Sabtu, 31 Mei 2014

Lomba Paling Keren

22.24 0 Comments


Lomba Paling Keren yang Pernah Kuikuti

Kali ini aku akan bercerita tentang sebuah lomba yang aku ikuti di akhir Mei 2014. Tidak, ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan tulis-menulis. Ini bukan lomba menulis cerpen atau novel. Ini adalah lomba yang paling menakutkan buatku. Lomba yang membuatku berniat akan mengikuti kursus masak suatu saat kelak. Yeah, ini adalah lomba memasak! Perlu diketahui, aku bukan perempuan Banjar yang terampil memasak. Paling-paling aku bisa masak sayur bening, sayur sop, dan goreng-gorengan.
Sejujurnya, inilah lomba paling keren yang pernah kuikuti. Aku terlibat dalam lomba ini karena terpaksa sebenarnya. Ceritanya begini, di sekolah anakku, tiap kelas ada perkumpulan orang tua murid yang disebut dengan istilah paguyuban. Tiap bulan ada pertemuannya dan ini syarat untuk bisa mengambil rapor. Karena anakku dua orang yang bersekolah di sana (kelas 4 dan kelas 5), aku dan suami berbagi tugas. Suamiku biasanya hadir di paguyuban kelas 4, aku di paguyuban kelas 5. Nah, aku ditunjuk menjadi ketua paguyuban secara demokratis oleh para ortu kelas tersebut. Ini adalah tahun kedua aku menjadi ketua paguyuban kelas tersebut. Artinya, sudah dua periode aku menjadi ketua paguyuban.
Nah, dalam rangka memeperingati milad sekolah, tahun ini diadakan lomba memasak antar paguyuban. Tim terdiri maksimal 4 orang. Oiya perlu diketahui, sekolah anakku merupakan sekolah swasta yang berada di bawah naungan sebuah yayasan yang pemiliknya adalah orang bersuku Jawa. Sekolahannya terletak di tengah-tengah kediaman karyawan pabrik (pada mulanya) yang didominasi oleh orang Jawa. (Ini bukan SARA lho yaa…). Anak pertamaku termasuk dalam angkatan pertama SD nya. Kelasnya didominasi oleh warga sekitar yang notabene orang Jawa. Para murid dipanggil “Mas” dan “Mbak” oleh gurunya. Para guru juga banyak yang bersuku Jawa. Angkatan berikutnya barulah banyak yang dari suku Banjar.
Uniknya, lomba masak kali ini temanya “Masakan Banjar”. Masakannya harus ada santannya, ada nasi, ada ikan dan ada minuman esnya. Saat rapat kelas, tidak ada yang mau menjadi perwakilan kelas. Alasannya, mereka rata-rata bukan orang Banjar. “Lha, ini ketua kita kan asli Banjar. Tinggal pilih anggota timnya aja lagi,” kata Ibu-ibu.
Aku jadi panik. “Aku ora iso,” jawabku dimedok-medokin Jawanya.
Ibu-ibu tertawa semua mendengar jawabanku.
“Ayolah, yang orang Banjar di sini cuma 4. Mama Nisa sakit, Mama Amel baru melahirkan, Nenek Saula sedang perawatan mata, jadi ya tinggal sampeyan…” sahut mereka.
Aku mesem-mesem. Dalam hati aku merutuki diri. Kenapa harus tinggal aku yang orang Banjar. Kenapa harus lomba memasak sih? Kenapa tidak lomba mewarna saja misalnya? Kenapa aku tidak terampil memasak???
“Ndak papa kita lebih dari 4 orang. Siapa bisa kutarik aja besok itu” kata Mama Icha. “Yang penting kamu sebagai ketua paguyuban ikut Jeng”
Akhirnya aku jadi ikut. Betapa malunya aku. Aku sama sekali tidak bisa memasak “Gangan Keladi”. Menyesal juga tidak belajar sama mertua dulunya. Malah Yu’ Temi alias Mama Dwi yang lincah memasaknya. Memotong kangkung, susupan, keladi, pisang, ikan pepuyu, dan entah apa saja bumbunya.
“Ayo Jeng dicicipi, sudah pas apa belum rasane?” tanya Mama Dwi.
Sok ahli aku menyendok gangan. “Hm…kayanya ada yang kurang tapi aku tidak tahu apa…, bumbu apa ya?”
Mama Icha bergegas mencicipi juga. “Oalah, ini sih kurang garam” sahut Mama Icha.
Aku jadi malu. Hehe.
“Ini papuyu bakarnya dah matang apa belum, Jeng?”tanya Mama Raihan sambil mengipas-ngipas.
“Jeng..liatin ikan bakarnya tuh,” aku mencolek Mama Dwi lagi. Aku sama sekali tidak tahu kapan ikan bakar matang atau belum. Selama ini aku cuma bisa menggoreng.
“Kita bikin es kelapanya yuk” ajak Mama Diah.
Ups, aku tidak tahu cara membelah kelapa. Sepertinya susah deh.
“Yo, wes, sampeyan cicipin ini dah pas apa belum manisnya…”
Jadi, aku cuma bantu-bantu dikit. Jadi isin aku…hehe.
Dan tara….jadilah gangan keladi, ikan bakar, sambal acan, cacapan, minumnya es kelapa. Memang kami tidak menang sih tapi aku pribadi merasa senang. Inilah pertama kali aku ikut lomba memasak. Lomba memasak masakan Banjar dengan para koki orang Jawa dana aku yang asli Banjar cuma bisa mencicipi. Duh Gusti…
(aku no 3 dari kiri, pake gamis coklat tua, kerudung coklat motif pashmina)

