Selasa, 05 November 2013

Misteri Hidup Kita dalam Misteri DNA-nya Kazuo Murakami

06.07 4 Comments



Buku Pilihanku 1

Setelah membaca buku ini, kita akan semakin yakin, tidak ada yang kebetulan, tidak ada yang tiba-tiba. Semua sudah direncanakan oleh yang paling baik perencanaannya. Dialah Tuhan semesta Alam. Aku ingin berbagi hasil bacaanku. Semoga menginspirasi siapa saja yang membacanya. Terutama bagi muslim, hasil riset Kazuo Murakami sangat banyak yang sesuai dengan ajaran Islam. Sungguh sayang jika kita sebagai muslim justru jauh dari nilai-nilai tersebut. Benar kata Allah, “Tidaklah sama orang yang mengetahui dengan yang tidak mengetahui.”
Inilah sedikit yang bisa kubagi:

MISTERI HIDUP KITA dalam MISTERI DNA –nya Kazuo Murakami

Judul Buku : Misteri DNA/ judul asli: Jinsei No Ango
Penulis : Kazuo Murakami
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : Maret 2013
Tebal : 178 Halaman
ISBN: 978-979-22-9375-3


Gen dalam tubuh manusia dapat dinyalakan atau dipadamkan seperti sakelar ON-OFF pada tombol lampu. Manusia ternyata dapat menyalakan gen yang baki dan memadamkan gen yang buruk sesuai kebutuhannya.

DNA = faktor keturunan?

Meski tidak sama persis, karakter yang dimiliki kedua orang tua diturunkan pada anak. Gen dipahami sebagai medium yang menyampaikan faktor keturunan tsb. Pemahaman tsb hanya menjabarkan sebagian dari fungsi gen. Gen berkaitan dengan segala aktivitas kehidupan seperti bernafas, makan lalu buang air, menjalani hidup sambil berpikir atau gembira. Kinerja Gen juga vital saat manusia memutuskan sesuatu dalam hatinya.
Gen ada dalam bagian yang disebut inti sel. Pada inti sel terdapat materi bernama DNA, dan materi inilah yang kita sebut gen. DNA terdiri atas dua buah pita yang berbentuk spiral. Di atas pita ini tertulis informasi yang dilambangkan dengan 4 abjad simbol kimia. Informasi ini adalah informasi genetik. Informasi dasar gen dalam 1 sel manusia terdiri atas 3 miliar abjad simbol kimia. Jika dijadikan buku, diperlukan 1.000 jilid buku setebal 1.000 hlm untuk mencatatnya.
Tubuh manusia tersusun dari sel. Manusia dewasa memiliki sekitar 6 triliun sel. Dalam setiap inti sel tersimpan 3 miliar informasi yg kita bahas tadi. Yang mengejutkan adalah sel tubuh bagain manapun pasti menyimpan 3 miliar informasi tersebut. Artinya, setiap sel dalam tubuh bagian manapun menyimpan informasi yang sama. Lalu, mengapa sel hati hanya menjalankan fungsi sebagai hati? Sel kuku hanya menjalankan peran sebagai kuku? Mengapa pada jantung tidak tumbuh rambut?
Inilah yang disebut fungsi ON/OFF atau nyala/padam DNA. DNA dalam sebuah sel memiliki bagian yang terjaga dan berfungsi, juga bagian yag tertidur dan tidak berfungsi. Lalu apakah bagian yg tertidur itu akan tidur selamanya? Tidak. Fungsi DNA bisa dinyalakan dan dimatikan.
Pemuda yang rambutnya sudah beruban. fungsi DNA penghitam rambutnya tidak bekerja dengan baik atau padam karena sesuatu hal.
Lansia yang kulitya masih kencang. DNA pada sel kulit yang seharusnya sudah tertidur masih giat bekerja atau menyala.
Diperkirakan, dari keeluruhan informasi genetik, hanya 5-10% yang betul2 bekerja. Artinya: Kemampuan tersembunyi yang dimiliki seorang manusia tidak terhingga besarnya.

Cara Menyalakan DNA baik:
 Mengubah drastis lingkungan tempat berada sekarang.
Menghargai pertemuan dengan orang dan pertemuan dengan kesempatan.
Berpikir optimis dan gembira dalam keadaan apapun.
Merasa tergugah dan terkesan.
Bersyukur.
Hidup dengan memikirkan kepentingan orang lain dan untuk kebaikan dunia.

Nilai-nilai dalam buku Misteri DNA:

  • Hati yang mendambakan sesuatu mengantarkan pada pertemuan baik.
  • Motivasi sederhana pun bisa membawa keberhasilan.
  • Cobalah menjawab tantangan jika diminta
  • Jika ingin menjadi orang yang unggul, bergaullah dengan kalangan unggul.
  • Bekerja samalah dengan orang yang berbeda dengan diri kita.
  • Pada diri manusia tidak terjadi apapun yang melebihi gen-nya
  • Semua keberhasilan kita adalah berkat pendahulu kita
  • Kesukaran adalah titik balik menuju keberhasilan
  • Ada kalanya menjaga gengsi adalah dengan membuangnya.
  • Jika merasakan “sinyal rahasia” itulah kesempatan mencurahkan segenap tenaga.
  • Selama tidak berpikir mustahil, kemungkinan ada tidak terbatas
  • Lebih baik bangun pagi daripada skor kemampuan akademik yang tinggi
  • Jika tidak berhasil, gantilah caranya
  • Jangan bergembira sendirian, berbagilah kebahagiaan dengan semua
  • Latihlah penglihatan agar melihat yang tak kasatmata.

