Jumat, 12 Desember 2025

# esai # sastra

GENERASI YANG GELISAH BERPESIAR TANPA BERLAYAR

Oleh Nailiya Nikmah Disampaikan pada Forum Penyair Muda, Dialektika Sastra Menara Pandang, DK Bjm, 12-13 Desember 2025



Dalam dunia kepenulisan terdapat sebuah teori yang mengatakan bahwa orang akan lebih mudah menuliskan sesuatu yang dekat dengan kehidupan kesehariannya; akan lebih sigap menuliskan sesuatu yang sedang berkecamuk memenuhi rongga jiwanya. Pun dengan puisi. Terlebih lagi karena puisi adalah media tulis yang paling dekat dengan upaya pengungkapan isi hati penulisnya.

Tidak ada puisi yang salah. Hanya saja, kita memerlukan puisi-puisi yang indah untuk layak bersemayam dalam benak pembacanya. Ukuran-ukuran, kriteria, juknis seringkali menjadi acuan ketika menulis puisi menjadi sebuah lomba atau sayembara. Tak dapat dipungkiri kadang subjektivitas penilai berperan sedikit banyaknya, setidaknya terkait selera. Meski terdapat unsur ekstrinsik, bahwa sebuah karya dipengaruhi oleh latar belakang pengarang - sebagai sebuah karya sastra - setelah sebuah puisi tercipta dari rahim penulisnya serta-merta ia telah menjadi milik pembacanya. Sebagai sebuah karya, maka sebuah puisi berjuang atas dirinya sendiri. Akankah diterima dan diapresiasi oleh pembaca, maka biarlah pembaca memainkan perannya.

Sebagai bagian dari  karya sastra, sama dengan karya sastra lainnya, puisi dibangun atas dari dua unsur utama, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Meski pembicaraan-pembicaraan yang hanya mengupas soal intrinsik sudah lama ditinggalkan – beralih ke hal-hal ekstrinsik dan multidimensi, tetap saja kita tidak bisa meninggalkan faktor-faktor intrinsik sebagai bagian utama bangunan sebuah karya sastra. Puisi telah berkembang dari puisi lama ke puisi modern. Dari yang terikat bait dan baris hingga ke yang sudah tidak terikat lagi. Pembaharuan-pembaharuan di bidang perpuisian tidak hanya soal bentuk tetapi juga sudah ke ranah tematik, filosofis serta apa yang diperjuangkan sebagai hal substantif lainnya.

Karya-karya yang terhimpun dalam Berpesiar Tanpa Berlayar ditulis oleh para penyair yang berkumpul dalam Forum Penyair Muda Kalimantan Selatan 2025. Sebuah jarak waktu yang begitu jauh dari Forum Penyair Muda yang pernah ada sebelumnya, yaitu 40 tahun silam. Angka yang cukup signifikan untuk sebuah perubahan generasi. Apabila dikaitkan dengan usia, para penyair peserta forum ini dikategorikan berusia muda dan rata-rata berusia 40 tahun ke bawah (kelahiran tahun 1980-an dan 2000-an).

Setiap generasi memperjuangkan kehidupan zamannya. Sebuah tulisan di website kementrian keuangan menyebutkan bahwa Generasi Y (Milenial) dan Generasi Z adalah dua kelompok demografi yang tumbuh di era digital yang berbeda, menghasilkan karakteristik, prioritas, dan pandangan yang berbeda, terutama di ranah pencaharian dan profesi. Generasi Y, atau Milenial, umumnya lahir antara tahun 1981 hingga 1996. Mereka adalah "imigran digital" yang mengalami transisi dari dunia analog ke dunia digital. Karakteristik utama cepat beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan menyukai sesuatu yang serba cepat; mencari makna dan tujuan di tempat kerja, bukan sekadar gaji; mengharapkan umpan balik yang teratur mengenai kinerja dan lingkungan kerja mereka; menghargai fleksibilitas dalam cara dan tempat mereka bekerja, serta keseimbangan kehidupan kerja dan pribadi; cenderung berorientasi pada tim, menghargai keberagaman, ekspresi diri, dan tanggung jawab sosial. Sementara Generasi Z, atau Gen Z, lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Mereka adalah "penduduk asli digital" (digital natives) sejati yang tumbuh dengan teknologi canggih seperti ponsel pintar dan internet sejak usia dini. Milenial tumbuh di masa transisi dan sering kali menghadapi tekanan untuk mencapai kesuksesan yang tinggi, yang terkadang mengarah pada kecenderungan ingin menyenangkan orang lain (people-pleasing) atau merasa cemas. Baik Generasi Y (Milenial) maupun Generasi Z mengalami krisis identitas, tetapi pemicunya dan cara mereka menghadapinya sangat berbeda, terutama karena perbedaan konteks sosial, ekonomi, dan teknologi saat mereka tumbuh.