Rabu, 14 Mei 2014

Cerita Thriller dan Horor

13.58 0 Comments


Menulis Cerita Thriller dan Horor
Dirangkum oleh Nailiya Nikmah JKF

Cerita Thriller
Cerita Thriller atau cerita getaran  dalam bahasa Inggris  adalah sebuah tipe literatur, film dan televisi yang memiliki banyak sub-tipe di dalamnya. Kata tersebut berasal dari bahasa Inggris yang dapat diartikan secara bebas sebagai “petualangan yang mendebarkan”. Tipe alur ceritanya biasanya berupa para jagoan yang berpacu dengan waktu, penuh aksi menantang, dan mendapatkan berbagai bantuan yang kebetulan sangat dibutuhkan yang harus menggagalkan rencana-rencana kejam para penjahat yang lebih kuat dan lebih lengkap persenjataannya.

Thriller dapat meliputi sub-tipe berikut ini

Action Thriller - karya tipe ini seringkali berupa situasi berpacu dengan waktu, menampilkan banyak adegan kekerasan dan seorang tokoh antagonis yang jelas. Film-film tipe ini menggunakan banyak senjata, ledakan dan perlengkapan yang sangat banyak untuk merekam adegan-adegannya. Film-film ini seringkali memiliki elemen film misteri dan film kriminal, tapi elemen-elemen ini tidak ditonjolkan. Contoh-contoh paling jelas untuk tipe ini adalah film-film James Bond, The Transporter, dan novel/film Jason Bourne (Bourne Identity, Bourne Supremacy).

Conspiracy Thriller - karya tipe ini menampilkan seorang jagoan yang menghadapi sebuah kelompok musuh yang berkuasa yang suatu kebenaran dari perjuangannya itu hanya jagoan tersebut yang tahu. The Chancellor Manuscript dan The Aquitane Progression karya Robert Ludlum masuk dalam kategori ini, seperti juga film-film Three DaysoftheCondordanJFK.

Crime Thriller - karya tipe ini adalah gabungan dari thriller dan film kriminal yang menampilkan cerita tegang dari sebuah atau beberapa tindakan kriminal yang sukses atau gagal. Film-film ini lebih berfokus pada tokoh penjahatnya daripada pihak polisi. Tipe ini biasanya menekankan faktor adegan aksi daripada aspek psikologis. Topik utama dari film-film ini termasuk pembunuhan, perampokan, pengejaran, baku-tembak, dan pengkhianatan. Contohnya adalah film The Killing, Seven, Reservoir Dogs, Inside Man, and The Asphalt Jungle.