Cara Mengatur ON/OFF Gen

o     Faktor fisik (panas, tekanan, ketegangan, latihan, dll)
o     Faktor makanan dan kimiawi (alkohol, rokok, hormon lingkungan, dll)
o     Faktor psikis (kejutan, kegemparan, rasa terkesan, cinta kasih, kegembiraan, kebencian, iman, keyakinan, dll)

Senin, 04 November 2013

Cuplikan Novel Sekaca Cempaka

12.53 0 Comments


KUNTUM SATU
Karangan  Bunga Abadi

“Apakah benar dalam bunga-bunga kaca yang Ibu buat terdapat guna-guna?”
Pertanyaan yang diucapkan dengan nada mengancam itu keluar dari mulut seorang laki-laki tak dikenal. Laki-laki berkemeja merah hati lengan panjang dengan satu kancing paling atas dibiarkan terbuka, bercelana panjang hitam, bersepatu hitam mengilap. Lengan baju kanannya tergulung sampai siku sementara gulungan lengan baju kirinya terlepas. Di saku kemejanya menyembul ujung dasi warna senada. Tatanan rambut pendeknya tidak jelas seperti tidak disisir. Wajahnya sedikit berminyak. Matanya sembab dan memerah. Tangan kirinya menggenggam kunci  mobil.
Perempuan di ambang pintu menahan tangan kanannya agar tidak terayun keras ke wajah lelaki di hadapannya. Ia baru saja bergegas membukakan pintu setelah mendengar ketukan yang bertubi-tubi tanpa jeda. Ia belum sempat mengucapkan kata “siapa” pada tamunya dan menanyakan ada keperluan apa, sebagaimana basa-basi seorang tuan rumah pada tamunya. Ia belum pula menyilakannya masuk tapi tamu itu telah terlebih dahulu menikam perasaannya. Tamu lelaki itu bahkan lupa mengucapkan salam.
“Katakan apa maumu sebenarnya?” kali ini ia lebih berani meninggikan suara. Bagaimanapun yang berada di hadapannya sekarang adalah seorang lelaki bukan perempuan seperti yang datang dua hari sebelumnya. Lagipula, kejadian dua hari yang lalu membuat ia memiliki pengalaman. Tangan kirinya sekarang memegangi daun pintu.
“Aku hanya ingin tahu, apakah benar bunga-bunga yang Ibu karang menyimpan guna-guna,”
“Apakah teman perempuanmu kemarin belum memberitahumu? Atau penjelasannya kurang meyakinkan di telingamu sehingga kamu harus datang ke sini untuk menanyakannya kembali?”
“Teman perempuan? Siapa? Siapa namanya?” Lelaki itu terperanjat. Ia tak menyangka perempuan berbibir tebal dan bertubuh gempal yang sedang ditatapnya mengeluarkan kalimat tersebut. Tidak terlintas sama sekali di pikirannya kalau ada orang lain yang berkepentingan sama dengannya.
“Jadi kau tak tahu? Atau pura-pura tidak tahu? Siapapun namanya, apa urusanku?” Nada suaranya meninggi. “Aku tidak punya urusan dengan orang-orang tidak sopan seperti kalian!” Matanya melotot. Ia mengerahkan seluruh keberanian. Ia tidak ingin harga dirinya diinjak-injak seperti dua hari yang lalu. Ia pikir perempuan yang datang dua hari yang lalu itulah yang mengutus lelaki di hadapannya.
“Aku benar-benar tidak mengerti. Siapa orang lain yang datang ke sini sebelum aku?”
“Aku lebih tidak mengerti mengapa kalian repot-repot ke rumahku hanya untuk menuduhkan fitnah murahan kepadaku,” perempuan menutup pintu.
“Jangan, jangan ditutup dulu.” Sang tamu menahan pintu dengan tangannya.
“Pergilah!”
“Aku tidak akan pergi sebelum mendapat jawaban darimu,”
“Jawaban apalagi? Aku sudah mengatakannya kepada temanmu!”
“Percayalah, aku benar-benar tidak tahu. Aku tidak tahu siapa yang kaumaksud dengan temanku.”
“Mengapa aku harus percaya padamu?”
“Tolonglah aku,” suara itu kini terdengar memelas. “Aku memerlukan bantuanmu. Maaf jika tadi aku agak kasar. Aku…aku,”
Perempuan itu tidak menduga keadaannya akan berbalik. Perlahan, ia membuka pintu kembali. “Baiklah, aku percaya padamu. Sekarang kuminta kaupercaya padaku. Tidak ada apa-apa dalam bungaku termasuk guna-guna yang kautuduhkan. Jelas? Atau perlu aku ulang sekali lagi?”
Tamu itu menunduk. Wajahnya terlihat putus asa.
“Apalagi? Pergilah sebelum anak-anakku atau tetangga berdatangan. Aku tidak mau terjadi keributan.”
“Ya, aku akan pergi. Terima kasih. Sekali lagi maafkan aku,” Lelaki itu membalikkan badannya. Tak dihiraukannya panas matahari yang sedang berada tepat di atas kepalanya. Langkahnya gontai menuju mobil yang diparkir di depan pagar.
Perempuan menutup pintu. Hatinya rusuh. Ia ke kamarnya, membuka pintu lemari pakaian, mengambil selembar kertas berlipat empat di sela lipatan bajunya yang paling bawah. Ia mencoba menghubung-hubungkan pesan yang tertulis di kertas tersebut dengan kedatangan tamu-tamunya. Kini ia mulai memahami makna pesan itu. Dikibas-kibaskannya ujung selendang hijau tua ke arah lehernya yang bersimbah keringat. Iapun kembali membaca sebuah pesan.
