Kamis, 28 Desember 2017

Arti Piagam dan Piala bagi Anak

12.21 9 Comments

doc pribadi
Setiap piagam, sertifikat, piala, tentu punya arti yang berbeda bagi semua orang  meski pada umumnya sama-sama menyuratkan prestasi-prestasi yang layak dibanggakan oleh pemiliknya. Terlebih jika yang mendapatkannya seorang anak, maka orang tuanyalah yang paling berbangga hati.

Piagam dan Piala Perspektif Keluargaku 
Bagi kami sendiri, benda-benda tersebut selalu membawa cerita unik di sebaliknya. Tentang gigihnya perjuangan, pentingnya giat latihan serta yang lebih penting adalah tetap sportif apapun yang terjadi. Menang tidak sombong, kalah jangan patah. Coba lagi. Itu yang kutanamkan pada anak-anak.
Menanamkan sportivitas pada anak bukan pekerjaan yang gampang. Aku masih ingat ketika anak sulung dan anak keduaku mengikuti beberapa cabang lomba mewakili sekolahnya bersama beberapa temannya. Artinya, selain bersaing dengan orang lain, mereka juga bersaing dengan teman-temannya sendiri. Dan alangkah menyakitkan ternyata, ketika kemenangan diraih oleh teman yang satu sekolah denganmu. Lebih menyakitkan daripada ketika kemenangan diraih okeh utusan sekolah lain. Beragam cara kulakukan untuk menghibur mereka, termasuk menasihati agar tetap sportif, misalnya dengan memberi ucapan selamat pada teman yang menang.
Yang susah itu kalau standar penilaian juri tidak sama dengan konsep yang ada di kepala kita. Namanya lomba, pasti ada menang ada kalah, pasti ada unsure subjektivitas sedikit banyaknya. Ini pernah terjadi ketika anak-anakku ikut lomba puisi dan melukis (bisa jadi aku salah menyikapinya saat itu). Temanya keragaman budaya. Kupikir pastilah konsepnya tentang bagaimana kita berbeda tapi tetap satu. Anakku yang ikut lomba puisi menulis puisi tentang persahabatannya bersama teman beda suku. Sementara anakku yang ikut lomba melukis cerita bergambar memilih melukis kisah Ben Ten yang keliling Indonesia, ke beberapa pulau dengan ciri khas daerah masing-masing (ia sudah melatihnya di tempat kursus). Dari gaya dan teknik anakku melukis, aku yakin dia menang. Paling tidak dapat nomor 3. Ternyata kami keliru. Anakku tidak menang sama sekali. Yang menang justru yang teknik melukisnya masih jauh dari anakku. Tidak berkarakter sama sekali. Aku terbelalak. Sepertinya kami salah konsep. Yang menang adalah yang mengangkat satu saja sisi lokalitas daerah kami. Ya, tidak salah lagi, yang menang rata-rata yang melukis pasar terapung! Itu juga terjadi pada anakku yang ikut cabang puisi. Kalian mau tahu apa yang kuucapkan pada anak-anakku? Kalian kalah bukan karena jelek. Kalian kalah bukan karena kurang latihan. Kalian kalah karena konsep jurinya tidak sama dengan kita. Gambarmu bagus, puisimu bagus. Mari kita rayakan dengan makan-makan (kaya iklan). Meski luka, kuajari anakku menegakkan kepala di depan temannya yang menang. “Beri selamat pada temanmu.” Bahkan kuambil fotonya bersama temantemannya.
Sepanjang jalan aku tahu persis bagaimana kecewanya mereka. Besoknya, kusuruh anakku melukis sebagus mungkin. Kubantu ia membereskan puing-puing hatinya. “Perhatikan, Mama. Gambarmu akan mama kirim ke majalah. Mama akan buktikan gambarmu bagus dan akan lebih berharga di media nasional sana.”

Aku melonjak kegirangan, ketika suatu hari ada sebuah paket dari majalah anak. Paket berisi boneka yang berarti lukisan anakku dimuat! Aku menangis lega. Bagaimana tidak, aku sedang bertaruh dengan ucapanku sendiri. Aku sedang bertaruh dengan harga diri dan kepercayaan anakku. Halaman majalah yang memuat lukisannya kami beri pigura, kami pajang di dinding rumah.
Di lain kesempatan, anakku ikut lomba lagi (tidak kapok). Waktu itu dia pulang membawa piala tapi kok wajahnya tidak ceria. “Kenapa? Kan dapat piala?”
“Ambil saja mama pialanya. Aku kalah kok. Ini piala bohongan, Cuma buat menghibur hati. Semua peserta dapat piala”
Aku tertegun. Bukan piala yang membuat mereka senang. Mereka sudah paham arti kekalahan.
Lama-lama anakku kapok jua ikut lomba. Malas katanya.
***
Sejak kakak-kakaknya malas lomba, si kembar juga tidak pernah kuikutkan lomba. Terus terang aku trauma. Lalu hari itu, TK-nya bekerja sama dengan sebuah rumah makan mengadakan lomba mewarna. Semua anak ikut. Kubilang kita hepi-hepi saja. Seru-seruan. Ternyata kekalahan itupun membuat mereka mengomel sepanjang masa dan bertekad tidak mau ikut lomba lagi hingga takdir berkata lain. Itu terjadi ketika mereka sudah SD.
Inilah cerita keramat itu, jeng-jeng…
“Ma, aku dipaksa guru ikut lomba mewarnai kaligrafi mewakili kelasku. Aku padahal tidak mau” kata kembar 1 sebel.
“Lhaa, kan bagus ikut lomba”
“Malas ah, Ma!”
“Kamu harusnya senang dan bersyukur.” Gumam kembar 2.
“Senang apanya?” Kata kembar 1
“Padahal… aku pengen lho..ikut lomba mewarnai kaligrafi,” gumam kembar 2.
“Lho, kenapa gak bilang ke guru kalau kamu mau ikut?”
“Kan dipilih, Maaa. Aku gak dipilih. Yang dipilih dia” sahutnya sedih.
“Jangan sedih, aku juga gak mau ikut kok!” teriak kembar 1.
Sampai bagian ini aku mulai mengendus sesuatu. Astaga, aku memahaminya sekarang. Kembar 2 sedang sakit hati karena kalah dengan kembarannya sendiri dan kembar 1 tidak mau ikut lomba karena toleransi dengan hati kembar 2. Kalah dari kembaranmu sendiri? Ow, aku memang belum pernah merasakannya. Membayangkannya saja hatiku terasa ditusuk-tusuk duri. Ini harus diselesaikan dengan baik. Tidak boleh ada yang merasa tersakiti tapi setiap anak punya hak untuk maju dan berkembang. Aku memutar otak.
“Ah, mama ada ide. Kamu gantikan dia ikut lomba. Gurumu mana tahu, muka kalian kan mirip”
“Mama, baju kami kan pakai nama?!” seru keduanya.
“Gampang, tuker aja bajunya”
“Mama pikir kami bisa menukar suara dan tahi lalat?” mereka berebut protes menyebut ciri khas masing-masing.
Aku tertawa sambil menutup mulut.
“Lagipula, Ma. Dia terpilih karena memang warnaannya dia lebih bagus daripada aku” ucap kembar 2.
Aku tersentak. That’s the point! Horayy. We did it.
“Bagaimana guru bisa tahu warnaan siapa yang lebih bagus?” tanyaku.
“Kami semua diminta mewarnai lembaran kaligrafi, dikumpul, lalu dipilih yang terbagus” cerita mereka.
“Ooow begitu.” Aku mengangguk-angguk.
“Makanya tadi kubilang harusnya senang dan bersyukur” kata kembar 2.
“Iyaa yaa… Kalau begitu, tugasmu memberi semangat untuknya. Boleh kan saat lomba diberi semangat?”
“Iya..mama benar. Ayo, kamu ikut lomba, aku akan memberi semangat pas kamu lomba nanti” kembar 2 berkata antusias.
Melihat keceriaan kembar 2, kembar 1 berangsur-angsur tersenyum. Baiklah, aku akan ikut lomba besok”
Penasaran dengan hasilnya? Ya, piagam itu jawabannya. Semula kembar 1 ragu dan takut melihat piagam itu. “Aku sebenarnya tidak ingin menang. Aku mewarnanya tidak bagus kok. Aku tidak mau juga piagam ini” aku menatap mata beningnya. Toleransi yang sangat tinggi, Nak.
“Beri bingkai Ma, piagam ini!” kata kembar 2. “Ini kenanganmu lho!” katanya semangat. Aku tahu, itu bukan kalimat basa-basi. Aku tahu dia tulus.
Kembar 1 tersenyum senang. “Tidak usah dipajang. Simpan saja baik baik, Ma”
Tentu aku akan menyimpannya baik-baik. Insya Allah. Piagam itu saksi keberhasilan kembar 1. Eits, bukan. Piagam itu adalah saksi kemenangan mereka berdua karena berhasil melewati satu fase yang nyaris merusak hubungan mereka sebagai saudara dan nyaris menghalangi kemajuan satu sama lain. Kalau boleh aku narsis sedikit…hiks..aku ingin pula mengklaim piagam itu adalah saksi cintaku pada mereka berdua. Boleh kan yaaa? []