Disaster Thriller - karya tipe ini menceritakan konflik yang terjadi karena bencana yang disebabkan oleh alam maupun oleh manusia, seperti banjir, gempa bumi, badai, letusan gunung berapi, dan bencana alam lainnya, atau bencana nuklir sebagai bencana yang disebabkan oleh manusia. Contoh film tipe ini seperti Twister, Perfect Storm, dan Volcano.

Psychological Thriller - karya tipe ini memiliki elemen thriller yang menitikberatkan pada tekanan psikologis yang dihadapi masing-masing karakter. Film-film tipe ini biasanya berjalan lebih lambat dan melibatkan banyak pengembangan karakter tokoh-tokoh dan alur cerita yang penuh kejutan. The Illusionist, The Number 23, The Sixth Sense, dan The Prestige adalah contoh-contoh film tipe ini.

Eco-Thriller - dalam karya ini sang tokoh protagonis harus menghindarkan atau memperbaiki sebuah bencana alam atau bencana biologis, disamping harus berhadapan dengan musuh-musuh atau tantangan-tantangan yang ada di cerita thriller lainnya. Komponen lingkungan hidup seringkali menjadi pesan utama atau tema dari cerita. Contoh tipe thriller ini adalah The Loop karya Nicholas Evans, Echoes in the Blue karya C. George Muller, dan Elephant Song karya Wilbur Smith. Semua karya ini menonjolkan masalah-masalah lingkungan hidup yang nyata.

Erotic Thriller - tipe ini menggabungkan unsur erotis dan thriller. Tipe ini menjadi laris sejak era 1980-an dan berkembangnya penetrasi pasar VCR (salah satu tipe perangkat pemutar kaset video). Termasuk dalam tipe ini adalah film-film Basic Instinct dan Fatal Attraction.

Horror Thriller - dalam tipe ini, konflik antara tokoh-tokoh di dalamnya terjadi secara mental, emosional dan fisik. Dua contoh terbaru dari tipe thriller ini adalah film-film Saw dan 28 Days Later karya Danny Boyle. Apa yang paling membedakan Horror Thriller adalah elemen ketakutan yang dijunjung sepanjang cerita. Tokoh-tokoh utamanya tidak hanya berhadapan dengan musuh yang lebih kuat, tapi pada akhirnya mereka menjadi korban setelah merasakan ketakutan yang luar biasa akibat menarik perhatian sang musuh/monster.
Contoh film lainnya adalah Psycho karya Alfred Hitchcock dan Silence of the Lambs karya Thomas Harris.

Legal Thriller - Para pengacara jagoan berhadapan dengan musuh-musuh mereka dalam tipe thirller ini, baik di dalam maupun di luar ruang persidangan, baik membahayakan kasus yang mereka perjuangkan maupun nyawa mereka sendiri. The Pelican Brief karya John Grisham adalah contoh terkenal dari film bertipe ini.

Buatlah cerita thriller yang seru untuk para pembaca. Jangan biarkan mereka hampa tanpa ekspresi ketika membacanya. Permainkan imajinasi mereka.

Buatlah cerita thriller kita dengan sesuatu yang membuat pembaca bertanya:
  • Apa?
  • Kenapa?
  • Atau, siapa?
Aduk-aduk kembali rasa penasaran pembaca sampai ia berpikir perlu menyelesaikan cerita sampai ending. Tunjukkan sedikit demi sedikit inti-inti permasalahan. Biarkan pembaca terkaget-kaget dengan ending cerita thriller kita. Jangan biarkan mereka merasa kebingungan, jelaskan penyelesaian masalah sampai tuntas.
Cerita Horor

Cerita horor atau misteri hanyalah salah satu genre fiksi. Penulis dianggap berhasil kalau pembaca berkomentar soal cerita horor  yang dibacanya, baik negatif maupun positif. Karena itu, hendaknya penulis yang ingin menulis cerita horor harus tahu bagaimana membuat twist ending cerita horor atau misteri yang menggigit. Setidaknya ada enam tipe cerita horor.

