Add caption |
Kamis, 20 Maret 2014
MENYUSURI JALAN PUISI (BERSAMA) IBRAMSYAH AMANDIT
Esai Nailiya Nikmah
JKF
Seberapa
besar cintamu pada puisi? Tunggu, jangan jawab pertanyaan tersebut sebelum
menjawab pertanyaan yang satu ini, seberapa jauh perjalanan puisimu? Jawaban
atas pertanyaan ini bukan semata tentang jarak dan waktu melainkan tentang
ketekunan. Sebagai pelajaran tentang
ketekunan dalam perjalanan puisi, tidak berlebihan kiranya jika kita menengok
perjalanan puisi sastrawan yang satu ini untuk mengaca diri sebelum melanjutkan
perjalanan puisi kita.
Iberamsyah
Amandit (IA) bin H. Lawier lahir di Desa Tabihi Kanan, Kelirahan Karang Jawa,
Kec Padang Batung, Kandangan, Kab HSS 9 Agustus 1943. Menempuh pendidikan
(1949-1950) di Sekolah Rakyat Desa Tabihi Kiri dan di Karang Jawa (1 tahun),
lalu ke SR 6 tahun di Tamban (lulus 1957); dilanjutkan ke Sekolah Menengah
Islam Pertama (SMIP) di Jalan Masjid Jami, Banjarmasin
(lulus 1961), Madrasah Menengah Tinggi – depan Masjid Agung – Yogyakarta
(lulus 1965) dan FKIS, Jurusan Ilmu Administrasi, IKIP Negeri Yogyakarta,
sampai tingkat sarjana muda (1971). Menulis puisi sejak 1970. Ia bergabung dan
lesehan mendengarkan pembacaan puisi oleh penulis-penulis Insani dan para
penyair Persada Studi Klub pimpinan “Presiden Malioboro”, Umbu Landu Paranggi.
IA
kembali ke Kalimantan Selatan (1972), terus menulis dan membacakan puisi di
acara Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni RRI Banjarmasin, asuhan Hijaz Yamani. Setiap
tahun ia mengikuti Aruh Sastra (:Aruh Sastra merupakan even sastra tahunan terbesar
yang diselenggarakan di Kalimantan Selatan). Ia juga menjadi peserta Temu
Sastrawan Nusantara Melayu Raya 5 Negara di Padang (2012); peserta Kongres
Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Cisarua Bogor (2012). Puisinya dipublikasikan Harian
Mercusuar (yogyakarta), Mingguan Sampe (Samarinda), Dinamika Berita,
Banjarmasin Post dan Radar Banjarmasin. Beberapa karyanya juga diterbitkan
dalam beberapa antologi. Atas dedikasinya, ia pernah mendapat beberapa
penghargaan dari pemerintah.
Desember 2010, IA mengalami stroke. Yang
membanggakan, stroke tidak membuatnya menghentikan perjalanan puisinya. Juni
2013, antologi puisinya yang berjudul Tikar Pandan terbit. Membaca antologi
yang diterbitkan oleh UPT Taman Budaya Kalsel, Dinas Pemuda Olahraga,
Kebudayaan dan Pariwisata Pemprov Kalsel kerja sama dengan Penerbit Pustaka
Banua, akan terbaca perjalanan puisinya di fase stroke.
Definisi
menurut WHO: stroke adalah terjadinya gangguan fungsional otak fokal maupun
global secara mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam akibat
gangguan aliran darah otak. Menurut Neil F Gordon: stroke adalah gangguan potensial yang fatal
pada suplai darah bagian otak. Tidak ada satupun bagian tubuh manusia yang
dapat bertahan bila terdapat gangguan suplai darah dalam waktu relatif lama
sebab darah sangat dibutuhkan dalam kehidupan terutama oksigen pengangkut bahan
makanan yang dibutuhkan pada otak dan otak dalah pusat kontrol sistem tubuh
termasuk perintah dari semua gerakan fisik (http://infostroke.wordpress.com/pengertian-stroke/
).