Senin, 11 Desember 2017

Selamat Jalan Luka, Selamat Datang 2018

13.26 29 Comments

Selamat Jalan Luka, Selamat Datang 2018
(Resolusi 2018 Nailiya Nikmah JKF)


Aku bukan tipe orang yang suka merayakan sesuatu berlebihan, termasuk tahun baru. Bagiku, tahun baru lebih dari sekadar sebuah perayaan atau pesta. Tahun baru kujadikan sebuah momen untuk menyetting perubahan diri ke arah yang lebih baik. Bukankah terkadang orang memerlukan momen tertentu sebagai pemicu upgrade diri? Kebetulan aku lahir bulan Desember, pas sekali momen tahun baru Masehi sekaligus momen “tahun baru” ku secara pribadi.
Biasanya aku membuat daftar “ini-itu” alias daftar perencanaan untuk tahun mendatang. Aku menuliskannya di buku Diary. Kadang beberapa kutuliskan di kertas yang kutempel di dinding kamar. Kadang, ada juga sebagian kecil yang hanya kucatatkan di langit-langit kamar, di angan-angan dan khayalku (yang ini biasanya sifatnya rahasia).
Sebelum menulis resolusi untuk tahun baru, biasanya juga aku kilas balik tahun yang sudah dijalani. Hal apa yang sudah dicapai, hal apa yang belum. Termasuk hal-hal yang mengganggu otak dan hati, jangan sampai mengganggu kewarasan diri di tahun berikutnya (hehe).

2017 dalam Kenangan
2017 nyaris sama dengan tahun sebelumnya jika saja aku tidak mempunyai anak-anak yang special. Keempat anakku sama spesialnya. Pada 2017, si kembar bermasalah dengan sekolahnya. Kami bahkan sampai harus memindahkan mereka ke sekolah yang lain. Sementara itu, para kakak baru saja memasuki dunia ABG. Dunia kupu-kupu kertas menurut Ebiet G. Ade. ABG kami yang perempuan sedang asyik dengan K-Pop, yang laki-laki sedang asyik dengan kegiatan naik gunung. Keduanya mulai tertarik dengan lawan jenis. Mereka pun sudah mulai suka membantah, melawan dan menolak aturan kami. Sebagai ibu yang merangkap wanita karier, semua persoalan itu cukup membuat hatiku was-was.

2017 adalah tahun kami sekeluarga melek dokter dan rumah sakit. Diawali dengan ayahku yang mendapat serangan stroke yang kedua (serangan pertama tidak kami sadari). Ayah yang selama sakit tidak pernah mau dibawa ke rumah sakit, akhirnya pasrah kami bawa ke rumah sakit menggunakan ambulans. Tepat setelah kami sholat Idul Adha, 5 September 2017, kami sekeluarga (:keluarga besar) membawa ayah ke rumah sakit. Di ruang IGD, kami bahkan berkali-kali ditegur satpam karena kelebihan penjaga. Banyak sekali pelajaran dan hikmah selama ayah sakit. Ayah nyaris terlambat ditangani. Ayah salah minum obat, ayah kena dampak buruk beli obat sembarangan. Ayah kena stroke dua kali! Bukan sakit biasa. Ayah juga kena gangguan ginjal, untung tidak sampai harus cuci darah. Ayah kehilangan memorinya, demensia istilahnya. 14 hari opname, pulang ke rumah 5 hari, balik lagi opname seminggu. Aku berburu buku dan referensi tentang stroke, ternganga-nganga membaca, kadang sambil berderai airmata. Bagaimana aku bisa setolol ini selama ini – gumamku setiap habis satu bacaan. Kami seperti baru ngeh dengan dunia kedokteran dan medis. Intinya, kami melek dokter dan rumah sakit. Aku yang sebelumnya sudah bye-bye dan menyatakan loe-gue end dengan dokter, kembali mencoba menjalin hubungan baik (apa coba).

Belum selesai mengurus ayah, salah satu anak adikku mendapat sakit yang tidak sepele yang membuatnya harus opname juga di rumah sakit yang lain. Kami seperti pontang-panting menghadapi serangan penyakit. Belum lama ke-shock-an kami, anakku yang bungsu bermasalah dengan telinga. Singkat cerita, ia harus operasi pemasangan grommet. Apa itu grommet? Bius total? Oh, aku seperti tersesat di dunia entah. Nanti akan kuceritakan di kesempatan lain. Kata dokter, anakku sering pilek karena alergi. Aku harus menjaganya dari debu, rumah harus dipel setiap hari. Makanan juga harus dijaga. Harusnya aku memasak sendiri makanan untuk anakku. Oh, ini kelemahanku.

2017 bagi karierku: aku mumet urusan jurnal. Cemas tunjangan akan dipotong. Sama saja dengan yang dikeluhkan orang lain. Kadang aku juga merasa berada di tempat yang kurang tepat. Bagi dunia tulis-menulisku, aku merasa tidak banyak kemajuan. Belum bisa membuang luka akibat novelku yang diplagiat orang. Aku juga belum bisa menerbitkan kumpulan puisi seperti yang kutargetkan sebelumnya. Draft novelku belum tergarap juga. Banyak lomba dan acara sastra yang terlewatkan. selain itu semua, ada satu lagi yang menggangguku di 2017. Aku bosan dengan warna lipstikku dan sepertinya aku akan menggantinya.

