Minggu, 15 April 2018

# blog collab # esai

Bumi dan Kekuasaan Perempuan dalam Novel Aroma Karsa Karya Dee Lestari


Novelis cantik Dee Lestari (Dee) pada Maret 2018 kembali menerbitkan novel terbarunya melalui penerbit Bentang Pustaka yang diberi judul Aroma Karsa (AK). Dilihat dari jumlah halamannya (710 hlm) buku setebal hampir 4 cm tersebut tentu bukan termasuk kategori bahan bacaan ringan, setidaknya tidak bagi saya dan kelompok ibu-ibu sibuk. Saya tidak yakin kelompok ibu-ibu sibuk bisa menyelesaikannya dalam sekali baca. Saya membaca AK dalam tiga atau empat fase pembacaan. Saya harus pandai membagi waktu agar bisa menamatkan AK dengan terus berusaha menahan sense-nya setiap saya menutup halaman untuk kemudian membacanya di fase berikutnya. Fase terakhir, saya menyediakan waktu khusus alias begadang untuk menamatkannya.
Saya berusaha menyandera setiap adegan dalam AK dan menampung segala aroma yang dideskripsikan di dalamnya. Selama proses pembacaan tersebut saya tetiba merasa indera penciuman menjadi lebih sensitif, lebih peka. Sesekali saya menciumi, membaui sekitar termasuk kulit tangan sendiri,  seakan-akan saya adalah Jati Wesi atau Tanaya Suma, dua tokoh yag memiliki indera penciuman spesial dalam AK. Diksi yang dipilih Dee dalam bangunan 61 bab tersebut seakan membuat aneka aroma keluar dari novel dan mengajak pembaca menari-nari di antara aroma tersebut.
Halaman-halaman pembuka AK membuat saya membayangkan dua pengusaha perempuan terkenal yang fokus dalam bidang kosmetik dan ramuan tradisional (jamu) di Indonesia. Kemudian saya menimbang-nimbang mana di antara keduanya yang lebih mendekati gambaran dalam novel. Halaman berikutnya saya menyadarkan diri, ini novel. Novel adalah karya fiksi. Sampai kapanpun ia tidak akan menjadi nyata meski dibangun oleh banyak fakta dan data. Jadi, realistis sajalah bahwa yang ada dalam cerita tersebut fiktif.
Terhitung sejak hlm 25, saya merasa (harus) menjadi lebih peka terhadap diksi dan kalimat-kalimat  yang mendeskripsikan kerja indera penciuman. Diikuti halaman setelahnya, saya makin yakin tokoh dalam AK bukan tokoh biasa dalam hal penciuman.

“...Jati meraih baju gantinya yang terjemur di tembok. Pergerakan udara di sekitar mereka berdua mengantarkan bau amonia berbaur sampo aroma apel yang sudah dibiarkan semalaman di rambut... Kibasan udara kini mengantarkan jejak furaneol yang digeontori metanol ke hidungnya.” (Lestari, 2018:25).

Halaman-halaman selanjutnya menambah informasi bahwa Jati Wesi, tokoh utama lelaki dalam AK tidak sekadar mampu membaui aroma tatapi lebih dari itu, ia membuat formulasi, melakukan analisis, membuat sintesis dan simpulan terhadap aneka aroma tersebut.

“Menjelang hujan turun, segala wewangian akan tercium lebih tajam baginya. Tadi, wangi asiri dan sayatan rmput begitu pekat sampai-sampai hidungnya gatal. Yang bakal hadir bukan hujan biasa, demikia Jati menyimpulkan. Hidungnya mengendus kedatangan badai. Ingin jati menyampaikan itu kepada Nurdin, tapi entah harus memulai dari mana.” (hlm 31).