Diksi
seperti lumpuh, lemah, pincang, parau, sisa, compang-camping, lusuh, cacat, dan
frase fisik tak sempurna pada puisi
Lumpuh (2) begitu konkret menggambarkan keadaan IA pada fase stroke-nya. Menurut
ceritanya, IA pernah mengalami stroke dua kali. Dilihat dari judulnya, kiranya
puisi “Lumpuh (2)” hlm 6 adalah puisi yang menggambarkan keadaan ketika ia
mengalami stroke yang kedua. IA sangat memahami keadaan fisiknya. Ia
menyebutnya dengan orang berfisik tak sempurna. Akan tetapi, puisi ini bukan ungkapan
kecengengan atau kelemahan diri. IA mengungkapkan tantangan semangat kebaruan dan melangkahkan
kaki cacat. IA memilih untuk menyandingkan kata melangkahkan di depan frase
kaki cacat. Tangkaplah optimisme yang ia sampaikan. IA akan tetap melangkah
meski kakinya cacat dan tangan terkulai lemah.
Akan
tetapi, IA bukan malaikat. Jangan salahkan jika ia pun pernah bimbang (:galau).
Siapapun yang didera penyakit berat, akan mengalami saat-saat down. Puisi “Tunjukkan Penyair” hlm 5
mewakili kegalauannya. /Tunjukkan penyair;/ Apa kakiku diam atau derap
berjalan/ lewat terminal ke terminal/ mencari titik tuju akhir pemberhentian/
sebelum tamat perambah liar jalanan//…//Tunjukkan penyair;/ Apa kata-kataku
galau suara sia-sia/ Apa ucapanku pembawa sabda?/
IA
agak ragu untuk meneruskan perjalanannya. Ia mencoba mencari petunjuk tapi
petunjuk yang ia cari tak lain adalah dirinya sendiri. Bukan siapa-siapa
(termasuk dokter ) yang menetapkan ia
akan bisa terus berjalan atau tidak. Dia tahu, dia sendirilah yang memutuskan,
apakah perjalanan ini akan berlanjut atau berhenti. Sementara itu, ia yakin
kata tamat hanya ada di pemberhentian
yang sesungguhnya, yaitu ketika nafas pergi, yang tentu saja berada dalam
wilayah kekuasaan-Nya.
Kegalauan IA
fluktuatif. Kabar baiknya, kegalauan IA melingkar di seputar area eksistensinya
sebagai makhluk Tuhan. Setiap yang hidup pasti akan mati, demikian kalimat
dalam kitab-Nya. Maka konsep maut adalah sesuatu yang harus melekat dalam diri
setiap orang yang mengakui adanya Tuhan. Mengingatnya, akan berdampak positif
bagi kemanusiawian kita. “Sketsa” hlm 35 menggambarkan dzirul maut yang dilakoni oleh IA. Bukankah Chairil dan Burhanuddin
Soebly pun mengalaminya? Itulah hiburan di hati IA di tengah kegalauannya.
Pada
puisi “Aset” hlm 13, IA meraih kembali kesadaran dirinya. Ia kembali mengibarkan
harga dirinya. Ia berkata, …/Lupakanlah derita lumpuh/ … /Jangan berikan rasa
kasihanmu kepada penyair!/caci ia bila berhenti nulis puisi/ mustahil jadi
arwah pada jantung berdenyut/ tolol terlanjur wafat dalam diri padahal nafas
belum pergi// Hai, penyair lumpuh/ berteriaklah, berteriak!//.
Tidak
sedikit orang yang berputus asa ketika menghadapi penyakit berat, merasa tidak
mungkin sembuh lagi, menganggap diri sudah tak berarti seperti sudah mati. IA mengingatkan,
Mustahil jadi arwah pada jantung
berdenyut. Sakit tidak sama dengan mati. Orang yang berputus asa ketika sakit
adalah orang yang bodoh. Tolol terlanjur
wafat dalam diri padahal nafas belum pergi, demikian pesan IA. Ia juga
tidak suka dikasihani. IA melarang keras mengasihani penyair yang sedang
menderita lumpuh. Jangan berikan rasa
kasihanmu kepada penyair!. Penyair yang seharusnya dikasihani adalah penyair
yang berhenti menulis puisi karena penyair yang berhenti menulis puisi itulah
sebenarnya penyair yang lumpuh. Maka kepada penyair yang dalam keadaan seperti
itulah ia berkata, “Penyair lumpuh, berteriaklah!”.