Resolusi 2018
Nah, karena aku termasuk makhluk multidimensi, di 2018 ini resolusiku kubagi beberapa kelompok:

Dalam Kehidupan Rumah Tangga, aku ingin
  1.  Meningkatkan ibadah kepada Tuhan YME sesuai agama yang kuanut: merutinkan lagi salat Tahajud, salat Dhuha, dan salat sunah lainnya; meningkatkan kepedulian terhadap perkembangan dan hal-hal yang menimpa umat secara global; mengaktifkan lagi One Day One Juz.
  2. Meneruskan pengobatan dan terapi sesuai saran dokter untuk anakku dan ayahku.
  3.  Meneruskan perawatan gigi anak-anakku biar giginya rapi dan sehat (jangan kayak mamanya yang telat merawat gigi,hehe).
  4.  Mencarikan halaqoh untuk anak gadisku.
  5. Mencarikan sekolah menengah atas yang bagus untuk anakku.
  6. Belajar memasak makanan yang sehat. Entah bagaimana memulainya. Aku rasa, harusnya dimulai dengan merenovasi dapur agar dapur lebih cantik (biar semangat masaknya). Aku inginnya dapurku bergaya ala-ala shabby atau kalau tidak, ya..yang simple (dengan tempelan kata motivasi di salah satu dinding dapur).
  7.  Membeli vacuum cleaner agar membantu meringankan pekerjaanku mengusir debu dari rumah yang membuat alergi anakku kambuh. Rumah harus bersih setiap hari, setiap saat. Kalau massih ada budget, pengen juga memperbaharui karpet di ruang tengah yang sudah mulai robek.
  8.  Menata ulang kamar anakku yang kembar agar lebih gampang dipel dan dibersihkan setiap hari. Perabot yang tidak perlu pun disingkirkan. Ini terkait dengan agenda mengepel karena mengepel adalah agenda wajib tiap hari. Hidup mengepel!
  9.  Membeli timbangan berat badan untuk mengontrol berat badan seluruh anggota keluarga (terutama aku yang mulai ditanya orang “Berapa bulan?” – sangkanya aku hamil, efek perut membesar).
  10.  Mengurangi parfum karena anakku bisa saja alergi parfum.
  11.  Membongkar lemari pakaian, mengeluarkan yang harus dikeluarkan (agar bisa diizinkan suami beli yang baru, hehe).
  12.  Membelikan anakku tenda baru yang lebih kecil.
  13. Mencarikan tempat les untuk anak-anakku. Sepertinya ini sudah sangat urgen. (les umum dan agama).
  14.  Mencoba mesin jahit kecil yang sudah lama kubeli.
  15.  Memiliki jadwal keluar jalan-jalan dengan suami.
  16.  Menjalankan olah raga rutin tiap pekan/ syukur kalau bisa ikut kelas senam.
  17. Membeli lipstik baru.
  18. Mengulang kursus menyetir dan mengurus SIM A (menurut ayahku, aku harus mengulang!)

Dalam Pekerjaan/Karierku, aku ingin:
  1. Menulis 3 artikel ilmiah untuk 3 jurnal
  2.  Memperbaiki RPS sesuai buku terbaru dan mengacu profil lulusan
  3.  Menyusun perangkat pembelajaran baru
  4. Menyusun bahan ajar
  5. Mempelajari bahasa Inggris
  6. Mengajar di kampus lain agar ilmuku tidak stag.

Dalam Dunia Tulis-Menulisku (Sastra), aku ingin:
  1. Memaafkan kesalahan orang-orang yang telah melukai hatiku di dunia sastra (walaupun masih luka, tetap berkarya).
  2. Membeli beberapa buku sastra.
  3. Menyunting puisi-puisi di laptop, mencari dan menghubungi editor, proses menerbitkan kumpulan puisiku.
  4. Menulis esai untuk dikirim ke media.
  5.  Membenahi rumah mayaku- Tatirah, mendisiplinkan diri kembali untuk mengisi Tatirah dengan tulisan berkualitas tinggi agar tidak memalukan menjadi member of Female Banjarmasin Blogger (FBB).
  6. Menyeriusi draft novel. Harus serius. H-A-R-U-S.
  7. Mencoba menulis di Wattpad. (ini ikut-ikutan anakku saja sebenarnya).


Nah, demikian resolusiku. Adakah yang sama dengan resolusimu? Jangan-jangan kita bisa kerja bareng? Yuuk… hubungi aku ya! [Nai].

Selasa, 15 Agustus 2017

Jika Nafasmu Masih Puisi (oleh Nailiya Nikmah JKF)

10.59 0 Comments

Jika Nafasmu Masih Puisi
(Nailiya Nikmah JKF)

Jika nafasmu masih puisi
pinjami aku sebait kenangan
agar masih bisa
menengok pantai sandiwaramu
Berjalan dengan kaki telanjang
Bersuka cita meraup desau angin

Senja berkali-kali mengirimi aku kabar buruk
menjelma gema dalam sunyi
Ombak menjadi wajahmu
yang tak pandai menjaga setia
Umpama bayang-bayang tertimpa cahaya

Tidak apa jika aku benar-benar sendiri
Tak perlu sakit hati pada pinus yang tak henti
berbisik tentang pecundang sejati
Permainan baru saja dimulai
Akan tiba masa kita tak lagi bisa
memilih lakon sesuka hati
Bintang laut atau kunang-kunang
semua terlihat sama

Jangan lagi berharap pada sekawanan hujan
Karena derainya kini racun

Bjm, Juli 2017

Rabu, 26 Juli 2017

Hadiah Terindah

23.54 0 Comments

Siang itu aku sedang sibuk memasak di dapur (biasanya sibuk membaca, hehe). Tiba-tiba saja datang salah seorang anakku yang belum genap berusia 8 tahun. "Mama...aku punya hadiah buat mama, tapi bukan kado lho yaaa" ucapnya sambil tersenyum misterius. Anak cowokku ini kalau tersenyum,manis sekali. Kembarannya sedang main di luar.
"Mana hadiahnya?" tanyaku sambil mengaduk masakan di atas kompor.
"Mama sini deh dekat-dekat aku"
"Mana?"
Aku dan dia sudah sangat dekat. Kulihat tangannya kosong.
"Mama nunduk dikit deh"
Aku pun menunduk. Tiba-tiba dia mendaratkan ciuman ke pipiku.
Aih...solihku yang satu ini, so sweet banget.. moga tambah solih ya, Nak gumamku sambil membalas hadiahnya.
"Aku sayang mama,:
"Mama juga sayang kamu"
Kami berpelukan. Waah rasanya itulah hadiah terindah buatku:) kalau kamu??

