Jumat, 19 Desember 2014
ROMANSA TANAH BASAH
Kepada
Hulu Sungaiku
berterima kasihlah pada hujan pagi ini
gemericiknya menaruh harapan
pada huruf-huruf di ujung jemari
biarkan sebaris kenangan
menyertai aku yang musafir
Sayang, engkaulah
makna yang tak habis kupahami
api yang tak bisa kupadam-padam
rindu yang tak mampu kubunuh-bunuh
di jalan sunyi tak bernama
engkau melambai-lambai
seperti tangkai mawar ditimpa hujan
akankah kaupanggil aku kekasih
hujan
sedang langit sebentar lagi benderang
lalu tinggal tanah basah
Banjarmasin
Utara, Juni 2013
ROMANSA TANAH BASAH 2
Puisi Nailiya Nikmah JKF
mengapa kauresahkan musim yang
tak kunjung berganti
tidakkah kaudengar
banyak nada tercipta di antara daun-daun kering
apa perlunya memaknai seluruh janji
lagunya takkan terganti
tanah ini akan terus menabur harap
pada kenangannya
di menit pertama sehabis hujan pagi-pagi
(Flamboyan, 2014)
Senin, 20 Oktober 2014
Waktu mendengar ada kurikulum baru yang akan diterapkan di sekolah-sekolah, aku tidak terlalu "ngeh" karena toh aku bukan guru. Aku mulai "wake up" ketika tiba hari UTS di sekolah anakku. Aku kesulitan memahaminya. Kubuka buku pegangan yang dipakai di sekolahnya, aku mencari TIU dan TIK, mencari standar kompetensi dan kompetensi dasarnya, akupun mulai panik. Ternyata aku harus mempelajarinya walaupun aku bukan guru sebab anak-anakku kalau mau ulangan, belajarnya harus dengan aku. BAgaimana ini, besok anak-anakku sudah UTS dan aku belum selesai mempelajari buku berkurikulum baru. Ini salahku, harusnya aku tidak secuek ini. Apa boleh buat, aku pasrah.
Syukurlah, pulang sekolah anakku bilang UTS ditunda minggu depan. Oh, Terima kasih Tuhan. TAk henti aku mengucap tahmid. Aku semangat lagi. Aku pergi ke toko-toko buku. Kusurvei buku-buku yang berlogo kurikulum 2013. sampai aku menjatuhkan pilihan pada dua buku untuk kubeli. Inilah bekalku untuk sementara.
Besoknya, suamiku datang membawakan referensi kurikulum baru. Tebalnya minta ampun. Aku garuk-garuk kepala. Berasa jadi mahasiswa FKIP kembali:) Padahal, suer aku hanya seorang ibu yang ingin anaknya bisa lancar dan sukses ketika ulangan. Baiklah, aku akan belajar lagi. Untuk kalian, anak-anak:)
Syukurlah, pulang sekolah anakku bilang UTS ditunda minggu depan. Oh, Terima kasih Tuhan. TAk henti aku mengucap tahmid. Aku semangat lagi. Aku pergi ke toko-toko buku. Kusurvei buku-buku yang berlogo kurikulum 2013. sampai aku menjatuhkan pilihan pada dua buku untuk kubeli. Inilah bekalku untuk sementara.
Besoknya, suamiku datang membawakan referensi kurikulum baru. Tebalnya minta ampun. Aku garuk-garuk kepala. Berasa jadi mahasiswa FKIP kembali:) Padahal, suer aku hanya seorang ibu yang ingin anaknya bisa lancar dan sukses ketika ulangan. Baiklah, aku akan belajar lagi. Untuk kalian, anak-anak:)
Hujan dan Kenangan Tiga Lelaki (Celotehku Tentang Buku Nun, Kota (di) Tanah Rawa
Nailiya Nikmah
13.54
1 Comments
HUJAN DAN KENANGAN TIGA LELAKI
Oleh Nailiya Nikmah
JKF
Terbitnya
buku Kumpulan Puisi Nun, Kota (Di) Tanah Rawa (Juni 2014) yang memuat
puisi-puisi tiga lelaki asal Kalimantan, yaitu Sandi Firly, Hajriansyah dan M.
Nahdiansyah Abdi menambah deretan buku kumpulan puisi yang ditulis oleh para penyair
asal banua. Buku tersebut memiliki
sampul yang didominasi warna kuning, warna yang erat dengan kesakralan budaya
Kalimantan Selatan. Separuh buku ini berisi kata pengantar yang ditulis oleh
penyair Micky Hidayat. Lumayan banyak untuk sebuah kata pengantar. Hal ini
menyiratkan betapa terbitnya buku kumpulan puisi tersebut adalah sesuatu yang
dipandang sangat berharga oleh Micky Hidayat.
Buku
tersebut pernah pula diulas oleh Sumasno Hadi dari sudut pandang filsafat yang
dimuat secara bersambung di harian Media Kalimantan. Sumasno Hadi membagi-bagi
pokok pembahasannya berdasarkan tiga nama penyairnya, sama seperti yang
dilakukan oleh Micky Hidayat dalam pengantarnya terhadap buku ini. Pembagian
seperti ini menyiratkan bahwa ketiga penyair tersebut adalah tiga pribadi yang
sudah memiliki “posisi” masing-masing di mata publik sehingga agak sulit bagi
pembaca untuk memandang puisi-puisi tersebut secara independen sebagai sebuah
puisi (tanpa melihat siapa penulisnya). Sulit untuk membaca “Hujan Bulan
November” misalnya, tanpa mengaitkannya dengan posisi Sandi sebagai seorang
penulis prosa. Begitu juga dengan puisi-puisi dua penyair lainnya.
Hal
tersebut sejalan dengan dengan pendapat Maman S. Mahayana yang menyebutkan bahwa
memberi kebebasan seluas-luasnya kepada pembaca tidak berarti mematikan
pengarang. Secara faktual, benar teks sudah terlepas dari diri pengarangnya.
Tetapi secara kultural, teks itu tetap menyimpan ruh kultural pengarangnya.
Puisi
merupakan genre sastra yang paling unik. Entah itu puisi lama, entah itu puisi
baru (modern). Terlebih puisi modern yang tidak terikat dengan baris dan larik
seperti yang terdapat pada puisi lama. Kata-kata menjadi permainan indah di
tangan para penyair. Hal yang rumit bisa menjadi sederhana dalam sebuah puisi.
Sebaliknya hal yang sederhana bisa menjadi ‘wah’ dalam sebuah puisi. Hujan
salah satunya. Fenomena alam ini bagi sebagian orang adalah hal yang biasa
namun bagi sebagian yang lain ia merupakan fenomena alam yang spesial.
Dalam
kumpulan puisi NK(d)TR, hujan adalah salah satu hal yang istimewa. Setidaknya,
ia menjadi istimewa karena tiap penyair menyertakan puisi tentang hujan dalam
kompilasi tersebut. Baik yang menggunakannya sebagai judul puisi maupun yang
menggunakannya sebagai bagian dari isi puisi. Hujan Bulan November ditulis oleh Sandi (hlm 54), Rumput bulan April; Kenangan ditulis
oleh Hajri (hlm 78), UntukMu ditulis
oleh M. Nahdiansyah Abdi (hlm 92). Berikut puisinya,
Hujan Bulan November
Puisi Sandi Firly
Hujan kali ini mengingatkan aku
pada basah rambutmu
tanah yang menguap sehangat pipimu
juga kopi sore hari
senyummu, selalu seperti gerimis ini,
rinai dan kupetik menjadi kembang gula
Kucari denting langkahmu pada aspal
yang mengkilap sehabis hujan
itu seperti baru saja terjadi
kaki kecilmu berlari jauh
memecahkan genangan air
di kolam hatiku
Pandangi hujan kali ini
dan rasakan deru angin rindu
yang kukirim dari lembah tersunyi
tempat yang dulu pernah kita singgahi
November 2008
Rumput Bulan April;
Kenangan
Puisi Hajriansyah
Hujan april tak semeriah kejutanmu
Daun dan kembang menari di jendelaku
Kita berdua berhadapan, tapi tak saling
berpandangan
Ya, bukankah kita telah sama lelah
Menguraikan kenangan jadi rumputan
UntukMu
Puisi M. Nahdiansyah Abdi
Hujan membekas di hatiku
penuh rasa iba dan dingin
Buru-buru puisi ini kubikin
hidup menderaku sambil membanyol
18022001
Mari
kita bicara keunikan tiga puisi ini. Pertama, ketiga puisi ini memiliki bait berurutan dari
angka terbanyak hingga tersedikit yaitu, 3, 2, dan 1. Puisi Sandi 3 bait, puisi
Hajri 2 bait dan puisi Nahdi 1 bait. Bisa jadi ini ada hubungannya dengan
“posisi” mereka di luar perpuisian. Sandi sebagai seorang novelis (yang
cenderung menulis lebih banyak kata), Hajri seorang cerpenis dan Dian seorang
esais.
Kedua, kecuali puisi Nahdi, puisi ini
mengaitkan hujan dengan bulan tertentu. Sandi mengaitkannya dengan November
sedangkan Hajri dengan April. Dalam konteks pembagian musim di Indonesia,
tidak ada yang istimewa dengan hujan bulan November karena pada bulan tersebut
memang musim hujan. Inilah pertanyaan awal ketika memasuki gerbang puisi hujan
Sandi. Ada hal
spesial apa di hujan bulan November?
Sementara
Hajri memilih hujan di bulan April sebagai baris pertama puisinya. /Hujan april
tak semeriah kejutanmu/…. Pemilihan lirik tersebut sebagai baris awal puisi ini
mengundang tanya di benak pembaca. Haruskah hujan April meriah? Meriah apa yang
dimaksud oleh penyair? Bulan April termasuk bulan yang bukan musim hujan di Indonesia.
Artinya, memang hujan di bulan ini adalah sesuatu yang jarang terjadi. Lalu ada
apa dengan kejutan di bulan April? Mungkinkah yang dimaksud penyair adalah
kejutan semacam April Mop? Jika ya, maka hujan tersebut memang sangat tidak
seru.