Stroke
memang pernah membuatnya lumpuh tapi tidak membuat perjalanan puisinya
terhenti. Keadaannya tersebut malah membawanya pada perjalanan yang hakiki.
Tengoklah kisah perjalanannya tersebut dalam puisi berikut:
Jalan Puisi
Puisi perjalanan mikraj;
jalan naik menuju Allah
meniti asma, sifat, af’alullah
Lama diri bersimbah
panas serta berbasah-basah
tunduk tengadah pulang ke diri
nyatanya tak siapa pemilik apa
Puisi perjalanan mikraj;
jalan pupus di dalam Allah
hilang panas hilang basah
punah diri dalam Allah
suara jiwa mengkalamullah
Puisiku perjalanan mikraj;
jalan pulang dari Allah dengan Allah
ulat kepompong berubah polah
sukma terbang selendang kiswah
Puisiku perjalanan mikraj;
trun di pintu-pintu rumah
sudah bersayap puisi amanah
kata-kata rahmat – petuah
Tamban, 3/11/2012
Setelah
sekian lama ia bersusah payah, “berpanas dan berbasah”, terlepas dari ada
tidaknya pengaruh ajaran tasawuf yang pernah ia tekuni (IA menyimak ajaran
tasawuf 1983-1992(Amandit, 2013:164)), IA kini menemukan keindahannya. Ya, IA
telah sampai pada perjalanan puisinya yang paling indah. …//Puisiku perjalanan
mikraj;/jalan pulang dari Allah dengan Allah/ ulat kepompong berubah polah/
sukma terbang selendang kiswah/….
Ketika
puisi-puisi sudah menjadi amanah, ketika puisi-puisi sudah memiliki sayap,
ketika itulah ia telah menemukan tujuannya. “Jalan Puisi” menyampaikan isyarat
bahwa ia tak lagi berjalan “di bumi”. Sayap-sayap itu sudah membawanya terbang
“ke langit”. Jika ia konsisten dengan jalan ini, tentu tidak akan kita temui
lagi puisi-puisi “bumi”-nya. Kemungkinan, hanya puisi-puisi “langit” yang akan
dituliskannya dalam perjalanan puisinya ke depan. Yang jelas, ia masih akan
menekuni jalan puisinya. Jalan cinta para penyair. Mari kita buktikan…[]
Catatan: esai
ini pernah dimuat di harian Media Kalimantan, Minggu, …
Antara Bakat dan
Sekolah
(Catatan Nailiya Nikmah JKF)
Anak pertama
kami, seorang anak perempuan yang suka membaca dan menulis. Di raportnya, mata
pelajaran Bahasa Indonesia adalah mata pelajaran yang nilainya paling tinggi di
antara mata pelajaran lainnya selain mata pelajaran Agama Islam. Ini sangat
menyenangkanku. Yang lebih menyenangkan lagi, ia bilang, ia paling suka dua
mata pelajaran tersebut. Aku pikir, kombinasi keduanya akan bermuara pada
“muslimah yang berdakwah lewat tulisan.”
Awal semester,
aku membaca sebuah buku tentang menjadikan anak gila membaca. Ini artinya
levelnya sudah di atas suka membaca. Aku bertekad untuk menerapkannya pada
anak-anakku terutama Nisrina, anak pertama kami. Yang paling tua biasanya akan
menjadi contoh bagi adik-adiknya. Ya…semacam pilot project lah.
Di luar
perkiraanku, dalam sepekan, upayaku sudah mulai membuahkan hasil. Nisrina
benar-benar sudah mulai gila membaca. Setiap waktu ia membaca. Ketika ada
bazaar buku, ia selalu merengek minta dibelikan buku. Buku-buku yang disukainya
adalah novel dan buku-buku psikologi.
Selain itu, ia
juga kugiring pada kegiatan lain yang masih saudara dengan membaca, yaitu
menulis. Kukatakan bahwa setelah membaca, pasti lebih menyenangkan lagi kalau
menulis. Ia sempat rajin membuat ulasan singkat dari novel-novel yang sudah ia
baca. Salah satu ulasannya kukirim ke media lokal dan dimuat. Ia juga suka
menulis puisi, cerpen dan semi novel.
Suatu hari, ia
bilang guru di sekolah menyuruhnya ikut lomba menulis dengan tema angka 17.
Sebelumnya ia pernah mengikuti beberapa lomba tapi belum pernah menang. Aku
sempat ragu ketika membaca selebarannya. Lomba menulis cerpen tapi
pengirimannya melalui facebook (FB). Ketentuan lombanya, peserta harus berteman
dengan grup panitia, lalu wajib men-share postingan lomba dan menge-tagnya pada
akun sekian orang. Cerpen juga ditulis di Catatan FB dan diposting dengan
menge-tag sekian orang (jumlah minimal ditentukan panitia). Untunglah banyaknya
jumlah teman yang me-like postingan cerpen tidak dijadikan salah satu ketentuan
lomba.
Yang merepotkan,
Nisrina belum mempunyai akun FB. Aku memang belum mengizinkan anak-anakku untuk
eksis di jejaring sosial. Aku tidak ingin ia meminjam akunku. Akhirnya, aku
membuatkan satu akun untuknya dengan kata sandi yang kurahasiakan. Jadi, untuk
sementara, ia hanya bisa membuka akunnya di bawah pengawasanku. Ia menulis draf
cerpennya di buku tulis. Setiap pulang sekolah, meski sudah capek seharian
belajar, ia menulis cerpen. Malam sebelum tidur juga menulis cerpen. Setelah
drafnya selesai, aku pinjami laptop untuk mengetik. Setelah itu, hasil
ketikannya kubaca. Beberapa kesalahan ejaan, diksi, kalimat kuberi tanda lalu
kudiskusikan dengannya apakah ia mau memperbaikinya atau tidak (semua terserah
padanya) kuberitahu alasan-alasannya. Ada
hal yang mau ia terima, ada juga yang ia tolak. Dalam hati aku salut dengan
kegigihannya. Oiya satu hal lagi, lomba ini terbuka untuk semua usia. Artinya,
Nirina akan bersaing dengan para mahasiswa juga. Aku sempat melarangnya ikut.
Aku takut ia kecewa tapi ia bersikeras untuk ikut.
Kurang lebih
seminggu (atau dua minggu?) kemudian, aku membaca pengumuman pemenang lomba
yang ditulis di status panitia. Kulihat namanya tertera sebagai juara tiga.
Hadiahnya voucher pembelian buku. Nisrina sangat gembira. Yang paling membuat
ia gembira ketika dari voucher itu ia bisa mendapatkan buku yang sudah lama ia
idamkan. Sebuah novel tentang balerina cilik.
Setelah itu, ia
bertekad ingin menulis banyak cerpen agar bisa dibukukan. Aku hanya tersenyum
mendengar impiannya. Ia kembali asyik membaca. Kali ini tambah gila. Disuruh
makan, ia membaca. Disuruh tidur, ia membaca. Disuruh mandi, ia membaca. Aku
mulai kerepotan. Suamiku bilang, “Nah tuh programmu sudah berhasil. Selamat
menikmati efeknya,”
Selain membaca,
kini ia juga lagi kepengen-kepengennya sholat tahajud. Niat awalnya memang
karena takut dimarahi guru di sekolah. Katanya, sekarang anak kelas 5 wajib
sholat tahajud minimal sekali dalam sepekan (sebelumnya kegiatan tahajud sudah
dikenalkan pada anak melalui agenda mabit tiap akhir semester di sekolah). Tiap
malam ia minta dibangunkan di sepertiganya. Di hari pertama ia tahajud, setelah
kami selesai sholat dan berdoa, aku menyodorkan buku “Akibat-akibat Fatal
karena Meremehkan Sholat Tahajud”. Kubilang, “Sholatlah karena Allah, bukan
karena gurumu”. Dalam buku itu terdapat beberapa keutamaan sholat tahajud,
mengapa kita sholat tahajud, ayat-ayat atau dalilnya dan apa akibatnya jika
melalaikan tahajud. Ia manggut-manggut membacanya.