Senin, 03 April 2017

Momen Pertama Anak Bepergian Tanpa Ortu

09.31 7 Comments

Maafkan, Hari Ini Kami Tak Menemani


Petang itu, si kembar anak bungsu kami yang masih kelas 1 SD berceloteh dengan riangnya. “Mama, kami nanti mau ke Pleihari, melihat gunung, naik bis.”
            Aku terdiam sejenak mencoba memahami. Kupikir itu bisa-bisanya mereka saja. Ternyata keesokan harinya, pihak sekolah mengirimkan surat pemberitahuan resmi tentang kegiatan outbond para murid ke Tambang Ulang (Pleihari) pada hari yang sudah ditentukan (laki-laki dan perempuan pada hari yang terpisah). Di surat itu juga tertera sejumlah uang yang harus kami bayarkan jika ingin mengikutkan anak-anak pada kegiatan tersebut. Kegiatannya tidak wajib tapi aku pikir ini saat yang tepat untuk melatih kemandirian dan keberanian mereka.
            “Aku khawatir. Sebaiknya si kembar tidak usah ikut. Kalaupun ikut, kita harus mengikuti mereka meski dari kejauhan.” Itu komentar suamiku yang tidak aku sangka-sangka sebab biasanya akulah yang suka khawatir.
            “Mereka belum pernah bepergian jauh tanpa kita.”
            “Kita sudah pernah mengajak mereka ke Tambang Ulang, bukan?’ ucapku. “Mereka bahkan sudah mencoba flying fox di sana” aku mengingat setahun yang lalu kami pernah ke sana bahkan menginap satu malam dalam rangka menemani aku yang sedang menjadi pemateri dalam sebuah acara outbond mahasiswa.
            “Justru itu,” suamiku menghela nafas, “Mereka sudah tahu medan. Jangan-jangan nanti mereka memisah dari rombongan, pergi ke danau berdua saja atau apalah…”
            “Yaa nanti kita nasehati dan beri pengarahan supaya mereka tidak macam-macam” jawabku.
            “Apa iya para guru mampu meng-handle anak-anak kelas 1, 2 dan 3 SD tanpa orang tua mereka?” gumamnya. “Sebagian besar dari mereka bahkan belum menikah, belum punya pengalaman mengatasi anak kecil yang sedang aktif-aktifnya.”
            “Lalu?”
            “Kita berangkat dengan mobil sendiri. Diam-diam mengikuti dari belakang” usul suamiku.
            “Trus sampai sana kita ngapain? Ngumpet-ngumpet kaya detektif?”
            Mendekati hari H suamiku malah sedang dikelilingi banyak pekerjaan kantor. Dia menyuruhku mencari tebengan barangkali ada mama-mama lain yang jadi detektif juga. Aku paling malas kalau nebeng-nebeng. Nantilah kita pikir-pikir lagi, kilahku. Suamiku berharap anak-anak sendiri yang membatalkan keberangkatan karena ia juga tidak mau mengecewakan mereka. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya, anak-anak makin semangat untuk ikut.
            “Ma, belikan kami kamera dong!”
            “Iya Ma, kamera yang begantung di leher itu…”
Aku ternganga. Aku baru ingat, dalam surat pemberitahuan terdapat catatan bahwa para murid tidak diperbolehkan membawa telepon genggam tapi boleh membawa kamera.
            “Satu-satu ya Ma.”
            “Buat apa?”
            “Kami hendak berfoto di gunung dengan Umar.”
            “Minta fotokan ustadz saja”
            “Yaah Mama… kan di surat ada bacaannya boleh membawa kamera.”
            “Boleh membawa itu bukan berarti harus membawa, Nak. Boleh itu, yaa boleh. Boleh membawa boleh tidak. Kalau tidak punya ya tidak ada yang bisa dibawa.”
            “Makanya Ma, Mama belikan saja supaya kita punya kamera.”
            “Kalian gak usah ikut saja ya?” bujuk suamiku.
            “Yee Abah, orang mau pergi disuruh gak ikut. Seru tauuu”
            “Ya sudah, kamera gak jadi. Permintaan diganti dengan tas baru.” Ini nih keahlian si kembar, keahlian melobi tingkat tinggi.
            “Maksudnya?”
            “Masak kami ke gunung pakai tas sekolah? Kebesaran tasnya, Ma”
            “Sudah, tidur sana. Nanti besok kesiangan.”
            “Setelah kami tidur, mama diam-diam pergi mencarikan tas ya?
            “Huss. Tidur. Pakai yang ada saja. Tas sekolahmu”
            “Bangunkan jam dua lah, Ma. Nanti ditinggal bis” Hah? Memangnya mau sahur?
            Aku berbaring di antara keduanya. Salah seorang memelukku, “Mama, aku sedih”
            “Hah? Kenapa? Masalah tas baru?”
            “Bukan…”
            “Lalu?”
            “Besok aku tak bisa melihat mama dong”
            Aku memeluknya. “Nanti kan pulang juga? Bisa lihat lagi?”
            Aku tidak tahu siapa di antara kami yang terlelap lebih dulu sampai aku merasa ada yang menggoyang-goyang kakiku.
            “Psst..bangun, ayo bangun. Jangan tidur dulu… Saatnya diskusi. ”
           
***
            Setengah terpejam aku berdiskusi dengan suami. Usai merundingkan plus minusnya keberangkatan anak-anak, kami akhirnya bersepakat bahwa mereka berangkat tanpa ada acara detektif-detektifan. Kami juga bersepakat untuk membelikan tas baru yang ukurannya lebih kecil daripada tas sekolah asal dapat harga yang terjangkau. Pukul sembilanan malam itu, setelah mereka tertidur pulas, aku dan suami keliling Jalan Cemara mencari orang jual tas. Alhamdulillah dapat toko yang menjual tas bagus harga terjangkau. Ke dalam masing-masing tas kumasukkan kudapan yang sudah mereka beli sorenya, satu set baju ganti dalam kantong plastik dan susu kotak.
            Paginya mereka bangun lebih cepat. Salat Subuh, sarapan, mandi, memakai seragam olah raga, mengenakan kaos kaki, sepatu, tak lupa kopiah seragam sekolahnya. Mereka sangat bersemangat, terlebih setelah mengetahui ada tas baru. Aku juga memasukkan kotak bekal berisi mie sayur bertabur abon dan sebotol susu coklat hangat.
            Sambil memakaikan baju aku mengajak mereka ngobrol. “Mama bisa mempercayai kalian berdua, kan?”
            Keduanya menatapku. Aku melanjutkan maksudku,“Kalian tidak akan menjauh dari ustadz dan rombongan. Janji?”
            “Baiklah…kami janji”
“Ini uang masing-masing sepuluh ribu, sesuai petunjuk di surat sekolah” kataku.
“Horee, kami mau jajan nanti di sana
            “Lihat…Mama memasukkan satu set baju ganti dalam kantong plastik ini ke tas kalian. Baju ini hanya dipakai kalau keadaan darurat. Jika tidak darurat, tidak usah ganti baju. Baju kotornya, masukkan dalam kantong plastik ini. Oke?’
Keduanya mengangguk.
“Kalian paham arti darurat?”
“Iya lah, Ma. Basah karena kehujanan misalnya, atau tumpah air minum, atau apakah lagi yang basah-basah”
“Pandai anak Mama...,Oiya, kalian perlu jaket tidak?”
“Tentu!”
Tidak ada suara dari suamiku tapi dengan ekor mataku aku melihat kecemasan di wajahnya. Dia pasti meragukan anak-anak bisa mengganti baju sendiri dan membawa balik baju kotor seperti yang kuinstruksikan. Dia diam saja karena sudah aku wanti-wanti agar tidak mengucapkan segala prasangka yang tidak baik. Lalu tibalah adegan mengharu biru itu.
foto keberangkatan

“Ma…maaf ya, hari ini kami harus pergi tanpa Mama.” Kata seseorang di antara mereka.
“Iya, Ma, Maaf ya hari ini kami tidak bisa menemani mama.” Kata yang lainnya.
“Mama jangan sedih dan bete ya? Mama ngobrol-ngobrol dengan siapakah biar tidak bosan selama kami tidak ada hari ini” mereka saling menimpali. Ada yang mengusap-usap tanganku, ada yang mengusap-usap punggungku.