Berbeda
dengan Sandi dan Hajri, Nahdi tidak menyebutkan secara tersurat hujan di bulan
apa yang sedang ia tuliskan dalam puisinya. Akan tetapi, pembaca masih dapat
menafsirkan dari catatan kecil di bawah puisi. Berdasarkan catatan kecil
tersebut dapat diketahui puisi ini ditulis pada 18 Februari. 4 hari setelah
orang-orang merayakan hari kasih sayang. Hari yang didominasi warna pink dan
bentuk-bentuk hati. Hanya saja, sama dengan April Mop, hari yang satu inipun
bukan budaya yang melekat pada Hajri dan Nahdi sebagai masyarakat Kalimantan Selatan
yang kental nilai-nilai islaminya. Barangkali inilah pengaruh interaksi
keduanya dengan budaya-budaya luar.
Ketiga, puisi-puisi tersebut bicara tentang penyikapan
mereka (para lelaki) terhadap kenangan dan hal-hal yang berkaitan dengan
komunikasi. Hal ini dapat ditelusuri dari pembacaan ketiganya.
Benarkah
hujan di bulan November tidak istimewa?
/Hujan
kali ini mengingatkan aku pada basah rambutmu/…. Demikian tulis Sandi. Inilah jawaban
pertama tentang istimewanya hujan bulan November. Begitu banyak kenangan aku
lirik yang terjadi ketika hujan. November kerap disambangi hujan. Alangkah
perih yang dirasakan aku lirik karena pada bulan itu ia kerap pula disambangi
kenangan tentang seseorang yang sekarang sudah tidak lagi bersamanya. Begitu
lekat kenangan yang ia miliki sehingga seakan-akan semua itu baru saja terjadi.
Hujan
membangkitkan kenangan dan kenangan yang pertama kali diingat aku lirik adalah
fisik orang yang dirinduinya dalam hal ini rambut. Berturut-turut kemudian
pipi, bibir (yang diungkapkan dengan ‘senyum’) dan kaki. Ini mengingatkan kita
pada pandangan bahwa laki-laki lebih banyak menilai perempuan dari fisiknya.
…//Pandangi
hujan kali ini/ dan rasakan deru angin rindu /yang kukirim dari lembah tersunyi/.
Kutipan ini memperlihatkan bahwa aku lirik mencoba berkomunikasi kembali dengan
seseorang yang dirindukannya. Ia berharap kesunyian yang ia rasakan juga dapat
dirasakan oleh seseorang itu. Sandi berupaya membangun monumen kenangan.
Kenangan yang tidak bisa dilupakan, kenangan yang menurut aku lirik harus juga
dipahat oleh seseorang yang sudah berlari jauh.
Pandangan
Hajri jauh berbeda tentang kenangan dalam puisi Rumput bulan April; Kenangan. Keadaan yang datar, monoton, menjadi
sesuatu yang ingin disampaikan dalam puisi ini. //Ya, bukankah kita telah sama
lelah/ Menguraikan kenangan jadi rumputan//. Baris terakhir puisi Hajri
memperjelas situasi. Jika Sandi sangat asyik dengan kenangannya, Hajri justru
merasa lelah dalam kenangan. Hajri menyampaikan kejujurannya tentang yang ia
rasakan. Ia berharap sesuatu yang lebih dari sekadar kenangan.
…//Daun
dan kembang menari di jendelaku/…. Hujan yang jatuh menimpa tetanaman membuat
daun dan kembangnya terlihat seperti menari. Daun dan kembang selalu
berpasangan. Puisi ini bicara tentang ‘keharusan’ berpasangan. Bahwa sebuah
hubungan harus tetap dipertahankan, seburuk apapun keadaannya. Tidak sedikit
pasangan yang mengalami hal seperti ini.
…/Kita berdua berhadapan, tapi tak saling/ berpandangan//.
Dalam teori komunikasi, kontak mata merupakan hal yang penting untuk
tercapainya komunikasi yang efektif. Bahkan, kontak mata juga menjadi indikasi
kejujuran karena salah satu ciri orang berbohong adalah menghindari kontak mata
dengan lawan bicara. Kutipan tersebut menyiratkan tentang pasangan yang bersama
tapi dalam kebersamaannya tidak terjalin komunikasi yang efektif. Bisa jadi
karena masing-masing menyimpan kebohongan. Ini adalah tentang harapan untuk
bisa memaknai kembali arti kebersamaan. Sebab apalah artinya bersama tanpa
komunikasi yang baik.
Nahdi
memiliki pula kenangan dalam hujan. Ia begitu hemat dengan 1 bait untuk bicara
kenangan dan hujan. /Hujan membekas di hatiku/, /penuh rasa iba dan dingin/,
/Buru-buru puisi ini kubikin/, /hidup menderaku sambil membanyol.
Bagi
Nahdi, hujan membekas di hatinya. Hujan yang membekas dalam hati adalah
kenangan. Aku lirikpun menjadi melankolis, penuh rasa iba dan dingin.
Perasaan-perasaan sendu, haru-biru yang oleh orang zaman sekarang disebut
‘galau’ dialami aku lirik. Akan tetapi, berbeda dengan Sandi dan Hajri, entah
mengapa, Nahdi tampak ‘jual mahal’. Ia seperti merasa perlu buru-buru
mengalihkan kesenduannya. Nahdi seakan-akan mencoba menyampaikan aku tidak cengeng seperti yang kaukira. Aku bisa cepat melupakanmu. Ini terlihat
dari kata ‘buru-buru’. Sayang sekali, Nahdi gagal menunjukkan ‘kekuatannya’.
Pengalihan yang ia lakukan justru makin memperjelas betapa ia masih merasakan
kesenduan itu. … /Buru-buru puisi ini kubikin/…. Nahdi menuliskan kenangannya
menjadi puisi. Tidakkah menuliskan kenangan menjadi puisi adalah mengabadikan
kenangan itu sendiri? Bisa jadi, Nahdi sengaja menipu pembaca. Bisa jadi pula,
Nahdi yang tertipu oleh kenangannya sendiri. Deraan hidup yang dijalani Nahdi,
baik suka maupun duka, baik serius maupun lelucon, semuanya sejatinya takkan
mampu membuat Nahdi menghapus hujan(:kenangan) dalam hatinya.
Satu
hal yang menjadi misteri dalam puisi ini (jika ini bukan kesalahan teknis) adalah
penggunaan huruf m besar pada judul UntukMu. Apakah Mu di sini dimaksudkan Nahdi merujuk pada Tuhan karena menurut
ejaan yang benar, UntukMu yang merujuk pada Tuhan seharusnya ditulis Untuk-Mu. Seandainya
Mu di sini dimaksudkan sebagai Tuhan,
maka inilah bentuk komunikasi Nahdi pada penciptanya. Inilah pengaduan singkat
Nahdi kepada Tuhannya, bahwa ia makhluk yang lemah. Yang salah satu kelemahannya
itu muncul ketika menghadapi ‘kenangan’.[]
Menanti hujan di Flamboyan, Oktober 2014
*Dimuat di Media Kalimantan, 19 Oktober 2014
Senin, 13 Oktober 2014
5 Tahun Menjadi Mamanya Si Kembar
Oleh Nailiya Nikmah JKF
Hari ini, 13
Oktober 2014 si kembar genap berusia 5 tahun. Itu artinya sudah 5 tahun 9 bulan
aku diamanahii-Nya menjaga sepasang anak laki-laki yang istimewa. Aku
menyebutnya istimewa karena memiliki bayi kembar semula dalam pikiranku adalah
hal yang sangat jauh dari kemungkinan akan kualami (mustahil). Sungguh aku
harus menambah keyakinanku tentang tidak ada yang mustahil di dunia ini jika
Allah berkehendak.
Lebih dari 5
tahun yang lalu, ketika anak pertamaku berusia 5 tahun dan anak keduaku berusia
4 tahun, aku merasa hidupku sudah lengkap. Anak pertama perempuan yang cantik,
anak kedua laki-laki yang ganteng. Mereka sudah pula kusekolahkan di sebuah TK
yang menurutku cukup bagus masih di kawasan kecamatan kami tinggal. Aku tiap
hari berangkat kerja, begitu juga suamiku. Aku rutin menulis, mengikuti
organisasi, semua terasa sudah berada pada level “aman” setelah tahun-tahun
sebelumnya aku harus menghadapi berbagai rintangan rumah tangga yang tidak
mudah.
Maka, ketika ada
yang menawari kami untuk membeli tanah di sebuah kawasan prospektif, aku pikir
tidak ada salahnya kami mencobanya. Hitung-hitung sebagai simpanan. Tempatnya
di luar kota,
dekat dengan bandara. Pemandangannya cukup bagus. Pada hari yang ditentukan,
kami mendatangi lokasinya. Aku masih ingat, hari itu aku dan suami naik motor,
membawa kedua anak kami. Hitung-hitung rekreasi. Banyak ilalang di sana. Mengingatkanku pada
rencanaku membukukan kumpulan cerpen RRI (kelak, akhirnya RRI terbit).
Di perjalanan
pulang, entah kenapa kami merasa sangat haus dan lapar. Kami mampir di warung
pinggir jalan masih kawasan tanah yang kami beli. Penduduk setempat
ramah-ramah. Aku mserasa berada di Hulu Sungai. Gorengan dan minuman yang
dijual juga mengingatkanku pada masa kecilku di Hulu Sungai. Ada minuman panta tapi bukan Fanta yang
seperti sekarang lhoo.
Pulang dari sana aku selalu ingin
mencari makanan yang (kadang) aneh. Gorengan ala Hulu Sungai, Panta ala masa
kecilku, dan sore itu tiba-tiba saja aku pengen makan buah ketapi pake kecap
lombok. Kata suamiku sekarang lagi tidak musim ketapi. Pas ia pulang kampung,
ia berhasil mendapatkan buah ketapi yang masih kecut dan aku memakannya dengan
lahap pake kecap lombok. Aku juga mengeluhkan badanku yang masih saja
pegal-pegal habis pulang dari lokasi tanah yang kami beli. Kupikir karena
jaraknya yang lumayan jauh untuk kami tempuh pakai motor. Aku juga merasa
kulitku jadi kusam gara-gara terpapar matahari hari itu. Akupun membeli
suplemen kulit yang mengandung Vitamin E. Anehnya setelah mengonsumsinya aku
merasa sangat mual. Akupun menghentikannya. Akupun ingat, biasanya kalau mual
dan pegal seperti ini tanda aku mau datang tamu bulanan. Lalu aku mencoba minum
ramuan pegel linu kemasan yang dijual di mini market dekat rumahku. Aku juga
berpikir, dengan minum ramuan itu, mungkin haidku bisa cepat keluar agar
pegelku juga berakhir. Sayangnya tidak berhasil juga.