Pembahasan

Mari kita baca puisi-puisi Arief Rahman Heriansyah, Dalam Banjarmasin, Riwayat di Ujung Sungai misalnya yang bicara tentang para leluhur yang kehidupannya bersetia pada air. Diksi-diksi seperti perahu kayu, dayung, jangkar, pasar terapung dan menara masjid misalnya sebagai sebuah pengantar kegelisahan generasi ini di tengah gempuran teknologi. Meski sang penyair secara ekstrinsik memiliki perbedaan konteks sosial, ekonomi, dan teknologi saat mereka tumbuh, ada kerinduan dan romantisme yang justru hadir merespon kemajuan zaman yang melingkupi generasinya. Lalu baris .../kota ini masih bernafas dalam dada kami/ seolah meyakinkan diri sendiri dan sesuatu di luar dirinya bahwa tidak ada yang berubah. Sebuah kegelisahan untuk tetap dianggap tidak tercerabut dari akar budaya dan lokalitas.  Lalu puisi berikutnya yang mencerminkan kegelisahan .../Kau kenal aku sebagai apa?/ sebuah pertanyaan ringan namun menggiring jawaban yang begitu banyak, menyeruak mencari identitas sebuah generasi. Masih sebuah pengakuan terhadap masa lampau; bahwa kemajuan zaman tidak mengubah kualitas loyalitas sebuah generasi terhadap lingkungan yang menghidupi nenek moyang dan para leluhur.

BANJARMASIN, RIWAYAT DI UJUNG SUNGAI

Arief Rahman Heriansyah

 

Di hulu waktu, 

arus pertama mengalir dari napas para leluhur

menyusuri akar rawa 

menyemai nama; Banjarmasin 

— sepotong tanah yang bersetia pada air

 

Perahu-perahu kayu 

menulis sejarah dengan dayung yang sabar

membawa rempah, syair, dan doa 

menyeberangi abad, menyulam kisah 

seperti kenangan yang menolak karam

 

Di pasar terapung, 

suara tawar-menawar menyerupai zikir

setiap senyum pedagang 

menyimpan selaksa musim 

yang membentuk denyut kota

 

Menara-menara masjid 

menjulang seperti jemari yang meraba langit

menjadi jangkar, 

bagi jiwa-jiwa yang belajar 

menjadi tenang di tengah pasang

 

Tepat hari ini, 

pada usiamu ke-499, 

kota ini masih bernafas dalam dada kami

seperti riak

yang tak pernah menanyakan asal tetes hujan

namun menampung semuanya serupa janji fajar

 

Kini, menualah dengan anggun

keriput di tepi dermaga

adalah tanda bahwa waktu mencintaimu,

dan kami pun — 

masih menambatkan hati 

pada sungai yang tak pernah lelah 

menyebut namamu.

 

Selanjutnya puisi-puisi Muhammad Daffa riuh dalam baris-baris yang pendek, dengan diksi-diksi yang menggambarkan betapa berbahayanya kehidupan. Berbeda dengan Arief , alih-alih memilih diksi-diksi manis, Daffa dalam Repertoar Zaman Terguling memilih diksi-diksi dengan makna negatif seperti pusara, luka, ditempeleng, disepak, sengketa, retak, matahari terbelah. Lalu dalam Bibliografi Kesadaran, penyair juga bicara tentang mimpi, sepasang manusia yang terusir, bayang-bayang masa lalu yang selalu menghantui. Sebuah kegelisahan generasi terhadap sejarah, riwayat masa silam para leluhur. Dalam Nonsens Jam Tiga Pagi kegelisahan atas peristiwa-peristiwa tidak menyenangkan menjadi perwakilan generasi abad ini yang instan, serta-merta, tanpa sekat tanpa filter dipapar berbagai berita peristiwa.