            Aduh…rasa ada yang nyess di hati. Rasanya, aku yang lebih sering meninggalkan mereka daripada sebaliknya. Iya, ini pertama kalinya mereka pergi ke luar kota tanpa kami. Aku jadi mikir bagaimana rasanya para orang tua yang melepas anaknya dalam waktu lama seperti sekolah di luar daerah. 
Para murid diminta berkumpul di sekolah pukul 06.30. Si kembar meminta kami mengantar bersama para kakak. Dalam perjalanan ke sekolah, aku bertanya, “Ini nanti Mama tunggu sampai bis berangkat atau tidak perlu?”
            “Kayaknya tidak perlu deh, Ma. Nanti kami sedih, takutnya kami menangis melihat mama dari dalam bis” Hehehe..ada-ada saja.
            Saking semangatnya, turun dari mobil mereka lupa membawa jaket. Suamiku mulai menunjukkan kekhawatirannya, “Tu…kan. Baru dari sini saja lupa membawa jaket. Apa sebaiknya jaket ditinggal saja daripada hilang di jalan”
            “Apaan sih,,, tanya anaknya aja, mau pakai jaket atau tidak. Kalau pakai ya kasihkan saja” kataku. Nyatanya mereka memilih membawa jaket kesayangannya. Dalam hati aku sudah merelakan seandainya jaket itu hilang dalam perjalanan agar nanti tidak terlalu kecewa.
            Setelah itu, aku sendirian di rumah. Suamiku dan anak kedua sudah berangkat ke sekolah. Anak pertamaku harusnya libur karena sekolahnya hanya memberlakukan 5 hari sekolah tetapi karena sedang ada tugas dari guru, ia pun pergi juga ke sekolah. Kukira, dengan kesendirian itu aku akan lebih banyak punya waktu untuk mengetik, menulis, dan melakukan hal lainnya yang biasanya aku keluhkan tak bisa lagi kulakukan.
            Nyatanya aku tidak mengetik atau menulis satu katapun. Aku tidak bisa berkonsentrasi. Diam-diam ada cemas yang menjalari pikiran dan hati. Akhirnya aku memilih salat sunat. Sepanjang hari itu aku memilih menyibukkan diri mengerjakan pekerjaan kerumahtanggaaan sambil mendengarkan dzikir pagi-petang dari speaker murottal yang baru kubeli. Aku mengalihkan kecemasanku dalam bentuk menyibukkan diri, mulai menyapu seluruh ruangan, mengepel, mencuci, membenahi lemari pakaian, menyusun ulang koleksi buku dan mengerjakan segala macam kesibukan domestik lainnya. Sesekali aku mengecek handphone. Tak ada apa-apa. Para ustadz tidak ada yang bisa dihubungi. Dalam benakku terngiang kalimat kepala sekolah sehari sebelum keberangkatan, para orang tua nanti akan dihubungi kalau kami sudah sampai.
***

Waktu salat Asar sudah lima belas menitan berlalu. Berkali-kali aku mengecek HP. Belum ada sms, belum ada panggilan. Aku mulai gelisah, mondar-mandir tidak karuan. Kepalaku sedikit pening sehingga aku berbaring di ruang baca kami. Tanganku memegang buku tapi tak satu katapun bisa kucerna. Sampai kemudian HP ku berbunyi tapi setelah kulihat bukan nomor guru anak-anak. Segera kuangkat, terdengar suara santun Ustadz Kha- gurunya anak-anak- dari seberang. Aha! Macam menerima telpon dari pacar saja riangnya hatiku. Anak-anak sudah di sekolah. Kami bergegas menjemput.
Ternyata sebagian anak sudah dijemput. Kulihat si kembar menunggu di tepi jalan depan sekolah sudah mengenakan baju ganti yang kubekali. Kedua guru mereka mendampingi.
“Siapa tadi yang main basah-basahan…” kata wali kelasnya sebelum aku sempat bertanya mengapa mereka memakai baju darurat.
Ramailah anak-anak menanggapi. Mereka berebut bercerita. Setelah ngobrol sebentar, kami pamit pulang. Dalam perjalanan salah seorang memamerkan kartu tanda peserta yang terkalung di lehernya. “Ma, aku punya ini nih coba lihat. Ada namaku di sini” dia tersenyum bangga. Karena di rumah sedang kedatangan adikku sekeluarga, si kembar asyik bermain dengan kakak-kakak dan sepupunya. Aku tahu mereka sebenarnya lelah tapi main adalah urusan paling penting!
Malamnya aku minta mereka masuk kamar duluan. Aku masih sibuk membereskan dapur sehabis makan malam. Kupikir mereka pasti akan langsung terlelap karena lelah seharian ke Tambang Ulang. Ternyata mereka tidak tidur. “Kami menunggu Mama” katanya. Aku jadi merasa bersalah.
“Bagaimana mama hari ini, apakah baik-baik saja?” tanya yang satu.
“Ow…baik, alhamdulillah, luar biasa, tetap semangat, Allahuakbar” jawabku menirukan yel-ye mereka.
“Capek ya Ma cuci-cuci di dapur?”
“Berkas-berkas Mama beres lah?” (mereka menyebut berkas untuk segala jenis bahan yang menghambur di area kerjaku).
Aku hanya tersenyum.
“Kenapa belum tidur?”
“Kami hendak bercerita”
Satu-satu cerita mengalir. Mulai cerita dalam bis. Mereka duduk tidak berdekatan. Ini sebuah kemajuan dalam sosialisasi mereka. Selalu berdua sejak dalam rahim kadang membuat anak kembar menjadi sangat sulit untuk memiliki teman selain kembarannya. Lalu tentang serunya flying fox dan taman labirin.
“Ma, tanduk rusanya sekarang tanbah panjang lho. Nanti kita ke sana ya Ma biar Mama melihatnya”
“Tadi kami jajan sendiri. Ada teman yang tidak bisa jajan, kami yang membelikan. Aduh…capek bolak-balik”
“Oiya, tadi mau menyewa sepeda seperti waktu dulu. Eh, pamannya tidak mau menyewakan sepedanya kepada kami. Katanya kami tidak bisa naik sepeda nanti jatuh. Kok pamannya lupa sih dengan kami.”
“Kalau baju basah ceritanya gimana?”
“Itu…si Imin nyemplung ke danau, dia berenang. Lihai, Ma. Kok bisa ya Imin berenang dengan mudah seperti itu”
“Lalu? Kenapa kalian yang basah?”
“Ya…kami main-main air di tepinya”
Aku menguap sambil membayangkan betapa pegalnya badan para ustadz malam ini. Tentu tidak mudah mengawasi anak laki-laki kelas 1, 2 dan 3 SD di alam terbuka seperti itu.
“Bagaimana rasanya hari ini?” tanyaku sebelum terlelap.
“Sedikit senang…” jawab mereka.
“Kok sedikit?” aneh banget, cerita heboh-heboh kok bilangnya sedikit senang?
“Ya…karena gak ada Mama.”
Anak-anak memang paling bisa deh.
“Ma.. Sabtu depan kita ke sana yuuk.”
Satu tantangan kami lewati dengan hasil sangat memuaskan. Besok, tentu masih banyak tantangan lain yang lebih amazing![]

Rabu, 08 Februari 2017

Serunya Menjadi Bagian Kelas Inspirasi Banjarbaru 2017

15.28 3 Comments
Kala Satu Mimpi Terwujud: Serunya Menjadi Bagian Kelas Inspirasi Banjarbaru 2017