Tiba pekan ujian
tengah semester (UTS). Tiap malam kami belajar. Kata Nisrina, “Bahasa dan Agama
gampil, Ma.” Maksudnya, mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Agama ia sudah
paham. Gampang saja. Ia sempat bilang, coba SD itu seperti kuliah, belajar yang
disukai aja (:sudah penjurusan). Anehnya, meski suka menulis, Nisrina malah
bercita-cita ingin jadi dokter. Kalau tidak, ingin jadi peracik obat.
Hanya saja, kali
ini Nisrina mendapat ujian. Ia mendapat nilai rendah pada dua mata pelajaran
yang ia bilang gampil. Sore itu ia menanyaiku dengan sedih, “Mama percaya tidak,
Nisrina harus remidi ulangan Bahasa Indonesia,”. Aku tak dapat menyembunyikan
kekagetanku. Sayangnya hasil ulangan tidak dibagi, aku tidak tahu apa
kesalahannya. “Untunglah tidak dibagi. Nisrina malu sekali. Saat guru
mengumumkan nama-nama yang remidi, saat nama Nisrina disebut, teman-teman riuh
karena tidak percaya. Tidak ada yang percaya bahwa Nisrina harus remidi bahasa Indonesia.”
Ia terlihat sangat terpukul. “Agama juga…” gumamnya.
Aku jadi gundah.
Saat Nisrina sedang giat-giatnya membaca dan menulis, nilai Ulangan Bahasa
Indonesianya malah jatuh. Saat Nisrina sedang getol-getolnya tahajud, nilai
Ulangan Agamanya malah jatuh juga. Antara praktik dengan teori seperti tidak
terhubung baginya.
Aku teringat
buku Home Schooling-nya Kak Seto. Di situ ada cerita tentang anak Kak Seto yang
bernama Minuk. Pada saat itu, anak pertama saya, Minuk, berusia lima belas tahun. Minuk
duduk di kelas 3 SMP, di sebuah sekolah favorit dan berstatus “nasional plus”.
Namun rupanya, tidak semua sekolah favorit membuat anak senang belajar. Minuk
sangat frustasi karena dia merasa memiliki potensi unggul di bidang kesenian,
namun nilai kesenian yang diperolehnya di sekolah hanya 4 (2007:116). Ceritanya
panjang sampai akhirnya Minuk memilih untuk homeshooling.
Sebenarnya ide
homeschooling ini sudah ada di benakku ketika aku S2 (saat itu anak-anakku
masih sangat kecil dan baru dua orang). Ketika itu, aku mendapat tugas mereview
sebuah buku karangan Ivan Illich, tentang kemungkinan pendidikan di luar
sekolah. Aku mencari beberapa referensi untuk menunjang presentasiku. Salah
satunya majalah Ummi Edisi Spesial. Sepertinya konsep homeschooling menarik
karena saat itu aku belum menemukan sekolah yang (kuanggap) aman untuk
anak-anakku di kota
kami. Aku menghela nafas panjang. Mungkin aku harus meperbaiki dan mencoba
beberapa hal dulu sebelum aku memberi kesempatan Nisrina untuk memilih, tetap hidup di sekolah atau memilih homeshooling. Bagaimanapun ini adalah
keputusan besar. Keputusan yang akan sangat berpengaruh dalam rutinitas keseharian
kami. Sebab bisa jadi, ketika Nisrina menganggap di rumah lebih nyaman baginya,
maka akupun harus keluar dari kantor. Menurutku, untuk anak bisa sukses
homeshooling, ibu harus stand by di rumah.
***
“Ma, amputasi
itu artinya dipotong ya?” tanya Nisrina beberapa hari kemudian.
“Iya, kenapa?”
“Aku baru tahu.
Pantas saja aku salah waktu ulangan bahasa kemarin”
Aku tertegun.
