Senin, 23 September 2013

Pesan untuk Zelda

14.02 0 Comments


Pesan untuk Zelda

Zelda, tak ada hujan hari ini karena musim hujan telah berlalu, namun mendung masih menggantungi pikiranku. Mendung itu kamu, Ze!
Seperti yang pernah kusampaikan padamu, menjadi penulis bukan hanya sebuah pilihan bagiku. Kadang-kadang aku berpikir bahwa menjadi penulis adalah sebuah kewajiban. Ketika kita memiliki sesuatu yang berharga, yang seharusnya dibagi dengan orang lain, kadang menulis adalah suatu keharusan.
Katamu penulis adalah orang-orang individualis. Suka mengurung diri di kamar berjam-jam, mungkin berhari-hari hanya untuk memuaskan diri sendiri, menghasilkan tulisan yang bagus, yang belum tentu dibaca orang. Kamu salah besar, Ze. Menjadi penulis adalah menjadi arti bagi orang lain. Menjadi penulis adalah mengabdi sepanjang masa. Menjadi penulis akan membuat kita memerlukan orang lain. Menjadi penulis adalah terlebih dahulu menjadi pendengar yang baik. Sekalipun yang kita tulis adalah bualan!
Kau tahu Ze, ada pembual yang berhasil mengubah sikap dan gaya hidup beberapa orang dari hasil bualannya (kau sebut kita para pembual karena yang kita tulis adalah karya fiksiJ). Ada pula pembual yang bisa menyumbangkan hasil jualan bualannya untuk membantu sesama.
Mengapa ragu meneruskan langkahmu di jalan pena, Ze? Aku tahu, penulis juga butuh nasi. Jangan khawatir, Ze. Tidak sedikit pembual yang sungguh-sungguh, mereka tidak hanya mampu membeli nasi tapi juga sanggup membeli rumah dan mobil mewah. Tentu saja semua tidak semudah membalik tangan. Kita harus berusaha keras, Ze. Tidak ada yang kebetulan. Tidak ada yang tiba-tiba. Semua sudah ada jatahnya. Masih ingat Misteri DNA-nya Kazuo Murakami? Kupikir di gen kita telah tertulis kata “pembual seumur hidup”. Mungkin saat ini gen pembualmu sedang tertidur.
            Kaubilang kautakut, Ze? Takut apa? Takut pada kritikus? Menurutmu mereka seperti komentator bola yang sibuk mencela para pemain sementara mereka sendiri belum tentu bisa main bagus. Ah, Ze. Kau tidak boleh berpikir seperti itu. Para pemain bola belum tentu dapat melihat semua sudut pandang. Sementara Komentator bola tentu dapat melihat dengan bebas ke segala arah. Ada hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh pemain bola yang hanya bisa dilihat oleh komentator. Begitu juga dengan kritikus. Tentu mereka lebih objektif memandang karya kita dan penglihatannya lebih tajam daripada kita. Apa? Pembantaian? Kautakut karyamu dibantai, Ze? Lebih baik kau tidak usah menulis seumur hidup jika kau takut karyamu dibantai. Untuk apa menulis kalau karyamu tidak boleh dibaca orang lain? Jangan katakan kau ingin karyamu dibaca dan dipuji saja biarpun pujian itu cuma basa-basi “Bagus banget tulisanmu…” padahal di belakangmu sang pemuji mencibir.
Aku tahu Ze, tidak mudah menghasilkan sebuah tulisan. Mau puisi, mau cerpen, mau novel, semua sama-sama tidak gampang. Arswendo pasti lagi membual waktu nulis “Mengarang itu Mudah”. Tapi bukankah tidak ada yang tidak mungkin. Tidak ada yang sulit jika kita berusaha mempelajarinya. Kau sudah membuktikannya? Nah, bagus kalau kau sudah membuktikannya. Berarti Om Arswendo tidak membual. Sekarang apalagi? Kau takut hasil jerih payahmu dicemooh orang? Kupikir wajar saja kau takut dicela. Kupikir tidak ada manusia yang mau dicela tapi coba lihat sisi baiknya, Ze. Dengan celaan itu kita bisa tahu kelemahan kita. Dari celaan itu kita bisa memperbaiki karya kita. Kau menangis saat dicela? Tak apa, Ze. Menangis sajalah. Asal habis menangis segera kauperbaiki karyamu. Ketahuilah Ze, setiap karya akan menemukan nasibnya sendiri. Rasanya aku pernah baca hal demikian di buku Munsyi Sastra Maman S Mahayana. Kita sebagai pengarang tidak pernah bisa menebak apakah karya kita akan jadi monumen atau akan jadi sampah. Tapi aku yakin seyakin-yakinnya, ketika kita menulisnya dari hati, dengan niat terbaik kita, lalu berusaha sebaik-baiknya (dengan banyak baca dan belajar tekniknya), tidak akan ada yang sia-sia.
Kau tanya tentang niat terbaik? Sudah lupakah, Ze? Siapakah kita sebelum menjadi penulis? Siapakah kita sebelum menjadi pembual? Aku tak ingin menjelaskannya di sini. Aku yakin kau akan mengingatnya kembali. (Kecuali jika kau benar-benar lupa).
Masih ragu di jalan ini? Carilah kawan selain aku. Bersama kawan, segalanya akan lebih mudah. Ah, ya aku tahu kau juga takut berkawan dengan para pembual. Memang ada beberapa yang suka ngomong ceplas-ceplos, sikut situ sikut sini, hina sana hina sini, giliran ia yang dihina tidak terima sampai mati. Tapi itu tidak semua kan, Ze? Masih banyak yang baik-baik.
Sekarang, mana karya terbarumu, Ze? Boleh aku baca? Apa?! Sedang tidak mood menulis? Oh, kau masih menjadi budak mood, Ze? Bukankah kita sepakat untuk tidak bergantung lagi pada mood? Ayolah, Ze. Kita bukan pembual ketika kita sedang diam. Kita bukan penulis ketika kita sedang tidak menulis. Penulis itu adalah orang yang menulis, Ze. Sekali lagi “Yang menulis”!
Aku tunggu tulisanmu, Ze. Salam Pena!

Tanpamu Aku Bukan Apa-apa

13.59 0 Comments


TANPAMU AKU BUKAN APA-APA
Oleh Nailiya Nikmah

Barangkali kau punya pengasuh saat si kembar lahir, sehingga masih banyak waktu untuk menulis.
Kalimat tersebut adalah SMS yang kuterima dari seorang kawan. Tak ada angin, tak ada hujan, tak ada prolog sebelumnya. Entah apa yang sedang terjadi dengannya atau yang sedang ia pikirkan ketika mengirim SMS tersebut ke nomorku, aku senyum-senyum saja membacanya. Tanganku menekan tombol-tombol HP, membalas SMS-nya.
Semoga saja kawanku tersebut membaca tulisanku yang ini karena sesungguhnya jawabanku beberapa waktu lalu tidak terlalu tepat dan tidak begitu jujur.
Si kembar lahir tepat ketika semangat menulisku sedang tinggi-tingginya. Sebelumnya aku sempat mengalami fase kegelapan, demikian aku menyebut masa-masa aku stagnan menulis dan bersastra. Fase itu menimpaku setelah aku menikah. Mungkin masa beradaptasi. Saat itu yang ada dalam pikiranku hanyalah bagaimana agar aku bisa lulus kuliah S1 tetap sesuai targetku (3,5 tahun) – aku menikah ketika masih kuliah dan masih ingin meneruskan ke S2, bagaimana agar aku bisa menjadi istri dan ibu yang baik dan bagaimana agar keluarga kecilku hidup bahagia sejahtera selamanya (seperti ending dongeng-dongeng ).
Sepertinya aku memegang standar yang terlalu ideal tentang istri dan ibu yang baik. Aku tidak lagi memiliki waktu untuk keluar bersama teman-teman se-gank, aku tidak punya waktu lagi untuk menulis banyak hal kecuali beberapa puisi galau, aku bahkan tidak terlalu banyak lagi membaca buku kecuali buku tentang merawat diri, merawat bayi, dan buku resep masakan. Waktuku habis untuk rumah tangga dan kantor. Belakangan aku pikir mungkin bukan karena aku tak punya waktu lagi melainkan karena aku tidak menginginkannya sekuat aku menginginkannya dulu.
Fase kegelapanku berakhir setelah aku menyelesaikan studi S2-ku. Saat itu anakku sudah dua dan aku sudah mendapat pekerjaan tetap. Aku mulai sering diserang ide. Aku katakan diserang karena aku tidak mencari-carinya ke sana kemari. Ide itu mengepungku, minta segera dituliskan. Aku mencoba menulis cerpen lagi. Meski aku punya banyak ide, aku tidak punya banyak waktu untuk menuliskannya. Rasa ada yang menekan-nekan di pikiran, rasa ada yang mendesak-desak ingin dikeluarkan. Aku memilih tengah malam sebagai waktu menulis. Itupun kadang tidak cukup.
Cerpen pertamaku setelah masa kegelapanku adalah Episode Durian, dimuat 2 pekan setelah kukirim (thanks Om Sandi). Cerpen yang disambut baik oleh pembaca. Ulasan seorang kritikus membuat cerpen tersebut makin bermakna. Setelah itu, satu-satu cerpenku yang lain lahir. Sesekali aku juga menulis esai dan puisi. Saat itu suamiku bertindak sebagai manajer. Aku tahunya cuma menulis di rumah. Dialah yang mengirimkan cerpenku, mengecekkan hasilnya di koran minggu dan mengambilkan honornya jika cerpenku terbit. Selain menulis, aku sering diminta menjadi pembicara dalam beberapa acara seperti seminar, diskusi, workshop, dan bedah buku seputar sastra dan kepenulisan. Dalam hal ini, suamiku pula yang banyak mendorong dan membantuku. Aku juga mulai aktif di beberapa komunitas sastra dan kepenulisan, pernah juga memenangi lomba menulis cerpen bahasa Banjar.
Di tengah-tengah aktivitas mengajar dan menulisku, aku tetaplah seorang ibu yang sesekali menangis ketika menghadapi anak-anakku. Yang lagi sakit, lah. Yang dinakali teman di sekolah, lah. Yang mogok makan, lah. Yang minta tunggui selama sekolah. Yang menangis ketika dititip dengan Kakak penjaga. Semua sama dengan ibu-ibu lainnya. Mungkin salah satu tips dariku adalah tentang menyiasati waktu. Siasatku adalah tidur paling akhir dan bangun paling awal. Ketika semua penghuni rumah tertidur, aku mengerjakan semua aktivitasku. Membereskan rumah, menyetrika pakaian, mencuci pakaian, menyiapkan bahan mengajar, membaca buku dan mengetik naskah.