Berikutnya, Fitri S Getas pun tak kalah gelisahnya dalam Menyulut Dupa Di Tanah Leluhur. Lebih dari sebuah kegelisahan yang disampaikan Arief, Fitri seakan mengalami krisis identitas melalui beberapa puisinya. Beberapa diksi dalam bahasa daerahnya (Bakumpai) seolah menyiratkan bahwa penyair ingin diakui sebagai bagian dari sukunya. Diksi yang dihadirkan menggunakan bahasa daerah dalam puisi berbahasa Indonesia jika tidak benar-benar mewakili sebuah identitas budaya yang diusungnya, hanya akan membuat penyair terjebak pada sebuah terjemahan atau alih bahasa yang justru mengganggu pembaca. Dari bait berikut dapat kita temukan akar penyebab. Barangkali memang perkembangan ekonomi, sosial, teknologi membuat genarasi Y dan Z menjadi seakan melupakan identitas, lalu merasa hilang, terasing, dan pulang adalah satu-satunya penyelesaian yang terbaik

Tanah itu pun merawatku seperti dahulu

Ketika senja menuruni pundak

Aku merasa tak lagi terasing dari detak dunia

Asap dupa yang kusulut berubah menjadi doa

Mengalir kembali ke rahim tanah yang setia

Akhirnya kutemukan diriku yang hilang

 

Murni Marfu’ah menjadi penyair yang barangkali paling sederhana dalam bentuk di kumpulan ini. Jika kita simak puisi-puisinya yang begitu santai, sederhana, seakan puisi tak perlu berlebay-labay dalam kata.

KEPADA PEREMPUAN PENIKMAT KOPI

Murni Marfu’ah

 

Perempuan penikmat kopi itu

Meracik sendiri langkahnya di antara ribuan takdir

Berjalan mengisari waktu di pekat malam

Ia tak pernah menyeduh lebih dari apa yang disuguhkan

Pada musim-musim tertentu

Ia enggan meneduhkan diri dari hujan

Seolah nestapa yang dilakukan

Perempuan penikmat kopi itu

Terus berjalan menimbang langkahnya

Mengisari waktu di pekat malam

Dan kelembutan hatinya menyatu pada serbuk kopi yang tertinggal

 

Ia menjadi satu-satunya yang jujur dan menerima keadaan, kenyataan. Menjadi perempuan penikmat kopi agaknya adalah salah satu pilihan generasi Y dan Z. Seolah menyeduh dan menikmati kopi bukan saja gaya hidup melainkan hidup itu sendiri.

Lantas, mari kita menerima dengan lapang dada ketika generasi ini dengan jujur pula mengakui keegoannya. Beragam tulisan mulai yang ilmiah hingga tulisan-tulisan populer sering membicarakan generasi sekarang yang tak luput dari sikap egoisnya. Melalui Cara Menikmati Diri Sendiri, Muhammad Jayadi seolah menegaskan apa yang sudah ditulis oleh Murni Marfu’ah dalam kejujurannya tentang perempuan dan kopi. Penyair menyampaikan respon dan kegelisahannya atas tudingan generasi pendahulu tentang egoisme. Ia tidak menyangkal bahwa ego itu ada namun ia mencoba membela diri dengan menyatakan bahwa keseimbangan hadir, menata/gerak. dari batin yang dalam/mengalir di nadi kehidupan/sebagai diriku, aku yang merasa/pecah ego saat kuterobos waktu.