Selama ini memang satu kata itu hampir tak pernah terdengar di rumah kami. Kata
itu terlalu mengerikan bagiku dan keluarga. Terlebih setelah salah satu anak
kembarku punya masalah pada salah satu kakinya di bagian paha (saat ini aku
sedang melakukan terapi herbal padanya). Kami seakan menganggap kata itu tidak
ada di kamus manapun di dunia ini. Kata itu seperti hantu bagiku.
Siangnya, di
salah satu stasiun TV diputar Film Heart yang dibintangi Acha Septriasa,
Irwansyah dan Nirina Zubir. Sebenarnya dulu Nisrina sudah pernah menontonnya
tapi mungkin waktu itu ia belum terlalu menghayati. Di film itulah ia menemukan
diksi “amputasi” lengkap dengan contohnya. Sebuah kebetulan yang sangat betul
meski aku yakin, tidak ada yang kebetulan.
“Film yang
sangat mengharukan. Film yang adil” komentarnya.
“Maksudmu?”
“Syukurlah Rahel
mati. Kalau ia hidup, kasihan dia. Lagipula, hatinya kan sudah disumbangkan.”
Ah, Nisrina…
ternyata melalui film ia menemukan satu kata dan maknanya secara utuh. Satu
kata yang menjadi salah satu penyebab nilai bahasa Indonesianya jatuh. Mungkin
masih banyak kata lain yang selama ini aku tutupi darinya. Sepertinya banyak PR
untukku tentangmu, Nak…
Kisah Topi di Hari Senin
(Catatan Nailiya Nikmah JKF)
Senin itu
giliranku mengantar anak-anak ke sekolah sebelum menuju tempat kerja. Karena
awal bulan, tugas mengantar hari itu ditambah dengan tugas membayar SPP
anak-anak di loket pembayaran SPP sekolah yang merangkap dengan koperasi
sekolah. Sebelum giliranku, ada dua Bapak yang sedang melakukan pembayaran di
loket. Pas tiba giliranku, tiba-tiba ada anak laki-laki menyela transaksi kami.
Aku mengenalinya sebagai teman sekelas anak keduaku. Rupanya dia ingin membeli
topi.
Aku teringat
anak keduaku, aku cemas dan bertanya-tanya dalam hati, apakah tadi dia sudah
membawa topinya. Di rumah ada tiga topi seragam sekolah (belum termasuk yang
hilang). Tentu saja kami tidak membelinya tiga sekaligus. Topi seragam tersebut
menjadi tiga gara-gara topi tidak ditemukan di saat diperlukan. Macam-macam
penyebabnya, bisa karena lupa di mana meletakkan, terselip dalam lipatan baju
yang tidak karuan lagi bentuknya, dan kadang ketinggalan di sekolah.
Hari Senin adalah hari pencarian topi karena
pada hari Seninlah topi wajib dipakai. Anakku termasuk yang tidak terlalu suka
pakai topi. Di sekolah mereka, murid laki-laki wajib memakai topi saat upacara
bendera tapi tidak bagi murid perempuan karena
mereka berkerudung. Kadang benda yang satu itulah sumber kehebohan di
rumah kami. Apalagi kalau bukan pencarian topi yang hilang di saat jam sudah
menunjukkan pukul tujuh pagi.
Aku masih di
loket pembayaran ketika para murid sudah dipanggil untuk segera berbaris dalam
rangka persiapan upacara bendera. Dari jauh kulihat anak laki-lakiku sedang
berbaris bersama teman sekelasnya. Kulihat tidak ada topi di kepalanya. Aku pun
jadi cemas. Tidak lama mataku melihat tangannya sedang memain-mainkan topinya.
Aku lega meski sedikit heran kenapa dia tidak segera memasang topinya dengan
baik. Ia malah memasukkan topinya ke dada, ke dalam kemeja putihnya. Aku jadi
risau karena teringat sesuatu.
Beberapa pekan
sebelumnya, anakku bercerita, ia tidak memakai topi sewaktu upacara padahal ia
membawa topi. Waktu kutanya apa sebabnya, dia hanya menjawab bahwa topinya
dipakai teman selama upacara. Aku kaget. Dari jawaban-jawaban yang ia berikan
selama interogasi terselubungku, aku simpulkan dia melakukan itu karena kasihan
dengan temannya yang kepanasan sewaktu upacara bendera. Aku puji dia karena
baik hati tapi aku tanya lagi, bagaimana pas razia kelengkapan setelah upacara.