Bertemu Kelas Inspirasi
Hai, aku Nailiya Nikmah JKF. Aku seorang penulis. Selain itu, jalan hidup menuntunku menjadi seorang pengajar di sebuah perguruan tinggi negeri di kotaku. Hari-hari kujalani sebagai seorang ibu, seorang dosen dan seorang penulis. Agak malu juga sih sebenarnya menyebut diri ini penulis. Kadang-kadang masih suka badmood sehingga ada saja alasan untuk tidak menulis. Jangan ditiru ya sisi gelapku. Harusnya kan penulis tiap hari menulis ya? Tak apa lah ya, kan nulis status nulis juga, ya gak? Kali ini aku ingin bercerita serunya pegalamanku mengajar di sebuah SD. Meski satu hari saja, pengalamannya sangat berkesan di hatiku. Satu hari itu, aku berkesempatan merasakan serunya menjadi pengajar SD karena aku bergabung dengan para relawan dalam sebuah program bernama Kelas Inspirasi Banjarbaru (KIBjb) 2017.
Jauh sebelum Pak Anis Baswedan menjadi salah satu calon pada Pilgub DKI Jakarta, aku sudah jatuh cinta dengan program Indonesia Mengajar-nya (bagian  ini sengaja kutulis karena ada saja yang menuduh program KI berbau politik). Ketertarikanku pada program Indonesia Mengajar makin menggebu ketika aku meminjam sebuah buku bertajuk Indonesia Mengajar dari salah seorang rekan kerjaku. Kalau tidak salah, temanku dapat hadiah buku tersebut dari temannya. Nah, dia sendiri belum tuntas membaca bukunya. Membaca buku tersebut membuat aku terkenang pada salah satu impian masa kecilku. Aku ingin sekali menjadi seorang guru di sekolah pinggiran, sekolah-sekolah di daerah terpencil. Sekolah yang atapnya bolong, anak-anaknya tidak bersepatu, fasilitas minim, yah..mirip mirip sekolah Laskar Pelangi. Dulu, waktu SD aku suka sekali menonton serial drama di salah satu tv yang mengisahkan perjuangan seorang guru muda yang mengajar di desa. Kalau tidak salah judulnya Ibu Guru Delima, pemainnya Monica Oemardi. Ini kalau aku tidak salah ingat lo yaaa. Maaf jika aku keliru, hehe. Setiap menonton serial tersebut, aku selalu membayangkan suatu saat aku akan seperti ibu guru Delima juga, mengajar di desa. Ketika aku mengembalikan buku Indonesia Mengajar, temanku bertanya seru tidak bukunya. Seru banget, jawabku. Aku pengen deh ikut jadi guru di program tersebut. Yaa...tapi ingat kenyataan juga sih. Persyaratannya tidak mungkin bisa aku penuhi. Aku kan sudah menikah dan sudah tidak muda lagi (ini kata anak-anakku) hehe.
Dan ...Beberapa tahun berlalu setelah aku meminjam buku tersebut adalah hari ini!
Suatu hari aku menerima pesan melalui WA dari seorang kenalan sesama komunitas penulis di Kalimantan selatan tapi beda kota. Namanya Rima. Kaka...tertarik ikut ini gak? Yang penulis belum ada, katanya. Kubaca pesan yang dia kirim. Kelas Inspirasi Banjarbaru. Kubaca buru-buru pesannya. Sedikit-sedikit aku mulai memahami apa itu kelas inspirasi. Singkatnya, Kelas Inspirasi merupakan  sebuah program yang menghadirkan para profesional ke sekolah-sekolah dasar untuk mengajar tentang profesinya masing-masing selama satu hari . Aku berteriak kegirangan. Ini mirip dengan Indonesia Mengajar, pekikku dalam hati. Tak apalah cuma sehari. Lagipula kalau lama-lama mana mungkin juga aku bisa meninggalkan tugas domestik sebagai ibu RT, bisa-bisa anak-anakku pada demoJ Belum ngisi link nya, aku langsung konfirmasi aja ke nomor WA koordinatornya. Namanya Jida. Lalu aku menghubungi Rima lagi, eh ternyata harus ngisi link pendaftaran dulu. Hehe, aku terlalu bersemangat. Ada data diri yag harus diisi lengkap dengan media sosial yang kita miliki. Ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab, diantaranya apa motivasi ikut, apa yang akan dijelaskan, kesediaan cuti sehari, kesediaan menghadiri briefing sebelum hari inspirasi, dan kesediaan ditempatkan di sekolah mana saja di Banjarbaru. Aku tidak akan lupa pada bagian “hal apa yang akan disampaikan”, aku tulis begini nih: Manusia bisa mati tapi tulisan akan abadi. Terakhir disebutkan bahwa para pendaftar yang diterima atau lolos seleksi akan dihubungi pada 10 Januari 2017.
Hari berlalu. Tidak sabar menunggu tanggal 10. Ketika 10 Januari tiba, aku deg-degan. Lolos tidak, ya? Dari pagi aku mengecek handphone melulu. Belum ada pesan masuk dari panitia. Mungkin siang pikirku. Siang berlalu berganti sore, tak ada juga kabar yang kunantikan. Sampai tiba waktunya aku menjemput anak sulungku dari sekolah untuk kemudian langsung membawanya ke dokter karena ia sedang ada sedikit masalah pada gigi. Di perjalanan aku bercerita bahwa aku gagal menjadi relawan KIBjb karena tidak mendapat sms. Ketika sedang mengantri di dokter, handphone ku bergetar. Ada pesan masuk. Selamat Anda terpilih sebagai relawan dalam kegiatan KI Banjarbaru yang akan dilaksanakan Tanggal 23 Januari 2017. Anda diundang untuk briefing bersama seluruh relawan, panitia dan perwakilan sekolah pada tanggal 15 Januari 2017 di Aula BP-PAUD DIKMAS KALSEL Banjarbaru pukul 08.30-12.00 mohon konfirmasi kehadiran ke : xxxxxxxxxxx Alhamdulillah, betapa girangnya aku.
Panitia kemudian mengirimkan file modul kegiatan untuk dipelajari sebelum hari briefing. Membaca modul tersebut aku menjadi sedikit panik. Oh, programnya ternyata tidak main-main. Ada contoh format lesson plan, contoh strategi mengajar, dan panduan lainnya. Intinya bagaimana memberi wawasan kepada siswa tentang profesi kita sendiri. Aku membayangkan betapa mudahnya dokter mengenalkan profesinya dibanding aku yang penulis. Bagaimana tidak, dokter dengan menggantungkan steteskop saja di lehernya sudah bisa dikenali profesinya. Apalagi kalau mereka memakai jas putihnya dan membawa jarum suntik, hehe...  Akupun mencari ide dari Om Google dan pergi ke toko buku. Ada salah satu tulisan di sebuah blog penulis yang juga merasakan hal yang sama denganku ketika menjadi relawan KI. Membacanya aku sedkit terhibur. Aku juga membaca beberapa buku tentang mengajar anak SD. Akupun akhirnya menemukan ide untuk dituangkan dalam lesson plan. Tentu saja formula yang kutuangkan dalam lesson plan aku uji coba dulu pada anak-anakku sendiri. Dari situ aku bisa memperbaiki, menambah dan mengurangi. Panitia mem-follow akun Ig-ku. Aku balik mem-follow. Eh, ternyata ada KI Banjarmasin, kota tempat aku tinggal. Sesaat aku sempat tertegun, mengapa aku harus jauh-jauh ke Banjarbaru kalau ternyata ada di Banjarmasin? Detik berikutnya aku segera tersadar. Tak ada yang kebetulan, bukan? Aku yakin, Tuhan sudah memilihkan aku KI Banjarbaru.
