Senin, 03 April 2017
Maafkan, Hari Ini
Kami Tak Menemani
Petang itu, si
kembar anak bungsu kami yang masih kelas 1 SD berceloteh dengan riangnya.
“Mama, kami nanti mau ke Pleihari, melihat gunung, naik bis.”
Aku
terdiam sejenak mencoba memahami. Kupikir itu bisa-bisanya mereka saja.
Ternyata keesokan harinya, pihak sekolah mengirimkan surat pemberitahuan resmi tentang kegiatan outbond para murid ke Tambang Ulang
(Pleihari) pada hari yang sudah ditentukan (laki-laki dan perempuan pada hari
yang terpisah). Di surat
itu juga tertera sejumlah uang yang harus kami bayarkan jika ingin mengikutkan
anak-anak pada kegiatan tersebut. Kegiatannya tidak wajib tapi aku pikir ini
saat yang tepat untuk melatih kemandirian dan keberanian mereka.
“Aku
khawatir. Sebaiknya si kembar tidak usah ikut. Kalaupun ikut, kita harus
mengikuti mereka meski dari kejauhan.” Itu komentar suamiku yang tidak aku
sangka-sangka sebab biasanya akulah yang suka khawatir.
“Mereka
belum pernah bepergian jauh tanpa kita.”
“Kita
sudah pernah mengajak mereka ke Tambang Ulang, bukan?’ ucapku. “Mereka bahkan
sudah mencoba flying fox di sana ” aku mengingat setahun yang lalu kami pernah ke sana bahkan menginap satu
malam dalam rangka menemani aku yang sedang menjadi pemateri dalam sebuah acara
outbond mahasiswa.
“Justru
itu,” suamiku menghela nafas, “Mereka sudah tahu medan . Jangan-jangan nanti mereka memisah
dari rombongan, pergi ke danau berdua saja atau apalah…”
“Yaa
nanti kita nasehati dan beri pengarahan supaya mereka tidak macam-macam”
jawabku.
“Apa
iya para guru mampu meng-handle anak-anak kelas 1, 2 dan 3 SD tanpa orang tua
mereka?” gumamnya. “Sebagian besar dari mereka bahkan belum menikah, belum
punya pengalaman mengatasi anak kecil yang sedang aktif-aktifnya.”
“Lalu?”
“Kita
berangkat dengan mobil sendiri. Diam-diam mengikuti dari belakang” usul
suamiku.
“Trus
sampai sana
kita ngapain? Ngumpet-ngumpet kaya detektif?”
Mendekati
hari H suamiku malah sedang dikelilingi banyak pekerjaan kantor. Dia menyuruhku
mencari tebengan barangkali ada mama-mama lain yang jadi detektif juga. Aku
paling malas kalau nebeng-nebeng. Nantilah
kita pikir-pikir lagi, kilahku. Suamiku berharap anak-anak sendiri yang
membatalkan keberangkatan karena ia juga tidak mau mengecewakan mereka. Akan
tetapi yang terjadi justru sebaliknya, anak-anak makin semangat untuk ikut.
“Ma,
belikan kami kamera dong!”
“Iya
Ma, kamera yang begantung di leher itu…”
Aku ternganga.
Aku baru ingat, dalam surat
pemberitahuan terdapat catatan bahwa para murid tidak diperbolehkan membawa
telepon genggam tapi boleh membawa kamera.
“Satu-satu
ya Ma.”
“Buat
apa?”
“Kami
hendak berfoto di gunung dengan Umar.”
“Minta
fotokan ustadz saja”
“Yaah
Mama… kan di surat ada bacaannya boleh membawa kamera.”
“Boleh
membawa itu bukan berarti harus membawa, Nak. Boleh itu, yaa boleh. Boleh
membawa boleh tidak. Kalau tidak punya ya tidak ada yang bisa dibawa.”
“Makanya
Ma, Mama belikan saja supaya kita punya kamera.”
“Kalian
gak usah ikut saja ya?” bujuk suamiku.
“Yee
Abah, orang mau pergi disuruh gak ikut. Seru tauuu”
“Ya
sudah, kamera gak jadi. Permintaan diganti dengan tas baru.” Ini nih keahlian
si kembar, keahlian melobi tingkat tinggi.
“Maksudnya?”