Lama-lama
suamiku curiga. Ia mulai menghitung sudah berapa lama aku telat. Ia mencoba
menghubung-hubungkan keinginan-keinginan anehku terhadap makananan dan minuman
akhir-akhir ini terutama ketapi pake kecap lombok. Ia menyuruhku membeli alat
tes kehamilan. Jangan mengada-ada,
bantahku. Aku tidak hamil, kok. Cuma lagi mau dapet haid aja. Tapi aku
tetap membelinya untuk menyenangkan hati suamiku.
Subuhnya, masih setengah ngantuk,
aku mencoba alat tersebut pada urine yang kutampung di wadah kecil. Mataku
langsung melek melihat dua garis merah yang begitu cepat muncul di alat mungil
itu. Aku hamil?!? Anak ketiga?
Besoknya aku
memborong susu Ibu Hamil. Mulai membuka-buka lagi buku-buku kehamilan. Lalu
menyampaikan berita ini kepada keluarga besar. Semua senang. Aku teringat
tahun-tahun tersebut harusnya aku sudah mengurus kepangkatan fungsionalku ke
3C. Setahuku persiapannya tidak semudah waktu fungsional 3A. Aku mengelus
perutku dan aku menjadi pening. Aku memandangi motor butut suamiku. Aku
menghibur hatiku, pasti akan tambah seru naik motor bersama tiga anak.
Di bulan keempat
kehamilanku, aku masih beraktivitas seperti biasa. Toh ini kehamilan ketiga,
aku sudah pegalaman dua kali hamil. Semua lancar dan aman saja. Kupikir untuk
anak ketiga ini aku tidak perlu tiap bulan ke dokter spesialis kandungan.
Periksa di bidan puskesmas saja cukup. Hitung-hitung berhemat. Aku juga sempat
iseng mikir. Anak pertama sudah perempuan, anak kedua sudah laki-laki. Artinya
aku sudah tahu akan menghadapi anak yang ketiga ini seperti apa. Sudah
pengalaman, gitu loh.
Pagi naas itu,
aku dibonceng suami. Kami ada keperluan keluar rumah. Entah kenapa motor yang
dikendarainya terpeleset, kami jatuh di perempatan jalan. Ia panik menanyaiku
berkali-kali apakah aku baik-baik saja. Kurasa tidak ada yang perlu
dikhawatirkan. Besoknya, ada flek darah di celana dalamku. Kamipun khawatir.
Malamnya aku ke dokter kandungan. Rupanya doketr tersebut masih ingat denganku.
Ia terperanjat karena aku hamil lagi (:2 kali melahirkan, aku selalu
bermasalah). Waktu kubilang ada flek, dokternya agak cemas. Ia pun melakukan
USG.
“Lho, lho…kok,
jantungnya ada dua ya?” gumamnya. Aku bingung. Apa maksudnya jantung ada dua.
Apakah bayiku mengalami pembelahan jantung gara-gara aku jatuh. Ataukah bayiku
ada kelainan jantung?
“Coba ibu dan
bapak lihat, itu yang berdenyut-denyut, ada dua, nah..itu..itu jantungnya..”
katanya sambil menunjuk layar. Aku tidak terlalu jelas melihatnya.
“Bayi ibu
kembar” sambungnya.
Kembar? Aku
diamanahi bayi kembar???
“Ibu sebaiknya
rutin USG,…”
Aku tidak
menyimak lagi. Aku hanya sedang mikir, ada maksud apa Tuhan kali ini? Bahagia,
senang, cemas, takut, semua bercampur aduk. Anak kembar! Aku akan punya anak
kembar, bukankah itu istimewa? Tapi itu artinya aku harus belajar lagi. Dimulai
dari buku menyususi anak kembar, merawat anak kembar, memberi nama anak kembar,
membeli perlengkapan bayi kembar, bagaimana anak kembar sekolah, psikologi anak
kembar, oooh banyak sekali yang harus kupelajari. Bagaimana urusan kantorku?
Dan, sejak
insiden berdarah itu, aku tidak boleh naik motor sendiri lagi. Akupun menjadi
tergantung dengan suami. Sungguh menyebalkan menggantungkan diri dengan orang
lain. Pulang kerja nunggu suami dulu padahal pinggang dah capek berat. Aku
mulai blues gitu. Kalau makan, porsinya dua kali lipat ibu hamil biasa. Makan
bakso semangkok gak berasa. Makan bingka sebijian sendiri aja. Makan anggur 1
kilo belum puas. Sebentar-sebentar aku lapar. Berat badanku naik drastis. Anehnya
waktu USG bulan-bulan berikutnya dokter bilang anakku beratnya masih kurang.
Mungkin nanti akan diinkubator setelah lahir. Kelahirannya sendiri, menurut
dokter bisa saja normal karena posisinya bagus saja keduanya. Akupun tidak
ingin cesar. Aku paling takut cesar.
Tibalah hari
itu, ketika ciri atau tanda melahirkan sudah nampak. Kami pergi ke rumah sakit.
Sampai bukaan lengkap sikembar tidak ada yang mau keluar duluan. Rasa sakit
luar biasa sudah menjalariku. Akhirnya diputuskan untuk cesar. Aku takut tapi
rasa sakit mengalahkan rasa takutku. Aku ingin bayi-bayiku segera keluar dengan
selamat. Suami dan orang tuaku panik karena kami tidak menyiapkan untuk cesar.
Mencari tapih bahalai saja baru hari
itu. Aku tidak ingat apa-apa lagi, terakhir yang kulihat para perawat dan
dokter yang menyiapkan operasiku.
Aku menggigil
kedinginan. Ketika kubuka mata aku sudah di ruangan rawat inap. Keluargaku
ramai, semua hepi terhadap kelahiran bayi kembarku. Aku pikir, tidak ada yang
peduli dengan rasa sakit yang kualami. Oh, rupanya baby blues mulai
menjangkitiku. Aku berusha duduk tapi semua berputar-putar. Akupun diperiksa.
Tes hb, tensi. Ternyata hb ku sangat rendah. Tensiku juga. Menurut dokter aku
harus tambah darah, 4 kantong. Aku takut. Seumur hidup aku belum pernah
transfusi darah. Pihak keluarga segera mencarikan donor darah yang cocok
denganku. Aku mendapat donor darah dari 4 orang yang berbeda. 3 orang masih
keluarga dekat ibu, 1 orang teman ayahku. Semuanya laki-laki.
Bayi-bayiku
alhamdulillah normal dan sehat, laki-laki keduanya dengan berat masing-masing
3kg dan 2,6kg. Kembar identik, satu tembuni saja. Pantas agak susah keluar
normal. Tidak ada yang perlu masuk inkubator. Tidak ada yang akan tertinggal di
rumah sakit, justru akulah yang masih harus menjalani perawatan.
Menyusui bayi
kembar sekaligus ternyata hanya gampang dibaca di buku tapi tidak gampang untuk
dijalani. Apalagi ditambah suara-suara sumbang di sekitar kita yang akan
menyurutkan langkah. Aku bersyukur ada adikku yang selalu memotivasiku tentang
ASI. Ah, memberi ASI adalah perjuangan yang paling berat bagi seorang ibu setelah
melahirkan. Bahkan mungkin lebih berat daripada proses melahirkannya itu
sendiri. Apalagi bagiku yang selalu jatuh sakit setelah melahirkan. Apalagi
setelah aku masuk kerja kembali.
Banyak hal yang
sudah kami jalani selama 5 tahunan ini. Banyak cerita sebenarnya. Mungkin cukup
dulu untuk kali ini. Yang pasti, jika ada yang bertanya padaku, “Sudah punya
anak?”, waktu kujawab ya dan ada 4, rata-rata mereka tidak percaya. Badan kecil
gini anaknya 4? Hehe.
Selamat ulang
tahun yang ke 5 anak-anakku, semoga jadi anak yang soleh, kuat, sehat, disayang
Allah, calon penghuni surga, berguna bagi umat. Amiin… Terima kasih, Tuhan,
telah memberiku kepercayaan sampai detik ini. Insha Allah aku akan terus
belajar menjadi ibu yang baik, mengantarkan anak-anakku ke gerbang kesuksesan
mereka, dunia akhirat.
Sabtu, 11 Oktober 2014
Di Balik SC
Oleh Nailiya Nikmah JKF
Oleh Nailiya Nikmah JKF
Novel Sekaca
Cempaka kutulis berdasar banyak kisah nyata di samping imajinasiku tentunya.
Sudah lama aku ingin menulis novel. Beberapa ide sempat kutulis beberapa
halaman, kutinggalkan. Kutulis, kutinggalkan. Selalu begitu. Sampai muncul ide
SC ini, aku merasa harus menuntaskannya. Ada
banyak rindu yang memenuhi hati. Aku ingin mengabadikannya dalam bentuk sebuah
novel.
Aku membiarkan
rindu ini mengalir tapi tidak untuk novelnya. Novel ini harus ada muaranya.
Novelku harus selesai, kali ini. Aku tidak ingin main-main. Aku ingin total
dalam berkarya. Akupun riset ke kampungku, Hulu Sungaiku. Separuh jiwaku di sana. Sepenggal kisahku di
sana. Aku harus
ke sana. Di
kunjunganku yang pertama, sialnya aku tak mendapatkan yang kucari. Aku
membutuhkan sesuatu, semacam deadline agar novelku selesai. Sebenarnya ada sih,
aku sudah janji pada seseorang akan menghadiahkan novelku di hari ulang
tahunnya. Lebai juga ya. Kayak sangkuriang saja. Berani menjanjikan sesuatu
yang sulit. Dan lebainya lagi, di halaman ke-20, file-ku terkena virus. Hilang.
Jadilah aku ngetik dari awal.