Hari briefing tiba. Aku bangun penuh semangat. Kukenakan kerudung baru biar lebih semangat lagi (hahh, bagian yang ini gak nyambung ya?). Aku diantar oleh suamiku beserta keempat anakku yang tak pernah mau ditinggal di rumah. Mereka mau saja didesak-desak untuk bergegas siap-siap padahal itu hari Minggu, hari mereka bersantai. Aku tidak mau datang terlambat. Udara dingin karena hujan yang mengguyur Banjarmasin tidak menghalangi kami untuk berangkat sesegera mungkin. Sepanjang jalan kami ditemani nyanyian hujan. Agak susah menemukan gedung lokasi acara  karena sebelumnya kami tidak pernah ke sana. Anakku menggunakan GM. Setibanya di tempat acara, kulihat panitia sedang memasang spanduk di gerbang utama. Peserta yang lain belum datang. Di meja registrasi aku mendapatkan kartu tanda pengenal dan pin KI. Eh, kok ada tulisan www.indonesiamengajar.org yaa di bagian bawahnya.  Panitanya semua ramah-ramah dan masih muda-muda. Setelah Rima, aku disapa oleh Jida. Orangnya cantik, ramah dan penuh semangat. Jida mengingatkanku pada Yunisa, mahasiswaku dulu di D4 yang sekarang sudah lulus S2. Melihat Jida dan kawan-kawan, aku optimis banua bisa maju. Kulihat ada seorang pemuda berbaju kaos jingga dan rompi bertuliskan Indonesia Mengajar. Sebenarnya aku ingin menyapanya tapi aku merasa terlalu tua untuk itu (hihi...:)) sejam kemudian aku menyesal tidak melakukannya. Ternyata dia guru muda dalam program Indonesia Mengajar. Namanya Dikun. Ia berasal dari Palembang dan ditempatkan di Loksado. Dia salah satu pemateri di hari briefing. Dari materi yang ia sampaikan aku baru tahu, ternyata KI adalah turunan dari program Indonesia Mengajar. Pantas saja ada tulisan Indonesia Mengajarnya. Betapa bahagianya aku ketika mengetahui hal itu. Itu artinya, salah satu impianku terwujud!
Setelah menerima materi, kami para relawan dibagi menjadi tiga kelompok karena untuk program KI Bjb hanya mendatangi tiga sekolah dasar negeri. Aku termasuk dalam kelompok SDN Palam 3. Di kelompokku ada Abhel sang psikolog, ada Deddy ahli gizi, Karina ahli transportasi sekaligus dosen, Dwi yang enterpreuner, Alfian nurse, Sudais, Andry, Effendy, Rizka, Tiara, Elvin, Said. Kami berasal dari tiga kategori yaitu inspirator yang tugasnya mengajar, fotografer dan videografer.  Oiya selain kami, dalam grup tersebut ada juga fasilitator, mereka adalah Ina alias Sauqina, Hajidah, dan Rima. Jida sang koordinator juga ada lhoo. Di hari briefing tidak semua bisa datang. (Nanti di hari inspirasi ada juga yang akhirnya tidak bisa datang karena erbagai alasan). kami mendiskusikan rencana untk hari inspirasi. Pertama-tama setelah dikenalkan oleh Ina sang fasilitator kelompok Palam 3, kami memilih ketua kelompok. Karena yang paling keren itu Kak Abhel, jadilah dia yang kami tunjuk jadi ketua. Selanjutnya komunikasi terjalin melalui grup WA. Aku bersimpulan bahwa dalam timku banyak orang yang lucu dan menyenangkan. Kelak simpulanku salah lho. Ternyata mereka tidak lucu tapi lucuuu pakai bingits. Oiya, Seharusnya ada observasi ke sekolah sebelum hari H dan ada rapat keompok tapi aku tidak bisa ikut. Aku hanya bisa membaca hasil rapatnya di grup WA. Aku mendapat giliran dari pukul 08.30 di kelas 1 2 3. Hari inspirasi adalah hari Senin. Jadi, kami bakalan ikut upacara bendera di sekolah. Aku jadi sentimentil, terkenang masa indah waktu jadi murid yang tiap senin pagi ikut upacara bendera. Aku ingin upacara di sekolah lagi....
Hari inspirasi tiba. Aku bangun lebih awal meski malamnya begadang menyelesaikan persiapan media untuk mengajar. Kesepakatannya, semua anggota tim Palam 3 berkumpul di kampus FK ULM Banjarbaru pukul 06.30 karena pukul 07.00 harus sudah ada di sekolah. Semua perlengkapan kumasukkan dalam totebag pink kesayangan termasuk botol minum seperti yang diinstruksikan oleh fasilitator kami tercinta. Anak pertama dan kedua sudah kubangunkan sebelum azan Subuh. Setelah menyiapkan sarapan untuk mereka, aku segera mandi.  Anak-anak sudah tahu bahwa hari itu ayahnya tidak bisa mengantar mereka ke sekolah karena harus segera mengantarku ke Banjarbaru. Sebagai gantinya, ada ojek langganan yang akan menjemput dan mengantar ke sekolah. Mereka sarapan dengan tertib. Kudengar irama hujan di atas genteng. Dingin menyusup ke tulang. Kupilih terusan hitam dengan rompi sasirangan pink. Kupikir-pikir dengan rompi lumayan untuk mengurangi rasa dingin karena aku merasa tidak pas kalau memkai jaket. Masuk kawasan Banjarbaru, perutku melilit. “Kamu pasti sakit perut karena gugup” celutuk suamiku. “Santai aja kenapa sih”. Aku mengiyakan.
Dari FK aku ikut mobil Rina cantik ke SD Palam 3. Yang lain bersama Psikolog keren Abhel. Ina, fasilitator kami yang tangguh memilih naik motor. Sementara yang lain sebagian sudah berada di lokasi lebih awal. Sepertinya tim kami yang paling sedikit jika dibanding dua tim lainnya. Ini sesuai saja sebenarnya dengan jumlah murid di SDN Palam 3. Setelah semua datang, kecuali Said yang katanya ada sedikit rintangan, kami meluncur ke sekolah. SDN Palam 3 Banjarbaru lokasinya melewati Danau Seran. Kamu cari di google aja ya apa itu Danau Seran. Sayangnya, kami tidak menyempatkan diri untuk mampir ke danau itu. Tiba di SDN Palam 3 aku disergap susana asri dan tentram. Halamannya luas, banyak pohon, jadi rindang. Karena hujan, kami tidak jadi upacara. Sayang sekali padahal aku sudah kepingin banget upacara di SD. Tahap pertama perkenalan tim kami di kelas 1 2 3 yang di gabung dalam satu ruangan. Ketua tim sempat mengajari anak-anak yel-yel tepuk semangat. Agak kesusahan awalnya. Bayangkan mereka masih imut-imut sekali.  Ketika ketua tim melakukan opening dengan bertanya apa cita-cita mereka, murid-murid ramai menjawab. Mau tahu apa cita-cita mereka? Jadi, cita-cita murid-murid kelas 1 2 3 adalah dokter, polisi, tentara, guru. Itu saja semuanya sama. Eh, ada satu yang beda, mau jadi koki. Oh...belum ada yang ingin jadi penulis saudara-saudara. Lalu ketua kami menyambangi aku. “Kamu dapat kelas 1 2 3 kan ya? Penulis kan ya? Gimana kira-kira? Apa mau ditukar aja dengan kelas 4 5 6?” Rina pun menawari aku tukar kelas dengan dia. Aku menimbang sejenak lalu memutuskan untuk tetap di kelas 1 2 3. Baiklah, jadi misiku sangat jelas, ngasih tahu ada satu kosakata lagi untuk dijadikan pilihan masa depan mereka, yaitu penulis!
Penulis itu...orang yang mencatat, ya?