“Masak
kami ke gunung pakai tas sekolah? Kebesaran tasnya, Ma”
“Sudah,
tidur sana .
Nanti besok kesiangan.”
“Setelah
kami tidur, mama diam-diam pergi mencarikan tas ya?
“Huss.
Tidur. Pakai yang ada saja. Tas sekolahmu”
“Bangunkan
jam dua lah, Ma. Nanti ditinggal bis” Hah? Memangnya mau sahur?
Aku
berbaring di antara keduanya. Salah seorang memelukku, “Mama, aku sedih”
“Hah?
Kenapa? Masalah tas baru?”
“Bukan…”
“Lalu?”
“Besok
aku tak bisa melihat mama dong”
Aku
memeluknya. “Nanti kan
pulang juga? Bisa lihat lagi?”
Aku
tidak tahu siapa di antara kami yang terlelap lebih dulu sampai aku merasa ada
yang menggoyang-goyang kakiku.
“Psst..bangun,
ayo bangun. Jangan tidur dulu… Saatnya diskusi. ”
***
Setengah
terpejam aku berdiskusi dengan suami. Usai merundingkan plus minusnya
keberangkatan anak-anak, kami akhirnya bersepakat bahwa mereka berangkat tanpa
ada acara detektif-detektifan. Kami juga bersepakat untuk membelikan tas baru
yang ukurannya lebih kecil daripada tas sekolah asal dapat harga yang
terjangkau. Pukul sembilanan malam itu, setelah mereka tertidur pulas, aku dan
suami keliling Jalan Cemara mencari orang jual tas. Alhamdulillah dapat toko
yang menjual tas bagus harga terjangkau. Ke dalam masing-masing tas kumasukkan
kudapan yang sudah mereka beli sorenya, satu set baju ganti dalam kantong
plastik dan susu kotak.
Paginya
mereka bangun lebih cepat. Salat Subuh, sarapan, mandi, memakai seragam olah
raga, mengenakan kaos kaki, sepatu, tak lupa kopiah seragam sekolahnya. Mereka
sangat bersemangat, terlebih setelah mengetahui ada tas baru. Aku juga
memasukkan kotak bekal berisi mie sayur bertabur abon dan sebotol susu coklat
hangat.
Sambil
memakaikan baju aku mengajak mereka ngobrol. “Mama bisa mempercayai kalian
berdua, kan ?”
Keduanya
menatapku. Aku melanjutkan maksudku,“Kalian tidak akan menjauh dari ustadz dan
rombongan. Janji?”
“Baiklah…kami
janji”
“Ini uang
masing-masing sepuluh ribu, sesuai petunjuk di surat sekolah” kataku.
“Horee, kami mau
jajan nanti di sana ”
“Lihat…Mama
memasukkan satu set baju ganti dalam kantong plastik ini ke tas kalian. Baju
ini hanya dipakai kalau keadaan darurat. Jika tidak darurat, tidak usah ganti
baju. Baju kotornya, masukkan dalam kantong plastik ini. Oke?’
Keduanya
mengangguk.
“Kalian paham
arti darurat?”
“Iya lah, Ma.
Basah karena kehujanan misalnya, atau tumpah air minum, atau apakah lagi yang
basah-basah”
“Pandai anak
Mama...,Oiya, kalian perlu jaket tidak?”
“Tentu!”
Tidak ada suara
dari suamiku tapi dengan ekor mataku aku melihat kecemasan di wajahnya. Dia
pasti meragukan anak-anak bisa mengganti baju sendiri dan membawa balik baju
kotor seperti yang kuinstruksikan. Dia diam saja karena sudah aku wanti-wanti
agar tidak mengucapkan segala prasangka yang tidak baik. Lalu tibalah adegan
mengharu biru itu.
“Ma…maaf ya, hari ini kami harus pergi
tanpa Mama.” Kata seseorang di antara mereka.
“Iya, Ma, Maaf ya hari ini kami tidak
bisa menemani mama.” Kata yang lainnya.
“Mama jangan sedih dan bete ya? Mama
ngobrol-ngobrol dengan siapakah biar tidak bosan selama kami tidak ada hari
ini” mereka saling menimpali. Ada
yang mengusap-usap tanganku, ada yang mengusap-usap punggungku.