Katakan pada mereka bahwa pada bunga-bunga tersebut memang terdapat sesuatu. Sesuatu yang bisa mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Sesuatu yang bisa memanggil hati-hati yang berpaling, mendekatkannya dan menyatukan dalam sebuah hubungan; serta sebaliknya, mampu memisahkan hati-hati yang terjalin seerat apapun pengikatnya serta mengubah seluruh cinta menjadi benci. Sesuatu yang menjadikan rindu dan dendam di luar kendali pemiliknya. Katakan seperti yang tertulis di kertas ini. Keempat anakmu taruhannya!
            Meski keempat anak laki-lakinyanya terancam, ia tidak mau mengikuti perintah dalam selembar kertas yang ditemukannya di teras rumahnya sepekan yang lalu. Ia masih ingat kejadian itu.
Saat itu belum waktunya membangunkan anak-anak dan suaminya untuk siap-siap pergi ke langgar dekat rumah. Gerimis turun berirama, jatuh di atas atap lalu turun ke pekarangan. Ia baru saja menaruh seceret air di atas kompor yang menyala untuk si bungsu yang barangkali ingin mandi pakai air hangat. Tiba-tiba ia mendengar seperti bunyi pintu diketuk. Ia membenahi daster panjangnya, menggelung rambut, menajamkan pendengaran sambil menuju pintu depan. Langkahnya tidak segesit dulu karena sekarang badannya semakin gemuk.
Dari ruang tamu ketukan itu terdengar lebih jelas. Sejenak langkahnya terhenti. Ditekannya tombol lampu ruang tamu. Matanya menyipit karena silau. Dilihatnya jam dinding bergambar bola menunjukkan pukul 04.25. Ia berpikir apakah sebaiknya ia membangunkan suaminya tapi ia menepis ide itu. Sebelum membuka pintu disibaknya sedikit gorden ungu yang menutup kaca di samping pintu lalu mengintip siapa yang datang. Ia tidak melihat siapa-siapa atau apa-apa di teras. Sedikit rasa takut menghampirinya tapi ia yakin betul dengan pendengarannya. Ada seseorang yang mengetuk pintunya tadi.
Rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya. Ia memutar anak kunci, menekan gagang pintu lalu menariknya ke belakang membuat pintu terbuka sempurna. Hawa dingin segera menyergapnya. Ia tidak melangkahkan kaki keluar. Ia mengedarkan pandangan dimulai dari arah yang terjauh. Dari tempat ia berdiri dapat dilihatnya jalanan sepi, hanya ada gerimis yang jatuh satu-satu. Lalu dilihatnya pintu pagar depannya terbuka separuh. Seseorang pasti telah membukanya dengan paksa sebab ia yakin suaminya tidak pernah lupa menutup dan menggembok pagar sebelum pergi tidur. Di halaman rumah tidak ada apa-apa selain tangkai-tangkai mawar yang melambai lembut ditimpa gerimis.  Di lantai kayu terasnya, ia menemukan jejak-jejak sepatu atau sandal. Ia mulai menduga-duga apakah ada pencuri yang masuk rumahnya. Jika memang pencuri, untuk apa ia mengetuk pintu?
Ia hampir saja menutup pintu ketika matanya tak sengaja melihat ke bawah. Tepat di depan pintu, dekat kakinya, tergeletak kertas putih polos berlipat dua. Kertas itu ditindih oleh sebongkah batu seukuran genggaman tangan orang dewasa. Perempuan itu membungkuk, memungut kertas dan membuka lipatannya. Matanya menemukan sebuah pesan yang diketik rapi dengan jenis huruf yang biasa ia lihat di halaman depan tugas kuliah anak pertamaanya.
Setelah mengetahui isinya, perempuan itu ketakutan setengah mati. Hampir saja ia berteriak memanggil suami dan anak-anaknya tapi lagi-lagi hatinya berkata lain. Ia bertekad merahasiakannya. Ia tidak ingin anak-anak dan suaminya cemas, terlebih anak sulungnya yang akan menghadapi ujian akhir. Ia berharap, surat itu hanya kerjaan orang iseng yang ingin mengajaknya bercanda. Pada hari itu, seharian ia gelisah. Anak bungsunya yang masih TK ia tunggui di halaman gedung sekolah. Anak kedua dan ketiga yang masih SMP dimintanya untuk segera pulang ke rumah sehabis jam pelajaran. Biasanya mereka berdua suka main-main dulu ke rumah teman. Anak sulungnya ia pesani untuk lebih berhati-hati di jalan. Keempat anaknya keheranan dengan sikapnya yang tidak biasa. Dia hanya bilang, perasaan ibu tidak enak. Ia sama sekali tidak mengerti, untuk apa dan mengapa seseorang mengirim pesan semacam itu padanya.
Hari kelima setelah pesan itu ia terima, ia didatangi seorang perempuan. Perempuan yang ia kenali ibunya sebagai seorang pengarang bunga karena mereka pernah satu kampung.  Seperti dirinya, keluarga perempuan itu hidup dari hasil menjual karangan bunga-bunga. Hanya saja, karangan bunga mereka tidak sama. Karangan bunga yang ia hasilkan memiliki nilai jual yang lebih tinggi.
“Aku tahu, kau tak akan mengatakan apa-apa perihal bunga karanganmu karena mungkin ini menyangkut rahasia bisnismu tapi tolong katakan padaku, apakah kau tahu tentang kemungkinan ada sesuatu dalam bungamu?”
“Sesuatu? Maksudmu?” Perempuan itu mulai was-was. Ia menebak-nebak arah pembicaraan perempuan yang mendekap seorang bayi laki-laki dalam gendongannya.
“Yah…sesuatu yang bisa mempengaruhi seseorang,”
“Aku tak paham apa maksudmu.”
“Kau jangan berpura-pura tidak paham. Aku hanya minta tolong padamu untuk memberitahuku bagaimana cara mematahkan pengaruhnya. Apakah cukup dengan cara memecahkan botolnya?”
“Dengar, aku tidak paham apa yang kamu bicarakan. Pengaruh? Pengaruh apa?”
“Pengaruh guna-guna yang ada dalam botol karangan bungamu!” Perempuan itu memekik sambil mengacungkan telunjuk ke arahnya. Bayi dalam gendongannya sontak menangis kencang tapi perempuan itu tak peduli.
“Jangan menuduhku sembarangan!” mata perempuan itu melotot.
“Dibayar berapa kamu untuk tutup mulut. Aku akan membayar lebih!”
Ia tidak tahan lagi mendengar ocehan perempuan yang ditingkahi tangisan bayinya. Kedua tangannya mencengkram bahu perempuan itu, “Dengar. Mungkin ibumu mencekokimu macam-macam karena ia iri dengan bungaku tapi aku tegaskan, aku tidak menaruh apa-apa dalam bungaku. Sebaiknya kamu keluar dari rumahku. Kalau saja kamu bukan bekas tetanggaku, kamu sudah kuteriaki agar warga sini mengeroyokmu!”
“Jangan bawa-bawa ibuku. Ia tidak ada hubungannya. Kau mau meneriakiku? Apa tidak terbalik? Bagaimana kalau aku yang meneriakimu di hadapan warga bahwa kamu tukang santet?”
“Jaga mulutmu!” tangannya menjambak kerudung perempuan di hadapannya.
“Hei, apa-apaan ini. Ibu, hentikan, hentikan! Ingat Tuhan. Lihat, kalian membuat bayi ini ketakutan.” Seorang lelaki paruh baya keluar melerai.
“Dia duluan, Pak! Dia menuduhku menaruh guna-guna dalam bungaku.”
“Sudah…, sudah. Duduklah dulu kalian berdua. Mari kita bicara baik-baik. Apa sebenarnya yang terjadi. Tidak ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan kalau semua pihak beritikad baik.”
“Tidak usah. Terima kasih. Saya mau pulang saja,” Perempuan itu berlalu bersama bayinya yang masih menangis. Dalam hatinya terselip rasa malu ketika tatapannya bersirobok dengan suami perempuan yang baru saja ia maki-maki. Lelaki itu membuatnya teringat pada ayahnya sendiri. Ingin sekali ia menceritakan semua kepedihan hatinya tapi ia tidak yakin itu akan berguna.
“Kasihan dia, Bu. Tidakkah kaumelihat dia seperti orang frustasi? Bukankah dulu dia anak yang ramah dan santun? Bukankah dia gadis pengarang bunga yang suka menjuali kita bunga-bunga petikan ayahnya? Entah apa yang terjadi pada dirinya.”
”Mengapa Bapak malah membela dia? Yang Ibu lihat tadi adalah perempuan kasar yang tak tahu diri dan tidak perlu dikasihani,” wajahnya cemberut tapi hatinya mengiyakan pendapat suaminya.
“Bapak hanya mengatakan hal yang tidak Ibu lihat karena mata Ibu tertutup amarah.”
***
Selama ini orang-orang datang ke rumahnya untuk memesan dan membeli rangkaian bunga-bunganya. Rangkaian bunga biasa sebenarnya. Tangannyalah yang telah membuat rangkaian bunga tersebut menjadi tidak biasa. Bunga-bunga yang tersentuh tangannya menjadi bunga abadi, seperti kisah-kisah yang hanya ada dalam negeri dongeng. Kisah tentang bunga yang tak pernah layu seperti cinta yang tak pernah mati antara putri dan pangeran impian.
Untuk keperluan apa orang-orang itu membelinya, ia tak pernah ambil pusing. Ada yang menjadikannya hiasan saja – ini yang umum, ada yang memperlakukannya sebagai jimat penglaris toko – ini tidak banyak, ada yang menjualnya kembali, ada juga yang menganggapnya sebagai cinderamata khas kabupatennya. Ia sendiri tidak memiliki anggapan khusus terhadap rangkaian bunganya. Ia hanya merangkainya dengan keterampilan yang ia miliki.
Ada beberapa yang pernah membeli sambil menanyainya perihal rahasia karangan bunganya. Akan tetapi ia pikir, menjawab dengan benar atau tidak pertanyaan tersebut adalah sebuah pilihan yang merdeka baginya. Tidak ada orang yang berhak mengintimidasinya untuk mengatakan rahasia apa yang tersembunyi di balik keawetan karangan bunganya.
Mungkinkah airnya sudah dicampur formalin atau zat kimia tertentu sebagai pengawet?
Mungkinkah airnya adalah air hujan yang langsung ditampung dari langit?
Mungkinkah ada jampi-jampi yang dibacakan hingga bunganya bisa awet?
Mungkin ada bantuan jin dalam pembuatannya?
Sebenarnya apa makna rangkaian bunga ini menurut ibu?
Saya ingin menulis tentang karangan bunga yang Ibu buat, bisakah ibu ceritakan pembuatannya?
Saya ingin sekali bisa membuat hiasan bunga seperti yang ibu buat, bisakah saya diajari cara membuatnya?
Bermacam-macam komentar orang yang pernah menemuinya. Biarlah jika ada yang menganggapnya misteri. Semisteri jawaban atas pertanyaan mengapa hanya bunga cempaka yang bisa dipakai dan mengapa bunga yang lain selalu gagal bertahan lama.
Ia merasa  tidak perlu dan tidak harus mengatakan yang sebenarnya sebagaimana ia tidak perlu menanyakan mengapa takdir memilihnya menjadi pengarang bunga abadi…