Ini ceritaku pas action.
Pertama-tama aku mengenalkan nama, lalu profesi. Waktu kutanya apa itu penulis, murid-murid bingung mau menjawab apa. Ada beberapa yang menjawab “Orang yang suka nulis; orang yang mencatat sesuatu; orang yang mengajar; orang yang membuat buku” semua jawaban kubenarkan. Aku hepi banget kelas tidak sepi.
Selanjutnya aku menambah beberapa penjelasan sesuai yang sudah kurancang dalam lesson plan meski ada bagian-bagian yang harus aku improv. Apa itu penulis, di mana mereka bekerja, apa manfaat penulis bagi orang banyak dan seterusnya. Aku mengeluarkan dua bukuku dari totebag pink. Ini contoh buku kaka yang sudah terbit dan ada yang dijual di toko buku. Kutanyakan siapa saja yang suka dan pernah ke toko buku dan ke perpustakaan. Banyak tangan yang mengacung. Dua bukuku kupersilakan untuk mereka lihat, sentuh dan baca sekilas. Ada kumpulan cerpen Rindu Ilalang dan satunya lagi novelku Sekaca Cempaka.  Lalu aku mengeluarkan beberapa buku dongeng klasik seperti Cinderella, Putri Salju, Putri Duyung, Gadis Tudung Merah. Buku-buku tersebut berkeliling dari tangan ke tangan.
“Kok semuanya putri-putrian yaa? Gak ada yang cowoknya kah?” tanya seorang murid laki-laki.
 Aku memekik pelan, “Ah iya...benar kamu. Ini ada buku yang bergambar anak cowok, ditulis oleh anak cowok juga. Ini buku puisi.” Aku mengeluarkan buku puisi karangan Abdurrahman Faiz.
Selanjutnya aku mengeluarkan lagi satu buku yang masih berbungkus plastik bening. Murid-murid penasaran.
“Naah...ini contoh buku yang masih baru. Lihat belum dibuka plastiknya. Sekarang kita buka yaaa.” Mungkin karena gambarnya kartun mereka lebih semangat melihatnya.
Mereka boleh memegang bukunya satu-satu. “Oiya,  buku ini ditulis oleh anak-anak dari berbagai kota. Yang dari Banjarmasin juga ada, lho. Ini nih yang cowok, yang namanya Ihda” kataku. “Coba lihat, anak-anak ini tidak bertemu satu sama lain tapi karya mereka berkumpul dalam satu buku, terus bukunya beredar di seluruh Indonesia. Jadi banyak anak yang bisa mengetahui cerita yang mereka tulis. Siapa yang mau begini? Tulisannya dijadikan buku macam begini. Siapa mau?”
Murid-mrid berdengung seperti lebah. Tangan-tangan mungil mengacung.
“Sekarang...kita latihan membuat buku yaaa,” ajakku.
Murid-murid antusias. Kubagikan kertas warna-warni yag sudah kusapkan untuk mereka menulis di dalamnya. Semula aku membagi 10 calon buku kecil  itu yang berwarna pink. Kubagi satu satu. Ketika aku mengeluarkan yang biru dan hijau, murid-murid maju menyerbu. Ibu...aku mau pink, aku yang hijau, aku yang biru. Anak-anak itu berdesakan di sekelilingku. Aku sedikit kaget. Mahasiswa mana ada yang berkerumun begitu demi memperebutkan kertas hvs berwarna yang sudah diolah menjadi bentuk buku tipis. Ada rasa yang tak dapat dijelaskan indahnya ketika anak-anak itu mengerubungi aku. Rasa yang belum pernah kudapatkan di tempat kerjaku selama ini.
Sesudah kupastikan semua murid memegang satu media dariku, akupun menyampaikan apa yang harus dilakukan oleh mereka. Di lembar sampul, kuinstruksikan mereka agar menulisi namanya. Ada yang bolak balik menyamperi aku sekadar bertanya betul atau salah yang ia tulis. Selanjutnya mereka kuminta menuliskan perasaan meraka masing-masing pada halaman berikutnya. Tentu saja dengan kalimat yang sederhana. Semua mengasyikkan hingga tak terasa waktuku habis, aku sampai diperingatkan oleh ketua tim. Aku harus gantian dengan inspirator lain. Kok sebentar ya? Perasaan aku baru melakukan bang! Untuk opening kok sudah harus berakhir sampai di sini... L Mau lagi, kakaks, hiks.
Waktu jeda kupakai untuk membantu inspirator lain pada bagian-bagian yang mereka memang memerlukan bantuan. Selebihnya, aku berkeliling seputar area sekolah sambil sesekali membayangkan aku adalah guru di sekolah itu. Asyik kali,ya? Selama berkeliling tentunya mataku bekerja dengan baik. Ya, barangkali ada bahan buat dijadikan ide cerpen atau novel. Dasar penulis! Tuing! Ide pun muncul.  Menurut pengamatanku, sekolah memiliki  satu area toilet yang sudah memadai. Area tersebut mempunyai 6 bilik toilet murid yang terletak di belakang sekolah bagian kanan. Tiga toilet untuk laki laki, tiga  toilet perempuan, berhadapan tiga tiga. Masing –masing dibagi untuk kelas 1 dan 6 satu toilet, 2 dan 5  satu toilet, serta 3 dn 4 satu toilet (sori kalau salah nulisnya). Air mengalir deras dari kerannya. Oiya tiap kelas ada fasitas untuk cuci tangan. Aku juga sempat ngobrol dengan guru mata pelajaran Agama. Bapaknya ramah sekali. Dari perbincangan kami aku mendapat informasi berapa jumlah guru, guru tetap dan guru honor, sedikit tentang dana BOS, dan yang paling penting nih, informasi tentang adanya lahan untuk bercocok tanam atau berkebun di belakang sekolah. Ada kacang dan tanaman lainnya. Murid dan guru yang menananmnya. Beliau mengajak kami berkeliling. Aku juga sempat menengok sebentar ruang perpustakaan sekolah. Setelah itu aku menuju kantin yang terlatak di kanan depan sekolahan. Aku memebeli  sepiring kecil bihun dan segelas teh hangat, totalnya Rp3.000,00 saja. Jajanan anak SD negeri la yaaa.  Lumayan buat mengganjal perut. Semula aku hendak beli nasi goreng tapi sudah habis. Sambil makan aku mengobrol dengan si ibu penjual dan beberapa murid yang beli. Ibu penjualnya sangat ramah dan santun. Rasanya semua orang di sekolah tersebut ramah-ramah deh.
Sesi terakhir, murid menuliskan nama dan cita-citanya pada pohon harapan. Setelah  itu, murid-murid kami minta membuat cap tangannya pada spanduk yang sudah disiapkan oleh timku. Cat warna dituang dalam piring-piring plastik berjejer di samping spanduk. Sebelumnya, murid yang memakai baju lengan panjang satu –persatu lengan bajunya kugulungi, mereka tak sabar ingin membuat cap tangan di spanduk. Selesai membuat cap tangan, satu satu mereka kami arahkan untuk cuci tangan. Semua dilakukan dengan tertib karena dikondisikan untuk mengantri dengan berbaris panjang sesuai kelas.  Ada saja yang sempat menangis diganggu oleh teman di barisan belakangnya...biasalah namanya juga anak-anak. Sementara itu para fotografer dan videografer sibuk mengabadikan momen demi momen. Beberapa kali kami membuat foto bersama. Kurasa timku penuh kehebohan. Orangnya pada ngocol semua. Ada yang tak luput dari ingatanku ketika sesi foto-foto. Ayo, semuanya yang ceriaaa kata salah seorang inspirator. Eh, suasana yang tadinya sudah ceria malah berubah sepi mencekam beberapa detik, lalu seorang murid bertanya, “Yang ceria itu yang bagaimana?” nah, lho!  Eh, ada lagi yang asyik nih. Anak kelas 1 dan 2 kan pulangnya lebih awal. Eh setelah dipulangkan oleh guru, ada 4 atau 5 anak yang masih bertahan di sekolah, sepertinya mereka masih betah dengan kami. (Maafkan jika agak sombong sedikit di bagian yang ini. Hehe).
Sesi yang beneran terakhir adalah say good bye dengan anak-anak dan pihak sekolah. “Kakak...besok datang lagi ya?” pertanyaan murid-murid membuatku terharu. Bener banget kata Ka Dikun di sat briefing: Hati-hati aja, kalau sudah sekali mencoba jadi relawan, awas nanti bisa ketagihan. Aku Pengen lagi...![] Nai