Aruh Sastra
ke-13 akan digelar di Banjarbaru. Aruh Sastra itu adalah ajang sastra paling
keren di Kalimantan Selatan, bahkan mungkin di dunia, hehe…. Baru kali itu ada
cabang lomba menulis novel. Biasanya lomba nulis puisi dan atau cerpen saja. Sebagai
penganut aliran “tidak ada yang kebetulan”, aku makin memantapkan niatku untuk
menulis novel. Ini yang kubutuhkan sudah ada. Aku butuh deadline, bukan? Inilah
deadlinenya. Akupun mengajukan proposal alias izin nulis novel kepada suami dan
anak-anakku. Bagaimanapun, aktivitas menulis novel pasti akan mempengaruhi
kualitas dan kuantitas pengabdianku pada mereka. Kusampaikan visi misiku,
teknis, rencana, hingga deadline lomba. Seperti biasa mereka selalu
mendukungku. Sangat mendukung. Saking mendukungnya, dulu di awal rencanaku
ingin punya novel, pernah pada suatu hujan yang deras, kami berempat naik motor
saja ke Hulu Sungai (waktu itu belum punya mobil).
Separuh dari
batas halaman minimal sudah kuketik. Tiba-tiba aku didera keraguan. Banyak hal
yang menyurutkan langkahku. Di tengah malam aku terkaget-kaget, suamiku
membangunkanku. “Ayo, ketik novelmu. Lanjutkan, lanjutkan!” Aku yakin, tidak
ada suami lain macam dia di dunia ini. Membangunkan istrinya tengah malam
“hanya” untuk menulis novel! Aku juga mengontak beberapa kawan di Hulu Sungai
untuk memperoleh beberapa informasi penting sehubungan isi novelku.
Lalu, datanglah
cobaan itu. Salah satu anakku sakit parah. Aku tambah ragu menyelesaikan novelku.
Sempat terpikir, mungkin ini bukan deadlineku yang sebenarnya. Lagi-lagi
suamiku menyuruhku menyelesaikannya. Masalahnya, lanjut atau tidaknya kisahku
bergantung pada beberapa hal yang untuk mendapatkannya aku harus riset
lapangan, tidak bisa tidak. Aku harus kembali ke Hulu Sungai. Bagaimana aku
bisa meninggalkan anakku yang sakit? Kata “operasi” mungkin cukup untuk
menggambarkan seberapa parah penyakit anakku.
Saat itu
menjelang Ramadhan 2013. “Pergilah, biar anak-anak denganku. Setelah kaudapat
yang kaucari, pulanglah. Setelah itu baru kita pikirkan rencana operasi anak
kita” itulah keputusan suamiku. Yang kami khawatirkan, setelah operasi, aku
tidak akan bisa kemana-mana lagi. Dengan berat hati aku berangkat. Aku tidak
membawa baju ganti. Niatnya semalam-malamnya, aku pulang hari itu juga.
Setelah sholat
subuh suamiku mengantarku ke Pal 7. Tempat angkutan umum biasa mangkal. Hari
masih gelap. Kami pilih-pilih angkutan. Karena aku berangkat sendiri, aku tidak
bisa sembarangan milih angkutan. Mobil colt berplat kuning tujuan Hulu Sungai
menjadi buruan kami. Selain aku, ada seorang ibu paruh baya yang juga menunggu
angkutan tapi dia mau ke Martapura saja. Entah mengapa hari itu agak sulit
mencari angkutan. Ada satu mobil dengan tiga penumpang laki-laki
semua yang tampangnya seperti orang habis mabuk. Tentu saja aku tidak berani
naik. Ibu itupun melarangku naik. Syukurlah tidak lama ada mobil tujuan Hulu
Sungai yang penumpangnya lebih meyakinkan. Di Banjarbaru beberapa penumpang
lain menambah ramai mobil tersebut. Di persimpangan, ternyata kami harus ganti
mobil sebab mobil yang kami tumpangi ternyata ke Barabai. Aku agak cemas karena
sudah lama tidak bepergian sendiri.
“Ganti mobil,
lah Ding. Tu ada yang ke Amuntai” Kata Dek Sopir. Ia, Dek Sopir, sebab aku
yakin sopir itu jauh lebih muda daripada aku. Mungkin tampangku yang imut
membuat ia mengira aku lebih muda daripada dia.
Di angkutan yang
kedua itu ada seorang penumpang yang mengajakku ngobrol, “Sekolah di mana,
Ding?” tanyanya.
Ya ampun, dia
pikir aku anak Madrasah apa? Aku pandangi baju yang kukenakan, rok hitam,
kerudung hitam, baju kemeja batik hijau, memang salahku juga, aku seperti anak
sekolahan.
“Ulun sudah
tidak sekolah,” jawabku.
“Oh…sudah kuliah
kah?” tanyanya lagi.
Aku benar-benar
malas melanjutkan pembicaraan. Aku takut kalau-kalau dia bermaksud jahat. Aku
hanya menggeleng, berharap dia tidak lagi menanyaiku. Nomor hp temanku
berkali-kali kuhubungi. Aku sms dia apakah aku berada di jalan yang benar.
Angkutan yang kutumpangi ini angkutan dalam kota, alur yang dia pilih bukan alur yang
biasa aku tempuh.
Aku lega sekali
ketika sampai di terminal Palampitan. Ojek ramai menawarkan diri. “Tidak, ulun
sudah dijemput,” tolakku. Untunglah sahabat baikku bersedia menjemputku. Dia
berjanji akan membantuku selama riset.
“Oh, dia sudah
dijemput kakaknya, tuh,” Kata Pak sopir.
Aku garuk-garuk
kepala. Masa sahabatku dia bilang kakakku.
Ternyata
informan yang aku perlukan saat itu sedang berada di Martapura! Malam baru
datang. Terpaksa aku harus menginap. Lagi-lagi aku harus berterima kasih pada
sahabatku ini. Aku tidak berani menginap di hotel sendirian. Jadilah aku
menginap di rumahnya. Hikmah lainnya, aku lebih banyak waktu. Aku berbincang
dengan para pengarang bunga, aku juga akhirnya jadi mendatangi Hapingin. Negeri
bunga-bunga. Di bawah gerimis, berkali-kali aku merapalkan puisi cinta.
Begitulah, esok
siangnya aku baru pulang membawa sehelai puisi yang menyusup dalam
perjalananku. Puisi yang begitu harum. Seharum negeri bungaku, Hapingin. Tentu
saja membawa serta tekad yang berkibar “novelku harus selesai.”
Ini adalah foto aku dan sahabatku bersama dua orang informanku, pengarang bunga dari Bayur. Di atas meja tampak kuntum-kuntum bunga kenanga.
Rabu, 08 Oktober 2014
Media Kalimantan, 7 Okt 2014 |
Suatu Malam di Sidang Pembaca
Catatanku Tentang
Diskusi Novel Sekaca Cempaka
Oleh Nailiya Nikmah JKF
Aku sangat
berterima kasih pada sidang pembaca yang bersedia hadir di malam diskusi novel
Sekaca Cempaka (SC), Jumat, 5 September 2014 pukul 20.30 Wita. Acara yang
digawangi oleh Harie Insani Putra dkk (Bubuhan Onoff Solutindo) tersebut
berlangsung di Aula Pustarda Banjarbaru. Malam itu peserta tidak hanya dari
Banjarbaru dan Banjarmasin
tapi datang juga peserta dari Martapura dan Hulu Sungai (Barabai, Kandangan,
Amuntai) serta Tanah Bumbu dan Kotabaru. Peserta tidak hanya sastrawan prosa,
para penyair (puisi) pun datang. Beberapa komunitas teater dan seni ada hadir.
FLP Banjarbarupun mengirim utusannya. Sang fotografer, salah satunya, Yulian
Manan pun tidak ketinggalan.
Acara dimoderatori
oleh Sainul Hermawan, dosen Unlam yang tulisan-tulisannya kerap mejeng di koran
(kritikannya itu lhooo, terasa sampai ke hati hehe.) Moderator membukanya
dengan menyampaikan bahwa Aruh Sastra Kalsel 2013 telah berlalu namun malam ini
kita kembali mengingatnya dengan dua hal, yaitu novel SC karya Nailiya Nikmah
JKF sebagai Unggulan dan Dewi Alfianti sebagai pemenang lomba Menulis Esai.
Pemateri adalah
Aliman Syahrani (sastrawan asal Hulu Sungai Selatan) dan Dewi Alfianti (Dosen
Unlam). Tiga orang yang namanya kusebut ini kuyakini sudah membaca SC dengan
baik. Mereka menyampaikan pemaparan dari kaca mata masing-masing. Diskusi
dimulai segera tidak lama setelah aku datang karena para pembicara sudah hadir
lengkap. Dewi membawakan esainya yang sebelumnya terbit di Media Kalimantan, Sekaca Cempaka dalam Perspektif Feminis
Kritis.
Yang mendebarkan
adalah sesi diskusi. Komentar, kritikan, pertanyaan, saran, dan lainnya dari
peserta diskusi membuat aku ber-o panjang dalam hati. Niatku semula untuk “diam
mendengarkan saja” menjadi terlupakan. Akupun tidak tahan hati untuk tidak
menjawab komen-komen tersebut.
Aliman Syahrani
menganggap alur ketika anak Nurul sakit dan Nurul membawa anaknya ke rumah
sakit adalah bagian yang kurang penting.
Andi Syahludin
menanyakan apakah penulis pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga; apakah
penulis pernah merasakan tinggal di tengah-tengah lingkungan laki-laki; apakah
penulis pernah punya teman yang pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga. (Andi
Sahludin lebih dari satu kali berkomentar). Menurutnya, poligami bukan hal yang
khusus terjadi di Hulu Sungai melainkan bisa terjadi di mana saja.
Hajriansyah
memaparkan tanggapannya setelah membaca SC dari BAB belakang. Ia menghargai
upaya penulis dalam melakukan riset kecil-kecilan sebelum menulis SC.
Iberamsyah
Barbary menanyakan di mana letak islaminya novel SC karena ada label NI. Mana
nilai-nilai islaminya. Ia juga memaparkan pengetahuannya tentang bunga cempaka
dalam botol.
Datang
bersama Aliman seorang sastrawan dari Kandangan yang mengingatkan kita pada
Boerhanuddin Soebly. Beliau memaparkan pembacaan-pembacaan sastra yang pernah
beliau baca.
Seorang
mahasiswa dari Darussalam Martapura memaparkan konsep islami yang mungkin
muncul dalam karya sastra islami.