Dia jawab, topinya sudah dikembalikan oleh temannya kepada anakku sehingga dia
tidak dihukum.
Aku tidak bisa
membiarkan hal sepele ini terjadi pada anakku karena aku pernah memiliki kisah
yang cukup menyebalkan tentang selembar topi di hari Senin. Aku masih ingat,
Senin itu masih pekan-pekan pertamaku di sebuah sekolah dasar negeri biasa.
Sejak kelas satu SD, aku sudah tidak diantar jemput apalagi ditunggui (karena jaraknya
cukup dekat dari rumah Nenek, saat itu kami masih tinggal di rumah Nenek).
Ayahku pegawai kantoran yang disiplin, ibuku guru di sebuah SD inti yang
berdedikasi tinggi terhadap tugasnya. Tidak ada waktu untuk aku merengek-rengek
di pagi hari sekalipun itu pagi Senin. Setelah mendapat uang saku secukupnya,
aku berangkat sekolah bersama seorang anak tetanggaku yang sekelas denganku.
Entah bagaimana ceritanya (aku lupa), setelah waktu istirahat, aku terlibat
perseteruan dengan seorang anak laki-laki. Dia bersikeras bahwa topi kami
tertukar dan topi yang ada di tanganku adalah topinya. Sementara dia tidak
memegang topi satupun. Artinya, dia ingin mengatakan bahwa topiku hilang. Tentu
saja aku tidak mau menyerahkan topi yang ada di tanganku. Bagiku lebih baik aku
berseteru dengannya daripada aku harus kehilangan topiku. Aku tidak tahu apa
sebabnya sampai ia menganggap topi yang ada di tanganku adalah topinya. Saat
itu tak terpikir sedikitpun olehku untuk mengalah dan membiarkan topi itu
diambilnya lalu pulang ke rumah sambil merengek minta topi baru pada orang
tuaku. Tidak, aku tidak akan melibatkan orang tuaku dalam perkara topi. Aku
berangkat memakai topi, pulangpun harus memakai topi.
Aku baru saja
berganti pakaian ketika nenekku bilang ada teman yang mencariku di luar. Aku
heran. Rasanya aku belum memiliki teman dekat apalagi yang mau main ke rumahku
secepat ini. Aku bergegas ke luar. Di pintu depan yang terbuka lebar, kulihat
sosok seorang anak laki-laki seusiaku bersama dua anak perempuan yang badannya
lebih tinggi daripada kami. Astaga! Aku memekik. Dia anak laki-laki itu. Anak
laki-laki yang tadi berebut topi denganku di kelas. Ternyata dua anak perempuan
yang berbadan lebih besar itu kakak-kakaknya, yang satu kelas 5, satunya lagi
kelas 6. Akupun memutar ke dalam kamar, tidak jadi menemui mereka tapi tentu
saja mereka sudah melihatku. Aku memegangi topiku seperti layaknya melindungi
benda mahal yang tiada tara nilainya. Tidak
terpikir sedikitpun untuk minta bantuan pada nenek, atau pada anggota rumah
lainnya.
Tidak lama
berselang, nenekku masuk ke kamar sambil berkata, “Dia anak orang kaya di
kampung ini. Oiya, kata kakak-kakaknya, kamu membawa topinya. Benar begitu?”
Dengarlah,
nenekku pun seperti tidak mungkin akan menolongku. Apakah aku harus menunggu
kedatangan orang tuaku agar bisa membelaku? Bagaimana kalau merekapun bersikap
seperti nenek? Ini tidak boleh dibiarkan. Topi ini milikku, aku akan
mempertahankannya sampai kapanpun (lebay juga aku waktu itu yaaJ).
Oh, iya tadi nenek bilang dia anak orang kaya? Bukankah itu artinya dia bisa
membeli topi baru dengan mudah? Aku menegakkan kepala lalu berkata, “Tidak Nek.
Ini topiku.”