Yang paling berkesan adalah ketika aku akan menjadi penguji sidang mahasiswa (:aku seorang dosen). Berhubung saat itu tidak ada yang bisa dititipi, anak-anak kubawa ke kampus. Setengah jam menjelang sidang, aku masih sibuk menegejar kedua anakku dengan sendok yang berisi bubur ayam di halaman kampusJ Syukurlah pas giliran menyidang, ada mahasiswa yang mau kutitipi anak-anak. Alhamdulillah sidangku lancar-lancar saja.
            Si kembar lahir 3 tahun setelah Episode Durian. Si Sulung waktu itu berusia 6 tahun dan si adik 5 tahun. Ketika aku masih di rumah sakit, aku tersenyum membaca esaiku yang dimuat koran Radar (thanks om Randu). Esai tersebut kutulis dan kukirim menjelang kelahiran si kembar. Aku menganggap itu adalah kado melahirkan yang paling indah. Pasca kehadiran si kembar, aku masih bisa aktif. Aku sempat jadi juri lomba menulis cerpen bahasa Banjar. Beberapa karyaku diterbitkan dalam bentuk buku. Ada yang keroyokan, ada yang sendirian.
            Dengan adanya si kembar, otomatis anakku jadi empat orang. Mengurus empat orang anak tanpa pembantu dan masih sempat membaca dan menulis sepertinya adalah hal yang istimewa. Memang waktu anak pertama dan kedua aku sempat memakai jasa penjaga. Tapi tugasnya hanya menjaga anak-anakku selama aku mengajar. Semua pekerjaan rumah tetap aku yang mengerjakan (Salah satu prinsip di keluargaku adalah “Tidak Ada Pembantu is The Best”). Aku malah yang menyiapkan makan dan minum Kakak Penjaga. Bahkan pernah ada Kakak Penjaga yang tidak bisa naik motor. Aku lah yang mengantar jemputnya. Setelah anak-anakku sekolah, aku tidak lagi memerlukan Kakak Penjaga. Nah, pas giliran si kembar, sulit sekali mencari penjaganya karena tidak ada kakak Penjaga yang berani menjaga dua bayi sekaligus.
Lalu, bagaimana aku bisa tetap aktif setelah ada si kembar? Nah, aku pikir sudah saatnya aku mengemukakan rahasia dibalik semuanya. Tentu aku tidak boleh tinggi hati dan melupakan jasa orang-orang terdekatku. Semua itu tidak akan berjalan dengan baik jika aku tidak dibantu dan didukung oleh suami dan kedua orang tuaku. Kadang-kadang adikku ikut pula menjadi penjaga anakku. Kepada merekalah aku biasanya menitipkan anak-anak jika aku mengajar, rapat organisasi, mengisi acara atau sekadar mencari bacaan ke toko buku. Salam hormat dan terima kasih untuk mereka. Terlebih Ayahku, kakek si kembar. Beliau lah yang menjaga dan mengasuh si kembar akhirnya karena bertepatan setelah si kembar lahir, Ayah pensiun (ibuku belum pensiun). Sungguh hebat Ayahku, berani menjaga dua bayi sekaligus!
            Tidak hanya dalam urusan penjagaan anak-anak. Begitu pula dengan pekerjaan rumah. Semua turun tangan membantuku. Dalam hal ini aku benar-benar berterima kasih kepada kedua orang tuaku yang tak bosan-bosannya membantu. Aku bukan apa-apa tanpa mereka.
            Setelah membaca tulisanku, semoga kawanku paham, maklum dan memaafkanku kalau SMS balasanku tidak selengkap tulisan ini. Waktu itu aku hanya membalas: Pengasuh? Haha. Kedua orang tua kami tidak pernah mengizinkan ada pengasuh/pembantu di rumah kami.

Minggu, 08 September 2013

Episode Kenangan

03.45 0 Comments

Episode Kenangan

Kau menyukai seni dan sastra? Aku tidak.
aku tidak menyukai seni dan sastra,
aku mencintainya.

Melalui tulisan ini aku ingin mengenang orang-orang yang pernah ada dalam lintasan sastra dan seniku dalam kurun waktu 2005-2013 khusus di tempat yang dipilihkan-Nya untuk aku menjadi salah satu abdi negara.
***
Aku bekerja di lembagaku sejak 2005. Sejak aku menjalani tes wawancara dan microteach, aku sadar bahwa jika aku diterima, aku akan mengabdi sebagai pengajar pada sebuah lembaga yang tidak dekat dengan dunia seni dan sastra. Terlebih setelah aku membaca silabus di kemudian hari. Akan tetapi aku bersyukur, begitu banyak orang yang berharap bisa lulus tes -- bahkan ada yang berkali-kali-- berguguran begitu saja. Aku yang baru sekali ikut tes, langsung lulus. Jadilah aku sebagai salah satu pengajar di lembagaku. Aku diterima sebagai pengajar Bahasa Indonesia yang dalam perjalanannya aku juga mengajar beberapa pelajaran lain.
Pembelajaran Bahasa Indonesia sebagai pelajaran umum lebih menitikberatkan pada kemampuan menulis karangan ilmiah. Tentu saja tidak ada pelajaran teori sastra; sejarah sastra; apresiasi sastra; kajian puisi, kajian prosa, fiksi dan drama; sastra daerah, dan lain-lain yang berbau sastra. Kadang-kadang aku rindu ingin mengajar sastra dan seni. Pada bab tertentu aku memasukkan drama dan puisi dalam materi. Entah sebagai konten, entah sebagai metode dan strategi.

1.      Kenangan Puisi
Genre sastra yang pertama aku sukai adalah puisi. Sejak SD aku suka menulis puisi. Dengan menulis puisi aku merasa tersalurkan apa yang ada dalam hati. Kesal, sedih, senang, semua kutuangkan dalam puisi. Aku juga sering ikut lomba membaca puisi. Orang tuaku suka mengikutkan aku jika ada lomba baca puisi dan lomba melukis. Yang melatih adalah ayah dan ibuku. Beberapa kali aku pernah menjuarai lomba baca puisi dan lomba melukis. Selain lomba baca puisi dan melukis, orang tuaku juga sering mengikutkanku dalam lomba pidato keagamaan (semacam dai cilik). Mungkin karena membaca puisi dan membaca pidato masih dalam alur yang sama. Hanya saja waktu itu ujung-ujungnya ibuku terkesan menekan dan memaksaku untuk latihan. Aku bosan. Aku tidak mau lagi ikut lomba baca puisi jika ibu yang menyuruhku. Belakangan hari aku menyesal mengapa aku tidak menuruti saja kehendak ibu.
Sejak SD hingga SMA, aku selalu menjadi wakil kelas yang menyampaikan sepatah kata dari siswa yang meninggalkan maupun yang ditinggalkan. Aku juga langganan membaca UUD 1945 ketika upacara bendera senin, kalau tidak menjadi pembawa acara. Bulan Bahasa (Oktober) adalah bulan yang kutunggu-tunggu. Baik di SMP maupun SMA, aku tak pernah ketinggalan ikut lomba yang diadakan sekolahku untuk memperingati bulan bahasa. Semua cabang lomba kuikuti, yaitu menulis karangan, membaca pidato, membaca berita, menulis berita. Aku selalu membawa hadiah sebagai juara.
Ketika aku kuliah, ada salah satu dosen yang paling berjasa dalam jalur kepuisianku (ada dalam esai Tanah Huma). Dan ada beberapa teman seruangan yang sering menjadi kawan aku berbicara puisi (salah satunya sekarag menjadi suamiku).
***

Di lembaga tempat aku mengabdi, aku tak berkesempatan dalam arti kesempatan yang sebenarnya untuk berpuisi. Titik tekan pembelajaran adalah menulis karangan ilmiah. Aku berimprov sedikit dengan memasukkan materi puisi karena menurutku masih sesuai dengan tujuan pembelajaran umum.
Di ruanganku tidak ada yang mencintai puisi. Kalaupun ada, mereka tidak benar-benar mencintai puisi sebagai bagian dari hidupnya. Betapa gembiranya aku ketika baru tahu ada pengajar di ruangan sebelah yang mencintai puisi sama seperti aku. Dia bahkan sudah senior. Dia seorang penyair. Dia seorang sastrawan! Aku tahu dari teman seruanganku. Padahal orang pertama yang kutemui di lembaga ini adalah dia. Dia merupakan salah satu pengujiku ketika tes masuk lembaga (tes wawancara dan mikroteach).
Aku sering mendiskusikan karya sastra dengannya. Jika kami bertemu, yang kami perbincangkan adalah seputar sastra dan seni. Dia juga sering meminjami aku buku. Satu hal yang takkan aku lupakan. Aku pernah kehilangan file materi kajian puisiku. (Ceritanya ada dalam esai lain di laman ini). Ternyata dia masih menyimpannya. Menyenangkan sekali ketika menyadari aku tidak benar-benar sendiri di lembaga ini. Ada dia yang bisa menjadi rekan, teman dan sahabatku dalam dunia sastra. Meski aku harus jaga jarak juga, karena dia laki-lakiJ

2.      Kenangan Drama
Suatu hari, aku sedang menonton pertunjukan drama/teater di gedung Balairung Sari Taman Budaya di kotaku. Di tengah-tengah penonton yang dapat kupastikan tidak ada teman-teman dari lembaga tempat aku bekerja, aku duduk sendiri menikmati pertunjukan. Tiba-tiba mataku menangkap sosok yang sudah kukenal. Aku sangat terkejut. Dia adalah salah satu murid di lembagaku mengajar. Aku tidak menyangka dia ada di situ. Saat itu kulihat ia juga agak terkejut melihat aku ada di gedung pertunjukan. Tahulah aku kemudian bahwa ia orang seni juga. Ketika itu aku seperti menemukan setitik air di tengah kemarau. Hahaha. Mungkin aku terlalu lebay;). Sayang dia (lagi-lagi) seorang laki-laki. Kalau saja ia perempuan, mungkin aku langsung duduk di sampingnya.
Tapi tidak ada apa-apa setelah pertemuan itu. Aku mengajar seperti biasa, dia belajar seperti biasa pula. Aku lupa berapa lama waktu berlalu sampai kami dipertemukan dalam sebuah tim. Bagi orang lain mungkin ini kebetulan tapi bagiku ini sebuah anugerah yang telah disiapkan Tuhan jauh-jauh hari untukku.
Semua berawal dari bincang-bincang aku dengan dua rekan sejawat. Kami bertiga sama-sama memiliki sense of art yang agak lebih (:konyol) dibanding teman-teman lainnya. Kami sama-sama punya ide untuk membuat acara yudisium yang bernuansa seni. Salah satu di antara temanku itu kemudian membuat proposal lengkap yang ia ajukan kepada pimpinan kami. Tidak tanggung-tanggung, ia yang menjabat sebagai ketua, ia juga sudah menyusun nama-nama anggota yang sekiranya bisa kami ajak kerja sama dengan baik. Proposalnya disetujui oleh pimpinan. Kami pun menyambutnya dengan segera bekerja. (Sayang, meski kami sudah melakukannya sesuai prosedur, ternyata konsep tersebut tidak serta-merta berjalan mulus. Banyak rekan lain yang tidak suka. Beberapa hal diubah termasuk susunan kepanitiaan).
Konsep acaranya sangat jauh berbeda dengan konsep acara yudisium tahun-tahun sebelumnya. Aku diminta meng-handle acara drama/teater. Aku juga diminta menyusun naskah yang berisi pengalaman berkesan peserta yudisium selama menempuh pendidikan di lembaga kami. Caranya dengan meminta seluruh peserta didik menuliskan kisahnya kemudian mengumpulkannya kepadaku. Ada 3 kelas yang harus kubaca cerita-ceritanya. Selama proses pembacaan itu, aku sempat jatuh sakit yang cukup parah dan aku sempat pesimis akan tetap bisa bekerja.
Tahap berikutnya adalah pertemuan seluruh calon pengisi acara. Ketua acara menyampaikan konsep acara secara global lalu ia menyuruhku menyampaikan konsep drama/teater. Selanjutnya aku mengadakan pertemuan dengan para calon pemain yang dipilih oleh Ketua acara yudisium. Para calon pemain itu berasal dari seluruh kelas dan semester, kecuali semester akhir. Terpilih beberapa orang. Di antara belasan orang yang dipilih, “dia” salah satunya. 28 Desember 2012 kami mengadakan audisi/casting para pemain. Aku sangat senang bisa satu tim dengannya.
Kepada peserta didik lainnya aku katakan bahwa aku menunjuk “dia” sebagai pemimpin sekaligus pelatih. “Mungkin dalam tim ini ada yang sudah punya jabatan penting di organisasi lain, mungkin ada yang sudah jadi ketua atau posisi penting lainnya. Ibu harap, kali ini, semua mengikuti aturan temanmu yang satu ini karena ia lah sekarang pemimpin kalian.”
Latihan demi latihan yang kami jalani sangat menyenangkan. Apalagi dia juga menyelipkan games dalam setiap latihan. Nama gamesnya “sutradara bilang”. Sebenarnya aku pernah ikut games semacam itu pada pelatihan-pelatihan lain tapi melihat peserta didikku bermain dengan riang akupun tertarik dan akhirnya membaur dengan mereka dalam satu games. Mungkin games itu juga yang membuat peserta didikku cepat akrab meski mereka berasal dari berbagai kelas dan angkatan.
“Ingat, jangan sampai ada yang terkena cinta lokasi ya. Ibu harap sebelum kalian tampil mentas di acara yudisium, tidak ada yang boleh terkena cinta lokasi. Nanti bisa kacau,” ucapku mewanti-wanti sambil separuh bercanda.
Ketua acara ingin drama yang kami pentaskan nanti lucu. Aku kemudian menyerahkan naskahku kepada “dia”. Kusilakan ia melakukan perubahan-perubahan asal alurnya tidak keluar. Karena drama yang akan kami pentaskan adalah kabaret, dan karena keterbatasan alat saat mentas, kami memutuskan untuk merekam suara. Jadi nantinya semuanya lipsing. Proses perekaman mempunyai kesulitan tersendiri. Aku melihat langsung bagaimana susahnya proses perekaman suara.
Sayang sekali ada cerita sedih di balik pertunjukan kami. Mulai dari lambatnya SK panitia keluar, keluarnya 4 orang pemain dari tim, pengunduran jadwal tayang drama dari acara pembuka sampai jadi acara akhir yang tanpa konfirmasi, komen-komen miring berkenaan dengan budget (padahal aku tidak minta apa-apa), rencana perekaman ulang, sampai dengan tidak dicantumkannya acara drama dalam susunan acara di cetakan undangan (tanpa konfirmasi juga kepadaku selaku penghandle drama). Aku lantas merasa seperti melawan arus. Aku merasa punya beban “jika mainnya tidak bagus, drama dibatalkan saja.” Tidak seperti pengisi acara yang lain. Bagus tidak bagus mereka tetap akan tampil. Semua hal fals ini kututupi dari anggota drama yang lain. Aku tidak mau konsentrasi mereka terganggu. Hanya saja aku agak galau karena kemudian ada suatu fase mereka sulit sekali untuk dikumpulkan secara lengkap. Aku berdiskusi dengannya. Dia mengusulkan kami membuat semacam surat komitmen yang harus ditandatangani setiap pemain. Aku minta dia mengonsep dan aku mengetiknya.
Pada pertemuan, nyatanya aku malah batal menyebar surat komitmen untuk ditandatangani. Aku sadar, aku bukan siapa-siapa untuk bisa menekan mereka. Aku pun tidak punya apa-apa yang bisa kujanjikan sebagai kompensasi jika mereka rajin berlatih. Akhirnya aku hanya mengatakan, “Benar-benar, lah kalian berlatih. Jika kalian tidak yakin bisa menampilkan yang terbaik, lebih baik kalian tidak usah tampil. Jika kalian memang ingin tampil, tunjukkan bahwa kalian memang layak untuk tampil.”
Ketika mereka bersemangat kembali aku katakan, “Ibu sangat berterima kasih kalian mau capek-capek latihan. Ibu tidak bisa menjanjikan apa-apa kepada kalian. Ibu tidak bisa memberikan apa-apa. Ibu bersyukur bisa dipertemukan dengan lima belas orang seperti kalian di tengah-tengah lembaga ini. Sudah lama Ibu merindukan suasana seperti ini,”
Menjelang hari H, kami lebih giat dan intens berlatih. Karena persepsi yang kurang baik terhadap drama, aku menjadi merasa tertantang untuk melakukan yang terbaik. Aku seperti tidak berada dalam kepanitiaan secara global lagi. Apalagi setelah ada anggota di kepanitiaan yang mengambil alih semua hal tanpa memperhatikan etika team work padahal ia bukan ketua. Aku seperti seorang ibu yang anak-anaknya akan mengikuti sebuah lomba. Latihan kupindah ke rumahku. Semula gara-gara “markas”, tempat kami biasa latihan, dipakai orang. Keesokannya, semua malah sepakat latihan tetap di rumahku. Kebersamaan yang intens itu juga membuat kami makin solid. Makan bersama, minum bersama, bercanda bersama. Kami menjadi lebih dekat satu sama lain. Serasa seperti satu keluarga.
Beberapa hari sebelum gladi bersih, panitia ingin melakukan gladi. Kami menyebutnya gladi kotor. Kukatakan padanya, aku kurang sepakat kalau drama kami ditampilkan secara utuh saat gladi. Ternyata ia sependapat denganku. Jadilah mereka hanya melakukan gerakan-gerakan dan sedikit berbicara tanpa diiringi musik/rekaman suara mereka. Begitu juga saat gladi bersih. Tidak seperti pengisi acara lainnya, kami tidak menampilkan secara utuh pertunjukan kami. Aku bahkan tidak menyerahkan kopian file rekaman suara timku kepada panitia lain. Aku takut terjadi apa-apa dengan timku. Aku tidak mau timku diintervensi apalagi disabotase. Timku tidak boleh gagal. Mereka harus tampil apapun yang terjadi.Sepertinya aku berlebihanJ
Well, akhirnya 28 Agustus 2013 tiba. Kami berangkat bareng dari rumahku. Saatnya mereka tampil. Aku sempat kecewa lagi karena giliran mereka tampil diundur kembali dan lagi-lagi tanpa konfirmasi. Akhirnya kukatakan pada mereka, “Kita menunggu MC saja. Saat MC memanggil, itulah giliran kita.”
“Maaf ya, Ibu tidak bisa memperjuangkan agar giliran kalian tampil tetap seperti rencana semula,” sesalku padanya.
“Mau tampil di awal, di tengah, atau di akhir, sama saja Bu. Asal kita mainnya bagus, penonton pasti akan tetap tertarik” hiburnya.
Aku duduk di antara timku, tidak di deretan bangku tamu dan pengajar. Sesekali aku menimpali candaan mereka.
“Bu, properti kita meja yang kecil putih kemarin ternyata dipakai untuk tamu undangan. Bagaimana ini?” tanya dia. “Bisakah kita mendapatkan meja lain yang seperti itu?”
“Akan ibu carikan. Kalau tidak ada juga, pas giliran kita, angkat saja meja di deretan tamu itu. Kalau tidak ada yang berani, nanti ibu yag mengangkatnya” sahutku.
Ternyata setelah kutanyakan dengan pihak hotel, meja itu dari marmer. Sepertinya aku tidak akan kuat mengangkatnya sendiriJ, akhirnya kami diberi meja lain
Ah, satu lagi, tentang pencahayaan. Supaya pertunjukan lebih bagus dan fokus, kupikir lebih baik semua lampu dimatikan kecuali lampu yang di bawah panggung. Aku sangat berterima kasih pada rekan sejawatku yang dengan suka rela mau menjadi operator lampu yang sangat baik. Sebelum giliran kami tiba, aku mencandainya, “Bu, ibu aja ya yang ngurusi lampu. Kumohon bantuannya…” ucapku sambil membungkuk seperti di film-film Jepang.
 “Bu, file rekaman suara dan musik kita ada dalam laptop ini. Ibu aja yang pegang. Ibu aja yang handle pas kami tampil,” dia memberiku tugas. Sepertinya ia mulai ketularan akuJ. “unbelive anyone”. Jika ada sesuatu aku hanya bertanya dan bicara dengannya. Jangan sampai empat belas orang yang lain ketularan cemas.
“Wah, kuterima amanah berat ini. Semoga aku bisa menjalankannya, yah?” gurauku sambil bergaya hiperbola. Tanganku membuka laptop.
“Ibu mau ngapain?” kata anggota yang lain.
“Mau bertegur sapa dulu dengan laptopnya,”
Mereka senyum-senyum.
“Apakah kalian punya file cadangan?” tanyaku.
“Maksud ibu?”
“Yaa…cadangan file selain dalam laptop ini?”
“Baterainya full, Bu. Lagian kita bawa chargernya. Ini laptop yang biasa kita pakai latihan juga, kok”
“Bagaimana kalau mati lampu?” ada yang menimpali.
“Hei, ini Merqure!” teriak yang lain. Kami pun tergelak bersama.
Aku takut mengatakan hal terburuk. Akhirnya aku diam saja. 
Di tengah acara, laptop panitia eror. Musik pengiring acara sempat tidak bisa keluar. Seharusnya ada musik yang mengiringi ketika para yudisiawan menjalani prosesi yudisium. Aku tidak tahan lagi. Aku bisiki “dia”, “Bagaimana kalau laptop ini tiba-tiba tidak bisa dibuka? Apa yang akan terjadi dengan kita?” Dia hanya tersenyum, “Tidak akan. Laptopnya pasti bisa dibuka. Tidak akan terjadi apa-apa. Semua akan berjalan lancar.”
Aku mengangguk dan mempercayai kata-katanya. Hari ini aku benar-benar jadi pencemas. Hei, laptop tolong kerja samamu, ya… aku mengelus laptop tersebut.
Aku sudah tenang sekarang. Aku berusaha menikmati suguhan acara lain. Tapi tidak lama kemudian aku lihat dia merogoh tasnya. Kulihat ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Sebuah benda kecil persegi empat. Flashdisk!
“Bu, jika terjadi apa-apa dengan laptopnya, file cadangan ada dalam sini” wajahnya sangat serius. Giliran aku yang tersenyum sekarang.
 Mereka mentas dengan sempurna. Penonton tertawa. Aku menyeka airmata karena terharu. Setelah semua yang sudah kualami dan kurasakan, rasanya tidak ada yang lebih menyenangkan selain melihat mereka tampil bagus. Mereka sukses! Di antara semua acara, kabaret lah yang paling menyedot perhatian. Tepuk tangan, senyum dan tawa, riuh rendah di lantai atas hotel Merqure. Ketika lima belas teman-teman timku saling berpegangan tangan, membungkukkan badan mereka, lalu bangkit kembali sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi, perlahan-lahan, perasaan bangga mengendap-endap dalam dadaku. (Perasaan yang kemudian hari merusak keihklasanku di jalan ini. Setelah kesuksesan timku, aku sempat bete berat karena ada seseorang yang mengaku-ngaku menjadi manajer timku. Seseorang yang secara tidak langsung mengatakan bahwa kesuksesan timku bukan karena aku. Seseorang yang sedikitpun tidak memberiku apresiasi. Seseorang yang membuatku su’ul khatimah). Aku terharu, itulah closing terindah yang sekian lama aku nanti-nantikan.
Tepuk tangan yang mengiringi closing mereka, membuat airmataku menderas. Yang membuat airmataku tak terbendung adalah aku tahu ini bukan saja closing sebuah pertunjukan melainkan juga closing kebersamaan kami. Kami bukan organisasi resmi. Kami bukan lembaga ekskul. Kami hanya tim dalam drama ini. Seusai acara itu aku selalu saja menangis jika mengingat mereka. I’m sorry Team, sepertinya aku yang terkena cinta lokasi. Aku jatuh cinta pada kalian semua!
Tiga hari setelah itu, kami melakukan perjalanan bersama. Wisata air menyusuri sungai di Banjarmasin dimulai dari pukul 5 dini hari. Kami berkumpul di kost salah seorang anggota tim. Semula mereka ingin berkumpul di rumahku, bahkan ada yang mengusulkan agar nginap di rumahkuJ. Tapi tidak jadi karena aku takut penghuni rumahku terbangun semua dan ingin ikut juga. Rutenya dimulai dari Kuin, ke pasar terapung, ke pulau kembang, keliling Banjarmasin. Sebelum hari itu, sedikitpun aku tidak pernah membayangkan akan melakukan perjalanan bersama mereka. Beberapa komunitasku yang mengagendakan wisata air bersama malah belum pernah kuikuti.
Beberapa orang menyayangkan kenapa saat closing dan tepuk tangan itu bergemuruh aku tidak ikut naik ke panggung. Sekian hari berlalu, aku mengerti satu hal, aku memang tidak perlu naik ke panggung saat teman-teman timku melakukan closing. Tepuk tangan di akhir pertunjukan itu tentu saja bukan untukku karena aku memang bukan apa-apa dalam tim ini. Lagipula aku tidak memerlukan tepuk tangan. Aku hanya seorang perindu sastra yang sudah terbasuh rindunya setelah dipertemukan dengan lima belas orang pelaku sastra yang hebat dalam lembaga non sastra. Itu sudah lebih dari cukup. Terima kasih Tuhan karena telah mempertemukan aku dengan mereka. Congratulation team! Good bye. I will be miss u so much…L

Note:
Dalam momen ini aku juga berterima kasih pada teman terbaikku, JKF. Yang dari awal sampai pascapertunjukan selalu memberiku dukungan.

3.      Kenangan Blogger
Dunia blogger memang bukan dunia baru bagiku sekarang tapi dulu, aku termasuk orang yang gaptek juga lohJ. Aku malas bersentuhan dengan teknologi jika aku tidak benar-benar membutuhkannya. Aku mengenal email dari dosenku karena dulu tugas-tugas mata kuliahnya harus dikirim lewat email. Facebook pun dibuatkan oleh teman perempuan se-organisasi. Waktu itu membuatya juga karena iseng dan tidak berniat menekuninya. Hanya agar bisa menjawab jika ditanya orang apakah aku punya akun fb atau tidak. Dia juga yang mengajariku blog.
Khusus blog, selama aku berada di lembaga, aku berhutang budi pada beberapa orang. Orang pertama di lembaga yang membuatku tidak gaptek lagi tentang blog adalah seorang pengajar (lagi-lagi!) laki-laki. Dia membuatkan aku email, lalu membuatkanku satu blog. Lama-lama aku jadi tidak enak jika terlalu sering bertanya dan merepotkannya. Aku sempat meninggalkan blogku begitu saja.
Suatu hari aku kangen dengan blogku dan berniat memperbaharuinya. Aku belajar dari buku tapi sepertinya tidak cukup. Aku pun bertanya ke sana kemari, mencari-cari orang yang mau membantuku memperbaharui tampilan blogku. Aku berharap murid perempuanku mau mengajariku ternyata ia juga tidak terlalu terampil. Ia merekomendasikan sebuah nama dan no kontak padaku. Ia juga yang mengenalkanku pada seseorang yang menurutnya lebih mengerti tentang blog daripada dia. Dia (laki-laki, again!) masih murid di lembagaku tapi di ruangan sebelah.
Menyenangkan sekali bisa mengenalnya. Bagiku, dia tidak hanya seorang instruktur blog tapi juga teman diskusi yang seru. Dia pecinta buku juga (pecinta buku sejati). Dia hobi baca sastra juga. Padahal ia sedang studi di jurusan yang sangat jauuh dari yang namanya sastra. Serius!
Jika ada tulisanku yang dimuat di media, aku memberitahunya. Biasanya dia mengucapkan selamat tapi dia juga pernah mengkritik salah satu cerpenku. Ini di luar dugaanku. Secara usia, aku lebih tua daripada dia. Secara posisi, aku pengajar sedangkan dia murid di lembaga. Tapi sepertinya aku tidak boleh melupakan satu hal. Dia adalah instrukturku yang hobi baca bukuJ. Dia bilang, “Saya agak terganggu dengan tokoh A. Mengapa tokoh A begini-begini padahal awalnya ibu menyebutnya begitu-begitu.” Seorang pengkritik dari lembagaku? Ini seperti menemukan berlian di padang paku!
            Aku pernah menerima sms darinya, “Ibu masih tertarik belajar tentang blog?”
            “Tentu saja, aku masih harus banyak belajar” jawabku.
            “Aku punya buku bagus tentang blog. Ibu mau?”
            “Boleh. Berapa harganya?”
            “Cuma-cuma, Bu. Saya dulu juga dikasih teman. Saya pikir, sekarang ibu lebih memerlukannya daripada saya. Nanti saya antar ke ruangan ibu. Kapan ibu ada di ruangan?”
            Aku tak habis pikir. Aku mendapat buku darinya. Menurutku, seharusnya aku yang memberinya buku. Aku memang pernah berniat ingin memberinya buku tapi ternyata ia melampauiku dalam hal ini.
            Sayang, ia sekarang sudah lulus. Di hari wisudanya, kami membuat foto kenangan. Jika kupandangi foto itu, aku tersenyum. Rasanya tidak percaya. Aku bisa bertemu dengan seorang pecinta buku dan penyuka tulis-menulis seperti dia, di lembagaku? Syahrini bilang, Sesuatu!!! J