Senin, 04 November 2013
KUNTUM SATU
Karangan Bunga Abadi
“Apakah
benar dalam bunga-bunga kaca yang Ibu buat terdapat guna-guna?”
Pertanyaan
yang diucapkan dengan nada mengancam itu keluar dari mulut seorang laki-laki
tak dikenal. Laki-laki berkemeja merah hati lengan panjang dengan satu kancing
paling atas dibiarkan terbuka, bercelana panjang hitam, bersepatu hitam
mengilap. Lengan baju kanannya tergulung sampai siku sementara gulungan lengan
baju kirinya terlepas. Di saku kemejanya menyembul ujung dasi warna senada. Tatanan
rambut pendeknya tidak jelas seperti tidak disisir. Wajahnya sedikit berminyak.
Matanya sembab dan memerah. Tangan kirinya menggenggam kunci mobil.
Perempuan
di ambang pintu menahan tangan kanannya agar tidak terayun keras ke wajah
lelaki di hadapannya. Ia baru saja bergegas membukakan pintu setelah mendengar
ketukan yang bertubi-tubi tanpa jeda. Ia belum sempat mengucapkan kata “siapa”
pada tamunya dan menanyakan ada keperluan apa, sebagaimana basa-basi seorang
tuan rumah pada tamunya. Ia belum pula menyilakannya masuk tapi tamu itu telah
terlebih dahulu menikam perasaannya. Tamu lelaki itu bahkan lupa mengucapkan
salam.
“Katakan
apa maumu sebenarnya?” kali ini ia lebih berani meninggikan suara. Bagaimanapun
yang berada di hadapannya sekarang adalah seorang lelaki bukan perempuan
seperti yang datang dua hari sebelumnya. Lagipula, kejadian dua hari yang lalu
membuat ia memiliki pengalaman. Tangan kirinya sekarang memegangi daun pintu.
“Aku
hanya ingin tahu, apakah benar bunga-bunga yang Ibu karang menyimpan
guna-guna,”
“Apakah
teman perempuanmu kemarin belum memberitahumu? Atau penjelasannya kurang
meyakinkan di telingamu sehingga kamu harus datang ke sini untuk menanyakannya
kembali?”
“Teman
perempuan? Siapa? Siapa namanya?” Lelaki itu terperanjat. Ia tak menyangka
perempuan berbibir tebal dan bertubuh gempal yang sedang ditatapnya mengeluarkan
kalimat tersebut. Tidak terlintas sama sekali di pikirannya kalau ada orang
lain yang berkepentingan sama dengannya.
“Jadi
kau tak tahu? Atau pura-pura tidak tahu? Siapapun namanya, apa urusanku?” Nada
suaranya meninggi. “Aku tidak punya urusan dengan orang-orang tidak sopan
seperti kalian!” Matanya melotot. Ia mengerahkan seluruh keberanian. Ia tidak
ingin harga dirinya diinjak-injak seperti dua hari yang lalu. Ia pikir
perempuan yang datang dua hari yang lalu itulah yang mengutus lelaki di
hadapannya.
“Aku
benar-benar tidak mengerti. Siapa orang lain yang datang ke sini sebelum aku?”
“Aku
lebih tidak mengerti mengapa kalian repot-repot ke rumahku hanya untuk
menuduhkan fitnah murahan kepadaku,” perempuan menutup pintu.
“Jangan,
jangan ditutup dulu.” Sang tamu menahan pintu dengan tangannya.
“Pergilah!”
“Aku
tidak akan pergi sebelum mendapat jawaban darimu,”
“Jawaban
apalagi? Aku sudah mengatakannya kepada temanmu!”
“Percayalah,
aku benar-benar tidak tahu. Aku tidak tahu siapa yang kaumaksud dengan temanku.”
“Mengapa
aku harus percaya padamu?”
“Tolonglah
aku,” suara itu kini terdengar memelas. “Aku memerlukan bantuanmu. Maaf jika
tadi aku agak kasar. Aku…aku,”
Perempuan
itu tidak menduga keadaannya akan berbalik. Perlahan, ia membuka pintu kembali.
“Baiklah, aku percaya padamu. Sekarang kuminta kaupercaya padaku. Tidak ada
apa-apa dalam bungaku termasuk guna-guna yang kautuduhkan. Jelas? Atau perlu aku
ulang sekali lagi?”
Tamu
itu menunduk. Wajahnya terlihat putus asa.
“Apalagi?
Pergilah sebelum anak-anakku atau tetangga berdatangan. Aku tidak mau terjadi
keributan.”
“Ya,
aku akan pergi. Terima kasih. Sekali lagi maafkan aku,” Lelaki itu membalikkan
badannya. Tak dihiraukannya panas matahari yang sedang berada tepat di atas
kepalanya. Langkahnya gontai menuju mobil yang diparkir di depan pagar.
Perempuan
menutup pintu. Hatinya rusuh. Ia ke kamarnya, membuka pintu lemari pakaian,
mengambil selembar kertas berlipat empat di sela lipatan bajunya yang paling
bawah. Ia mencoba
menghubung-hubungkan pesan yang tertulis di kertas tersebut dengan kedatangan
tamu-tamunya. Kini ia mulai memahami makna pesan itu. Dikibas-kibaskannya ujung
selendang hijau tua ke arah lehernya yang bersimbah keringat. Iapun kembali membaca
sebuah pesan.
Katakan pada mereka bahwa pada bunga-bunga
tersebut memang terdapat sesuatu. Sesuatu yang bisa mendekatkan yang jauh dan
menjauhkan yang dekat. Sesuatu yang bisa memanggil hati-hati yang berpaling,
mendekatkannya dan menyatukan dalam sebuah hubungan; serta sebaliknya, mampu
memisahkan hati-hati yang terjalin seerat apapun pengikatnya serta mengubah
seluruh cinta menjadi benci. Sesuatu yang menjadikan rindu dan dendam di luar
kendali pemiliknya. Katakan seperti yang tertulis di kertas ini. Keempat anakmu
taruhannya!
Meski keempat anak laki-lakinyanya
terancam, ia tidak mau mengikuti perintah dalam selembar kertas yang
ditemukannya di teras rumahnya sepekan yang lalu. Ia masih ingat kejadian itu.
Saat
itu belum waktunya membangunkan anak-anak dan suaminya untuk siap-siap pergi ke
langgar dekat rumah. Gerimis turun berirama, jatuh di atas atap lalu turun ke
pekarangan. Ia baru saja menaruh seceret air di atas kompor yang menyala untuk
si bungsu yang barangkali ingin mandi pakai air hangat. Tiba-tiba ia mendengar
seperti bunyi pintu diketuk. Ia membenahi daster panjangnya, menggelung rambut,
menajamkan pendengaran sambil menuju pintu depan. Langkahnya tidak segesit dulu
karena sekarang badannya semakin gemuk.
Dari
ruang tamu ketukan itu terdengar lebih jelas. Sejenak langkahnya terhenti.
Ditekannya tombol lampu ruang tamu. Matanya menyipit karena silau. Dilihatnya
jam dinding bergambar bola menunjukkan pukul 04.25. Ia berpikir apakah
sebaiknya ia membangunkan suaminya tapi ia menepis ide itu. Sebelum membuka
pintu disibaknya sedikit gorden ungu yang menutup kaca di samping pintu lalu
mengintip siapa yang datang. Ia tidak melihat siapa-siapa atau apa-apa di
teras. Sedikit rasa takut menghampirinya tapi ia yakin betul dengan pendengarannya.
Ada seseorang yang mengetuk pintunya tadi.
Rasa
penasaran mengalahkan rasa takutnya. Ia memutar anak kunci, menekan gagang
pintu lalu menariknya ke belakang membuat pintu terbuka sempurna. Hawa dingin
segera menyergapnya. Ia tidak melangkahkan kaki keluar. Ia mengedarkan
pandangan dimulai dari arah yang terjauh. Dari tempat ia berdiri dapat dilihatnya
jalanan sepi, hanya ada gerimis yang jatuh satu-satu. Lalu dilihatnya pintu pagar
depannya terbuka separuh. Seseorang pasti telah membukanya dengan paksa sebab
ia yakin suaminya tidak pernah lupa menutup dan menggembok pagar sebelum pergi
tidur. Di halaman rumah tidak ada apa-apa selain tangkai-tangkai mawar yang
melambai lembut ditimpa gerimis. Di
lantai kayu terasnya, ia menemukan jejak-jejak sepatu atau sandal. Ia mulai
menduga-duga apakah ada pencuri yang masuk rumahnya. Jika memang pencuri, untuk
apa ia mengetuk pintu?