KARYA SASTRA BERBAHASA BANJAR SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PELESTARIAN BAHASA BANJAR

12.50 0 Comments


KARYA SASTRA BERBAHASA BANJAR SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PELESTARIAN BAHASA BANJAR*
Oleh Nailiya Nikmah, S.Pd.,M.Pd

A.          Pendahuluan
Dalam catatan perjalanan sejarah bangsa Indonesia tercantum salah satu hal penting berkaitan dengan bahasa bangsa, yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan menjadi salah satu pengikat keragaman suku bangsa dalam semangat kebangsaan Indonesia. Tidak berlebihan jika ikrar yang dicetuskan oleh para pemuda tersebut menjadi salah satu unsur terpenting bangsa Indonesia khususnya dalam hal persatuan dan kesatuan. Para pemuda pada tahun tersebut menyatakan ikrar yang mengaku bertumpah darah yang satu tanah air Indonesia, berbangsa yang satu bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan Bahasa Indonesia.
Semangat Sumpah Pemuda melandasi pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pasal tersebut mempertegas bahwa bahasa  negara ialah  Bahasa Indonesia. Kemudian, tentang Bahasa Indonesia ini selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Undang-undang tersebut juga mengatur tentang bahasa daerah. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan secara turun-temurun oleh warga negara Indonesia di daerah-daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Indonesia terdiri atas berbagai suku dengan bahasanya masing-masing. Dalam artikelnya, Budiwiyanto menyebutkan berdasarkan laporan hasil penelitian Kekerabatan dan Pemetaan Bahasa-Bahasa di Indonesia yang dilakukan oleh Badan Bahasa pada tahun 2008, telah berhasil diidentifikasi sejumlah 442 bahasa. Hingga tahun 2011, tercatat terjadi penambahan sejumlah 72 bahasa sehingga jumlah keseluruhannya menjadi 514 bahasa. Jumlah tersebut masih dapat bertambah karena masih ada beberapa daerah yang belum diteliti. http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1285.
Selanjutnya, pelestarian bahasa daerah tidak terlepas dari peran dan tanggung jawab pemerintah daerah, dengan tetap mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009, Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara Serta Lagu Kebangsaan. Upaya pelestarian ini idealnya diatur dalam peraturan daerah (Perda) sebagai wujud apresiasi Pemda atas pelestarian budaya daerah.
Upaya pelestarian bahasa daerah perlu dilakukan karena bahasa daerah mulai terkikis oleh pengaruh globalisasi, serta kecenderungan penurunan penggunaan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan keluarga maupun lingkungan pergaulan masyarakat di luar keluarga. Jika diamati lebih jauh, banyak kemungkinan penyebab terkikisnya bahasa daerah. Sebagai contoh yaitu perpindahan penduduk dari desa ke kota dengan segala gaya hidup yang mempengaruhinya termasuk bahasa. Kebutuhan berbahasa yang dapat diterima dan dipahami oleh masyarakat yang didatangi membuat bahasa ibu (bahasa daerah) perlahan-lahan tersaingi. Ekonomi juga turut mempengaruhi hal ini. Kecenderungan orang yang pandai berbahasa asing dan atau bahasa Indonesia yang lebih diutamakan untuk menempati sebuah posisi di dunia kerja membuat bahasa daerah lambat laun akan memudar penggunaannya.
B.           Bahasa Banjar sebagai Salah Satu Bahasa Daerah di Indonesia
Salah satu bahasa daerah di Indonesia yang terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan adalah bahasa Banjar. Abdul Djebar Hapip dalam Kamus Banjar Indonesia (2008) menjelaskan bahwa bahasa Banjar (BB) ialah bahasa yang dipergunakan oleh suku Banjar. Secara geografis suku ini pada mulanya mendiami hampir seluruh wilayah provinsi Kalimantan Selatan sekarang ini yang kemudian akibat perpindahan atau percampuran penduduk dan kebudayaannya di dalam proses waktu berabad-abad, maka suku Banjar dan BB tersebar meluas sampai ke daerah-daerah pesisir Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, bahkan banyak didapatkan di beberapa tempat di Pulau Sumatra yang kebetulan menjadi pemukiman orang-orang perantau dari Banjar sejak lama seperti di Muara Tungkal, Sapat dan Tembilahan.
BB bisa dibedakan antara dua dialek besar, yaitu dialek bahasa Banjar Kuala (BK) dan dialek Bahasa Banjar Hulu Sungai (BH). Dialek BK umumnya dipakai oleh penduduk “asli” sekitar kota Banjarmasin, Martapura dan Pelaihari, sedangkan dialek BH adalah BB yang dipakai oleh penduduk di daerah hulu sungai umumnya, yaitu daerah-daerah Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Utara serta Tabalong. Pemakai BH ini jauh lebih luas dan masih menunjukkan beberapa variasi subdialek lagi yang oleh Den Hamer disebut dengan istilah dialek lokal, yaitu Amuntai, Alabio, Kalua, Kandangan, Tanjung, bahkan ia cenderung berpendapat bahwa bahasa yang dipakai oleh “orang bukit” yaitu penduduk pedalaman pegunungan Meratus merupakan salah satu subdialek BH pula. Dan mungkin subdialek baik BK maupun BH itu masih banyak lagi.

C.          Peran Karya Sastra sebagai Salah Satu Upaya Pelestarian Bahasa Daerah

Karya sastra bukan semata-mata penyajian peristiwa yang indah melainkan penyampaian hakikat peristiwa tersebut. Dari sini akan ditemukan makna-makna peristiwa setelah melalui penghayatan, pendalaman makna dan penafsiran. Karya sastra memuat bahan perenungan yang melibatkan aspek moral, nurani, emosi dan etika.
Karya sastra diciptakan dengan daya kreativitas dan imajinasi tapi kreativitas itu tidak lantas menghilangkan unsur realita dalam prosesnya. Pengarang melahirkan berbagai pengalaman dalam karyanya dengan  memilih unsur-unsur terbaik dari pengalaman hidupnya maupun pengalaman manusia lain yang dihayatinya.  Pengalaman tersebut tidak hanya pengalaman lahir tetapi juga lebih pada pengalaman batin.
Karya sastra mengemukakan masalah-masalah manusia, masalah hidup dan kehidupan. Pengarang yang kreatif selalu mampu mengolah permasalahan- permasalahan tersebut menjadi suatu karya yang berharga, berguna bagi dirinya dan bagi orang lain. Pengarang kreatif senantiasa berusaha mengemukakan wacana baru dalam karyanya, apapun bentuk karya sastra yang ditulisnya agar para pembacanya tidak hanya merasa terhibur tapi juga merasa tercerahkan jiwanya.
Berbicara tentang karya sastra tidak bisa lepas dari bahasa sebagai media dan unsur utamanya. Pada umumnya masyarakat terkini mengenal karya sastra sebagai karya yang berbahasa Indonesia padahal ada juga karya sastra yang bukan berbahasa Indonesia, melainkan berbahasa daerah. Di Kalimantan Selatan misalnya terdapat bahasa daerah Banjar (yang dominan) di samping bahasa daerah lainnya. Meskipun yang dimaksud dengan karya sastra bertema lokalitas  bukan semata tentang hadirnya suatu bahasa dalam karya melainkan nuansa kehidupan lokal yang menjadi ciri utama mesyarakatnya, kiranya bukan sesuatu yang berlebihan jika mengemukakan unsur eksistensi bahasanya ke permukaan ranah sastra. Hal ini diwujudkan dengan penggunaan bahasa daerah (:Banjar) sebagai bentuk penyampaian ekspresi (Mungkin cerpen, mungkin puisi).
1.      Upaya Pelestarian Bahasa Banjar Melalui Puisi Berbahasa Banjar
Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra menggunakan bahasa sebagai medianya. Akan tetapi bahasa yang digunakan dalam puisi “berbeda” dengan bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa puisi memiliki keunikan tersendiri sebagai hasil kreativitas, ekspresi dan imajinasi penyair. Bahasa puisi memiliki nilai estetika yang akan diperoleh oleh pembacanya melalui pembacaan yang intens dan apresiasi yang tinggi. Tarsyad menyebutkan bahwa bahasa puisi mengalami proses pemadatan makna dan kreativitas pemilihan diksi penyairnya (2011:6).
            Puisi berbahasa Indonesia relatif mudah dan banyak ditemui. Hal ini sejalan dengan Sumpah Pemuda yang ketiga, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Akan tetapi ada hal yang tidak boleh dilupakan yaitu adanya bahasa-bahasa daerah yang merupakan unsur pembangun dan pemerkaya bahasa Indonesia. Sudah sewajarnya ada upaya untuk melestarikan bahasa daerah dari masyarakat penuturnya. Salah satu upaya pelestarian tersebut bisa dilakukan melalui jalur kesusastraan.
            Salah satu bahasa daerah yang dipakai dalam bahasa puisi adalah bahasa Banjar. Menemukan puisi berbahasa Banjar dari jenis puisi lama mungkin relatif lebih mudah. Yang masih terbilang langka adalah puisi baru/puisi modern yang menggunakan bahasa Banjar, baik bahasa Banjar Hulu maupun bahasa Banjar Kuala.
            Contoh puisi yang menggunakan bahasa Banjar yang dapat kita apresiasi dan kritisi bersama adalah puisi-puisi karangan penyair asal Kalimantan Selatan, Abdurrahman El Husaini. Ada dua buku yang memuat kumpulan puisi berbahasa Banjar yang ia karang, yaitu Doa Banyu Mata (diterbitkan oleh Tahura Media, Juni 2011) dan Jukung Waktu (diterbitkan oleh Scripta Cendekia, Februari 2012).

Tasanda jua Banyu Mata Ngini

Tasanda jua banyu mata ngini paampihannya
Lawan sungai-sungai nang ditabat
Lawan pahumaan-pahumaan nang disaluh manjadi rumah-rumah ganal bagus
Lawan gunung manggunung nang diruntuhakan
Lawan puhun mamuhun nang ditabangi
Lawan paparutan tanah nang dibungkari


Cuba pian liati janak-janak
Cuba pian janaki pitih-pitih
Amun kumarau
Kumarau balalandangan
Amun musim ujan
Ba ah saalaman

Musim kada kawa ditangguh lagi
Nang disangka panas sakalinya ujan sing labatan
Nang disangka ujan sakalinya panas manggantang
Mbah anu ujan mbah anu panas
Mbah anu panas mbah anu ujan

Tasanda jua banyu mata ngini paampihannya
Lawan ingui tangis kita barataan

(Puisi Abdurrahman El Husaini dalam Doa Banyu Mata, 2011:66).
            Puisi tersebut berbicara tentang kepedulian penyairnya terhadap lingkungan. Sungai, sawah, gunung, pohon, hutan, tanah, mulai terancam keberadaannya karena ulah tangan manusia. Akibatnya musim menjadi tidak menentu, tidak lagi bisa terbaca. Kadang-kadang hujan, kadang-kadang panas. Hal ini menjadikan kesedihan yang mendalam bagi penyair. Dalam puisi tersebut ia mewakilkannya dengan tergadainya airmata.
            Ada beberapa kosakata yang mungkin tidak terlalu dikenal lagi oleh masyarakat Banjar khususnya usia remaja ke bawah dalam puisi tersebut misalnya “pitih”, “balalandangan” dan “ingui”. Dalam Kamus Banjar Indonesia karangan Abdul Djebar Hapip, dapat ditemukan kata “itih”, mungkin ini yang dimaksud oleh penyair dengan “pitih”. Itih berarti teliti (2008:63). Sedangkan “landang” berarti jauh, panjang, lama (2008:102). Adapun “ingui” (2008:6) dipadankan dengan “iluy” yang berarti lagu; bailuy berlagu (menangis).

ZIKIR HATI
Zikir hati
Bajalulut
Bajarikit
Lawan gatah
Hidayah
Allah Taala
Siang malam kada sing lingkahan

Malam Sabtu 12 Ramadhan 1432 H
(puisi Abdurrahman El Husaini dalam Jukung Waktu, 2012:65).
            Puisi tersebut berbicara tentang kereligiusan, kecintaan, kedekatan terhadap Allah. Beberapa kosakata yang cukup khas dalam puisi tersebut adalah “bajalulut”, “bajarikit” dan “sing lingkahan”. “ Jalulut” tidak ditemukan dalam kamus sedangkan “ Jarikit” berarti lekat, lengket (Hapip, 2008:67). Adapun  yang dimaksud dengan “lingkah” dalam puisi tersebut masih menurut Kamus Banjar Indonesia berarti terlepas atau hilang (2008:111).

2.                  Upaya Pelestarian Bahasa Banjar Melalui Cerpen Berbahasa Banjar
Poe dalam Afra (2007: 112) menyatakan bahwa cerpen adalah narasi yang bisa dibaca dalam sekali duduk, dengan lama waktu setengah hingga dua jam. Karena pendek, cerpen memiliki ruang yang padat. Meski kelihatannya pendek, sebuah cerpen mampu menyampaikan hal-hal berharga yang bisa tersampaikan secara implisit maupun eksplisit.
Unsur-unsur yang membangun sebuah cerpen secara intrinsik adalah tema, plot (alur), setting, sudut pandang atau penokohan dan tokoh. Namun secara ekstrinsik sebuah cerpen dipengaruhi pula oleh pandangan-pandangan dan latar belakang kehidupan penulisnya.
Cerpen sebagai bagian dari kesuasteraan modern Indonesia merupakan cermin kebudayaan bangsa Indonesia yang hidup dalam keberagaman sistem budaya. Hal ini diwujudkan ke dalam aspek-aspek tematis dan stilistis karya.
Sebagai karya fiksi, cerpen diciptakan dengan daya kreativitas dan imajinasi. Kreativitas itu tidak saja dituntut dalam upaya pengarang melahirkan pengalaman batin dalam karyanya, tetapi juga harus kreatif memilih unsur-unsur terbaik  dari pengalaman hidup manusia yang dihayatinya. Penulis cerpen bersandar pada kreativitas. Kreativitas memberi peluang yang sangat luas bagi keragaman muatan karya sastra. Dunia fiksi jauh lebih banyak mengandung berbagai kemungkinan daripada yang ada di dunia nyata. Dalam proses kreativitasnya pengarang bisa saja menyiasati, mengkreasi, memanipulasi berbagai masalah hidup dan kehidupan yang dialami dan diamatinya.
Seperti halnya puisi, cerpen pun menggunakan bahasa sebagai media. Cerpen berbahasa Banjar senasib dengan puisi berbahasa Banjar. Para penulis cerpen Kalimantan Selatan lebih banyak menulis cerpen dalam bahasa Indonesia. Salah satu buku kumpulan cerpen berbahasa Banjar yang dapat dibaca, diapresiasi dan dikritisi adalah kumpulan kisdap Malam Kumpai Batu (disusun oleh Sandi Firly dan diterbitkan oleh Media Tahura, April 2012).
Berikut kutipan cerpen “Malam Kumpai Batu” yang terdapat dalam buku tersebut.
Tadapatnya kami tabarungan haja, wan pulang, kada disangka-sangka. Mulai kapal At Taslim balayang matan Palabuhan Pasar Lima Banjar siang tadi, bujur nah, aku kada tahu inya sakalinya umpat jua, jadi panumpang, di kapal ngini. Di Murung Panti, waktu kapal singgah di pos panjagaan, aku handak bakunjang kaluar kapal, ka warung palabuhan handak manukar roko. Sakilaran, bibinian ngitu takurihing. Asa pinandu asa kada, kada kuherani ai inya. Kalu ai inya takurihing gasan urang lain. Dua pulang, kau gair kalu aku dikira urang lalakian liur baungan. …. (Kisdap Malam Kumpai Batu karangan M. Rifani Djamhari, 2012:1).

Kutipan tersebut menggambarkan adanya perjalanan yang menggunakan kapal bernama At Taslim. Pembaca memperoleh gambaran bahwa dulu, alat transportasi yang diandalkan adalah kapal. Dari kutipan tersebut diperoleh pula ungkapan “liur baungan” yang tidak mustahil suatu saat tidak terdengar lagi dalam percakapan orang Banjar karena berganti ungkapan dari bahasa lain. Begitu juga dengan kata “sakilaran” dan “takurihing”.
Cerpen “Malam Kumpai Batu” mengisahkan pertemuan kembali sepasang manusia yang pernah memiliki hubungan khusus secra tidak sengaja dalam sebuah perjalanan yang menggunakan alat transportasi air. Dalam cerpen ini pembaca akan menemukan rute-rute perjalanan yang dilalui. Perjalanan tokoh aku dimulai dari pelabuhan pasar lama Banjarmasin. Dari cerpen ini pula, pembaca akan mengetahui rute Banjarmasin-Nagara melewati  Margasari Marabahan.
Cerpen selanjutnya yang bisa diamati adalah sebagai berikut,
Imah takulimpapak! Bakalincuat saitu saini. Hinaknya mahingal, kaya urang ngangal, pual-pual lacit ka bantal, nang kaya hadangan disumbalih angkal. Awaknya manggitir. Jimus paluh. Inya hanyar mailan tumatan mimpi nang kada sing baikan. Bakalimpusut inya bapuat, duduk mancugut di tubir ranajng sambil mangajang pinggang nang ngilu. Dilacungakanya hinak landang-landang. Rancak Imah mangucak-ngucak bigi matanya, tagal hayabang mimpi nang saling kada baikan tuti maguni haja maumpinak di panjanaknya. (Cerpen “Anja” karangan Aliman Syahrani dalam buku kumpulan kisdap Banjar Malam Kumpai Batu,2012:40).

Kutipan cerpen “Anja” tersebut menghadirkan bahasa Banjar Hulu dengan subdialek Kandangan. Kata-kata “takulimpapak”, “bakalincuat”, “pual-pual” termasuk kata-kata yang tidak mudah dipahami artinya oleh pembaca yang bukan penutur bahasa Banjar Hulu (dalam kamus Banjar pun belum ada). “Takalimpapak” artinya sangat terkejut, disertai gerakan seluruh tubuhsecara refleks. “Bakalincuat” artinya bangkit dari berbaring atau duduk dengan segera, bisa karena takut, marah, atau kaget. “Pual-pual” sama dengan “kepul”, seperti orang mengeluaran asap rokok dari mulut. Mungkin masih ada beberapa kata lain yang maknanya tidak langsung dipahami oleh pembaca karena kemungkinan kata tersebut berasal dari dialek atau subdialek yang bukan dialek atau subdialek keseharian pembaca.
Secara bentuk, kata-kata tersebut menunjukan bahwa bahasa Banjar memiliki keunikan. Ada kata (hanya satu kata) yang menjelaskan suatu keadaan yang tidak bisa dipadankan dengan kata lain. Semacam keunikan yang terdapat pada kata “intil” misalnya. “Intil” menurut Kamus Banjar Indonesia berarti letak sesuatu yang hampir jatuh, atau mudah terlihat, mudah diambil orang (Hapip, 2008:62). Ini memperlihatkan kekayaan bahasa Banjar dalam mengemukakan suatu konsep.
 Jika dibaca secara utuh, cerpen “Anja” memberi gambaran tentang salah satu kepercayaan masyarakat Loksado terhadap arwah. Cerpen ini sangat kental nuansa lokalnya. Tidak hanya karena bahasa yang dipakai adalah bahasa daerah (Banjar Hulu) tapi karena memang dalam cerpen ini ditemukan unsur lokalitas yang khas dari masyarakat Loksado. Kepercayaan tersebut mungkin lambat laun tidak akan terjalin lagi dalam kehidupan masyarakat Banjar. Seiring perkembangan zaman, keterbukaan pemikiran dan wawasan masyarakat, peningkatan intelektualitas, kepercayaan tersebut bisa saja akan menghilang. Menghilangnya sebuah konsep akan diikuti dengan hilangnya sebuah istilah.
Jika dibandingkan dengan cerpen “Julak Utam” karangan Dewi Alfianti, masih dalam buku kumpulan kisdap Malam Kumpai Batu, cerpen “Anja” sangat kental bahasa BH nya sedangkan “Julak Utam” terasa lebih mengarah ke bahasa BK nya. Tentu secara ekstrinsik, sedikit banyaknya latar belakang pengarangnya turut mempengaruhi hal ini. Aliman Syahrani, pengarang cerpen “Anja”, lahir di Datar Balimbing Loksado kemudian tinggal di Kabupaten Hulu Sungai Selatan di kota Kandangan sedangkan Dewi Alfianti, pengarang cerpen “Julak Utam” lahir dan tinggal di Banjarmasin.
Berikut kutipan cerpen “Julak Utam” dalam buku kumpulan kisdap Malam Kumpai Batu (2012):
Rambut basulah, muha pina membulat, dahi meneng, pas haja lawan potongan muha bulat nang jua pina putih baminyak…(hlm 86).
Atau kutipan berikut,
Sidin datang, bubuhannya abut wan tumbur-tumburnya. Ada nang bukah-bukah, siapakah tu di bawah. Iwan, nang manyetel lagu rok di higa kamarku mahamuk-hamuk lakas manggemeti tip-nya…(hlm 87).
Kutipan tersebut memuat kata-kata yang dominan terdapat dalam tuturan bahasa BK. Salah satu hal yang utama adalah dalam bahasa BH tidak terdapat vokal “O” dan vokal “e”. Keduanya secara berturut-turut digantikan oleh vokal “u” dan vokal “a” atau “i”.  “manyetel” dan “manggemeti” misalnya, dapat dikenali sebagai bagian dari bahasa BK.
Melalui cerpen berbahasa Banjar, pembaca tidak hanya memperoleh “Banjar” sebagai tempatan atau lokalitas sebuah pengisahan tapi juga memperoleh pengetahuan bahasa Banjar itu sendiri. Mungkin saja terdapat beberapa kosa kata yang sudah tidak dijumpai lagi dalam penuturan sehari-hari, mungkin pula ada kosa kata yang berasal dari sub-subdialek BB yang akan memperkaya khasanah BB. Melalui cerpen, kosa kata dan pemahaman terhadap kosa kata tersebut kiranya dapat dijaga kelestariannya.