“Lalu, mana topi
anak itu?” tanya nenek.
“Aku tidak
tahu.” Hanya itu jawabanku.
“Kalau begitu,
kaukatakan sendiri pada mereka” kata nenek mantap.
Mendengar nada
suara nenek yang mantap, akupun keluar menemui mereka. Mereka akhirnya pulang
tanpa membawa topiku.
Lamunanku buyar
oleh kedatangan seorang anak laki-laki bersama ibunya. Kulihat ia memakai topi
tapi mengapa wajahnya seperti menyimpan persoalan? Tentu persoalannya lebih
dari sekadar topi. “Kami kehilangan rompi,” Kata sang Ibu kepada penjaga
koperasi. Ah, rompi. Anak-anakku masing-masing punya dua rompi seragam.
Sejarahnya tak jauh beda dengan topi.
“Maaf, Bu tapi kita
sedang kehabisan stok rompi ukuran L.” Jawab penjaga koperasi yang disambut
wajah mendung sang anak. Inilah beberapa persoalan di pagi hari yang kadang
membuat orang tua (terutama ibu yang pekerja) sedikit kalang kabut.
Persoalan
tersebut muncul karena anak-anak pada umumnya (terutama anak laki-laki) masih
sulit memanajemen dirinya dalam hal penyimpanan barang-barang pribadi. Sepulang
sekolah, mereka ingin memuaskan hati bermain saja. Ah, benar. Selain itu masih
banyak persoalan lain yang membuat heboh pagi hari. Ikat pinggang, kaos kaki,
kaos dalam, pensil, penggaris, buku paket, krayon, bahkan si kecil karet
penghapus! Tentu saja untuk hari Senin,
topi yang paling populer.
Aku tersenyum
mengingat kisah topiku. Setelah transaksi selesai, aku menuju tempat parkir.
Sebelumnya aku lihat anakku berbaris rapi mengikuti upacara bendera dengan topi
seragam bertengger di kepalanya. Selamat mengikuti upacara bendera, Nak.
Kenang-kenanglah jasa para pahlawan yang membuatmu bisa menikmati kibaran merah
putih di halaman sekolah. Bersama topi seragam tentunya.
Di tengah
perjalanan dari sekolah menuju tempat kerja, aku melihat selembar topi seragam
sekolah yang masih terlihat baru, tergeletak di tengah jalan raya dilindas
roda-roda kendaraan. Aku jadi sedih membayangkan ada satu anak hari itu sedang
gundah hatinya karena telah kehilangan topi di pagi Senin….
***
Dua hari
kemudian, aku baru menyadari di tali jemuran tergantung dua buah celana olah
raga. Artinya, anak laki-lakiku pada hari olah raga membawa pulang dua celana
(salah satu pasti punya temannya) tanpa bajunya. Ini berarti pula, ada anak
lain yang membawa pulang dua baju olah raga (salah satunya pasti punya anakku)
tanpa celana. Aku teringat ibu dan anak yang mencari rompi baru di koperasi
sekolah tapi bayangan itu segera kutepis. Tidak mungkin aku membeli baju olah
raga yang baru. Anakku harus mengembalikan celana yang bukan miliknya dan ia
pun harus mendapatkan kembali baju olah raganya. Aku segera menghubungi gurunya
untuk meminta bantuan agar tidak terjadi salah paham antara anakku dengan
temannya. Celana yang bukan punya anakku diserahkannya pada gurunya. Kata
anakku, sang guru sudah mengumumkannya di kelas. (Sekadar informasi, karena
menerapkan pemisahan murid berdasar jenis kelamin, kelas anak laki-lakiku tentu
saja berisi murid laki-laki semua). Anehnya, sampai satu pekan tidak ada anak
yang menyadari bahwa ia kehiangan celana olah raga. Sampai tiba hari olah raga
kembali, anakku berangkat sekolah tanpa baju olah raga. Hanya saja, hari itu
aku tidak cemas. Aku percaya guru anakku pasti bisa menyelesaikan masalah ini.
Sorenya, ketika
pulang sekolah, anakku menyerahkan selembar baju olah raga yang wanginya asing
di penciuman kamiJ