Ia
hampir saja menutup pintu ketika matanya tak sengaja melihat ke bawah. Tepat di
depan pintu, dekat kakinya, tergeletak kertas putih polos berlipat dua. Kertas
itu ditindih oleh sebongkah batu seukuran genggaman tangan orang dewasa.
Perempuan itu membungkuk, memungut kertas dan membuka lipatannya. Matanya
menemukan sebuah pesan yang diketik rapi dengan jenis huruf yang biasa ia lihat
di halaman depan tugas kuliah anak pertamaanya.
Setelah
mengetahui isinya, perempuan itu ketakutan setengah mati. Hampir saja ia
berteriak memanggil suami dan anak-anaknya tapi lagi-lagi hatinya berkata lain.
Ia bertekad merahasiakannya. Ia tidak ingin anak-anak dan suaminya cemas,
terlebih anak sulungnya yang akan menghadapi ujian akhir. Ia berharap, surat
itu hanya kerjaan orang iseng yang ingin mengajaknya bercanda. Pada hari itu,
seharian ia gelisah. Anak bungsunya yang masih TK ia tunggui di halaman gedung
sekolah. Anak kedua dan ketiga yang masih SMP dimintanya untuk segera pulang ke
rumah sehabis jam pelajaran. Biasanya mereka berdua suka main-main dulu ke
rumah teman. Anak sulungnya ia pesani untuk lebih berhati-hati di jalan.
Keempat anaknya keheranan dengan sikapnya yang tidak biasa. Dia hanya bilang,
perasaan ibu tidak enak. Ia sama sekali tidak mengerti, untuk apa dan mengapa
seseorang mengirim pesan semacam itu padanya.
Hari
kelima setelah pesan itu ia terima, ia didatangi seorang perempuan. Perempuan
yang ia kenali ibunya sebagai seorang pengarang bunga karena mereka pernah satu
kampung. Seperti dirinya, keluarga
perempuan itu hidup dari hasil menjual karangan bunga-bunga. Hanya saja,
karangan bunga mereka tidak sama. Karangan bunga yang ia hasilkan memiliki
nilai jual yang lebih tinggi.
“Aku
tahu, kau tak akan mengatakan apa-apa perihal bunga karanganmu karena mungkin
ini menyangkut rahasia bisnismu tapi tolong katakan padaku, apakah kau tahu
tentang kemungkinan ada sesuatu dalam bungamu?”
“Sesuatu?
Maksudmu?” Perempuan itu mulai was-was. Ia menebak-nebak arah pembicaraan
perempuan yang mendekap seorang bayi laki-laki dalam gendongannya.
“Yah…sesuatu
yang bisa mempengaruhi seseorang,”
“Aku
tak paham apa maksudmu.”
“Kau
jangan berpura-pura tidak paham. Aku hanya minta tolong padamu untuk
memberitahuku bagaimana cara mematahkan pengaruhnya. Apakah cukup dengan cara
memecahkan botolnya?”
“Dengar,
aku tidak paham apa yang kamu bicarakan. Pengaruh? Pengaruh apa?”
“Pengaruh
guna-guna yang ada dalam botol karangan bungamu!” Perempuan itu memekik sambil
mengacungkan telunjuk ke arahnya. Bayi dalam gendongannya sontak menangis
kencang tapi perempuan itu tak peduli.
“Jangan
menuduhku sembarangan!” mata perempuan itu melotot.
“Dibayar
berapa kamu untuk tutup mulut. Aku akan membayar lebih!”
Ia
tidak tahan lagi mendengar ocehan perempuan yang ditingkahi tangisan bayinya.
Kedua tangannya mencengkram bahu perempuan itu, “Dengar. Mungkin ibumu
mencekokimu macam-macam karena ia iri dengan bungaku tapi aku tegaskan, aku
tidak menaruh apa-apa dalam bungaku. Sebaiknya kamu keluar dari rumahku. Kalau
saja kamu bukan bekas tetanggaku, kamu sudah kuteriaki agar warga sini
mengeroyokmu!”
“Jangan
bawa-bawa ibuku. Ia tidak ada hubungannya. Kau mau meneriakiku? Apa tidak
terbalik? Bagaimana kalau aku yang meneriakimu di hadapan warga bahwa kamu
tukang santet?”