Pertama: tipe Discovery | Pada tipe twist ini, tokoh protagonis akan menemukan jati dirinya sendiri atau jati diri dari tokoh lain yang sebenarnya. Informasi mengenai yang sebelumnya tidak ditampilkan akan dibeberkan di akhir cerita. Contoh dari tipe twist ini adalah film horor The Sixth Sense.  Tokoh utamanya awalnya ditampilkan seolah masih hidup, namun di akhir film dibeberkan bahwa ia sebenarnya sudah mati. Film “The Others”-nya Nicole Kidman juga punya twist ending yang serupa.

Kedua: tipe Flashback | Yang ini mungkin banyak diadopsi dalam cerita horor Indonesia. Contohnya banyak film "Jelangkung" dan serial "Di Sini Ada Setan".

Ketiga: tipe Unreliable Narrator | Kalau diterjemahkan, artinya “Narator yang tak bisa dipercaya”. Cerita dengan twist ending ini biasanya memakai sudut pandang orang pertama. Nah, cerita dari sudut pandang si “aku” ini ternyata bukan kejadian sebenarnya. Bisa jadi si “aku” berbohong dalam ceritanya atau menutupi sesuatu, bisa juga ia mengalami semacam kelainan jiwa atau guncangan yang membuatnya berhalusinasi dan membuat pembaca/penonton “tertipu”, mengira apa yang disaksikan oleh si “aku” adalah kejadian sebenarnya (padahal bukan). Di akhir cerita, biasanya akan ditunjukkan kejadian sebenarnya. Contohnya adalah novel detektif “The Murder of Roger Ackroyd”-nya Agatha Christie, di mana si “aku”, yang adalah pembunuh sebenarnya, berusaha menutupi kenyataan lewat pengisahannya. Film horor Korea “A Tale of Two Sisters” juga demikian, di mana “aku” mengalami kelainan jiwa kepribadian ganda dan halusinasi.

Keempat: tipe Chekhov’s gun | Chekhov’s gun adalah sebuah benda, tokoh, atau kejadian yang muncul di awal cerita. Tapi, sepertinya tidak penting dan tidak pula disebut-sebut sampai menjelang akhir cerita. Walaupun demikian, benda, tokoh, atau kejadian ini memegang peranan penting dalam menciptakan twist ending. Misalnya, adegan penembakan si tokoh utama yang muncul di awal film “The Sixth Sense”, pada akhir cerita barulah kita sadar akan signifikannya adegan tersebut, saat kita diberi tahu bahwa si tokoh utama sebenarnya sudah mati.

Kelima: tipe Red Herring | tipe ini memberi pembaca petunjuk palsu dan membawa pada kesimpulan yang salah. Pada akhir cerita, baru semua kebenarannya dibeberkan. Red herring dapat dikatakan sebagai “kambing hitam”, orang yang kita kira merupakan pelaku/pembunuh, namun sebenarnya bukan. Umumnya, dipakai dalam cerita detektif.

Keenam: tipe Reverse Chronology | tipe ini berbeda dengan flashback. Dalam reverse chronology, yang ditampilkan pertama adalah kejadian akhir/akibat-nya. Lalu, ditampilkan urutan kejadiannya secara terbalik, dari kejadian yang paling belakangan sampai kejadian yang terjadi paling awal/sebab kejadian. Misalnya pada film “Memento”.

Membuat para pembaca ketakutan setengah mati merupakan dambaan setiap penulis cerita horor - baik itu novel maupun cerpen. Berikut ini sepuluh tips terbaik dalam menulis cerita horor:

1. Buatlah cerita horor yang orisinal
2. Buatlah kerangka cerita horor Anda
3. Buatlah karakter kuat untuk cerita horor Anda
4. Bacalah cerita horor lainnya
5. Baca dan pelajarilah buku cerita horor klasik
6. Lakukanlah penelitian untuk dapat menggambarkan cerita horor Anda
7. Jangan terburu-buru mengirimkan cerita horor Anda
8. Bacalah, bacalah, bacalah...
9. Cobalah memilih subjek yang menakutkan Anda secara pribadi
10.Cek cerita horor Anda sekali lagi

 Dirangkum dari berbagai situs di internet

Sudut Pandang

13.50 0 Comments


SUDUT PANDANG

Kita sudah menemukan siapa tokoh-tokoh kita, kita sudah pula memberinya nama. Kita sudah tahu bagaimana mengekspresikan/menampilkan para tokoh. Masih ingat dengan materi minggu lalu, kan?
Sekarang, yang perlu kita pikirkan adalah yang mana di antara mereka yang akan mengisahkan kisahmu…
Banyak sudut pandang yang dapat dipilih oleh penulis. Masing-masing punya masalah, tanggung jawab dan efek yang berbeda-beda.

Macam-macam Sudut Pandang

v     Sudut pandang orang pertama
v     Sudut pandang orang kedua
v     Sudut pandang orang ketiga

Beberapa varian

Protagonis Orang Pertama: Seorang tokoh menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada mereka; “aku” adalah tokoh utama yang menceritakan kisahnya sendiri.

Saksi Orang Pertama: Cerita tokoh utama diceritakan oleh orang lain yang mengamati peristiwa-peristiwa.

Pencerita kembali Orang Pertama: Cerita diceritakan, buka oleh saksi atas peristiwa itu tapi oleh orang yang mendengar cerita itu dari orang lain.

Orang Kedua: narator menyebut protagonis sebagai “Anda”. Sudut pandang ini sangat jarang digunakan karena sulit. Pembaca mungkin merasa mereka adalah orang yang diajak bicara dan akan merasa sulit menerima bahwa mereka sedang melakukan hal-hal yang yang diinginkan narator untuk dilakukan.

Orang Ketiga Mahatahu: Narator tahu segala sesuatu; semua pemikiran, perasaan dan tindakan mungkin diceritakan kepada pembaca (atau mungkin disembunyikan).

Orang Ketiga Obyektif: Narator hanya dapat menceritakan kepada pembaca apa yang dilihat atau didengar.

Orang Ketiga Terbatas: Narator dapat melihat ke dalam pikiran satu tokoh.

Tentang “Perlihatkan, Jangan Ceritakan”

Ketahuilah, ada saat untuk memperlihatkan, ada saat untuk menceritakan.

Eksposisi: wacana yang menjelaskan, mendefinisikan, melukiskan atau mengomentari sesuatu. Digunakan untuk menyampaikan informasi yang perlu tapi tidak bisa disampaikan melalui adegan.

Narasi: laporan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dalam urutan kejadian. Merangkum peristiwa yang tidak dapat didramatisasi dalam adegan.

Dialog: percakapan dalam bentuk tertulis.

Kapan membuat dramatisasi?
Pada peristiwa paling penting; peristiwa yang merupakan kunci bagi pergerakan alur; dan peristiwa kunci bagi perkembangan tokoh

Novel Vs Cerpen dari segi struktur

Cerpen = insiden pemicu – aksi menaik – klimaks – aksi menurun – akhir cerita
Novel = insiden pemicu – aksi menaik – pembalikan – dan lain-lain – klimaks – aksi menurun – akhir cerita

Nah, sebagai Latihan, coba tebak sudut pandang apa yang digunakan pada paragraf -paragraf berikut!


Aku ketinggalan bus pagi itu karena aku tidak dapat meyakinkan diriku sendiri untuk bangun dari tempat tidur. Aku merasa terlalu enak di bawah selimut, dengan kucing melingkar di sampingku. Aku terpaksa berjalan kaki ke tempat kerja.

Dia ketinggalan bus. Dia mungkin harus berdebat dengan dirinya sendiri selama sejam ahwa dia mestinya bangun. Aku dapat membayangkan dia di sana, meringkuk di tempat tidur dengan kucing di sampingnya. Sekarang dia terpaksa berjalan kaki ke kantor.

Dia ketinggalan bus. Aku tidak tahu mengapa; mungkin tidak dapat bangun. Anda tau betapa hangat ketika Anda meringkuk di bawah selimut. Dia juga punya kucig, dan kucing menambah sulit untuk bangun di pagi hari. Maka dia ketinggalan bus dan harus berjalan kaki ke kantor.

Kau ketinggalan bus lagi karena kau tidak dapat meyakinkan dirimu sendiri untuk bangun. Selimut menjadi sarang yang enak bagimu, dan ada kucing, dengan bulu-bulunya yang hangat, meringkuk di sampingmu. Maka kau terpaksa berjalan kaki ke kantor.

Dia ketinggalan bus. Dia menghabiskan waktu hampir satu jam berdebat dengan dirinya sendiri tentang bangun. Kau harus bangun sekarang, ini saatnya bekerja. Tapi rasanya hangat sekali. Beberapa menit lagi. Kau akan terlambat. Aku tidak peduli. Ya kau tak peduli. Meringkuk besama kucing, sangat sulit untuk bergerak, sangat hangat dan enak. Dan dia pun ketinggalan bus dan menyumpah, dan mengatakan kepada dirinya sendiri betapa bodohnya ia. Kemudian ia mulai berjalan kaki ke kantor.

Dia tiba dengan terengah-engah di halte bus, ketika bus sudah pergi. Dia melihat jamnya dan bersumpah. “Keparat selimut hangat,” katanya. “Keparat kucing yang hangat dan mendengkur.” Dia melenguh dan berjalan kaki ke arah kantor.

Dia tiba dengan terengah-engah di halte bus dan hanya bisa melihat sekilas bagian punggung bus itu melasat pergi. Dia melihat jamnya. Pukul setengah sembilan. “Keparat selimut hangat itu,” katanya seraya membayangkan bagaimana rasanya meringkuk di balik selimut hangat di tempat tidur. Dia telah berbantah dengan diri sendiri selama satu jam tentang bagaimana dia harus bangun. Dia tinggal di tempat tidur lama sekali sehingga dia tidak punya waktu untuk mandi dan sekarang dia ketinggalan bus. Kucing hangat yang neringkuk di sampingnya itulah yang telah membuatnya sulit untuk bangun. “Keparat kucing hangat dan mendengkur itu,” katanya dan berjalan kaki menuju kantor.



Sabtu, 10 Mei 2014

Sebutir Impian yang Terwujud

14.24 0 Comments


Sebutir Impian yang Terwujud
Catatan Kecil Nailiya Nikmah

Sejak kecil, satu hal yang termasuk dalam daftar impianku adalah menjadi penyiar radio. Entah mengapa aku sangat ingin menjadi penyiar radio. Mungkin karena sejak kecil hobiku adalah mendengarkan radio, mungkin pula karena aku sadar diri wajahku pas-pasan jadi tidak mungkin aku jadi penyiar televisiJ
Aku pernah menjuarai lomba baca puisi, pernah pula menjuarai lomba pidato (semacam dai cilik). Aku bahkan pernah mewakili TPA ku untuk menyampaikan tausiyah di acara peresmian sebuah TPA lain. Di SMP, aku selalu menjadi juara 1 lomba pidato, begitu pula di SMA. Kalau ada acara yang memerlukan siswa menyampaikan pidato atau sambutan, guru-guru biasanya memilihku (narsis.com).
Yang tak terlupa dalam memori abu-abu putihku (bukan kisah kasih di sekolah;)) adalah ketika dalam satu pekan ada lomba di sekolah dalam rangka bulan bahasa alias memperingati sumpah pemuda, aku memenangi beberapa cabang lomba. Akibatnya aku terpilih menjadi juara umum se-SMA ku. Aku juara lomba menulis berita, juara pidato, dan juara lomba baca berita. Yang terakhir ini nih yang paling berkesan. Aku masih ingat, waktu itu aku dapat no urut 2. Para juri adalah guru bahasa Indonesia di sekolahku. Selesai aku membacakan berita dengan gaya yang sangat “penyiar TVRI”, guru-guruku tersenyum-senyum dan ada yang bilang, “Langsung jadi penyiar RRI saja kamu…” Dalam hati aku sangat senang. Aku memang sangat ingin menjadi penyiar radio. Kalimat guruku membuatku semakin ingin jadi penyiar. Sayang aku belum menemukan jalan ke sana. Mungkin pula aku kurang gigih. Aku belum berani melamar menjadi penyiar. Yang kulakukan waktu SMA hanya menjadi fans radio swasta di kotaku. Aku hadir di beberapa acaranya dan menjalin persahabatn dengan sesama fans. Kulihat penyiarnya keren dan cantik (ceritanya dulu aku minderan).
Kesukaanku pada radio, membuatku sering bermain sandiwara radio. Adikku adalah pendengar setianya. Tiap malam aku mengudara dalam kamar. Ceritanya kubuat bersambung. Seingatku kisahnya kisah persilatan. Aku begitu menghayati. Kalau ceritanya pas tokohnya naik kuda, maka kubuatlah suara ringkikan kuda dari mulutku sendiri. (lama-lama aku capek pake suara, akhirnya cerita kutulis…).
Setiap ada pelatihan motivasi, aku selalu mencantumkan ingin menjadi penyiar radio sebagai salah satu daftar impianku. Waktu aku pindah ke kota lain karena melanjutkan studi, aku dengar salah seorang kawan akrabku berhasil menjadi penyiar radio. Betapa irinya aku saat mendengarnya. Belakangan, aku sadar, mungkin aku memang tidak ditakdirkan menjadi penyiar radio. Impianku kupersempit, okelah aku tidak bisa jadi penyiar radio tapi setidaknya aku ingin merasakan bagaimana rasanya mengudara, berbicara sendiri dengan suara sebagus-bagusnya tapi ada yang denger di seberang sana. Beberapa kali aku hampir mendapat kesempatan menjadi nara sumber di radio tapi selalu berbelok alias tidak jadi.
Hingga tibalah hari itu. Hari ketika seorang kawan menelponku. Aku diminta mengisi acara di radio, temanya tentang seni budaya, terserah aku mau ngomong tentang apa. Saat itu anak bungsuku sedang sakit dan rasanya tidak mungkin meninggalkannya. Selain itu, aku sendiri kurang sehat. Tenggorokanku sakit, hidungku meler, suaraku serak. Bagiku pastilah suaraku tidak sempurna. Akan tetapi hati kecilku berkata, saat ini kamu diminta karena tugas organisasi dan sepertinya inilah kesempatanu untuk mencapai salah satu impian masa kecil. Akupun menyiapkan diri sebaik-baiknya. Mencari ide, menyusun kerangka, mengumpulkan referensi. Aku memilih topik sastra daerah.
Rasanya tidak percaya ketika aku sampai di halaman RRI. Lebih tidak percaya lagi ketika aku memasuki ruangannya dan memasang peralatan siaran. Hei, here I am! Aku terkenang guruku yang dulu pernah berkata Langsung jadi penyiar RRI saja… Oh Bu Guru, apakah kautahu ucapanmu tersebut kini menjadi nyata walau hanya sekali ini.
Selesai aku siaran, aku berfoto dengan kru dan penyiarnya (salah satunya ternyata teman kuliahku!). Yang menyenangkanku, sorenya ketika pulang kerja, suamiku memutar suaraku saat sedang mengudara. Ternyata ia merekamkannya untukku. Malam itu akupun narsis mendengarkan suara sendiri. Terima kasih Tuhan, kini aku sudah tahu rasanya mengudara alias siaran…:) hehe.