D.          Penutup

Suatu bahasa sebagai salah satu identitas suatu masyarakat memiliki kemungkinan akan hilang dari masyarakatnya, terpengaruh arus globalisasi, lalu terbentuklah bahasa-bahasa baru.  Sebagai masyarakat yang lebih dekat dengan tradisi lisan, masyarakat Banjar memerlukan pengembangan tradisi literasi sebagai salah satu upaya pelestarian bahasa. Tradisi yang menyandingkan kegiatan baca dan tulis dalam suasana yang sehat dan kreatif. Keberadaan cerpen dan puisi berbahasa Banjar merupakan salah satu upaya pelestarian bahasa Banjar yang dapat diandalkan.
Meskipun cerpen dan puisi dihasilkan oleh individu-individu pengarang, masyarakat memerlukan peran dan dukungan pemerintah serta berbagai pihak terkait lainnnya untuk menopang upaya pelestarian ini. Pemerintah dapat memfasilitasi penerbitan karya-karya bermutu, lebih daripada itu juga melakukan upaya penyosialisasiannya kepada masyarakat pembaca misalnya dengan mengadakan kegiatan rutin “pembacaan” karya sastra berbahasa Banjar.
Sastra Berbahasa Banjar dengan bentuk puisi dan cerpen dapat diaplikasikan dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Ini disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku pada tiap tingkatan. Ini berarti, pada pembelajaran puisi dan cerpen, siswa-siswa di Kalimantan Selatan tidak hanya mempelajari puisi dan cerpen berbahasa Indonesia tapi juga mempelajari puisi dan cerpen berbahasa Banjar. Sebenarnya selain puisi dan cerpen, bentuk karya sastra lainnya yang dapat dipakai sebagai upaya pelestarian bahasa Banjar adalah sastra berbentuk drama, baik yang tradisional maupun yang modern.  
Selain mata pelajaran Bahasa Indonesia, mata pelajaran Muatan Lokal dapat pula dipakai sebagai upaya pelestarian bahasa Banjar. Baik melalui pembelajaran bahasa Banjarnya maupun melalui pembelajaran seni budayanya yang menggunakan bahasa Banjar sebagai media.
E.           Daftar Pustaka

Afra, Afifah. 2007. How To Be A Smart Writer. Surakarta: Indiva Media Kreasi.

El Husaini, Abdurrahman. 2011. Doa Banyu Mata. Banjarmasin: Tahura Media.

------------. 2012. Jukung Waktu. Banjarbaru: Scripta Cendekia.
Firly, Sandi (Ed). 2012. Malam Kumpai Batu. Banjarmasin: Tahura Media.
Hapip, Abdul Djebar. 2008. Kamus Banjar Indonesia. Banjarbaru:
CV Rahmat Hafz Al Mubaroq.
Tarsyad, Tarman Effendi. 2011. Kajian Stilistika Puisi Sapardi Djoko Damono. Banjarmasin: Tahura Media.


Biodata
Nailiya Nikmah JKF lahir di Banjarmasin, 9 Desember 1980. Aktif di Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Cabang Banjarmasin dan Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Kalimantan Selatan. Sekarang menjabat wakil sekretaris Dewan Kesenian Kota Banjarmasin. Ia bertugas sebagai pengajar di Politeknik Negeri Banjarmasin. Nailiya menulis cerpen, puisi, esai dan novel. Beberapa karyanya yang telah dibukukan adalah Nyanyian Tanpa Nyanyian (Antocer bersama-9 penulis perempuan Kal-Sel), Menulis itu Mudah (esai bersama), Konser Kecemasan (Kumpulan Puisi Lingkungan Hidup/Puisi bersama), Rindu Rumpun Ilalang (antocer sendiri), Kalimantan dalam Prosa Indonesia, Pelangi di Pelabuhan (kumcer bersama FLP), Antologi Bersama-Puisi Religius Indonesia “Para Kekasih”, Ketika Api Bicara (antocer HSU), Senja di Teluk Wandoma (antocer nasional bersama), Malam Kumpai Batu (anto kisdap bersama), Kiat Menulis dan Cerpen Pilihan (bersama penulis HSU). Cerpennya “Mangadap Langit” terpilih sebagai juara harapan III Lomba Menulis Cerpen Bahasa Banjar, Disbudpar. Novelnya Sekaca Cempaka terpilih sebagai unggulan dalam lomba menulis novel dalam rangka Aruh Sastra Kalimantan Selatan 2013.

 *Mengalami penyuntingan setelah disampaikan dalam Dialog Bahasa Daerah Sekalimantan, Banjarbaru 23-24 Oktober 2013.