“Jaga
mulutmu!” tangannya menjambak kerudung perempuan di hadapannya.
“Hei,
apa-apaan ini. Ibu, hentikan, hentikan! Ingat Tuhan. Lihat, kalian membuat bayi
ini ketakutan.” Seorang lelaki paruh baya keluar melerai.
“Dia
duluan, Pak! Dia menuduhku menaruh guna-guna dalam bungaku.”
“Sudah…,
sudah. Duduklah dulu kalian berdua. Mari kita bicara baik-baik. Apa sebenarnya
yang terjadi. Tidak ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan kalau semua
pihak beritikad baik.”
“Tidak
usah. Terima kasih. Saya mau pulang saja,” Perempuan itu berlalu bersama
bayinya yang masih menangis. Dalam hatinya terselip rasa malu ketika tatapannya
bersirobok dengan suami perempuan yang baru saja ia maki-maki. Lelaki itu
membuatnya teringat pada ayahnya sendiri. Ingin sekali ia menceritakan semua
kepedihan hatinya tapi ia tidak yakin itu akan berguna.
“Kasihan
dia, Bu. Tidakkah kaumelihat dia seperti orang frustasi? Bukankah dulu dia anak
yang ramah dan santun? Bukankah dia gadis pengarang bunga yang suka menjuali
kita bunga-bunga petikan ayahnya? Entah apa yang terjadi pada dirinya.”
”Mengapa
Bapak malah membela dia? Yang Ibu lihat tadi adalah perempuan kasar yang tak
tahu diri dan tidak perlu dikasihani,” wajahnya cemberut tapi hatinya
mengiyakan pendapat suaminya.
“Bapak
hanya mengatakan hal yang tidak Ibu lihat karena mata Ibu tertutup amarah.”
***
Selama
ini orang-orang datang ke rumahnya untuk memesan dan membeli rangkaian
bunga-bunganya. Rangkaian bunga biasa sebenarnya. Tangannyalah yang telah
membuat rangkaian bunga tersebut menjadi tidak biasa. Bunga-bunga yang
tersentuh tangannya menjadi bunga abadi, seperti kisah-kisah yang hanya ada
dalam negeri dongeng. Kisah tentang bunga yang tak pernah layu seperti cinta
yang tak pernah mati antara putri dan pangeran impian.
Untuk keperluan apa orang-orang itu membelinya, ia tak pernah
ambil pusing. Ada yang menjadikannya hiasan saja – ini yang umum, ada yang
memperlakukannya sebagai jimat penglaris toko – ini tidak banyak, ada yang
menjualnya kembali, ada juga yang menganggapnya sebagai cinderamata khas
kabupatennya. Ia sendiri tidak memiliki anggapan khusus terhadap rangkaian
bunganya. Ia hanya merangkainya dengan keterampilan yang ia miliki.
Ada
beberapa yang pernah membeli sambil menanyainya perihal rahasia karangan
bunganya. Akan tetapi ia pikir, menjawab dengan benar atau tidak pertanyaan
tersebut adalah sebuah pilihan yang merdeka baginya. Tidak ada orang yang
berhak mengintimidasinya untuk mengatakan rahasia apa yang tersembunyi di balik
keawetan karangan bunganya.
Mungkinkah airnya sudah dicampur formalin
atau zat kimia tertentu sebagai pengawet?
Mungkinkah airnya adalah air hujan yang
langsung ditampung dari langit?
Mungkinkah ada jampi-jampi yang dibacakan
hingga bunganya bisa awet?
Mungkin ada bantuan jin dalam pembuatannya?
Sebenarnya apa makna rangkaian bunga ini
menurut ibu?
Saya ingin menulis tentang karangan bunga
yang Ibu buat, bisakah ibu ceritakan pembuatannya?
Saya ingin sekali bisa membuat hiasan bunga
seperti yang ibu buat, bisakah saya diajari cara membuatnya?
Bermacam-macam
komentar orang yang pernah menemuinya. Biarlah jika ada yang menganggapnya misteri.
Semisteri jawaban atas pertanyaan mengapa hanya bunga cempaka yang bisa dipakai
dan mengapa bunga yang lain selalu gagal bertahan lama.
Ia
merasa tidak perlu dan tidak harus
mengatakan yang sebenarnya sebagaimana ia tidak perlu menanyakan mengapa takdir
memilihnya menjadi pengarang bunga abadi…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar