Rabu, 01 Mei 2019

# Buku Harianku # Film

Lokalitas, Sebuah Ide dan Ramalan Masa Depan Film Banjar


Prolog


Semua genre dalam dunia pengisahan pondasinya adalah ide cerita. Ide cerita merupakan ruh yang akan memberi energi bagi jalannya cerita melalui para tokoh dan unsur instrinsik lainnya. Terutama dalam film, ide cerita merupakan bagian utama yang akan menentukan keberhasilan dunia pengisahan. Kekuatan idelah yang akan menuntun para aktor untuk memerankan tokoh yang diamanatkan kepadanya. Dalam idelah tersimpan pesan-pesan bijak dunia seni dan kisah. Kualitas idelah yang akan menyemangati para penggarap untuk bertahan hingga akhir. Puncaknya, ide cerita yang berterima di hati dan otak penontonlah yang akan memuaskan dan memberi manfaat bagi mereka.
Hal tersebut menghantui pikiran saya ketika melangkahkan kaki menuju acara Screening Layar Film Banjar yang digagas oleh Forum Sineas Banua. Saya mendapat tiket gratis menghadiri acara tersebut sebagai hadiah sebuah kuis di akun instagram panitia. Dari berbagai informasi yang tayang di akun-akun media sosial panitia, saya menemukan screening schedule sebagai berikut:

Berdasarkan beberapa pertimbangan - di antaranya kelonggaran waktu dan kemungkinan bisa ngopi di lokasi - saya  memilih menghadiri yang 30 April 2019 di Capung Cafe n Resto Banjarmasin dimulai pukul 20.00 wita.
***
Malam itu, ada 8 film yang terpilih untuk ditayangkan dengan durasi bervariasi. Kedelapan film tersebut yaitu Mahiyau, Puan Panting, Dindra, Terlambat, Anum, Kada Bara Wara, Sarakap dan Pamit.

Lokalitas dan Sebuah Ide
Sejak awal mendengar dan mengetahui ada acara ini, saya bertanya-tanya, apakah yang dimaksud dengan film Banjar dalam hal ini. Sisi peneliti, dunia akademik saya membuat saya bertanya-tanya apakah definisi operasional film Banjar dalam konsep penyelenggara. Apakah seluruh film yang dibuat oleh orang Banjar; apakah film berbahasa Banjar; ataukah film yang bersetting Banjar atau perpaduan semuanya?
Menonton film-film tersebut, saya menyimpulkan sendiri apa yang dimaksud film Banjar dalam hal ini, yaitu perpaduan semua hal tersebut.
Para penggarap dan penyumbang ide film-film tersebut saya kira berusaha keras menghadirkan ide-ide yang bersinggungan dengan lokalitas. Lokalitas sampai sejauh ini (bahkan di era millenial) masih merupakan tema seksi dalam dunia pengisahan. Kajian-kajian tentang lokalitas tidak akan saya bahas semuanya di sini, yang pasti lokalitas tidak melulu persoalan bahasa dan atribut-atribut kesukuan atau kedaerahan. Lokalitas merujuk pada hal-hal yang menjadi denyut nadi dan inti persoalan yang ada. Oleh sebab itu, ia tidak hanya tempelan-tempelan penghias yang akan menjadi simbol tanpa makna. Tidak. Ia lebih dari itu. Ia adalah jantung cerita. Yang tanpanya, cerita tidak akan hidup. Yang tanpanya cerita akan hambar, basi dan biasa saja. Itulah hakikat lokalitas.

Dari kedelapan film yang saya tonton, Film Mahiyau yang diproduksi oleh Neotimo merupakan film dengan tingkat lokalitas terbaik sependek pengetahuan saya. Keseluruhan unsur yang ada dalam film ini diangkat dari tema besar hal-hal mistis yang memang menjadi bagian dari hal-hal yang dipercayai oleh sebagian orang Banjar. Dalam film yang disutradarai oleh Akhmad Megryan ini, nyaris tidak ada sisi yang mubazir atau sekadar tempelan. Setiap dialog, setiap adegan menjalankan peran dan fungsinya sebagai sebuah sistem yang mengarah pada satu sistem ide yang sama dengan judul film ini, yaitu Mahiyau (sebuah ritual pemanggilan jiwa orang yang dipercayai disembunyikan di alam gaib). Pelaksanaan ritual yang dilakukan Bainah; ritual yang dilakukan Khairi, merupakan sisi mistis yang masih dipercaya oleh sebagian masyarakat kita.


Sarakap yang disutradari oleh Upin Barikin berada pada nomor urut dua dalam hal  lokalitas yang jika diungkapkan dengan angka atau point, secara kuantitas bersaing ketat dengan Mahiyau. Kemampuan pemilik ide dan para penggarap dalam menghadirkan sisi kehidupan urang pahumaan dan urang paiwakan merupakan hal utama yang benar-benar mewakili satu sudut lokalitas urang Banjar. Film ini mengungkap sisi geografis tanah Banjar, lingkungan dan alam yang mempengaruhi mata pencaharian mereka. Dalam film ini tersampaikan ide bahwa ketika mereka tercerabut dari akar kehidupan yang melahirkannya, berbagai kesulitan pun muncul. Hanya saja, kemulusan sisi lokalitasnya sedikit goyang dengan munculnya isu kecurangan yang dilakukan oleh pambakal. Isu ini sedikit mengaburkan kekuatan utama film ini dari segi lokalitas.
Kada Bara Wara yang disutradarai oleh Rizwan Azhar menempati urutan ketiga menurut perspektif saya dari sisi lokalitas. Isu-isu dan wacana dalam dunia pertambangan di Banjar (:Kalimantan) merupakan sisi lokalitas yang sangat jelas. Dalam film ini batu bara menjadi hal utama yang menjadi nafas cerita, bukan tempelan, bukan hiasan. Kalaupun ada sedikit kelemahan dalam film ini adalah setting dan suasana. Film tersebut mengambil setting Banjar di tahun yang sangat jauh di depan. Masa depan. Masa yang seharusnya didukung oleh perubahan-perubahan budaya, sikap, bahkan karakter.
Selebihnya, bagi saya sebagian besar film ini bicara tentang hal-hal psikologis. Film-film ini bicara tentang konflik batin, pencarian identitas dan jati diri, pertahanan hidup manusia yang dibalut dengan isu-isu karakter dan budaya.
Puan Panting, Dindra dan Pamit memiliki kekuatan pada teknik penggarapan, jalan cerita dan pengaluran. Menonton ketiga film ini berasa sedang menonton film-film nasional yang tayang di bioskop-bioskop besar. Mulai dari kemampuan para aktor/artis, teknik kamera/pengambilan gambar, tata suara, backsound, serta hal-hal teknis lainnya patut diacungi jempol. Hampir tidak terdapat cela dari ketiga film ini.
Film Anum, memiliki kekuatan dari teknik dan pemeran utama. Kemampuan akting pemeran utama dalam film ini layak mendapat apresiasi. Di usianya yang relatif masih muda, keterampilannya dalam seni peran sangat bagus. Meski tokoh utama film yang disutradarai oleh Yuniardo Alvares ini adalah anak-anak, saya kira film ini bukan untuk anak-anak. Di antara delapan film yang saya tonton, film Anum merupakan film yang cukup berat, yang memerlukan keseriusan lebih ketika menontonnya untuk mendapatkan inti cerita. Rumah Jomblo yang menjadi setting film ini, bisa jadi merupakan peran atau tokoh bayangan yang menjadi simbol utama cerita Anum.
Selain menghibur, sastra dan seni itu hendaknya bermanfaat. Saya kira, film dengan nilai positif terbanyak yang disampaikan - ada pada film Terlambat yang disutradrai oleh M. Nafidz Khalifa. Sedikit perbaikan pada teknik penceritaan dan alur akan membuat film ini berpotensi luar biasa positif untuk ditonton oleh seluruh pelajar.

Sebuah Ramalan
Secara umum, film-film yang saya tonton malam itu memberi angin segar bagi perfilman lokal khususnya film Banjar. Menyaksikan dengan seksama film-film tersebut membuat kita memiliki harapan yang positif terhadap masa depan film Banjar. Keberadaan film Banjar, kesuksesan film Banjar akan memberikan efek yang sangat baik bagi perkembangan budaya secara umum serta bahasa Banjar secara khusus yang pada ujungnya akan mempengaruhi bidang ekonomi dan bidang lainnya.
Terkait bahasa Banjar, saya kira inilah satu-satunya kritik yang ingin saya sampaikan. Bahasa Banjar sebagaimana bahasa lainnya memiliki kekhasan. Bahasa Banjar yang digunakan sebaiknya bukanlah bahasa Indonesia yang dialihbahasakan seadanya ke bahasa Banjar melainkan bahasa Banjar dengan diksi-nya yang khas sesuai konteks.
Akhirnya, selamat berkarya, tidak ada keberhasilan tanpa proses yang sungguh-sungguh. Semoga para sineas banua fokus pada pergerakannya dan melahirkan film-film terbaik yang dapat bersaing dengan film lainnya.

3 komentar:

  1. Terima kasih banyak kak, atas dedikasinya dalam tulisan ini. Entah kenapa saya merasa tertegun setiap melangkah pada tiap kalimatnya, dan membuat saya semakin ingin menjadi seperti kakak. Sangat menginspirasi, izin share ya kak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama Col. Terima kasih sudah mampir. Aktingmu bagus dalam film Mahiyau. Be ur self, Col. Jangan jadi orang lain. Salam Kreatif. Salam Seni.

      Hapus
  2. Saya rasa didaerah kita masih kekurangan kritikus seni. Saya suka tulisan yang membangun tanpa menjatuhkan, apalagi dibalut dengan diksi manis.... elegant! .Terimakasih sudah mau meluangkan waktu untuk hal-hal ikhlas seperti ini ��

    BalasHapus