Aduh…rasa
ada yang nyess di hati. Rasanya, aku yang lebih sering meninggalkan mereka
daripada sebaliknya. Iya, ini pertama kalinya mereka pergi ke luar kota tanpa kami. Aku jadi
mikir bagaimana rasanya para orang tua yang melepas anaknya dalam waktu lama
seperti sekolah di luar daerah.
“Kayaknya
tidak perlu deh, Ma. Nanti kami sedih, takutnya kami menangis melihat mama dari
dalam bis” Hehehe..ada-ada saja.
Saking
semangatnya, turun dari mobil mereka lupa membawa jaket. Suamiku mulai
menunjukkan kekhawatirannya, “Tu…kan .
Baru dari sini saja lupa membawa jaket. Apa sebaiknya jaket ditinggal saja
daripada hilang di jalan”
“Apaan
sih,,, tanya anaknya aja, mau pakai jaket atau tidak. Kalau pakai ya kasihkan
saja” kataku. Nyatanya mereka memilih membawa jaket kesayangannya. Dalam hati
aku sudah merelakan seandainya jaket itu hilang dalam perjalanan agar nanti
tidak terlalu kecewa.
Setelah
itu, aku sendirian di rumah. Suamiku dan anak kedua sudah berangkat ke sekolah.
Anak pertamaku harusnya libur karena sekolahnya hanya memberlakukan 5 hari
sekolah tetapi karena sedang ada tugas dari guru, ia pun pergi juga ke sekolah.
Kukira, dengan kesendirian itu aku akan lebih banyak punya waktu untuk
mengetik, menulis, dan melakukan hal lainnya yang biasanya aku keluhkan tak
bisa lagi kulakukan.
Nyatanya
aku tidak mengetik atau menulis satu katapun. Aku tidak bisa berkonsentrasi.
Diam-diam ada cemas yang menjalari pikiran dan hati. Akhirnya aku memilih salat
sunat. Sepanjang hari itu aku memilih menyibukkan diri mengerjakan pekerjaan
kerumahtanggaaan sambil mendengarkan dzikir pagi-petang dari speaker murottal
yang baru kubeli. Aku mengalihkan kecemasanku dalam bentuk menyibukkan diri,
mulai menyapu seluruh ruangan, mengepel, mencuci, membenahi lemari pakaian,
menyusun ulang koleksi buku dan mengerjakan segala macam kesibukan domestik
lainnya. Sesekali aku mengecek handphone. Tak ada apa-apa. Para
ustadz tidak ada yang bisa dihubungi. Dalam benakku terngiang kalimat kepala
sekolah sehari sebelum keberangkatan, para orang tua nanti akan dihubungi kalau
kami sudah sampai.
***
Waktu salat Asar
sudah lima
belas menitan berlalu. Berkali-kali aku mengecek HP. Belum ada sms, belum ada
panggilan. Aku mulai gelisah, mondar-mandir tidak karuan. Kepalaku sedikit
pening sehingga aku berbaring di ruang baca kami. Tanganku memegang buku tapi
tak satu katapun bisa kucerna. Sampai kemudian HP ku berbunyi tapi setelah
kulihat bukan nomor guru anak-anak. Segera kuangkat, terdengar suara santun Ustadz
Kha- gurunya anak-anak- dari seberang. Aha! Macam menerima telpon dari pacar
saja riangnya hatiku. Anak-anak sudah di sekolah. Kami bergegas menjemput.
Ternyata
sebagian anak sudah dijemput. Kulihat si kembar menunggu di tepi jalan depan
sekolah sudah mengenakan baju ganti yang kubekali. Kedua guru mereka
mendampingi.
“Siapa tadi yang
main basah-basahan…” kata wali kelasnya sebelum aku sempat bertanya mengapa
mereka memakai baju darurat.
Ramailah
anak-anak menanggapi. Mereka berebut bercerita. Setelah ngobrol sebentar, kami
pamit pulang. Dalam perjalanan salah seorang memamerkan kartu tanda peserta
yang terkalung di lehernya. “Ma, aku punya ini nih coba lihat. Ada namaku di sini” dia tersenyum bangga.
Karena di rumah sedang kedatangan adikku sekeluarga, si kembar asyik bermain
dengan kakak-kakak dan sepupunya. Aku tahu mereka sebenarnya lelah tapi main
adalah urusan paling penting!
Malamnya aku
minta mereka masuk kamar duluan. Aku masih sibuk membereskan dapur sehabis
makan malam. Kupikir mereka pasti akan langsung terlelap karena lelah seharian
ke Tambang Ulang. Ternyata mereka tidak tidur. “Kami menunggu Mama” katanya.
Aku jadi merasa bersalah.
“Bagaimana mama
hari ini, apakah baik-baik saja?” tanya yang satu.
“Ow…baik,
alhamdulillah, luar biasa, tetap semangat, Allahuakbar” jawabku menirukan
yel-ye mereka.
“Capek ya Ma
cuci-cuci di dapur?”
“Berkas-berkas
Mama beres lah?” (mereka menyebut berkas untuk segala jenis bahan yang
menghambur di area kerjaku).
Aku hanya
tersenyum.
“Kenapa belum
tidur?”
“Kami hendak
bercerita”
Satu-satu cerita
mengalir. Mulai cerita dalam bis. Mereka duduk tidak berdekatan. Ini sebuah
kemajuan dalam sosialisasi mereka. Selalu berdua sejak dalam rahim kadang
membuat anak kembar menjadi sangat sulit untuk memiliki teman selain
kembarannya. Lalu tentang serunya flying fox dan taman labirin.
“Ma, tanduk
rusanya sekarang tanbah panjang lho. Nanti kita ke sana ya Ma biar Mama melihatnya”
“Tadi kami jajan
sendiri. Ada
teman yang tidak bisa jajan, kami yang membelikan. Aduh…capek bolak-balik”
“Oiya, tadi mau
menyewa sepeda seperti waktu dulu. Eh, pamannya tidak mau menyewakan sepedanya
kepada kami. Katanya kami tidak bisa naik sepeda nanti jatuh. Kok pamannya lupa
sih dengan kami.”
“Kalau baju
basah ceritanya gimana?”
“Itu…si Imin
nyemplung ke danau, dia berenang. Lihai, Ma. Kok bisa ya Imin berenang dengan
mudah seperti itu”
“Lalu? Kenapa
kalian yang basah?”
“Ya…kami
main-main air di tepinya”
Aku menguap
sambil membayangkan betapa pegalnya badan para ustadz malam ini. Tentu tidak
mudah mengawasi anak laki-laki kelas 1, 2 dan 3 SD di alam terbuka seperti itu.
“Bagaimana rasanya
hari ini?” tanyaku sebelum terlelap.
“Sedikit
senang…” jawab mereka.
“Kok sedikit?”
aneh banget, cerita heboh-heboh kok bilangnya sedikit senang?
“Ya…karena gak
ada Mama.”
Anak-anak memang
paling bisa deh.
“Ma.. Sabtu
depan kita ke sana
yuuk.”
Satu tantangan
kami lewati dengan hasil sangat memuaskan. Besok, tentu masih banyak tantangan
lain yang lebih amazing![]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
semua ibu kayanya sama ya mba, besar khawatirnya... anak berapapun kasih sayang kita pasti sama...
BalasHapusBetul Mbak Cici.
BalasHapusMomen pertamaku melepas anak pas anakku ikut darmawisata sama sekolahnya, ortu gak boleh ikut hehe. ALhamdulillah bismillah aja insyaAllah anaknya gpp, ada guru pennaggungjawabnya jg, meski ya deg2an jg sih krn anaknya msh 4 tahun pas itu :D
BalasHapusMomen pertamaku melepas anak pas anakku ikut darmawisata sama sekolahnya, ortu gak boleh ikut hehe. ALhamdulillah bismillah aja insyaAllah anaknya gpp, ada guru pennaggungjawabnya jg, meski ya deg2an jg sih krn anaknya msh 4 tahun pas itu :D
BalasHapusMomen pertamaku melepas anak pas anakku ikut darmawisata sama sekolahnya, ortu gak boleh ikut hehe. ALhamdulillah bismillah aja insyaAllah anaknya gpp, ada guru pennaggungjawabnya jg, meski ya deg2an jg sih krn anaknya msh 4 tahun pas itu :D .
BalasHapusMirip kita yaa bunda April
HapusMirip kita yaa bunda April
Hapus