Yang menyenangkan
juga adalah diskusi tersebut dihadiri oleh dua orang juri lomba menulis novel
Aruh Sastra Kalimantan Selatan 2013,
yaitu Randu Alamsyah dan Sandi Firly. Menurut
Randu, ia
mengunggulkan SC dibanding novel satunya (saingan SC dalam lomba tersebut). Ia
mengatakan bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang setia karena itu sulit
untuk move on.
Hatmiati Masy’ud,
penulis cerpen perempuan dari HSU memaparkan tentang alasan laki-laki menikah
lagi tidak lain hanya sebgai pembuktian dirinya. Dia juga memaparkan tentang
bunga cempaka dalam botol yang menjadi kerajinan khas dari Amuntai. Selain itu
Hatmiati bercerita tentang “misteri” perempuan Hulu Sungai yang mampu memikat
hati lelaki.
Budi
Kurniawan menyampaikan apresiasinya. Ia juga menanyakan mengapa bunga cempaka
yang dipilih. Benarkah cempaka khas Kalimantan?
Sandi Firly
menyayangkan mengapa dalam diskusi tersebut penulis terlalu ngotot tentang
adanya bunga dalam botol tersebut. Ia lebih melihat bagaimana teknik
penceritaan yang baik yang seharusnya dilakukan oleh penulis novel.
Apapun yang
mereka sampaikan, bagiku keindahan. Tidak ada yang lebih indah selain ketika
karya kita diapresiasi, dikritik, dibicarakan. Syukur-syukur jika dari situ ada
sesuatu yang dibawa pulang oleh peserta dan pembaca lainnya. Thanks, all. Begitu
banyak komen lain yang ingin kudengar sebenarnya. Ada Nahdiansyah Abdi di
ruangan itu, ada HE Benyamin, ada Ali Syamsudin Arsy, ada Zian Army Wahyufi,
ada Maulana Usaid, ada Syam Indra Pratama dan yang lainnya. Mereka kukenal sebagai
pembaca-pembaca kritis juga. Sayang mereka tidak menyampaikan sepatah katapun.
Lain waktu barangkali, semoga….[]
*Larut malam,
sebelum memejamkan mata aku bertanya padanya, adakah kata-kataku yang salah di
acara tadi?
Kamis, 04 September 2014
Foto OSD dari internet |
Hijab yang Keren Itu
Oleh Nailiya Nikmah JKF
Katanya hari ini hari hijab sedunia. aku pengen nulis sesuatu di sini tentang hijab...
Kita
boleh berbangga hati ketika melihat perkembangan busana muslimah di negara kita
sekarang. Sekarang busana muslimah sudah diterima oleh masyarakat luas dari kalangan
mana saja. Tidak hanya bu guru agama (Islam) yang mengenakannya, tapi juga bu
dokter, bu hakim, polwan, bu bidan, mbok jamu gendong, ibu petani, ibu pedagang,
ibu-ibu arisan, mbak penyiar dan presenter, ibu-ibu pejabat, bahkan para artis.
Pemakai busana muslimah tidak hanya ditemukan di tempat pengajian. Sekarang
pemakai busana tersebut juga gampang ditemukan di tempat lain seperti di mal, di
sanggar senam, di pasar, di rumah sakit, di sekolah, di kantor-kantor. Karakter
pemakai busana muslimah juga sudah banyak ditemukan dalam novel, sinetron dan
film.
Busana
muslimah yang rapi menutup aurat, dulu identik dengan istilah jilbab, sekarang
mempunyai istilah baru yang lebih populer, yaitu hijab. Sayang, pada sebagian kalangan, istilah hijab yang dikaitkan
dengan busana muslimah ini mengalami penyempitan makna. Sekarang kalau kita mendengar
ada yang menyebut si A memakai hijab, maka artinya dia memakai kerudung dengan
aneka warna dan gaya
yang menyerupai penataan rambut sehingga kadang tetap memperlihatkan lekuk
tubuh terutama bagian dada yang seharusnya ditutupi atau dilindungi dari
pandangan orang yang tidak berhak. Lalu untuk menandingi istilah tersebut,
muncullah istilah hijab syari. Ciri
yang paling menonjol dari hijab syari
ini adalah kerudung yang lebih panjang dan lebar. Keduanya sama-sama memiliki
tren modenya masing-masing. Keduanya sama-sama berperan penting dalam
perkembangan busana muslimah di Indonesia.
Dulu,
busana muslimah membuat pemakainya terlihat sangat bersahaja dan anggun. Secara
ekonomi, satu set busana muslimah merupakan busana yang hemat biaya karena bisa
dipakai untuk segala keperluan dan sepanjang masa selama tidak ada kerusakan
yang berarti. Sekarang, busana muslimah banyak sekali modelnya dan selalu
dimutakhirkan secepat kilat. Busana muslimah bukan lagi busana yang simpel dan
hemat biaya. Busana muslimah sekarang bisa mencapai harga yang terbilang
fantastis. Satu kerudung ada yang mencapai harga sampai ratusan ribu rupiah.
Satu gamis bahkan ada yang mencapai harga jutaan rupiah. Ini kadang masih harus
ditambah dengan aksesoris pelengkapnya seperti bros, gelang, cincin, sepatu dan
tas. Selain bisa mempengaruhi kestabilan perekonomian rumah tangga, hal ini
tentu tidak relevan lagi dengan idealisme kebersahajaan seorang muslimah.
Di
era 90-an dan sebelumnya, memakai busana muslimah merupakan sebuah pilihan yang
harus diputuskan dengan sungguh-sungguh. Beberapa di antara pemakainya bahkan
pernah mengalami fase “penolakan” dan “pelarangan” oleh lingkungan. Mulai dari
lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, lingkungan kerja sampai lingkungan
sosial masyarakat umumnya. Mulai dari hal kecil seperti dipanggil “Ninja”,
dianggap ekslusif, sampai dikeluarkan dari lingkungan. Kita patut bersyukur
karena sekarang relatif sudah tidak ada lagi hal-hal semacam itu. Kalaupun ada,
biasanya hanya bersifat kasuistik
internal kelembagaan.
Mudahnya
memakai busana muslimah secara sempurna sekarang ini hendaknya dibarengi dengan
meningkatnya kualitas para muslimah. Menjamurnya para pemakai busana muslimah
hendaknya diiringi dengan meningkatnya minat menuntut ilmu terutama ilmu
tentang busana muslimah itu sendiri. Ada
beberapa hal yang perlu dipelajari. Pertama,
belajar tentang aurat dan dalil kewajiban menutup aurat/berjilbab. Ini penting
karena akan mempengaruhi niat dalam memilih busana yang dipakai. Kedua, belajar tentang mahrom. Belajar
tentang mahrom diperlukan karena terkait dengan kewajiban menutup aurat di
hadapan non-mahrom. Para muslimah perlu tahu
apa itu mahrom, siapa saja yang termasuk mahromnya dan siapa saja yang bukan,
sehingga tidak sembarangan membuka hijabnya. Ketiga, selain memahami hakikat mahrom dan non-mahrom, para
muslimah juga perlu mempelajari seperti apa sejatinya busana muslimah. Secara
singkat, busana muslimah harus memenuhi persyaratan berikut: tidak
memperlihatkan aurat perempuan (seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan),
tidak memperlihatkan lekuk tubuh (tidak transparan dan tidak ketat), tidak
menyerupai pakaian laki-laki, tidak menyerupai pakaian nonmuslim dan tidak
mencolok.
Beberapa
hal di atas jangan lantas dijadikan alasan untuk melepas hijab kembali apalagi menunda
berhijab. Tidak sedikit para perempuan menunda menutup aurat secara sempurna
dengan dalih memperbaiki hati dulu baru
memperbaiki penampilan. Menuju perbaikan diri memang memerlukan proses
tetapi berbusana menutup aurat dengan benar adalah satu kewajiban yang harus
segera dilaksanakan oleh perempuan muslim yang sudah baligh. Alangkah indahnya
jika menyegerakan menutup aurat dengan terus berikhtiar memperbaiki hati (diri).
Ada juga yang
berdalih, tidak apa-apa tidak menutup
aurat dengan sempurna yang penting hatinya baik. Sekali lagi, menutup aurat
adalah satu kewajiban. Sementara itu jika sudah memiliki hati yang baik tentu
itu satu hal plus lainnya.
Sebagai
bagian dari perwujudan ketundukan seorang muslimah terhadap peraturan agamanya,
memakai busana muslimah yang sempurna merupakan bagian dari realisasi keimanan.
Karena keimanan itu sendiri sifatnya fluktuatif, maka tidak menutup kemungkinan
adanya hijab-hijab yang terlepas baik secara permanen maupun secara
insindental. Banyak faktor yang melatarbelakanginya. Salah satunya adalah
kurang mendalamnya pemahaman terhadap hijab sebagai sebuah kewajiban dari Allah
dan hikmah yang terkandung dibalik kewajiban tersebut. Selain itu, terdapat
berbagai argumen yang tidak masuk akal dan terkesan dibuat-buat saja sebagai
pembenaran bongkar pasangnya hijab oleh seseorang. Salah satu contohnya,
melepas hijab gara-gara mendapat ujian hidup yang terlalu berat.
Pada
level sekolah dasar dan menengah, sudah banyak sekolah yang mewajibkan muridnya
memakai jilbab. Hal ini tentu saja menggembirakan. Akan tetapi jika tidak
dibarengi dengan beberapa langkah penguatan, maka murid akan menganggap jilbab
sebatas kewajiban dari sekolah/guru sama seperti kewajiban memakai atribut
sekolah lainnya seperti ikat pinggang dan topi. Jangan heran, jika guru tidak
melihat, para murid ramai-ramai melepas jilbabnya. Jangan heran, keluar dari
gerbang sekolah, keluar pula rambut mereka. Jangan bingung, setelah lulus
sekolah, tamat juga riwayat jilbabnya. Lalu, di bangku kuliah, jadilah jilbab
sebatas tren yang bisa dipakai sesuai suasana hati dan suasana pergaulan.
Untuk
menghindari ketidaklurusan dalam berhijab diperlukan upaya penanaman
nilai-nilai akidah yang benar. Salah satunya adalah menanamkan kesadaran bahwa
yang memerintahkan memakai busana muslimah yang sempurna adalah Allah Swt bukan
makhluknya. Setelah pemahaman mendasar ini sudah tertanam dengan baik, langkah
selanjutnya adalah mengetahui manfaat dan hikmah yang terkandung di dalamnya
baik secara medis, sosial, budaya, ekonomi, hukum maupun bidang lainnya.
Tahapan berikutnya adalah banyak bergaul dalam lingkungan para pemakai busana
muslimah yang konsisten. Dengan cara ini, para muslimah dapat saling
mengingatkan, saling menguatkan, saling menasehati, saling menyemangati. Efek
lainnya, mereka bahkan memancarkan nilai positif ke mana-mana, ke setiap tempat
atau lingkungan lain yang mereka datangi.
Kini,
apapun istilahnya, bagaimanapun bentuk dan coraknya, busana muslimah sudah
menjadi bagian dari gaya
hidup masyarakat. Hal ini seperti pisau bermata dua. Ia bisa menjadi positif
bisa pula menjadi negatif. Busana muslimah sebagai gaya hidup akan bermakna positif ketika ia
dipahami secara utuh sebagai bagian dari kepribadian muslimah dengan
memperhatikan hal-hal lain yang menyertainya secara kaffah. Sebaliknya, busana
muslimah sebagai gaya
hidup akan menjadi negatif ketika ia dimaknai hanya sebagai tren mode yang
suatu saat akan berubah.
Menyikapi
busana muslimah sebagai sebuah tren mode, para perempuan hendaknya menyadari
siapa dan bagaimana dirinya seharusnya. Bicara tren mode tentu tidak dapat
dilepaskan dari kepentingan bisnis. Mau tidak mau, perempuan dalam hal ini
adalah konsumen. Mereka menjadi target atau sasaran perusahaan.
Secara
teori, suatu perusahaan yang menganut konsep pemasaran harus memahami perilaku
konsumen secara keseluruhan agar perusahaan dapat bertahan. Perusahaan
mempelajari perilaku konsumen untuk
dapat diaplikasikan pada proses produksi dan pemasaran. Perusahaan mempelajari
perilaku konsumen dengan baik, tidak hanya apa yang dibeli oleh konsumen tapi
juga hal lainnya seperti di mana konsumen melakukan pembelian, bagaimana dan
kapan mereka melakukan pembelian. Kotler (2009) menyebutkan beberapa faktor seperti
faktor budaya, sosial, kepribadian dan psikologis akan mempengaruhi tingkah
laku konsumen khususnya dalam hal keputusan pembelian.
Jika
dipahami mendalam, sebenarnya produk yang dipasarkan akan bergantung pada
perilaku konsumen (:muslimah). Artinya, pemahaman terhadap hijab itu sendiri akan
sangat mempengaruhi keputusan pembelian yang ke depannya akan mempengaruhi proses
produksi dan pemasaran pula. Tidak ada salahnya dari sekarang jika kita
berpikir bahwa bukan kita yang mengikuti tren mode hijab yang keren itu melainkan
tren mode yang mengikuti kita. Jadi, teruslah berproses menjadi muslimah yang lebih baik dan keren di mata
Allah. Semoga di balik hijab yang keren tersimpan kepribadian muslimah yang
keren pula.[]
Sabtu, 07 Juni 2014
Bersahabat dengan Orang Tua (Versi aku)
Kutuliskan
kisah ini untukmu karena kupikir kisah ini adalah beberapa kepingan puzzle yang
hilang yang seharusnya melengkapi puzzle-mu agar kamu bisa melihat gambarnya
secara utuh (meski mungkin tidak segamblang dengan seandainya kau sendiri yang
mengalaminya).
Sepeninggalmu
dari White House beberapa waktu sebelumnya, tentu saja, sudah tidak mungkin
lagi buatku untuk turut pergi meninggalkannya. Memang, sudah tidak ada lagi
halamannya yang terbentang luas tempat kita bermain-main (membuat video klip
berlatar bunga-bunga dan asap bakaran dedaunan); sudah tidak ada lagi kolam
cantik tempat bebek-bebek tetangga biasa numpang berenang di pagi hari; sudah
tidak ada lagi pagar kayu dan kawatnya yang berwarna putih (yang membuat rumah
kita mirip rumah praktik dokter); pun sudah tidak ada lagi para aktivis kampus
sepekan sekali berkumpul di berandanya yang teduh. Bagaimanapun itu semua sudah
sangat lama berlalu, bukan? Dalam sekejap, kita sudah bukan anak-anak kecil
lagi di rumah itu. Dalam sekejap, kita sudah bukan mahasiswa aktivis lagi yang
biasa mengundang kawan seperjuangan di rumah itu. Dalam sekejap, bebek-bebek
itu sudah tidak pernah datang lagi karena kolam dan halamannya sudah dibanguni
ruang tambahan. Dalam sekejap, kita sudah sibuk dengan tanggung jawab
masing-masing. Dalam sekejap, kita sudah menjadi orang tua yang punya banyak
anak (kusebut banyak karena lebih dari dua).
Meski
aku sempat berpikir untuk meninggalkan White House sepertimu (bahkan mungkin
idenya lebih dulu daripada kamu), sama sekali bukan karena aku membenci semua
yang ada di dalamnya. Aku malah teramat mencintainya. Terlalu mencintai kenangan inilah yang
menahan langkahku. Tidak hanya kenangan tentang rumah serba putih itu tapi
kenangan dengan orang-orang di dalamnya terutama kedua orang tua kita.
Aku
tahu, kedua orang tua kita sudah cukup bersedih dengan kepergianmu waktu itu.
Ah, tak perlu lah aku menceritakannya lagi. Orang tua mana yang tak sedih
ditinggal pergi anaknya. Apalagi orang tuanya model orang tua kita. Hehehe.
Meski begitu, aku yakin, kepergianmu menyimpan banyak kebaikan dan hikmah buat
kita semua.
Pernahkah kaubaca tentang orang tua yang
menjalani masa tuanya? Siapa sangka, masa-masa itu sudah dimulai bersamaan
dengan kepergianmu ke negeri orang. Inilah hari-hari itu.
Hari
itu, di subuh yang beku, Ibu menggedor pintu kamarku. Dia terlihat panik. Ayah
tiba-tiba jatuh dan tidak bisa bangun ketika mau sholat subuh. Dari hasil
pemeriksaan dokter yang datang ke rumah, diagnosanya Ayah kena stroke. Tekanan
darah Ayah sangat tinggi. Kautahu, Ibu sudah tidak karuan. Meski ayah masih
bisa bicara, aku yakin, yang ada di benak Ibu saat itu hanyalah kedatangan
malaikat maut ke rumah kita. Rumah kita penuh kedatangan para keluarga yang
menengok Ayah. Karena Ayah tidak mau dibawa ke rumah sakit, sepupu kita yang
dokter itu awalnya setiap hari datang ke rumah. Dia datang dua kali sehari
untuk menensi tekanan darah Ayah dan membawakan obat darah tinggi. Kadang
bergantian dengan adik atau ayahnya. Lama-lama kasian juga, rumahnya kan jauh dari rumah
kita. Lagi pula tidak enak juga telpon-telpon hanya untuk minta tensikan. Ibu
membeli alat tensian. Bukan yang digital lho, yang beneran, yang sama dipakai
oleh para dokter. Aku belajar cara menggunakannya. Cukup sulit sih awalnya tapi
lama-lama bisa juga. (Hm…berasa jadi bu dokter). Hanya saja, kadang Ayah tidak
percaya dengan hasil tensianku.
Aku
sempat membeli perlak, tissue basah, kapas, alat semprot air, diapers dan
pispot untuk Ayah BAB. Kata Ibu, buat jaga-jaga. Ternyata Ayah tak mau
memakainya. Dia lebih memilih berupaya perlahan-lahan ke kamar mandi daripada
memakai diapers dan atau pispot. Kautahu, ketika membelinya di apotek, aku
melihat banyak alat kesehatan. Tongkat, kursi roda, bermacam pispot, dan
lain-lain. Aku teringat para orang tua jompo yang uzur di film-fillm dan di
buku-buku cerita, aku teringat kakek dan nenek kita dahulu. Aku tersentak,
inikah saatnya bagi Ayah menjalani masa tersebut? Inikah saatnya bagiku
menjalani masa bakti sebagai anak yang sesungguhnya?
Kata
para tamu, makan Ayah harus dijaga. Tidak bisa lagi yang asin-asin yang seperti
biasa aku beli. Sejak itu, aku termotivasi memasak sendiri makanan untuk Ayah.
Kadang bubur, kadang tempe
goreng, kadang sop tahu, kadang sop ikan, dan yang lainnya yang semuanya hambar
alias tanpa garam. Inilah saat tersulit buatku. Syukur ayah bukan kakek-kakek
yang cerewet. Dia makan saja apa yang kuhidangkan. Cuma, sebagai orang yang
sangat tidak terampil memasak, ini menjadi satu hal yang cukup berat buatku.
Aku sempat mati gaya
juga. Cooking is my weakness…J
Beberapa
hari silih berganti para keluarga datang menjenguk. Ajaib, Ayah terlihat
membaik. Setiap ada tamu, Ayah terlihat lebih segar. Pahamlah aku sekarang.
Ayah butuh teman bicara selain ibu tentunya. Kau tahu kan banyak topik yang ada di kepala Ayah
yang belum tentu Ibu nyambung (politik, ekonomi, agama, budaya, hukum, banyak
deh). Ini tahun keempat Ayah pensiun. Pasti banyak hal yang ia simpan. Tak
jarang aku menyuruh Ayah menuliskannya tapi sayang dia menolak.
Sekarang,
keadaan Ayah sudah jauh lebih baik. Dan aku kembali nakal, tidak lagi memasak
menu khusus buat Ayah tapi malah membeli lauk dan sayur di warung langganan.
Maafkan aku tapi percayalah kalau aku sedang rajin dan punya ide menu, aku
sempatkan memasak menu sehat untuk Ayah kok.
Janganlah dulu kau iri denganku karena
(mungkin) kamu pikir pahalaku akan lebih banyak daripada pahalamu dalam hal
mengurus orang tua. Hahaha…Just kidding.
Hm… bisa jadi sebaliknya, akulah yang berpeluang mendapat dosa lebih banyak
daripada kamu. Kautahu, menghadapi orang tua kadang mirip dengan menghadapi
anak-anak yang masih kecil. Kau tentu paham maksudku.
Pernah
suatu hari, sepulang kerja aku bertanya pada Ibu apakah dia sudah makan karena hari
itu aku ada pulang sebentar ke rumah membawa makanan di saat jam istirahat
kantor. Ibu menjawab dia tidak bisa memakan apa-apa karena makanan yang kubawa
tidak enak. Akupun jadi sedih. Eh, pas kutanya Ayah, Ayah bilang mereka berdua
sudah makan. Aku hanya bisa mengerutkan kening. Mungkin ibu lupa bahwa ibu
sudah makan. Yang paling sedih itu kalau Ibu bilang makanan yang kubuat atau
yang kubeli tidak ada rasanya sama sekali alias tidak enak padahal menurut
lidahku sudah sangat enak. Awalnya aku heran mengapa ini bisa terjadi.
Belakangan aku tidak heran dan tidak risau lagi setelah aku membaca sebuah buku
yang ditulis oleh teman kita Nurul Asmayani (Bersahabat dengan Orang Tua).
Nanti kamu baca sendiri bukunya ya? Intinya, menurut buku itu, lidah orang yang
sudah usia pensiun macam ortu kita itu memang tidak sama lagi dengan lidah
kita. Ya kekuatannya, ya pengecapan rasanya. Bahkan kadang orang-orang tua
tidak pengen alias tidak punya selera makan apa-apa lagi.
Satu
lagi, orang tua tidak suka digurui atau dinasehati apalagi dilarang-larang.
Harga dirinya akan terinjak-injak. Padahal, kita melarang mereka melakukan ini
itu untuk kebaikan mereka sendiri. Misal, ayah suka sekali mengelap-lap
mobilnya di subuh yang dingin. Ya kadang kularang takut kenapa-napa. Pernah ayah
jatuh terduduk dekat mobilnya dan tidak bisa bangkit dari duduknya. Aku panik
sekali. Inilah maksudku melarang ayah. Untuk kebaikannya juga. Eh, kok
kedengarannya mirip dengan alasan mereka dulu melarang kita ini itu juga ya?
Ayah juga masih suka minum kopi padahal sudah kuberitahu bahwa pantangan utama
penyakit stroke adalah kopi. Tetap saja ayah minum kopi. Ayah masih suka
mencuci bajunya sendiri dan menyetrikanya. Aku sudah bilang, aku bisa saja
mengerjakannya tapi ayah bilang kalau
menunggu kamu, lambat…. Ya, iya sih. Aku mengerjakannya tergantung sikon
anak-anakku. Kalau lagi rewel bin cerewet ya aku tidak bisa mengerjakan
apa-apa.
Pasca
stroke ringan, ayah satu pekan tidak bisa ke mana-mana termasuk untuk sholat
Jumat. Pekan berikutnya, ayah meminta aku mencarikan becak. Kubilang, aku bisa
kok mengantar dan menunggui ayah di masjid tapi lagi-lagi ayah menolak. Sempat
beberapa pekan ayah pergi jumatan naik becak. Setelah agak kuat berdiri, ayah
tidak lagi naik becak. Ia naik motor sendiri! Teman-temanku bilang, sebaiknya
ayah jangan dibiarkan mengendarai motor sendiri. Setelah kuat jumatan naik
motor sendiri, ayah memberanikan diri mengantar ibu bepergian naik motor. Aku
tidak tahan lagi untuk tidak mengingatkan ayah. Suatu hari pas ayah mau bepergian
naik motor aku tanya pelan-pelan, “Ayah, apa tidak berbahaya naik motor
sendirian?” Rupanya pertanyaanku tidak tepat. Ayah marah-marah, “Jangan maharai
aku kaya itu!” (: jangan menakut-nakutiku seperti itu) lalu ayah masuk ke dalam
rumah dan tidak jadi pergi. Aku menyesal mengucapkannya. Sejak itu aku tidak
pernah lagi melarang ayah kalau ia ingin bepergian naik motor meski hatiku
was-was. Mungkin seperti ini perasaan ayah dan ibu kita dulu setiap melepas
kita bepergian naik motor di awal-awal kita bisa mengendarainya. Aku hanya bisa
berdoa, semoga ayah baik-baik saja.[]
Sabtu, 31 Mei 2014
Lomba Paling Keren yang Pernah Kuikuti
Kali ini aku
akan bercerita tentang sebuah lomba yang aku ikuti di akhir Mei 2014. Tidak,
ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan tulis-menulis. Ini bukan lomba
menulis cerpen atau novel. Ini adalah lomba yang paling menakutkan buatku.
Lomba yang membuatku berniat akan mengikuti kursus masak suatu saat kelak.
Yeah, ini adalah lomba memasak! Perlu diketahui, aku bukan perempuan Banjar
yang terampil memasak. Paling-paling aku bisa masak sayur bening, sayur sop,
dan goreng-gorengan.
Sejujurnya,
inilah lomba paling keren yang pernah kuikuti. Aku terlibat dalam lomba ini
karena terpaksa sebenarnya. Ceritanya begini, di sekolah anakku, tiap kelas ada
perkumpulan orang tua murid yang disebut dengan istilah paguyuban. Tiap bulan
ada pertemuannya dan ini syarat untuk bisa mengambil rapor. Karena anakku dua
orang yang bersekolah di sana
(kelas 4 dan kelas 5), aku dan suami berbagi tugas. Suamiku biasanya hadir di
paguyuban kelas 4, aku di paguyuban kelas 5. Nah, aku ditunjuk menjadi ketua
paguyuban secara demokratis oleh para ortu kelas tersebut. Ini adalah tahun
kedua aku menjadi ketua paguyuban kelas tersebut. Artinya, sudah dua periode
aku menjadi ketua paguyuban.
Nah, dalam
rangka memeperingati milad sekolah, tahun ini diadakan lomba memasak antar
paguyuban. Tim terdiri maksimal 4 orang. Oiya perlu diketahui, sekolah anakku
merupakan sekolah swasta yang berada di bawah naungan sebuah yayasan yang
pemiliknya adalah orang bersuku Jawa. Sekolahannya terletak di tengah-tengah
kediaman karyawan pabrik (pada mulanya) yang didominasi oleh orang Jawa. (Ini
bukan SARA lho yaa…). Anak pertamaku termasuk dalam angkatan pertama SD nya.
Kelasnya didominasi oleh warga sekitar yang notabene orang Jawa. Para murid dipanggil “Mas” dan “Mbak” oleh gurunya. Para guru juga banyak yang bersuku Jawa. Angkatan
berikutnya barulah banyak yang dari suku Banjar.
Uniknya, lomba
masak kali ini temanya “Masakan Banjar”. Masakannya harus ada santannya, ada
nasi, ada ikan dan ada minuman esnya. Saat rapat kelas, tidak ada yang mau
menjadi perwakilan kelas. Alasannya, mereka rata-rata bukan orang Banjar. “Lha,
ini ketua kita kan
asli Banjar. Tinggal pilih anggota timnya aja lagi,” kata Ibu-ibu.
Aku jadi panik.
“Aku ora iso,” jawabku dimedok-medokin Jawanya.
Ibu-ibu tertawa
semua mendengar jawabanku.
“Ayolah, yang
orang Banjar di sini cuma 4. Mama Nisa sakit, Mama Amel baru melahirkan, Nenek
Saula sedang perawatan mata, jadi ya tinggal sampeyan…” sahut mereka.
Aku mesem-mesem.
Dalam hati aku merutuki diri. Kenapa harus tinggal aku yang orang Banjar.
Kenapa harus lomba memasak sih? Kenapa tidak lomba mewarna saja misalnya?
Kenapa aku tidak terampil memasak???
“Ndak papa kita
lebih dari 4 orang. Siapa bisa kutarik aja besok itu” kata Mama Icha. “Yang
penting kamu sebagai ketua paguyuban ikut Jeng”
Akhirnya aku
jadi ikut. Betapa malunya aku. Aku sama sekali tidak bisa memasak “Gangan
Keladi”. Menyesal juga tidak belajar sama mertua dulunya. Malah Yu’ Temi alias
Mama Dwi yang lincah memasaknya. Memotong kangkung, susupan, keladi, pisang, ikan
pepuyu, dan entah apa saja bumbunya.
“Ayo Jeng
dicicipi, sudah pas apa belum rasane?” tanya Mama Dwi.
Sok ahli aku
menyendok gangan. “Hm…kayanya ada yang kurang tapi aku tidak tahu apa…, bumbu
apa ya?”
Mama Icha
bergegas mencicipi juga. “Oalah, ini sih kurang garam” sahut Mama Icha.
Aku jadi malu.
Hehe.
“Ini papuyu
bakarnya dah matang apa belum, Jeng?”tanya Mama Raihan sambil mengipas-ngipas.
“Jeng..liatin
ikan bakarnya tuh,” aku mencolek Mama Dwi lagi. Aku sama sekali tidak tahu
kapan ikan bakar matang atau belum. Selama ini aku cuma bisa menggoreng.
“Kita bikin es
kelapanya yuk” ajak Mama Diah.
Ups, aku tidak
tahu cara membelah kelapa. Sepertinya susah deh.
“Yo, wes,
sampeyan cicipin ini dah pas apa belum manisnya…”
Jadi, aku cuma
bantu-bantu dikit. Jadi isin aku…hehe.
Dan
tara….jadilah gangan keladi, ikan bakar, sambal acan, cacapan, minumnya es
kelapa. Memang kami tidak menang sih tapi aku pribadi merasa senang. Inilah
pertama kali aku ikut lomba memasak. Lomba memasak masakan Banjar dengan para
koki orang Jawa dana aku yang asli Banjar cuma bisa mencicipi. Duh Gusti…
Rabu, 14 Mei 2014
Menulis Cerita Thriller dan Horor
Dirangkum oleh Nailiya
Nikmah JKF
Cerita Thriller
Cerita Thriller atau cerita getaran dalam bahasa
Inggris adalah sebuah tipe literatur, film dan televisi yang memiliki
banyak sub-tipe di dalamnya. Kata tersebut berasal dari bahasa Inggris yang
dapat diartikan secara bebas sebagai “petualangan yang mendebarkan”. Tipe alur
ceritanya biasanya berupa para jagoan yang berpacu dengan waktu, penuh aksi
menantang, dan mendapatkan berbagai bantuan yang kebetulan sangat dibutuhkan
yang harus menggagalkan rencana-rencana kejam para penjahat yang lebih kuat dan
lebih lengkap persenjataannya.
Thriller dapat meliputi sub-tipe berikut ini
Action Thriller - karya tipe ini seringkali berupa situasi berpacu dengan waktu, menampilkan banyak adegan kekerasan dan seorang tokoh antagonis yang jelas. Film-film tipe ini menggunakan banyak senjata, ledakan dan perlengkapan yang sangat banyak untuk merekam adegan-adegannya. Film-film ini seringkali memiliki elemen film misteri dan film kriminal, tapi elemen-elemen ini tidak ditonjolkan. Contoh-contoh paling jelas untuk tipe ini adalah film-film James Bond, The Transporter, dan novel/film Jason Bourne (Bourne Identity, Bourne Supremacy).
Conspiracy Thriller - karya tipe ini menampilkan seorang jagoan yang menghadapi sebuah kelompok musuh yang berkuasa yang suatu kebenaran dari perjuangannya itu hanya jagoan tersebut yang tahu. The Chancellor Manuscript dan The Aquitane Progression karya Robert Ludlum masuk dalam kategori ini, seperti juga film-film Three DaysoftheCondordanJFK.
Crime Thriller - karya tipe ini adalah gabungan dari thriller dan film kriminal yang menampilkan cerita tegang dari sebuah atau beberapa tindakan kriminal yang sukses atau gagal. Film-film ini lebih berfokus pada tokoh penjahatnya daripada pihak polisi. Tipe ini biasanya menekankan faktor adegan aksi daripada aspek psikologis. Topik utama dari film-film ini termasuk pembunuhan, perampokan, pengejaran, baku-tembak, dan pengkhianatan. Contohnya adalah film The Killing, Seven, Reservoir Dogs, Inside Man, and The Asphalt Jungle.
Disaster Thriller - karya tipe ini menceritakan konflik yang terjadi karena bencana yang disebabkan oleh alam maupun oleh manusia, seperti banjir, gempa bumi, badai, letusan gunung berapi, dan bencana alam lainnya, atau bencana nuklir sebagai bencana yang disebabkan oleh manusia. Contoh film tipe ini seperti Twister, Perfect Storm, dan Volcano.
Psychological Thriller - karya tipe ini memiliki elemen thriller yang menitikberatkan pada tekanan psikologis yang dihadapi masing-masing karakter. Film-film tipe ini biasanya berjalan lebih lambat dan melibatkan banyak pengembangan karakter tokoh-tokoh dan alur cerita yang penuh kejutan. The Illusionist, The Number 23, The Sixth Sense, dan The Prestige adalah contoh-contoh film tipe ini.
Eco-Thriller - dalam karya ini sang tokoh protagonis harus menghindarkan atau memperbaiki sebuah bencana alam atau bencana biologis, disamping harus berhadapan dengan musuh-musuh atau tantangan-tantangan yang ada di cerita thriller lainnya. Komponen lingkungan hidup seringkali menjadi pesan utama atau tema dari cerita. Contoh tipe thriller ini adalah The Loop karya Nicholas Evans, Echoes in the Blue karya C. George Muller, dan Elephant Song karya Wilbur Smith. Semua karya ini menonjolkan masalah-masalah lingkungan hidup yang nyata.
Erotic Thriller - tipe ini menggabungkan unsur erotis dan thriller. Tipe ini menjadi laris sejak era 1980-an dan berkembangnya penetrasi pasar VCR (salah satu tipe perangkat pemutar kaset video). Termasuk dalam tipe ini adalah film-film Basic Instinct dan Fatal Attraction.
Horror Thriller - dalam tipe ini, konflik antara tokoh-tokoh di dalamnya terjadi secara mental, emosional dan fisik. Dua contoh terbaru dari tipe thriller ini adalah film-film Saw dan 28 Days Later karya Danny Boyle. Apa yang paling membedakan Horror Thriller adalah elemen ketakutan yang dijunjung sepanjang cerita. Tokoh-tokoh utamanya tidak hanya berhadapan dengan musuh yang lebih kuat, tapi pada akhirnya mereka menjadi korban setelah merasakan ketakutan yang luar biasa akibat menarik perhatian sang musuh/monster.
Contoh film lainnya adalah Psycho karya Alfred Hitchcock dan Silence of the Lambs karya Thomas Harris.
Legal Thriller - Para pengacara jagoan berhadapan dengan musuh-musuh mereka dalam tipe thirller ini, baik di dalam maupun di luar ruang persidangan, baik membahayakan kasus yang mereka perjuangkan maupun nyawa mereka sendiri. The Pelican Brief karya John Grisham adalah contoh terkenal dari film bertipe ini.
Buatlah cerita thriller yang seru untuk para pembaca. Jangan biarkan mereka hampa tanpa ekspresi ketika membacanya. Permainkan imajinasi mereka.
Buatlah cerita thriller kita dengan sesuatu yang membuat pembaca bertanya:
- Apa?
- Kenapa?
- Atau, siapa?
Aduk-aduk kembali rasa penasaran pembaca sampai ia berpikir
perlu menyelesaikan cerita sampai ending. Tunjukkan sedikit demi sedikit
inti-inti permasalahan. Biarkan pembaca terkaget-kaget dengan ending cerita
thriller kita. Jangan biarkan mereka merasa kebingungan, jelaskan penyelesaian
masalah sampai tuntas.
Cerita Horor
Cerita horor atau misteri hanyalah salah satu genre
fiksi. Penulis dianggap berhasil kalau pembaca berkomentar soal cerita
horor yang dibacanya, baik negatif maupun positif. Karena itu, hendaknya
penulis yang ingin menulis cerita horor harus tahu bagaimana membuat twist
ending cerita horor atau misteri yang menggigit. Setidaknya ada enam tipe
cerita horor.
Pertama: tipe Discovery | Pada tipe twist ini, tokoh protagonis akan menemukan jati dirinya sendiri atau jati diri dari tokoh lain yang sebenarnya. Informasi mengenai yang sebelumnya tidak ditampilkan akan dibeberkan di akhir cerita. Contoh dari tipe twist ini adalah film horor The Sixth Sense. Tokoh utamanya awalnya ditampilkan seolah masih hidup, namun di akhir film dibeberkan bahwa ia sebenarnya sudah mati. Film “The Others”-nya Nicole Kidman juga punya twist ending yang serupa.
Kedua: tipe Flashback | Yang ini mungkin banyak diadopsi dalam cerita horor Indonesia. Contohnya banyak film "Jelangkung" dan serial "Di Sini Ada Setan".
Ketiga: tipe Unreliable Narrator | Kalau diterjemahkan, artinya “Narator yang tak bisa dipercaya”. Cerita dengan twist ending ini biasanya memakai sudut pandang orang pertama. Nah, cerita dari sudut pandang si “aku” ini ternyata bukan kejadian sebenarnya. Bisa jadi si “aku” berbohong dalam ceritanya atau menutupi sesuatu, bisa juga ia mengalami semacam kelainan jiwa atau guncangan yang membuatnya berhalusinasi dan membuat pembaca/penonton “tertipu”, mengira apa yang disaksikan oleh si “aku” adalah kejadian sebenarnya (padahal bukan). Di akhir cerita, biasanya akan ditunjukkan kejadian sebenarnya. Contohnya adalah novel detektif “The Murder of Roger Ackroyd”-nya Agatha Christie, di mana si “aku”, yang adalah pembunuh sebenarnya, berusaha menutupi kenyataan lewat pengisahannya. Film horor Korea “A Tale of Two Sisters” juga demikian, di mana “aku” mengalami kelainan jiwa kepribadian ganda dan halusinasi.
Keempat: tipe Chekhov’s gun | Chekhov’s gun adalah sebuah benda, tokoh, atau kejadian yang muncul di awal cerita. Tapi, sepertinya tidak penting dan tidak pula disebut-sebut sampai menjelang akhir cerita. Walaupun demikian, benda, tokoh, atau kejadian ini memegang peranan penting dalam menciptakan twist ending. Misalnya, adegan penembakan si tokoh utama yang muncul di awal film “The Sixth Sense”, pada akhir cerita barulah kita sadar akan signifikannya adegan tersebut, saat kita diberi tahu bahwa si tokoh utama sebenarnya sudah mati.
Kelima: tipe Red Herring | tipe ini memberi pembaca petunjuk palsu dan membawa pada kesimpulan yang salah. Pada akhir cerita, baru semua kebenarannya dibeberkan. Red herring dapat dikatakan sebagai “kambing hitam”, orang yang kita kira merupakan pelaku/pembunuh, namun sebenarnya bukan. Umumnya, dipakai dalam cerita detektif.
Keenam: tipe Reverse Chronology | tipe ini berbeda dengan flashback. Dalam reverse chronology, yang ditampilkan pertama adalah kejadian akhir/akibat-nya. Lalu, ditampilkan urutan kejadiannya secara terbalik, dari kejadian yang paling belakangan sampai kejadian yang terjadi paling awal/sebab kejadian. Misalnya pada film “Memento”.
Membuat para pembaca
ketakutan setengah mati merupakan dambaan setiap penulis cerita horor - baik
itu novel maupun cerpen. Berikut ini sepuluh tips terbaik dalam menulis cerita
horor:
1. Buatlah cerita horor yang orisinal
2. Buatlah kerangka cerita horor Anda
3. Buatlah karakter kuat untuk cerita horor Anda
4. Bacalah cerita horor lainnya
5. Baca dan pelajarilah buku cerita horor klasik
6. Lakukanlah penelitian untuk dapat menggambarkan cerita horor Anda
7. Jangan terburu-buru mengirimkan cerita horor Anda
8. Bacalah, bacalah, bacalah...
9. Cobalah memilih subjek yang menakutkan Anda secara pribadi
10.Cek cerita horor Anda sekali lagi
1. Buatlah cerita horor yang orisinal
2. Buatlah kerangka cerita horor Anda
3. Buatlah karakter kuat untuk cerita horor Anda
4. Bacalah cerita horor lainnya
5. Baca dan pelajarilah buku cerita horor klasik
6. Lakukanlah penelitian untuk dapat menggambarkan cerita horor Anda
7. Jangan terburu-buru mengirimkan cerita horor Anda
8. Bacalah, bacalah, bacalah...
9. Cobalah memilih subjek yang menakutkan Anda secara pribadi
10.Cek cerita horor Anda sekali lagi
Dirangkum dari berbagai situs di internet