Senin, 23 September 2013
Pesan untuk Zelda
Zelda,
tak ada hujan hari ini karena musim hujan telah berlalu, namun mendung masih
menggantungi pikiranku. Mendung itu kamu, Ze!
Seperti
yang pernah kusampaikan padamu, menjadi penulis bukan hanya sebuah pilihan
bagiku. Kadang-kadang aku berpikir bahwa menjadi penulis adalah sebuah
kewajiban. Ketika kita memiliki sesuatu yang berharga, yang seharusnya dibagi
dengan orang lain, kadang menulis adalah suatu keharusan.
Katamu
penulis adalah orang-orang individualis. Suka mengurung diri di kamar
berjam-jam, mungkin berhari-hari hanya untuk memuaskan diri sendiri,
menghasilkan tulisan yang bagus, yang belum tentu dibaca orang. Kamu salah
besar, Ze. Menjadi penulis adalah menjadi arti bagi orang lain. Menjadi penulis
adalah mengabdi sepanjang masa. Menjadi penulis akan membuat kita memerlukan
orang lain. Menjadi penulis adalah terlebih dahulu menjadi pendengar yang baik.
Sekalipun yang kita tulis adalah bualan!
Kau
tahu Ze, ada pembual yang berhasil mengubah sikap dan gaya hidup beberapa orang dari hasil
bualannya (kau sebut kita para pembual karena yang kita tulis adalah karya
fiksiJ).
Ada pula
pembual yang bisa menyumbangkan hasil jualan bualannya untuk membantu sesama.
Mengapa
ragu meneruskan langkahmu di jalan pena, Ze? Aku tahu, penulis juga butuh nasi.
Jangan khawatir, Ze. Tidak sedikit pembual yang sungguh-sungguh, mereka tidak
hanya mampu membeli nasi tapi juga sanggup membeli rumah dan mobil mewah. Tentu
saja semua tidak semudah membalik tangan. Kita harus berusaha keras, Ze. Tidak
ada yang kebetulan. Tidak ada yang tiba-tiba. Semua sudah ada jatahnya. Masih
ingat Misteri DNA-nya Kazuo Murakami? Kupikir di gen kita telah tertulis kata
“pembual seumur hidup”. Mungkin saat ini gen pembualmu sedang tertidur.
Kaubilang kautakut, Ze? Takut apa?
Takut pada kritikus? Menurutmu mereka seperti komentator bola yang sibuk
mencela para pemain sementara mereka sendiri belum tentu bisa main bagus. Ah,
Ze. Kau tidak boleh berpikir seperti itu. Para
pemain bola belum tentu dapat melihat semua sudut pandang. Sementara Komentator
bola tentu dapat melihat dengan bebas ke segala arah. Ada hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh
pemain bola yang hanya bisa dilihat oleh komentator. Begitu juga dengan
kritikus. Tentu mereka lebih objektif memandang karya kita dan penglihatannya
lebih tajam daripada kita. Apa? Pembantaian? Kautakut karyamu dibantai, Ze?
Lebih baik kau tidak usah menulis seumur hidup jika kau takut karyamu dibantai.
Untuk apa menulis kalau karyamu tidak boleh dibaca orang lain? Jangan katakan
kau ingin karyamu dibaca dan dipuji saja biarpun pujian itu cuma basa-basi
“Bagus banget tulisanmu…” padahal di belakangmu sang pemuji mencibir.
Aku
tahu Ze, tidak mudah menghasilkan sebuah tulisan. Mau puisi, mau cerpen, mau
novel, semua sama-sama tidak gampang. Arswendo pasti lagi membual waktu nulis
“Mengarang itu Mudah”. Tapi bukankah tidak ada yang tidak mungkin. Tidak ada
yang sulit jika kita berusaha mempelajarinya. Kau sudah membuktikannya? Nah,
bagus kalau kau sudah membuktikannya. Berarti Om Arswendo tidak membual.
Sekarang apalagi? Kau takut hasil jerih payahmu dicemooh orang? Kupikir wajar
saja kau takut dicela. Kupikir tidak ada manusia yang mau dicela tapi coba
lihat sisi baiknya, Ze. Dengan celaan itu kita bisa tahu kelemahan kita. Dari
celaan itu kita bisa memperbaiki karya kita. Kau menangis saat dicela? Tak apa,
Ze. Menangis sajalah. Asal habis menangis segera kauperbaiki karyamu.
Ketahuilah Ze, setiap karya akan menemukan nasibnya sendiri. Rasanya aku pernah
baca hal demikian di buku Munsyi Sastra Maman S Mahayana. Kita sebagai
pengarang tidak pernah bisa menebak apakah karya kita akan jadi monumen atau
akan jadi sampah. Tapi aku yakin seyakin-yakinnya, ketika kita menulisnya dari
hati, dengan niat terbaik kita, lalu berusaha sebaik-baiknya (dengan banyak
baca dan belajar tekniknya), tidak akan ada yang sia-sia.
Kau
tanya tentang niat terbaik? Sudah lupakah, Ze? Siapakah kita sebelum menjadi
penulis? Siapakah kita sebelum menjadi pembual? Aku tak ingin menjelaskannya di
sini. Aku yakin kau akan mengingatnya kembali. (Kecuali jika kau benar-benar
lupa).
Masih
ragu di jalan ini? Carilah kawan selain aku. Bersama kawan, segalanya akan
lebih mudah. Ah, ya aku tahu kau juga takut berkawan dengan para pembual.
Memang ada beberapa yang suka ngomong ceplas-ceplos, sikut situ sikut sini,
hina sana hina
sini, giliran ia yang dihina tidak terima sampai mati. Tapi itu tidak semua kan, Ze? Masih banyak
yang baik-baik.
Sekarang,
mana karya terbarumu, Ze? Boleh aku baca? Apa?! Sedang tidak mood menulis? Oh, kau masih menjadi
budak mood, Ze? Bukankah kita sepakat
untuk tidak bergantung lagi pada mood?
Ayolah, Ze. Kita bukan pembual ketika kita sedang diam. Kita bukan penulis
ketika kita sedang tidak menulis. Penulis itu adalah orang yang menulis, Ze.
Sekali lagi “Yang menulis”!
Aku
tunggu tulisanmu, Ze. Salam Pena!
TANPAMU AKU BUKAN
APA-APA
Oleh Nailiya Nikmah
Barangkali kau punya pengasuh saat si kembar
lahir, sehingga masih banyak waktu untuk menulis.
Kalimat
tersebut adalah SMS yang kuterima dari seorang kawan. Tak ada angin, tak ada
hujan, tak ada prolog sebelumnya. Entah apa yang sedang terjadi dengannya atau
yang sedang ia pikirkan ketika mengirim SMS tersebut ke nomorku, aku senyum-senyum
saja membacanya. Tanganku menekan tombol-tombol HP, membalas SMS-nya.
Semoga
saja kawanku tersebut membaca tulisanku yang ini karena sesungguhnya jawabanku
beberapa waktu lalu tidak terlalu tepat dan tidak begitu jujur.
Si
kembar lahir tepat ketika semangat menulisku sedang tinggi-tingginya.
Sebelumnya aku sempat mengalami fase
kegelapan, demikian aku menyebut masa-masa aku stagnan menulis dan
bersastra. Fase itu menimpaku setelah aku menikah. Mungkin masa beradaptasi.
Saat itu yang ada dalam pikiranku hanyalah bagaimana agar aku bisa lulus kuliah
S1 tetap sesuai targetku (3,5 tahun) – aku menikah ketika masih kuliah dan
masih ingin meneruskan ke S2, bagaimana agar aku bisa menjadi istri dan ibu
yang baik dan bagaimana agar keluarga kecilku hidup bahagia sejahtera selamanya
(seperti ending dongeng-dongeng ).
Sepertinya
aku memegang standar yang terlalu ideal tentang istri dan ibu yang baik. Aku
tidak lagi memiliki waktu untuk keluar bersama teman-teman se-gank, aku tidak
punya waktu lagi untuk menulis banyak hal kecuali beberapa puisi galau, aku
bahkan tidak terlalu banyak lagi membaca buku kecuali buku tentang merawat
diri, merawat bayi, dan buku resep masakan. Waktuku habis untuk rumah tangga
dan kantor. Belakangan aku pikir mungkin bukan karena aku tak punya waktu lagi
melainkan karena aku tidak menginginkannya sekuat aku menginginkannya dulu.
Fase
kegelapanku berakhir setelah aku menyelesaikan studi S2-ku. Saat itu anakku
sudah dua dan aku sudah mendapat pekerjaan tetap. Aku mulai sering diserang
ide. Aku katakan diserang karena aku tidak mencari-carinya ke sana kemari. Ide itu mengepungku, minta
segera dituliskan. Aku mencoba menulis cerpen lagi. Meski aku punya banyak ide,
aku tidak punya banyak waktu untuk menuliskannya. Rasa ada yang menekan-nekan
di pikiran, rasa ada yang mendesak-desak ingin dikeluarkan. Aku memilih tengah
malam sebagai waktu menulis. Itupun kadang tidak cukup.
Cerpen
pertamaku setelah masa kegelapanku adalah Episode
Durian, dimuat 2 pekan setelah kukirim (thanks Om Sandi). Cerpen yang
disambut baik oleh pembaca. Ulasan seorang kritikus membuat cerpen tersebut
makin bermakna. Setelah itu, satu-satu cerpenku yang lain lahir. Sesekali aku
juga menulis esai dan puisi. Saat itu suamiku bertindak sebagai manajer. Aku
tahunya cuma menulis di rumah. Dialah yang mengirimkan cerpenku, mengecekkan
hasilnya di koran minggu dan mengambilkan honornya jika cerpenku terbit. Selain
menulis, aku sering diminta menjadi pembicara dalam beberapa acara seperti
seminar, diskusi, workshop, dan bedah buku seputar sastra dan kepenulisan.
Dalam hal ini, suamiku pula yang banyak mendorong dan membantuku. Aku juga mulai
aktif di beberapa komunitas sastra dan kepenulisan, pernah juga memenangi lomba
menulis cerpen bahasa Banjar.
Di
tengah-tengah aktivitas mengajar dan menulisku, aku tetaplah seorang ibu yang
sesekali menangis ketika menghadapi anak-anakku. Yang lagi sakit, lah. Yang dinakali
teman di sekolah, lah. Yang mogok makan, lah. Yang minta tunggui selama
sekolah. Yang menangis ketika dititip dengan Kakak penjaga. Semua sama dengan
ibu-ibu lainnya. Mungkin salah satu tips dariku adalah tentang menyiasati
waktu. Siasatku adalah tidur paling akhir dan bangun paling awal. Ketika semua
penghuni rumah tertidur, aku mengerjakan semua aktivitasku. Membereskan rumah,
menyetrika pakaian, mencuci pakaian, menyiapkan bahan mengajar, membaca buku
dan mengetik naskah.
Yang
paling berkesan adalah ketika aku akan menjadi penguji sidang mahasiswa (:aku
seorang dosen). Berhubung saat itu tidak ada yang bisa dititipi, anak-anak
kubawa ke kampus. Setengah jam menjelang sidang, aku masih sibuk menegejar
kedua anakku dengan sendok yang berisi bubur ayam di halaman kampusJ
Syukurlah pas giliran menyidang, ada mahasiswa yang mau kutitipi anak-anak. Alhamdulillah
sidangku lancar-lancar saja.
Si kembar lahir 3 tahun setelah
Episode Durian. Si Sulung waktu itu berusia 6 tahun dan si adik 5 tahun. Ketika
aku masih di rumah sakit, aku tersenyum membaca esaiku yang dimuat koran Radar
(thanks om Randu). Esai tersebut kutulis dan kukirim menjelang kelahiran si
kembar. Aku menganggap itu adalah kado melahirkan yang paling indah. Pasca
kehadiran si kembar, aku masih bisa aktif. Aku sempat jadi juri lomba menulis
cerpen bahasa Banjar. Beberapa karyaku diterbitkan dalam bentuk buku. Ada yang keroyokan, ada
yang sendirian.
Dengan adanya si kembar, otomatis
anakku jadi empat orang. Mengurus empat orang anak tanpa pembantu dan masih
sempat membaca dan menulis sepertinya adalah hal yang istimewa. Memang waktu
anak pertama dan kedua aku sempat memakai jasa penjaga. Tapi tugasnya hanya
menjaga anak-anakku selama aku mengajar. Semua pekerjaan rumah tetap aku yang
mengerjakan (Salah satu prinsip di keluargaku adalah “Tidak Ada Pembantu is The
Best”). Aku malah yang menyiapkan makan dan minum Kakak Penjaga. Bahkan pernah
ada Kakak Penjaga yang tidak bisa naik motor. Aku lah yang mengantar jemputnya.
Setelah anak-anakku sekolah, aku tidak lagi memerlukan Kakak Penjaga. Nah, pas
giliran si kembar, sulit sekali mencari penjaganya karena tidak ada kakak
Penjaga yang berani menjaga dua bayi sekaligus.
Lalu,
bagaimana aku bisa tetap aktif setelah ada si kembar? Nah, aku pikir sudah saatnya
aku mengemukakan rahasia dibalik semuanya. Tentu aku tidak boleh tinggi hati
dan melupakan jasa orang-orang terdekatku. Semua itu tidak akan berjalan dengan
baik jika aku tidak dibantu dan didukung oleh suami dan kedua orang tuaku. Kadang-kadang
adikku ikut pula menjadi penjaga anakku. Kepada merekalah aku biasanya
menitipkan anak-anak jika aku mengajar, rapat organisasi, mengisi acara atau
sekadar mencari bacaan ke toko buku. Salam hormat dan terima kasih untuk
mereka. Terlebih Ayahku, kakek si kembar. Beliau lah yang menjaga dan mengasuh
si kembar akhirnya karena bertepatan setelah si kembar lahir, Ayah pensiun
(ibuku belum pensiun). Sungguh hebat Ayahku, berani menjaga dua bayi sekaligus!
Tidak hanya dalam urusan penjagaan
anak-anak. Begitu pula dengan pekerjaan rumah. Semua turun tangan membantuku.
Dalam hal ini aku benar-benar berterima kasih kepada kedua orang tuaku yang tak
bosan-bosannya membantu. Aku bukan apa-apa tanpa mereka.
Setelah membaca tulisanku, semoga
kawanku paham, maklum dan memaafkanku kalau SMS balasanku tidak selengkap
tulisan ini. Waktu itu aku hanya membalas: Pengasuh?
Haha. Kedua orang tua kami tidak pernah mengizinkan ada pengasuh/pembantu di
rumah kami.
Minggu, 08 September 2013
Episode Kenangan
Kau menyukai seni dan sastra? Aku tidak.
aku tidak menyukai seni dan sastra,
aku mencintainya.
Melalui tulisan ini aku ingin
mengenang orang-orang yang pernah ada dalam lintasan sastra dan seniku dalam
kurun waktu 2005-2013 khusus di tempat yang dipilihkan-Nya untuk aku menjadi
salah satu abdi negara.
***
Aku bekerja di
lembagaku sejak 2005. Sejak aku menjalani tes wawancara dan microteach, aku sadar bahwa jika aku
diterima, aku akan mengabdi sebagai pengajar pada sebuah lembaga yang tidak
dekat dengan dunia seni dan sastra. Terlebih setelah aku membaca silabus di
kemudian hari. Akan tetapi aku bersyukur, begitu banyak orang yang berharap
bisa lulus tes -- bahkan ada yang berkali-kali-- berguguran begitu saja. Aku
yang baru sekali ikut tes, langsung lulus. Jadilah aku sebagai salah satu
pengajar di lembagaku. Aku diterima sebagai pengajar Bahasa Indonesia yang
dalam perjalanannya aku juga mengajar beberapa pelajaran lain.
Pembelajaran
Bahasa Indonesia sebagai pelajaran umum lebih menitikberatkan pada kemampuan
menulis karangan ilmiah. Tentu saja tidak ada pelajaran teori sastra; sejarah
sastra; apresiasi sastra; kajian puisi, kajian prosa, fiksi dan drama; sastra
daerah, dan lain-lain yang berbau sastra. Kadang-kadang aku rindu ingin
mengajar sastra dan seni. Pada bab tertentu aku memasukkan drama dan puisi
dalam materi. Entah sebagai konten, entah sebagai metode dan strategi.
1. Kenangan Puisi
Genre sastra
yang pertama aku sukai adalah puisi. Sejak
SD aku suka menulis puisi. Dengan
menulis puisi aku merasa tersalurkan apa yang ada dalam hati. Kesal, sedih,
senang, semua kutuangkan dalam puisi. Aku juga sering ikut lomba membaca puisi.
Orang tuaku suka mengikutkan aku jika ada lomba baca puisi dan lomba melukis. Yang
melatih adalah ayah dan ibuku. Beberapa kali aku pernah menjuarai lomba baca
puisi dan lomba melukis. Selain lomba baca puisi dan melukis, orang tuaku juga
sering mengikutkanku dalam lomba pidato keagamaan (semacam dai cilik). Mungkin
karena membaca puisi dan membaca pidato masih dalam alur yang sama. Hanya saja
waktu itu ujung-ujungnya ibuku terkesan menekan dan memaksaku untuk latihan.
Aku bosan. Aku tidak mau lagi ikut lomba baca puisi jika ibu yang menyuruhku.
Belakangan hari aku menyesal mengapa aku tidak menuruti saja kehendak ibu.
Sejak SD
hingga SMA, aku selalu menjadi wakil kelas yang menyampaikan sepatah kata dari
siswa yang meninggalkan maupun yang ditinggalkan. Aku juga langganan membaca
UUD 1945 ketika upacara bendera senin, kalau tidak menjadi pembawa acara. Bulan
Bahasa (Oktober) adalah bulan yang kutunggu-tunggu. Baik di SMP maupun SMA, aku
tak pernah ketinggalan ikut lomba yang diadakan sekolahku untuk memperingati
bulan bahasa. Semua cabang lomba kuikuti, yaitu menulis karangan, membaca
pidato, membaca berita, menulis berita. Aku selalu membawa hadiah sebagai
juara.
Ketika aku
kuliah, ada salah satu dosen yang paling berjasa dalam jalur kepuisianku (ada
dalam esai Tanah Huma). Dan ada beberapa teman seruangan yang sering menjadi
kawan aku berbicara puisi (salah satunya sekarag menjadi suamiku).
***
Di lembaga
tempat aku mengabdi, aku tak berkesempatan dalam arti kesempatan yang
sebenarnya untuk berpuisi. Titik tekan pembelajaran adalah menulis karangan
ilmiah. Aku berimprov sedikit dengan memasukkan materi puisi karena menurutku
masih sesuai dengan tujuan pembelajaran umum.
Di ruanganku
tidak ada yang mencintai puisi. Kalaupun ada, mereka tidak benar-benar
mencintai puisi sebagai bagian dari hidupnya. Betapa gembiranya aku ketika baru
tahu ada pengajar di ruangan sebelah yang mencintai puisi sama seperti aku. Dia
bahkan sudah senior. Dia seorang penyair. Dia seorang sastrawan! Aku tahu dari
teman seruanganku. Padahal orang pertama yang kutemui di lembaga ini adalah
dia. Dia merupakan salah satu pengujiku ketika tes masuk lembaga (tes wawancara
dan mikroteach).
Aku sering
mendiskusikan karya sastra dengannya. Jika kami bertemu, yang kami
perbincangkan adalah seputar sastra dan seni. Dia juga sering meminjami aku
buku. Satu hal yang takkan aku lupakan. Aku pernah kehilangan file materi
kajian puisiku. (Ceritanya ada dalam esai lain di laman ini). Ternyata dia
masih menyimpannya. Menyenangkan sekali ketika menyadari aku tidak benar-benar
sendiri di lembaga ini. Ada
dia yang bisa menjadi rekan, teman dan sahabatku dalam dunia sastra. Meski aku
harus jaga jarak juga, karena dia laki-lakiJ
2. Kenangan Drama
Suatu hari, aku
sedang menonton pertunjukan drama/teater di gedung Balairung Sari Taman Budaya
di kotaku. Di tengah-tengah penonton yang dapat kupastikan tidak ada teman-teman
dari lembaga tempat aku bekerja, aku duduk sendiri menikmati pertunjukan.
Tiba-tiba mataku menangkap sosok yang sudah kukenal. Aku sangat terkejut. Dia
adalah salah satu murid di lembagaku mengajar. Aku tidak menyangka dia ada di
situ. Saat itu kulihat ia juga agak terkejut melihat aku ada di gedung
pertunjukan. Tahulah aku kemudian bahwa ia orang seni juga. Ketika itu aku
seperti menemukan setitik air di tengah kemarau. Hahaha. Mungkin aku terlalu
lebay;). Sayang dia (lagi-lagi) seorang laki-laki. Kalau saja ia perempuan,
mungkin aku langsung duduk di sampingnya.
Tapi tidak ada
apa-apa setelah pertemuan itu. Aku mengajar seperti biasa, dia belajar seperti
biasa pula. Aku lupa berapa lama waktu berlalu sampai kami dipertemukan dalam
sebuah tim. Bagi orang lain mungkin ini kebetulan tapi bagiku ini sebuah
anugerah yang telah disiapkan Tuhan jauh-jauh hari untukku.
Semua berawal
dari bincang-bincang aku dengan dua rekan sejawat. Kami bertiga sama-sama
memiliki sense of art yang agak lebih (:konyol) dibanding teman-teman lainnya. Kami
sama-sama punya ide untuk membuat acara yudisium yang bernuansa seni. Salah
satu di antara temanku itu kemudian membuat proposal lengkap yang ia ajukan
kepada pimpinan kami. Tidak tanggung-tanggung, ia yang menjabat sebagai ketua,
ia juga sudah menyusun nama-nama anggota yang sekiranya bisa kami ajak kerja
sama dengan baik. Proposalnya disetujui oleh pimpinan. Kami pun menyambutnya
dengan segera bekerja. (Sayang, meski kami sudah melakukannya sesuai prosedur,
ternyata konsep tersebut tidak serta-merta berjalan mulus. Banyak rekan lain
yang tidak suka. Beberapa hal diubah termasuk susunan kepanitiaan).
Konsep acaranya
sangat jauh berbeda dengan konsep acara yudisium tahun-tahun sebelumnya. Aku
diminta meng-handle acara drama/teater. Aku juga diminta menyusun naskah yang
berisi pengalaman berkesan peserta yudisium selama menempuh pendidikan di
lembaga kami. Caranya dengan meminta seluruh peserta didik menuliskan kisahnya
kemudian mengumpulkannya kepadaku. Ada
3 kelas yang harus kubaca cerita-ceritanya. Selama proses pembacaan itu, aku
sempat jatuh sakit yang cukup parah dan aku sempat pesimis akan tetap bisa
bekerja.
Tahap berikutnya
adalah pertemuan seluruh calon pengisi acara. Ketua acara menyampaikan konsep
acara secara global lalu ia menyuruhku menyampaikan konsep drama/teater.
Selanjutnya aku mengadakan pertemuan dengan para calon pemain yang dipilih oleh
Ketua acara yudisium. Para calon pemain itu
berasal dari seluruh kelas dan semester, kecuali semester akhir. Terpilih beberapa
orang. Di antara belasan orang yang dipilih, “dia” salah satunya. 28 Desember
2012 kami mengadakan audisi/casting para pemain. Aku sangat senang bisa satu
tim dengannya.
Kepada peserta
didik lainnya aku katakan bahwa aku menunjuk “dia” sebagai pemimpin sekaligus
pelatih. “Mungkin dalam tim ini ada yang sudah punya jabatan penting di
organisasi lain, mungkin ada yang sudah jadi ketua atau posisi penting lainnya.
Ibu harap, kali ini, semua mengikuti aturan temanmu yang satu ini karena ia lah
sekarang pemimpin kalian.”
Latihan demi
latihan yang kami jalani sangat menyenangkan. Apalagi dia juga menyelipkan games
dalam setiap latihan. Nama gamesnya “sutradara bilang”. Sebenarnya aku pernah
ikut games semacam itu pada pelatihan-pelatihan lain tapi melihat peserta
didikku bermain dengan riang akupun tertarik dan akhirnya membaur dengan mereka
dalam satu games. Mungkin games itu juga yang membuat peserta didikku cepat
akrab meski mereka berasal dari berbagai kelas dan angkatan.
“Ingat, jangan
sampai ada yang terkena cinta lokasi ya. Ibu harap sebelum kalian tampil mentas
di acara yudisium, tidak ada yang boleh terkena cinta lokasi. Nanti bisa
kacau,” ucapku mewanti-wanti sambil separuh bercanda.
Ketua acara
ingin drama yang kami pentaskan nanti lucu. Aku kemudian menyerahkan naskahku
kepada “dia”. Kusilakan ia melakukan perubahan-perubahan asal alurnya tidak
keluar. Karena drama yang akan kami pentaskan adalah kabaret, dan karena
keterbatasan alat saat mentas, kami memutuskan untuk merekam suara. Jadi
nantinya semuanya lipsing. Proses perekaman mempunyai kesulitan tersendiri. Aku
melihat langsung bagaimana susahnya proses perekaman suara.
Sayang sekali
ada cerita sedih di balik pertunjukan kami. Mulai dari lambatnya SK panitia
keluar, keluarnya 4 orang pemain dari tim, pengunduran jadwal tayang drama dari
acara pembuka sampai jadi acara akhir yang tanpa konfirmasi, komen-komen miring
berkenaan dengan budget (padahal aku tidak minta apa-apa), rencana perekaman
ulang, sampai dengan tidak dicantumkannya acara drama dalam susunan acara di
cetakan undangan (tanpa konfirmasi juga kepadaku selaku penghandle drama). Aku
lantas merasa seperti melawan arus. Aku merasa punya beban “jika mainnya tidak
bagus, drama dibatalkan saja.” Tidak seperti pengisi acara yang lain. Bagus
tidak bagus mereka tetap akan tampil. Semua hal fals ini kututupi dari anggota
drama yang lain. Aku tidak mau konsentrasi mereka terganggu. Hanya saja aku
agak galau karena kemudian ada suatu fase mereka sulit sekali untuk dikumpulkan
secara lengkap. Aku berdiskusi dengannya. Dia mengusulkan kami membuat semacam surat komitmen yang harus
ditandatangani setiap pemain. Aku minta dia mengonsep dan aku mengetiknya.
Pada pertemuan,
nyatanya aku malah batal menyebar surat
komitmen untuk ditandatangani. Aku sadar, aku bukan siapa-siapa untuk bisa
menekan mereka. Aku pun tidak punya apa-apa yang bisa kujanjikan sebagai
kompensasi jika mereka rajin berlatih. Akhirnya aku hanya mengatakan,
“Benar-benar, lah kalian berlatih. Jika kalian tidak yakin bisa menampilkan yang
terbaik, lebih baik kalian tidak usah tampil. Jika kalian memang ingin tampil,
tunjukkan bahwa kalian memang layak untuk tampil.”
Ketika mereka
bersemangat kembali aku katakan, “Ibu sangat berterima kasih kalian mau
capek-capek latihan. Ibu tidak bisa menjanjikan apa-apa kepada kalian. Ibu
tidak bisa memberikan apa-apa. Ibu bersyukur bisa dipertemukan dengan lima belas orang seperti
kalian di tengah-tengah lembaga ini. Sudah lama Ibu merindukan suasana seperti
ini,”
Menjelang hari
H, kami lebih giat dan intens berlatih. Karena persepsi yang kurang baik
terhadap drama, aku menjadi merasa tertantang untuk melakukan yang terbaik. Aku
seperti tidak berada dalam kepanitiaan secara global lagi. Apalagi setelah ada
anggota di kepanitiaan yang mengambil alih semua hal tanpa memperhatikan etika
team work padahal ia bukan ketua. Aku seperti seorang ibu yang anak-anaknya
akan mengikuti sebuah lomba. Latihan kupindah ke rumahku. Semula gara-gara
“markas”, tempat kami biasa latihan, dipakai orang. Keesokannya, semua malah
sepakat latihan tetap di rumahku. Kebersamaan yang intens itu juga membuat kami
makin solid. Makan bersama, minum bersama, bercanda bersama. Kami menjadi lebih
dekat satu sama lain. Serasa seperti satu keluarga.
Beberapa hari
sebelum gladi bersih, panitia ingin melakukan gladi. Kami menyebutnya gladi
kotor. Kukatakan padanya, aku kurang sepakat kalau drama kami ditampilkan
secara utuh saat gladi. Ternyata ia sependapat denganku. Jadilah mereka hanya
melakukan gerakan-gerakan dan sedikit berbicara tanpa diiringi musik/rekaman
suara mereka. Begitu juga saat gladi bersih. Tidak seperti pengisi acara
lainnya, kami tidak menampilkan secara utuh pertunjukan kami. Aku bahkan tidak
menyerahkan kopian file rekaman suara timku kepada panitia lain. Aku takut
terjadi apa-apa dengan timku. Aku tidak mau timku diintervensi apalagi
disabotase. Timku tidak boleh gagal. Mereka harus tampil apapun yang terjadi.Sepertinya aku berlebihanJ
Well, akhirnya
28 Agustus 2013 tiba. Kami berangkat bareng dari rumahku. Saatnya mereka
tampil. Aku sempat kecewa lagi karena giliran mereka tampil diundur kembali dan
lagi-lagi tanpa konfirmasi. Akhirnya kukatakan pada mereka, “Kita menunggu MC
saja. Saat MC memanggil, itulah giliran kita.”
“Maaf ya, Ibu
tidak bisa memperjuangkan agar giliran kalian tampil tetap seperti rencana
semula,” sesalku padanya.
“Mau tampil di
awal, di tengah, atau di akhir, sama saja Bu. Asal kita mainnya bagus, penonton
pasti akan tetap tertarik” hiburnya.
Aku duduk di
antara timku, tidak di deretan bangku tamu dan pengajar. Sesekali aku menimpali
candaan mereka.
“Bu, properti
kita meja yang kecil putih kemarin ternyata dipakai untuk tamu undangan.
Bagaimana ini?” tanya dia. “Bisakah kita mendapatkan meja lain yang seperti
itu?”
“Akan ibu
carikan. Kalau tidak ada juga, pas giliran kita, angkat saja meja di deretan
tamu itu. Kalau tidak ada yang berani, nanti ibu yag mengangkatnya” sahutku.
Ternyata setelah
kutanyakan dengan pihak hotel, meja itu dari marmer. Sepertinya aku tidak akan
kuat mengangkatnya sendiriJ, akhirnya kami diberi meja lain
Ah, satu lagi,
tentang pencahayaan. Supaya pertunjukan lebih bagus dan fokus, kupikir lebih
baik semua lampu dimatikan kecuali lampu yang di bawah panggung. Aku sangat
berterima kasih pada rekan sejawatku yang dengan suka rela mau menjadi operator
lampu yang sangat baik. Sebelum giliran kami tiba, aku mencandainya, “Bu, ibu
aja ya yang ngurusi lampu. Kumohon bantuannya…” ucapku sambil membungkuk
seperti di film-film Jepang.
“Bu, file rekaman suara dan musik kita ada
dalam laptop ini. Ibu aja yang pegang. Ibu aja yang handle pas kami tampil,”
dia memberiku tugas. Sepertinya ia mulai ketularan akuJ. “unbelive anyone”.
Jika ada sesuatu aku hanya bertanya dan bicara dengannya. Jangan sampai empat
belas orang yang lain ketularan cemas.
“Wah, kuterima
amanah berat ini. Semoga aku bisa menjalankannya, yah?” gurauku sambil bergaya hiperbola.
Tanganku membuka laptop.
“Ibu mau
ngapain?” kata anggota yang lain.
“Mau bertegur
sapa dulu dengan laptopnya,”
Mereka
senyum-senyum.
“Apakah kalian
punya file cadangan?” tanyaku.
“Maksud ibu?”
“Yaa…cadangan
file selain dalam laptop ini?”
“Baterainya
full, Bu. Lagian kita bawa chargernya. Ini laptop yang biasa kita pakai latihan
juga, kok”
“Bagaimana kalau
mati lampu?” ada yang menimpali.
“Hei, ini Merqure!”
teriak yang lain. Kami pun tergelak bersama.
Aku takut
mengatakan hal terburuk. Akhirnya aku diam saja.
Di tengah acara,
laptop panitia eror. Musik pengiring acara sempat tidak bisa keluar. Seharusnya
ada musik yang mengiringi ketika para yudisiawan menjalani prosesi yudisium. Aku
tidak tahan lagi. Aku bisiki “dia”, “Bagaimana kalau laptop ini tiba-tiba tidak
bisa dibuka? Apa yang akan terjadi dengan kita?” Dia hanya tersenyum, “Tidak
akan. Laptopnya pasti bisa dibuka. Tidak akan terjadi apa-apa. Semua akan
berjalan lancar.”
Aku mengangguk
dan mempercayai kata-katanya. Hari ini aku benar-benar jadi pencemas. Hei, laptop tolong kerja samamu, ya… aku
mengelus laptop tersebut.
Aku sudah tenang
sekarang. Aku berusaha menikmati suguhan acara lain. Tapi tidak lama kemudian
aku lihat dia merogoh tasnya. Kulihat ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas.
Sebuah benda kecil persegi empat. Flashdisk!
“Bu, jika
terjadi apa-apa dengan laptopnya, file cadangan ada dalam sini” wajahnya sangat
serius. Giliran aku yang tersenyum sekarang.
Mereka mentas dengan sempurna. Penonton
tertawa. Aku menyeka airmata karena terharu. Setelah semua yang sudah kualami
dan kurasakan, rasanya tidak ada yang lebih menyenangkan selain melihat mereka
tampil bagus. Mereka sukses! Di antara semua acara, kabaret lah yang paling
menyedot perhatian. Tepuk tangan, senyum dan tawa, riuh rendah di lantai atas
hotel Merqure. Ketika lima
belas teman-teman timku saling berpegangan tangan, membungkukkan badan mereka,
lalu bangkit kembali sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi, perlahan-lahan,
perasaan bangga mengendap-endap dalam dadaku. (Perasaan yang kemudian hari
merusak keihklasanku di jalan ini. Setelah kesuksesan timku, aku sempat bete
berat karena ada seseorang yang mengaku-ngaku menjadi manajer timku. Seseorang
yang secara tidak langsung mengatakan bahwa kesuksesan timku bukan karena aku.
Seseorang yang sedikitpun tidak memberiku apresiasi. Seseorang yang membuatku su’ul khatimah). Aku terharu, itulah
closing terindah yang sekian lama aku nanti-nantikan.
Tepuk tangan
yang mengiringi closing mereka, membuat airmataku menderas. Yang membuat
airmataku tak terbendung adalah aku tahu ini bukan saja closing sebuah
pertunjukan melainkan juga closing kebersamaan kami. Kami bukan organisasi
resmi. Kami bukan lembaga ekskul. Kami hanya tim dalam drama ini. Seusai acara
itu aku selalu saja menangis jika mengingat mereka. I’m sorry Team, sepertinya aku yang terkena cinta lokasi. Aku jatuh
cinta pada kalian semua!
Tiga hari
setelah itu, kami melakukan perjalanan bersama. Wisata air menyusuri sungai di Banjarmasin dimulai dari
pukul 5 dini hari. Kami berkumpul di kost salah seorang anggota tim. Semula
mereka ingin berkumpul di rumahku, bahkan ada yang mengusulkan agar nginap di
rumahkuJ.
Tapi tidak jadi karena aku takut penghuni rumahku terbangun semua dan ingin
ikut juga. Rutenya dimulai dari Kuin, ke pasar terapung, ke pulau kembang,
keliling Banjarmasin.
Sebelum hari itu, sedikitpun aku tidak pernah membayangkan akan melakukan
perjalanan bersama mereka. Beberapa komunitasku yang mengagendakan wisata air
bersama malah belum pernah kuikuti.
Beberapa orang
menyayangkan kenapa saat closing dan tepuk tangan itu bergemuruh aku tidak ikut
naik ke panggung. Sekian hari berlalu, aku mengerti satu hal, aku memang tidak
perlu naik ke panggung saat teman-teman timku melakukan closing. Tepuk tangan di
akhir pertunjukan itu tentu saja bukan untukku karena aku memang bukan apa-apa
dalam tim ini. Lagipula aku tidak memerlukan tepuk tangan. Aku hanya seorang
perindu sastra yang sudah terbasuh rindunya setelah dipertemukan dengan lima belas orang pelaku
sastra yang hebat dalam lembaga non sastra. Itu sudah lebih dari cukup. Terima
kasih Tuhan karena telah mempertemukan aku dengan mereka. Congratulation team!
Good bye. I will be miss u so much…L
Note:
Dalam momen ini aku juga
berterima kasih pada teman terbaikku, JKF. Yang dari awal sampai
pascapertunjukan selalu memberiku dukungan.
3.
Kenangan Blogger
Dunia blogger
memang bukan dunia baru bagiku sekarang tapi dulu, aku termasuk orang yang
gaptek juga lohJ.
Aku malas bersentuhan dengan teknologi jika aku tidak benar-benar
membutuhkannya. Aku mengenal email dari dosenku karena dulu tugas-tugas mata
kuliahnya harus dikirim lewat email. Facebook pun dibuatkan oleh teman perempuan
se-organisasi. Waktu itu membuatya juga karena iseng dan tidak berniat
menekuninya. Hanya agar bisa menjawab jika ditanya orang apakah aku punya akun
fb atau tidak. Dia juga yang mengajariku blog.
Khusus blog,
selama aku berada di lembaga, aku berhutang budi pada beberapa orang. Orang
pertama di lembaga yang membuatku tidak gaptek lagi tentang blog adalah seorang
pengajar (lagi-lagi!) laki-laki. Dia membuatkan aku email, lalu membuatkanku
satu blog. Lama-lama aku jadi tidak enak jika terlalu sering bertanya dan
merepotkannya. Aku sempat meninggalkan blogku begitu saja.
Suatu hari aku
kangen dengan blogku dan berniat memperbaharuinya. Aku belajar dari buku tapi
sepertinya tidak cukup. Aku pun bertanya ke sana kemari, mencari-cari orang yang mau
membantuku memperbaharui tampilan blogku. Aku berharap murid perempuanku mau
mengajariku ternyata ia juga tidak terlalu terampil. Ia merekomendasikan sebuah
nama dan no kontak padaku. Ia juga yang mengenalkanku pada seseorang yang
menurutnya lebih mengerti tentang blog daripada dia. Dia (laki-laki, again!)
masih murid di lembagaku tapi di ruangan sebelah.
Menyenangkan
sekali bisa mengenalnya. Bagiku, dia tidak hanya seorang instruktur blog tapi
juga teman diskusi yang seru. Dia pecinta buku juga (pecinta buku sejati). Dia
hobi baca sastra juga. Padahal ia sedang studi di jurusan yang sangat jauuh
dari yang namanya sastra. Serius!
Jika ada
tulisanku yang dimuat di media, aku memberitahunya. Biasanya dia mengucapkan
selamat tapi dia juga pernah mengkritik salah satu cerpenku. Ini di luar
dugaanku. Secara usia, aku lebih tua daripada dia. Secara posisi, aku pengajar
sedangkan dia murid di lembaga. Tapi sepertinya aku tidak boleh melupakan satu
hal. Dia adalah instrukturku yang hobi baca bukuJ. Dia bilang, “Saya
agak terganggu dengan tokoh A. Mengapa tokoh A begini-begini padahal awalnya
ibu menyebutnya begitu-begitu.” Seorang pengkritik dari lembagaku? Ini seperti
menemukan berlian di padang
paku!
Aku
pernah menerima sms darinya, “Ibu masih tertarik belajar tentang blog?”
“Tentu
saja, aku masih harus banyak belajar” jawabku.
“Aku
punya buku bagus tentang blog. Ibu mau?”
“Boleh.
Berapa harganya?”
“Cuma-cuma,
Bu. Saya dulu juga dikasih teman. Saya pikir, sekarang ibu lebih memerlukannya
daripada saya. Nanti saya antar ke ruangan ibu. Kapan ibu ada di ruangan?”
Aku
tak habis pikir. Aku mendapat buku darinya. Menurutku, seharusnya aku yang
memberinya buku. Aku memang pernah berniat ingin memberinya buku tapi ternyata
ia melampauiku dalam hal ini.
Sayang,
ia sekarang sudah lulus. Di hari wisudanya, kami membuat foto kenangan. Jika
kupandangi foto itu, aku tersenyum. Rasanya tidak percaya. Aku bisa bertemu
dengan seorang pecinta buku dan penyuka tulis-menulis seperti dia, di
lembagaku? Syahrini bilang, Sesuatu!!!
J