayah. Untuk kebaikannya juga. Eh, kok kedengarannya mirip dengan alasan mereka dulu melarang kita ini itu juga ya? Ayah juga masih suka minum kopi padahal sudah kuberitahu bahwa pantangan utama penyakit stroke adalah kopi. Tetap saja ayah minum kopi. Ayah masih suka mencuci bajunya sendiri dan menyetrikanya. Aku sudah bilang, aku bisa saja mengerjakannya tapi ayah bilang kalau menunggu kamu, lambat…. Ya, iya sih. Aku mengerjakannya tergantung sikon anak-anakku. Kalau lagi rewel bin cerewet ya aku tidak bisa mengerjakan apa-apa.
Pasca stroke ringan, ayah satu pekan tidak bisa ke mana-mana termasuk untuk sholat Jumat. Pekan berikutnya, ayah meminta aku mencarikan becak. Kubilang, aku bisa kok mengantar dan menunggui ayah di masjid tapi lagi-lagi ayah menolak. Sempat beberapa pekan ayah pergi jumatan naik becak. Setelah agak kuat berdiri, ayah tidak lagi naik becak. Ia naik motor sendiri! Teman-temanku bilang, sebaiknya ayah jangan dibiarkan mengendarai motor sendiri. Setelah kuat jumatan naik motor sendiri, ayah memberanikan diri mengantar ibu bepergian naik motor. Aku tidak tahan lagi untuk tidak mengingatkan ayah. Suatu hari pas ayah mau bepergian naik motor aku tanya pelan-pelan, “Ayah, apa tidak berbahaya naik motor sendirian?” Rupanya pertanyaanku tidak tepat. Ayah marah-marah, “Jangan maharai aku kaya itu!” (: jangan menakut-nakutiku seperti itu) lalu ayah masuk ke dalam rumah dan tidak jadi pergi. Aku menyesal mengucapkannya. Sejak itu aku tidak pernah lagi melarang ayah kalau ia ingin bepergian naik motor meski hatiku was-was. Mungkin seperti ini perasaan ayah dan ibu kita dulu setiap melepas kita bepergian naik motor di awal-awal kita bisa mengendarainya. Aku hanya bisa berdoa, semoga ayah baik-baik saja.[]