Sabtu, 14 Desember 2019

Pengenalan Budaya Lokal

21.04 0 Comments

Pengenalan Budaya Lokal


Ini adalah rangkuman materi yang pernah aku sampaikan dalam sebuah acara di sebuah kampus bertajuk pengenalan budaya lokal.

Kebudayaan
Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta budhayah, bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Kata budaya merupakan perkembangan dari kata majemuk budi daya yang berarti daya dari budi. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa, dan kebudayaan itu adalah segala hasil dari cipta, karsa dan rasa (Notowidagdo, 1997).
Culture (bahasa Inggris) yang artinya sama dengan kebudayaan, berasal dari kata Latin colere  yang berarti mengolah, mengerjakan terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti kata tersebut berkembang arti culture menjadi segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Beberapa antropolog mendefinisikan kebudayaan sebagai berikut:
E.B. Tylor (Inggris)
Kebudayaan adalah keseluruhan kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
R. Linton
Kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku, yang unsur-unsur pembentukannya didukung dan diteruskan oleh anggota dari masyarakat tertentu.
Sementara Ernest membagi dalam 5 (lima) Aspek, yaitu: Kehidupan spiritual; Bahasa dan kesusastraan; Kesenian; sejarah dan Ilmu pengetahuan.
Culture Universal
1)      Bahasa (lisan maupun tertulis)
2)      Sistem teknologi (peralatan dan perlengkapan hidup manusia)
3)      Sistem mata pencarian (termasuk sistem ekonomi)
4)      Organisasi sosial (sistem kemasyarakatan)
5)      Sistem pengetahuan
6)      Kesenian (seni rupa, seni musik, seni sastra, dll)
7)      Religi
(dikutip dari Koentjaraningrat oleh Notowidagdo, 1997)
Mengenal Budaya Banjar
Berdasarkan teori-teori sebelumnya terkait unsur budaya atau kebudayaan, dibahas tentang budaya lokal khususnya Budaya Banjar. Banjarmasin adalah Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan. Kota yang dikenal dengan sebutan kota seribu sungai. Kondisi geografis tersebut mempengaruhi unsur-unsur budaya lainnya seperti mata pencaharian, teknologi dan kesenian. Mata pencaharian orang Banjar pada awalnya adalah bertani, mencari ikan di sungai dan berjualan di pasar terapung.

Kain khas Banjar
Kain khas Banjar adalah sasirangan. Kain sasirangan semula dimanfaatkan untuk pengobatan. Kain sasirangan dipercaya memiliki kekuatan magis. Zaman dahulu, bahan pewarna kain sasirangan berasal dari bahan alami yaitu berasal dari tumbuh-tumbuhan atau tanaman.
Bahasa Banjar
Bahasa Banjar atau yang dikenal dengan sebutan Basa Banjar secara umum terbagi dua, yaitu Basa Banjar Hulu dan Basa Banjar Kuala.
Kesenian
Setiap daerah memiliki ciri dan keunikan seninya masing-masing. Mulai dari seni tari, seni musik hingga yang lainnya. Beberapa tarian Banjar misalnya Tari Baksa Kembang, Tari Radap Rahayu. Alat musik Banjar misalnya panting dan kuriding. Seni pertunjukan tradisional misalnya mamanda, balamut, madihin. Adapun seni beladiri tradisionalnya adalah kuntau atau bakuntau.
Permainan tradisional
                Salah satu permainan tradisional Banjar adalah balogo.
Pamali
Pamali merupakan larangan atau pantangan yang tidak boleh dilanggar. Ada sebagian yang bisa dijelaskan secara logika, ada yang tidak bisa dijelaskan. Secara etika, terdapat pamali yang justru mengatur kehidupan masyarakat untuk menjadi lebih baik. Berbagai penelitian dan kajian ilmiah telah dilakukan terkait pamali Banjar. Beberapa contoh pamali:
1)      Jangan duduk di depan pintu saat senja
2)      Jangan becermin berdua
3)      Jangan menyapu di malam hari
4)      Ibu hamil dilarang berkata-kata buruk
5)      Jangan berfoto dalam jumlah ganjil
6)      Jangan membuka payung dalam rumah
7)      Jangan menggunting kuku di malam hari
o
dDisampaikan pada Acara Pengenalan Budaya Lokal, Banjarmasin, Sabtu 14 Desember 2019

Selasa, 03 Desember 2019

Bersenang- senang dengan Buku "Fun Research" Karya Bonnie Soeherman

22.11 0 Comments

Oleh Nailiya Nikmah

Salah Satu Koleksi Buku Nai


Hai, saya Nai. Basic utama keilmuan saya adalah Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Dalam perjalanan karir mengajar, saya juga menjadi pengajar mata kuliah lain yang masih senada dan seirama seperti Komunikasi Bisnis; Kepribadian dan Kepemimpinan; Pendidikan Kewarganegaraan (:karena saya pernah mengikuti pelatihan doswar); serta Metodologi Penelitian (bertim dengan dosen core kelas yang saya ajar).

Sebagai pengajar, terutama pengajar mata kuliah Metodologi Penelitian, saya tidak pernah membatasi mahasiswa dalam memilih buku atau referensi seputar metode penelitian. Bahkan untuk sekadar mewajibkan mengopi modul perkuliahan yang saya susun pun saya tidak pernah. Bagi saya, memberikan rekomendasi (wajib) satu judul buku kepada mahasiswa bisa berakibat buruk, yaitu mereka hanya terfokus pada satu buku padahal ilmu tentang metode penelitian sangat luas. Saya juga menerapkan hal tersebut untuk diri saya sendiri. Saya membeli dan meminjam beberapa buku metode penelitian. Saya membaca semunya, mengamati, menganalisis, membandingkan, dan menerapkan beberapa.

Sekian tahun saya mempelajari ilmu tentang metode penelitian (:terima kasih kepada guru dan dosen di semua jenjang pendidikan saya), tidak ada bosannya memepelajari ilmu yang satu ini. Hingga saya menemukan formula sendiri dalam mengajarkannya.  Formula ini saya terapkan di mata kuliah Bahasa Indonesia pada Unit Menulis Karangan Ilmiah dan mata kuliah Metodologi Penelitian).

Suatu hari (2019) rekan mengajar saya menawari saya untuk menitip pembelian sebuah buku bertajuk penelitian kualitatif di luar Pulau kami. Saya mengiyakan. Saya jarang menolak buku (J). Pamali, hehe. Meski sempat juga berpikir, paling-paling buku tersebut sama saja dengan buku-buku metode penelitian yang sudah saya koleksi di perpus pribadi.

Ketika buku itu tiba di tangan saya, saya berubah pikiran,  judulnya menggelitik “Fun Research: Penelitian Kualitatif dengan Design Thinking”, buku ini diterbitkan oleh PT Elex Media Komputindo (masih satu naungan dengan penerbit novel saya Sekaca Cempaka). Buku bersampul kuning itu ditulis oleh Bonnie Soeherman. Pada halaman akhir buku kita bisa mengetahui penulis adalah seorang dosen dengan basic ilmu Akuntansi.

Halaman awal bertajuk Pengantar Sang Guru, pembaca disuguhi pengantar Prof. Basuki – pembimbing tesis penulis – yang membuat kita menemukan satu rahasia kecil semacam like father like son. Cuman kalau ini like coach like student.
Buku dengan isi 9 bab ini sebenarnya nyaris sama dengan semua buku yang pernah saya baca. Tapi tidak, gaya bahasa yang dipilih penulisnya membuat buku ini berbeda. Membaca halaman demi halaman buku tersebut memberikan sensasi ajaib. Asli, seperti tidak sedang membaca buku metodologi penelitian. Sebagai orang bahasa dan sastra, saya menemukan gaya maupun diksi yang tidak biasa untuk sebuah buku metode penelitian. Lebih mirip sebuah novel atau buku harian kalau menurut saya. Gaya bahasa yang dipakai oleh penulis membuat saya terjaga sepanjang pembacaan. Saya penasaran, kepo, terlonjak, bahagia, haru semua campur aduk. Belum pernah ada buku metode penelitian seperti ini.

Semua yang ditulis Bonnie Soeherman persis seperti apa yang selama ini saya yakini dan jalankan. Saya merasa bahagia, sebagai pengajar metodologi penelitian, baru kali ini saya merasa sangat percaya diri terhadap formula yang saya pakai sebagaimana saya sebut di paragraf sebelumnya. Saya merasa dikuatkan. Rasanya ingin bilang ke orang-orang, hei...aku benar, aku tidak salah, hehe.

Hingga halaman 159 - 160, saya tidak bisa menahan haru. Soeherman (2019)  menulis seperti ini:

Dalam kegalauan di toko buku, saya berjalan menyusuri lorong sepi yang berisi buku-buku filsafat dan sastra. Mata saya tertuju pada buku Paul Ricoer. Membacanya memberi banyak pencerahan dan pengaruh pada cara berpikir saya. ... Saya sungguh berterima kasih pada disiplin ilmu sastra. Ilmu sastra menawarkan berbagai teknik interpretasi wacana. Pelajaran yang belum saya temukan pada disiplin lain. Konsep interpretasi banyak berkembang dari penelitian sastra. Bakhtin (dalam Endraswara, 2011) mengatakan bahwa meneliti karya sastra sama saja dengan proses dialog dengan “manusia lain”. Walaupun keduanya seolah diam, mereka tetap sedang berdialog dalam kebisuan sehingga memerlukan interpretasi yang kuat.
Sepanjang yang saya ingat dan ketahui, inilah pertama kalinya ada orang dengan basic ilmu di luar bidang sastra menulis pernyataan semacam itu. Ingin rasanya membagikan paragraf tersebut ke orang-orang yang suka rasis dalam ilmu pengetahuan. Saya menyebutnya dengan istilah rasis, mungkin kurang tepat, tetapi itulah faktanya. Tidak sedikit orang-orang menganggap bidang ilmunya lebih unggul daripada bidang ilmu lain, khususnya ilmu bahasa dan sastra.

Jika suatu hari saya ditakdirkan bertemu beliau, saya ingin memberinya buku puisi saya hehe. Siapa tahu dia bisa menganalisis buku puisi saya melalui kacamata seorang akuntan. Akuntansi dalam Tetiba Mencintai, misalnya... siapa tahu?[]