 

CARA MENIKMATI DIRI SENDIRI

              Muhammad Jayadi

 

hanya kata tinggal di sini

di dalam hadirku, di jiwa

menunggu terang, banyak

risau datang bertandang

 

kemarin adalah kenangan

kita bungkus dalam sajak

memangkas jejak jarak

antara duka dan kebahagiaan

 

keseimbangan hadir, menata

gerak. dari batin yang dalam

mengalir di nadi kehidupan

sebagai diriku, aku yang merasa

 

pecah ego saat kuterobos waktu

khayal dan ketakutan adalah

setan penutup mata. kupuaskan

diri dalam bening dalam hening

 

memandang sunyi, menyimpulkan

suara hati. di sini, di sini

kebenaran tak pernah berbunyi

diresapi nurani, bersemi puisi

 

2025

 

Setali tiga uang dengan Fitri S Getas, Aluh Srikandi juga mengalami kegelisahan dan krisis identitas terkait geografis, wilayah teritorial hidup dan kehidupan yang melingkupinya. Dalam puisi Banjarmasin, Kembalikan Aku Ke Rumah Orang Tuaku,

Aku merindukan aroma mandai besanga

Aku terkenang manisnya satrup Batumandi

Rindu pada embun di pucuk karet pegunungan Garuda Maharam

Semua terasa samar kini

Haruskah dandanan ini kuendapkan saja

Agar Banjarmasin tak terluka 

Saat dia tahu aku begitu merindukan Balangan

 

Tentu saja soal hati dan rindu adalah hak personal yang sangat pribadi. Sungguh aneh jika ada kerinduan yang harus diendapkan hanya karena merasa tidak enak dengan pihak lain. Menjadi pribadi yang tidak enakan, ingin semua orang senang, agaknya bukan karakterisktik utama generasi Y dan Z, kecuali jika itu ada hubungannya dengan motif-motif materi, financial. Gen Z lebih pragmatis. Krisis identitas mereka mungkin berpusat pada kekhawatiran apakah mereka bisa bertahan secara finansial di dunia yang semakin sulit. Singkatnya, krisis identitas Milenial sering kali dipicu oleh benturan antara harapan dan realitas, sedangkan krisis identitas Gen Z lebih dipicu oleh paparan informasi berlebihan, ketidakpastian global, dan navigasi identitas digital yang kompleks.

Di akhir pembedahan ini, bagus sekali jika kita bersama-sama menikmati puisi Luka Sungai karya Syarif Hidayatullah.

 

LUKA SUNGAI

Syarif Hidayatullah

 

Narasi kecilnya mengabarkan tentang musim diakhir kemarau

Yang membawa sisa rempah-rempah hutan ke segala penjuru muara

Ada banyak kisah yang tak mampu disebutkan satu persatu

Hingga menjadi pertanda sebuah peradaban

Yang pernah Berjaya di waktu bahari

 

Luka sungai itu kini telah merembes

Pada ibu-ibu penanak air keruh

Pada bapak-bapak penabur jala

Pada bocah-bocah bertelanjang dada

 

Daun-daun kering jatuh berserakan

Hanyut terbawa deras warna coklat

Pada penghuninya mengeja deras rintik hujan

Sembari menyeka keringat musim yang panas

 

Apakah yang kita harapkan di masa tua ?

Mewariskan ingatan ke anak cucu

Bahwa penyembuhan luka sungai adalah kita

Menjaga dan merawatnya

 

Marabahan, 1/10/2024

 

Generasi Y yang merupakan generasi yang  tumbuh  pada  era  internet  booming  (Lyons,  2004)(dalam  Putra,  2016).  Tidak hanya  itu  saja,  generasi  Y  ini  lebih  terbuka  dalam  pandangan  politik  dan  ekonomi sehingga mereka terlihat sangat reaktif terhadap perubahan lingkungan yang terjadi di sekelilingnya. Sebagai puisi yang ditulis oleh penyair dari generasi Y, Luka Sungai menjadi sebuah harapan bagi dunia. Betapa tidak, ada kepedulian terhadap sungai sebagai bagian dari peradaban, ada pengakuan terhadap masa lalu dan sejarah, ada janji sebagai bentuk respon terhadap luka-luka yang ada. Semoga janji ini akan ditepati.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar