Sabtu, 05 Januari 2013

# esai # Lemari Buku Nai

Teriakan Bisu Tiga Lelaki



TERIAKAN BISU TIGA LELAKI
Esai Nailiya Nikmah JKF*

Menuangkan isi hati ke dalam bentuk puisi terkadang menjadi pilihan terbaik bagi siapa saja. Tidak terkecuali bagi tiga orang lelaki (Imam Budiman, M. Ansyar dan Zian Army Wahyufi) yang mengumpulkan puisi-puisinya dalam buku Teriakan Bisu (TB) terbitan Media Tahura, 2012. Ada dua kemungkinan yang ingin disampaikan ketiganya melalui teriakan bisunya. Pertama, mereka sebenarnya sedang ingin berteriak tetapi mereka tidak punya suara (:kekuatan) untuk berteriak sehingga yang terjadi adalah mereka menyunyikan teriakan tersebut menjadi baris-baris puisi yang sepi. Kemungkinan kedua, mereka berceloteh, berteriak lewat puisi-puisi tersebut namun sejatinya mereka “bisu”. Hal ini diakui oleh Zian secara tersurat dalam epilog buku TB, “ …maka setidaknya, buku inilah teriakan kami selanjutnya, meski kami hanyalah orang-orang “bisu“.
Di antara beragam hal yang diteriakkan oleh Zian dkk dalam TB, pembaca dapat menemukan “orang tua” sebagai salah satunya. Anak lelaki berbicara tentang orang tua. Adakah keunikannya jika dibandingkan dengan pembicaraan oleh anak perempuan? Para orang tua biasanya lebih lembut dan halus perangainya ketika berbicara dengan anak perempuannya tapi tidak dengan anak laki-laki. Saat anak perempuan menangis, ayah pasti kelimpungan mencari sapu tangan untuk mengusap air matanya tapi saat anak lelaki menangis, ayahnya akan berkata, “simpan tangismu, anak laki nggak boleh cengeng!
Ada empat puisi tentang orang tua dalam TB. Puisi tersebut adalah Bapak (hlm 24) dikarang oleh Imam Budiman; Puisi untuk Orang tuaku (hlm 47) dikarang oleh M. Ansyar; Krak! (hlm 59) dan Kampung Batu (hlm 65) dikarang oleh Zian Army Wahyufi.
 Puisi “Bapak” didominasi oleh bunyi-bunyi ringan dan lembut seperti e dan i. Misalnya pada kata semburat, manapun, menimpa, sebelumnya, setumpuk, permata, menuduhnya, tersenyum, membahagiakan dan diam. Lambang bunyi dapat dihubungkan dengan suasana jiwa (Tarsyad, 2011:15). Bunyi yang ringan dan lembut melukiskan suasana yang sendu. Hal ini terkait dengan makna umum puisi “Bapak” yang menggambarkan kesedihan aku lirik ketika tahu bapaknya ingin menikah lagi yang disebutnya dengan ibu baru.
Gaya bahasa klimaks terdapat pada larik “…dan ketika ia singgah dalam jangka waktu relatif singkat, sangat sebentar/ dirinya pun terengguti ketidakadilan yang entah dengan siapa ku/ harus menuduhnya.” Gagasan-gagasan yang diungkapkan mengandung urutan pikiran yang semakin meningkat kepentingannya. Di sini terdapat pula ungkapan yang perifrasis, yaitu mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. “Jangka waktu relatif singkat, sangat sebentar.” Seharusnya cukup “waktu yang singkat” atau “sangat sebentar”. Keduanya tidak perlu digunakan bersamaan. 
Gaya bahasa yang antitesis juga terdapat dalam “Bapak”. “…meski keinginan diri menolak keras…/aku diam.” Antitesis adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan (Keraf, 2002:126). Gagasan “ingin menolak keras” dibenturkan dengan gagasan “diam”. Semua itu karena Imam terpaksa. Untuk keterpaksaan itu, Imam pun mengeluh /huh! Entah apa jadinya!/. Lihat juga catatan di akhir puisi Imam.   “Keterpaksaan, Juli 2011”
Pada puisi “Puisi untuk Orangtuaku” terdapat gaya bahasa kiasan persamaan/ simile. Gaya bahasa ini adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain (Keraf, 2002:138). /Itulah ketakutanku Ayah, Ibu/ yang datang bak gelombang besar/. Ansyar begitu takutnya terhadap orangtuanya sampai ia menyamakan ketakutannya dengan gelombang besar. Gelombang yang siap menggulungnya.
Puisi berikutnya berjudul “Krak!” ditulis oleh Zian. Puisi ini mengingatkan kita pada gaya puisi Sutardji Calzoum Bachri. Penggunaan gaya bahasa repetisi yang berupa anafora pada “Kau tulis” menjadi ruh puisi “Krak!”.
Gaya aliterasi juga mewarnai puisi ini. Gaya aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud pengulangan konsonan yang sama (Keraf, 2002: 130). Pada puisi “Krak!” terdapat pengulangan konsonan k di tiap barisnya. Terdapat kata sajak, jejak, serak, berontak, gejolak, bentak, sorak, teriak, sesak, Bapak, Anak, sentak, gertak, benak, jarak, hentak, gerak, detak, retak, kelak, tebak, hendak dan tidak.
Semua kata yang mengandung pengulangan konsonan k tersebut ditulis menggunakan huruf kecil pada huruf pertamanya, kecuali pada kata Bapak dan Anak. Ini menyiratkan bahwa ada yang penting yang terjadi antara bapak dan anak. Kedua kata  ini pun diletakkan di tengah baris, yang menyiratkan poros persoalan pada puisi ini adalah bapak dan anak.
Berdasarkan teori lambang bunyi Semi dalam Tarsyad (2011:15), konsonan k termasuk dalam kelompok bunyi yang ringan. Bunyi yang ringan melukiskan suasana sendu. Krak! adalah bunyi yang ditimbulkan oleh sesuatu yang patah atau belah.  Dengan tanda seru di sampingnya menyiratkan bunyi tersebut cukup keras. Di balik kegaduhan bunyi Krak! tersimpan unsur kesenduan. Biasanya sesuatu yang patah akan menimbulkan kesedihan mendalam, terlebih apabila yang patah itu adalah sekeping hati.
Puisi “Kampung Batu” dimulai Zian dengan melempar sebuah pertanyaan. “Buat apa kau datang ke kampungku”. Pertanyaan ini menimbulkan kode teka-teki secara struktur. Zian seolah-olah meragukan urgensi orang lain untuk datang ke kampungnya.
Pada puisi ini terdapat repetisi kata batu dan debu. Bunyi vokal a dan u serta bunyi konsonan b dan d termasuk dalam kelompok bunyi-bunyi yang berat. Bunyi yang berat melukiskan perasaan jiwa yang tertekan dan gelisah (Semi dalam Tarsyad, 2011:15). Zian menyimpan perasaan tertekan dan gelisah karena persoalan-persoalan yang bisa membuatnya termasuk dalam kategori anak durhaka. Anak durhaka tentunya akan menjadi batu seperti Malin Kundang di Sumatra (atau menjadi gunung seperti Angui di banua kita). Lalu batu itu pun akan jadi debu. Anak durhaka akan sia-sia hidupnya.
Sebenarnya Zian anak terakhir yang belum jadi batu. Seperti katanya “…Sisa aku di sini – yang juga telah durhaka, menunggu jadi batu dan debu/…/ Mama-abah pergi umrah”. Sayangnya Zian pun kelak akan jadi batu. Akan tetapi ada peluang sebenarnya untuk Zian. “…Mama-abah pergi umrah” Kalimat ini menyiratkan harapan untuk Zian. Bisa saja ketika umrah itu orangtuanya khusyuk berdoa untuk Zian. Bukankah doa di Baitullah sering terkabul? Meski begitu, Zian tetap tertekan dan gelisah. Untuk itu ia ma- anyaki lagi.” Jadi, masih tertarik datang ke kampungku?”
Puisi-puisi yang bicara tentang orang tua ini bertemakan suasana keterpaksaan. Zian dkk terpaksa menuruti kehendak orang tua, tak berani membantah, lama-kelamaan hal ini membuat mereka memilih “bisu”. Pada puisi “Bapak”, Imam Budiman tidak suka bapaknya menikah lagi tetapi demi melihat bapaknya tersenyum, ia terpaksa menyetujuinya dan memilih untuk diam. Pada puisi “Puisi untuk Orangtuaku” Muhammad Ansyar juga terpaksa tak bisa jujur karena ia takut terhadap kemarahan ayah ibunya. Dengan melankolis, Ansyar mengakui bahwa hatinya begitu rapuh. Kemarahan orang tuanya membuatnya tidak merasa bebas. Ia juga tak bisa melihat keramaian dengan jelas. Dengan kata lain, hidupnya selalu sepi. Pada puisi “Krak!” Zian dengan tegas mendeskripsikan perseteruan antara anak dengan Bapak. Zian ingin memberontak tapi bapaknya balas membentak. Ketika Zian menyentak, bapaknya balas menggertak. Ujung-ujungnya Zian merasa ada yang retak karena tiap kehendaknya selalu tidak sama dengan kehendak Bapak. Agaknya puisi ini terhubung dengan puisi “Kampung Batu”. Dalam “Kampung Batu” Zian akhirnya mengakui bahwa ia pun telah berani melawan orang tuanya. Ia melakukan kedurhakaan – mengikuti seluruh orang di kampungnya – justru di saat orang tuanya sedang mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya. Secara berlawanan Zian juga ingin mengemukakan bahwa masih ada setitik harapan dari doa dan ampunan orangtuanya. Tapi sepertinya menjadi batu sudah terlanjur menjadi ancaman yang menakutkan bagi dirinya. Zian merasa ia pasti akan membatu pula. Zian tidak sendiri, orang sekampung bahkan telah lebih dulu menjadi batu. Ternyata “bersuara” pun akan berujung pada diam. Seperti diamnya batu-batu yang terbuat dari anak durhaka. 
Puisi-puisi tadi mengingatkan saya pada puisi Arief Rahman Heriansyah yang berjudul “Sajak Ayah; Pada Pernyataan Ngarai Sastra” dalam buku Balian Jazirah Anak Ladang (2011:5-6).
Puisi tersebut berisi suara hati Arief tentang ayahnya: “…/kemudian saatnya menjadi bisu/ bisu yang tertahan di kemudian…// dalam sajak Ayah; mengapa terlalaikan oleh cinta/ dalam sajak Ayah; hempaskanlah apapun maksud baikmu/ dalam sajak Ayah; aku selalu menggenggam fatamorgana/ dalam sajak Ayah; mengapa bingkisan tua itu masih terkatup rapat?...// …dalam luka aku menggores sajak/ pada langit buram yang tak kumengerti”. Sama seperti Zian dkk, Arief pun menjalani saat-saat menjadi bisu.
Diksi-diksi seperti hasrat, mimpi, imaji, dikontraskan dengan tak bernyali menjelaskan apa yang disebut dengan fatamorgana. Suasana sedih mewarnai puisi ini dari awal sampai akhir. Arief bahkan merasa perlu menegaskan kelukaan hatinya dengan memberi catatan pada puisinya tersebut, “*Ayah; kehendakmu goreskan sakit hatiku, bagaimanapun aku tetap mencintaimu…
Jurang yang menganga antara orang tua dan anak; ketidakterampilan dalam berkomunikasi, kerap menutupi maksud baik orang tua terhadap anaknya. Akhirnya ada anak yang merasa terpaksa menuruti semua keinginan orang tuanya. Artinya, ia mau saja menepiskan keinginan dirinya sendiri demi berbakti pada orang tua dan menelan konsekuensinya: hati yang terluka. Ada juga anak yang memilih berontak – lalu durhaka. Sementara Zian dkk terkatung-katung antara keduanya. Akhirnya mereka memilih berteriak lewat puisi. Uniknya, puisi-puisi tentang orangtua tersebut didominasi oleh sosok orangtua laki-laki. Imam menyebutnya “Bapak”. Ansyar dan Arief menyebutnya “Ayah”, Zian menyebutnya “Bapak” dan “Abah”. Adakah misteri yang tak bisa ditemukan jawabannya antara ayah dan anak laki-laki?
-------------------------------------------------------------------------------------------------

* Nailiya Nikmah JKF lahir di Banjarmasin, 9 Desember 1980. Pencinta hujan ini sejak kecil menyukai sastra dan menggemari baca tulis, menjalani masa remaja yang indah di Amuntai. Nailiya aktif di Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Cabang Banjarmasin dan Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Kalimantan Selatan. Sekarang ia menjadi pengajar Bahasa Indonesia di Politeknik Negeri Banjarmasin, sering menjadi pembicara pada seminar, pelatihan, workshop, diskusi, bedah buku seputar kesusastraan dan keterampilan berbahasa. Beberapa karyanya yang telah dibukukan adalah Nyanyian Tanpa Nyanyian (Antocer bersama-9 penulis perempuan Kal-Sel), Menulis itu Mudah (esai bersama), Konser Kecemasan (Kumpulan Puisi Lingkungan Hidup/Puisi bersama), Rindu Rumpun Ilalang (antocer sendiri), Kalimantan dalam Prosa Indonesia, Pelangi di Pelabuhan (kumcer bersama FLP), Antologi Bersama-Puisi Religius Indonesia “Para Kekasih”, Ketika Api Bicara (antocer HSU), Senja di Teluk Wandoma (antocer nasional bersama), Malam Kumpai Batu (anto kisdap bersama), Kiat Menulis dan Cerpen Pilihan (bersama penulis HSU). Cerpennya “Mangadap Langit” terpilih sebagai juara harapan III Lomba Menulis Cerpen Bahasa Banjar, Disbudpar.

2 komentar:

  1. mungkin memang sulit menjadi anak yg mendapati orangtuanya "pacaran" lagi... ia tidak tahu bagaimana cara mengatakannya pada ibunya, namun ia mampu membayangkan bagaimana dampaknya...

    BalasHapus
  2. Dan pada akhirnya...kami semua akan merasakan bagaimana rasanya ketika sudah menjadi "ayah".. :)

    BalasHapus