Setelah rampung membacanya, saya menemukan simpul-simpul yang menalikan beberapa kata kunci yaitu bumi (:alam), perempuan dan kekuasaan perempuan yang sangat khas dalam novel ini. Siapa yang mendominasi siapa atau apa, saling silang dalam alur kehendak para tokoh. Paradigma yang dipakai dalam memahami hal-hal tersirat dan tersurat akan sangat menentukan hal-hal yang selanjutnya bakal mengepung kita pasca membaca tuntas AK. Saya menemukan beberapa kata kunci yang menuntun saya pada sebuah paradigma. Selanjutnya, berdasar kata kunci yang saya temukan, saya menggunakan teori ekofeminisme untuk menganalisis AK.
Kajian ulang terhadap paradigma sains yang mendukung dominasi alam dan perempuan sekaligus adalah agenda awal feminis new age. Kajian tersebut menumbuhkan keyakinan bahwa dominasi terhadap perempuan berjalan sudah sangat  lama- bahkan sama tuanya dengan dominasi terhadap bumi (alam). Bumi-perempuan sama-sama menjadi objek eksploitasi. Ini dapat dibuktikan misalnya dari mitos atau legenda yang menyimbolkan bumi sebagai ibu (:perempuan). Kemudian gerakan spiritual feminis lebih khusus digerakkan oleh spiritualitas ekofeminisme yang mengintegrasikan kesadaran spiritual feminis dengan kesadaran ekologis. Ekofeminisme ditafsirkan sebagai gerakan spiritual (spiritual movement) oleh Starhawk – seorang tokoh spiritual ekofeminisme yang tergabung dalam konteks gerakan new age. Hal ini disebabkan oleh sudah tercakupnya transformasi nilai kultural dan ekologis di dalam penafsiran tersebut. Ia pula yang mempopulerkan kata kunci “spiritualitas ekofeminis” yang disandarkan pada bumi (earth-based) dan ekologi (ecology-based). Starhawk memberikan informasi tentang seputar kebangkitan gerakan feminisme yang melindungi kerusakan hutan dengan cara merangkul pohon yang akan di-bulldozer, seperti gerakan Chipko Andolan di India. Masih banyak lagi contoh gerakan spiritual ekofeminisme yang ramah dan sadar-ekologis seperti New Age, Moral Majority dan Happiness of Womanhood di AS (Sukidi, 2001).
Analisis ini sangat relevan dengan peringatan Hari Bumi sedunia yang dirayakan setiap 22 April.  Merayakan hari Bumi tentu tidak hanya dilakukan dengan kegiatan berupa seremonial saja, namun lebih ke peran serta aktif masyarakat sesuai dengan kapasitas masing-masing dalam upaya pelestarian lingkungan. Di Indonesia, upaya-upaya penyelamatan lingkungan terutama disuarakan oleh para akktivis lingkungan dan masyarakat yang tinggal di area yang mengalami kerusakan alam parah akibat eksploitasi. Sebut saja area pertambangan batubara, perkebunan kelapa sawit, pertambangan intan, penambangan batu alam di pegunungan, penambangan pasir, penebangan hutan secara liar sampai penyempitan area sungai. Baru-baru ini, di provinsi saya tinggal, yaitu Kalimantan Selatan telah banyak masyarakat yang melakukan upaya #savemeratus dengan sangat serius dan mengundang perhatian banyak pihak. Dalam bidang sastra sendiri, ULM pernah mengadakan seminar prosiding bertema Ekologi Sastra (2015).
Dalam kajiannya terhadap beberapa puisi tentang kerusakan hutan di Kalimantan Selatan, Alfianti (2015) menyebutkan bahwa “Yang bertanggung jawab atas kerusakan hutan juga adalah mereka yang memiliki akses pada kekuasaan yang tak bisa dilawan begitu saja oleh masyarakat.” Aroma serupa dengan pernyataan ini dapat saya endus pula dalam AK.
Sementara itu, peran perempuan terkait teori kealaman oleh perempuan Indonesia dapat dilihat dari pelbagai lini kehidupan. Dalam bidang ekonomi misalnya, perempuan Indonesia di Kalimantan Selatan begitu lekat dengan sungai sebagai jalur mata pencaharian, kemudian sawah untuk pertanian, perkebunan, perikanan hingga pertambangan. Di pasar terapung, kita akan melihat setiap subuh para perempuanlah yang mengayuh ekonomi keluarga. Begitu juga di sawah, di kebun dan di area lainnya. Perempuan Indonesia sudah akrab dengan buminya dari masa ke masa.
Meskipun demikian, dalam hal lain, perempuan kerap dijadikan simbol bagi bumi dan unsur alam lainnya. Saya ambil satu contoh, intan sebagai hasil pendulangan sering disebut “galuh” oleh masyarakat Kalimantan Selatan. Mereka percaya turun-temurun bahwa intan harus disebut “galuh” karena alasan tertentu yang berhubungan dengan tradisi. Galuh adalah panggilan atau sebutan untuk gadis atau perempuan Banjar. Ini kemudian memposisikan perempuan menjadi pihak yang dikuasai (:oleh laki-laki) sebagaimana alam yang dikuasai oleh manusia. Karren J warren dalam Maimunah (2013:233) menyatakan bahwa opresi patriarki terhadap alam dan perempuan disebabkan oleh pandangan bahwa alam/perempuan adalah sesuatu yang feminin, tidak berdaya dan pantas untuk dikuasai. Politik othering ini didasarkan pada cara berpikir maskulin bahwa alam = perempuan. Dari sisi linguistik sering ditemui unsur-unsur yang meng’alam’kan perempuan atau mem’feminin’kan perempuan, misalnya frase “pemerkosaan hutan” atau “penggarapan tanah”.
Salah satu pertanyaan saya dalam analisis sederhana ini adalah “Adakah penyimbolan perempuan terhadap alam (:bumi) dalam AK? Jika ada, bagaimanakah semua hal yang terkait dengannya direpresentasikan oleh Pengarang?

Bumi (:Alam) memberi banyak tapi kehendak manusia tak berujung
Begitu banyak yang diberikan oleh alam akan tetapi manusia selalu punya kehendak di atas kehendak. Selama lebih dari tiga generasi, keluarga Prayagung menghabiskan usia dalam perburuan sumber puspa karsa. Meski percikan kekuatannya sudah berhasil dimiliki, keluarga Prayagung tidak berhenti melakukan perburuan terhadap hal yang turun-temurun diwariskan melalui dua hal kontras, dongeng dan penelitian ilmiah.

Porsi pertama akan mengubah nasibmu
Porsi kedua akan mengubah nasib keturunanmu
Porsi ketiga akan mengubah dunia sebagaimana keinginanmu. (Lestari, 2018:9)

Bermula dari temuannya dalam kotak besi berupa lontar-lontar, tiga tube berisi cairan sari puspa karsa disertai selembar catatan lapuk berisi tiga pesan tersebut, Janirah memulai langkah menuju hal-hal besar dalam hidupnya. Janirah percaya ia bisa menjadi lebih daripada dirinya sebelumnya, seorang abdi keraton yang bersahaja. Janirah bukan saja pencuri benda pusaka melainkan pencuri nasib yang dengan tangannya sendiri hendak mengubah garis hidupnya. Kematian bahkan tidak mampu menghentikan ambisi Janirah. Janirah mewariskan kehendak terbesar sepanjang sejarah pesonanya kepada cucunya. Bumi telah memberi Janirah (:manusia) aneka biji, rempah, bunga, tanaman yang  menjadi bahan baku bisnis Kemara milik keluarga Prayagung beserta sari puspa karsa curian yang mengantarkan mereka menjadi pengusaha sukses dan terkenal seantero negeri. Janirah merupakan simbol yang mewakili manusia – penghuni bumi yang tercipta dalam bentuk sempurna.
Pada halaman 605 diceritakan tentang dunia lain yang tak kasat mata. Pandangan Ambrik mewakili orang Dwarapala terhadap dunia manusia cukup untuk mendeskripsikan seperti apa penghuni bumi bernama manusia. “... Kisah dunia manusia selalu bernada suram; manusia bergerak cepat dalam ragam kendaraan gaduh; jalanan keras panas menyengat telapak, rumah-rumah kotak bertumpang tindih, sesak oleh barang yang tak ia pahami; siang terasa lebih panjang karena tak terputusnya penerangan, tak mengenal sunyi; ladang subur sekaligus tempat bermain sempurna bagi sanghyang Batari Karsa. Terlalu banyak orang muram, tegang, lelah, saling tak tegur sapa, jumlahnya banyak tapi seperti terasing satu sama lain. Di dunia semacam itu, cukup satu percik untuk Sanghyang Batari Karsa memuaskan laparnya.” (Lestari, 2018:605).
Selain Dwarapala, AK mengisahkan Alas Kalingga, sebuah hutan yang tidak biasa. Yang dijaga oleh para Banaspati, yaitu anak hutan. Kisah penjagaan Alas Kalingga ini patut ditiru oleh manusia dalam kehidupan nyata sebagai bentuk kepedulian terhadap bumi. Sebagaimana selama ini yang diperlihatkan oleh juru kunci pegunungan yang dapat memahami bahasa alam.

“...Mereka menyimpannya sebagai pengingat bahwa Bumi bisa dikendalikan dengan aroma. Bukan cuma pedang atau bubuk mesiu.” (Lestari, 2018:11).

Kutipan halaman 11 menggambarkan sebuah realitas tentang penguasaan dan pengendalian bumi (:alam). AK menyampaikan bahkan tidak perlu pedang dan bubuk mesiu untuk mengendalikan bumi. Cukup aroma. Terkesan mistis dan tidak ilmiah. Akan tetapi Dee mengantisipasinya secara kontras dengan menghadirka..n tokoh Raras yang menggunakan metode ilmiah dan ekspedisi serius untuk membuktikan keberadaan aroma tersebut.

Raras mendengar Puspa Karsa pada masa kecilnya, sekitar tahun 1960-an, saat Indonesia telah menjadi republik modern dan zaman kerajaan tinggal menjadi hantu arkais. Bertahun-tahun ia menelan cerita tentang Puspa Karsa tak lebih dari pengantar tidur layaknya Timun Mas dan Malin Kundang. ... semua asumsinya terjungkir pada momen ia membuka kotak besi di bank hari itu. Ia baru tersadar bahwa Eyang Putri tumbuh besar dalam lingkungan kerajaan, dan selama itu pula neneknya menyampaikan petunjuk terbalut dongeng.” (Lestari, 2018:11).

Selanjutnya, Raras menjadi pusaran perjuangan perwujudan ambisi yang diwariskan oleh Janirah. Janirah mengkader Raras sejak dini melalui dongeng masa kecil semacam Timun Mas dan Malin Kundang. Berbeda dengan anak lain seusianya, Raras mendapat tambahan “dongeng”, yaitu Puspa Karsa. Ketika waktu kematiannya telah tiba, Janirah tinggal meng-klik satu tombol dalam benak Raras untuk dalam sekejap mengubah dongeng menjadi warisan “kehendak”.

Puspa Karsa: Simbol Kekuasaan Perempuan
Secara keseluruhan, AK mengirimkan pesan tentang kekuasaan perempuan yang disimbolkan melalui Puspa Karsa. Terdapat beberapa unsur yang merepresentasikan hal tersebut. Inilah beberapa hal yang saya temukan dalam AK:

1. Keturunan laki-laki tidak bisa diandalkan
Janirah menikah dengan seorang keturunan keluarga ningrat Prayagung. Janirah dikaruniai anak laki-laki. Berikut gambaran anak lelaki Janirah yang disuarakan oleh tokoh Raras,

“... Romo ibarat kutukan. Romo tidak kebagian secuil pun keuletan Janirah Prayagung. Romo bertingkah persis ningrat-ningrat kebesaran nama, tapi tak berguna. Kerjanya Cuma makan harta turun-temurun. Romo senang membuat perusahaan baru dan macam-macam, sibuknya bukan main, tapi tak ada satupun yang jalan. Romo kebanyakan perempuan simpanan. Romo terlalu lama menghabiskan waktu di lapangan golf dan klub pria.” (Lestari, 2018:15).

Dengan deskripsi seperti itu, jelas anak kandung Janirah tidak dapat melanjutkan bisnis dan kekuasaan Janirah. Janirah menitis ke cucunya, yaitu Raras. Raras begitu sempurna menjadi replika Janirah. Ia bahkan lebih banyak melakukan gebrakan dibanding Janirah pada masanya.

2. Dominasi Raras terhadap banyak lelaki.
Raras sebagai tokoh perempuan dalam AK memiliki banyak kaki tangan maupun rekan kerja laki-laki. Dalam hidupnya, Raras selalu berhasil membuat para lelaki melakukan banyak hal sesuai dengan keinginannya. Ia bisa melakukan apapun untuk mencapai ambisinya mendapatkan sumber utama Puspa Karsa. Perusahaan Kemara hingga urusan ekspedisi Puspa Karsa memperlihatkan seluruh dominasi perempuan bernama Raras. Semua anggota tim ekspedisi pencarian Puspa Karsa adalah laki-laki yang punya ilmu, posisi dan keterampilan yang tidak main-main. Semuanya  berhasil dikuasai oleh Raras.

3. Empu Smarakandi
Jika di dunia manusia ada perempuan penguasa bernama Raras, maka di dunia dewa dalam AK Alas Kalingga memiliki perempuan hebat bergelar Empu Smarakandi. Selain kepemimpinannya, kepiawaian tokoh perempuan yang satu ini juga terlihat dalam urusan pengobatan hingga urusan asmara. Empu Smarakandi pula yang pertama kali menyadari puspa karsa telah menitis kepada Suma. Ia merupakan simbol perempuan bijak dan kuat dalam AK. Sebagaimana lazimnya kehidupan, selalu ada dua sisi berlawanan. Penokohan Empu Smarakandi menepis anggapan bahwa perempuan hanya memiliki potensi untuk mengacaukan dunia seperti yang dilakukan oleh Raras.

4. Ambrik: Istri sekaligus Ibu terbaik di Dwarapala
Sebagai perempuan yang telah dipilih oleh Batari Karsa sebagai wadak penitisan, Ambrik memahami betul tugas dan perannya serta konsekuensi apa yang harus ia lakukan sewaktu-waktu termasuk kepasrhannya terhadap ritual Girah Rudira. Sebuah ritual yang akan memisahkan ia dengan suami dan anaknya selama-lamanya. Untuk memahami perempuan pilihan bernama Ambrik, kita  bisa menyimak kutipan berikut:

“Di dalam gubuk, Ambrik tahu persis apa yang harus ia lakukan. Ia mengambil bedungan dari tangan Anung, lalu membaringkan bayi itu di dipan., bersisian dengan bayi dari dekapannya. Ambrik meminumkan air dari dalam kendi kecl kepada kedua bayi itu secara bergantian dengan telaten.” (Lestari, 2018:607)

“Sekarang atau nanti, sama saja.” Ambrik mengelus sekilas rambut suaminya. “Bantu aku.” (Lestari, 2018:608)


Kekuatan Puspa Karsa: Kekuasaan Perempuan

Puspa Karsa merupakan simbol kekuasaan dan kekuatan perempuan. Dalam AK fisik aslinya digambarkan sebagai  berikut:

“... organisme berbentuk bunga dengan ukuran sekepala manusia. Tanpa batang dan daun, bunga itu langsung tersambung ke akar. Fisiknya menyerupai anggrek yang memiliki tiga kelopak dan dua mahkota. Bagian kolomnya berbentuk sedemikian rupa hingga menyerupai rengkorak. Terjulur labelum panjang hingga ke lantai gua, bergerak-gerak seperti ular hidup. Warna dan teksturnya soperti daging busuk. ... yang lain tidak melihatnya seperti kita. Sanghyang Karsa sangat lihai membuat tipuan. Semua hewan jadi makanan bagi wujud bunganya tapi temanmu tadi dan semua penduduk Dwarapala, jika tertangkap, adalah makanan bagi rohnya. Kalau sanpai ia lepas dari wujud bunga pergi ke duniamu, beliau tidak akan habis-habis memangsa atma manuia.(Lestari,2018:646-647).

Sementara itu kekuatannya sendiri dimulai dari terbangunnya Sanghyang Batari Karsa dengan ditandai oleh bau atau aroma tajam yang sulit didefinisikan oleh indra biasa. Seiring dengan itu, Talinganbuana, semacam alarm yang dipasang Mahesa Guning akan berbunyi mengingatkan orang-orang Dwarapala akan ancaman terhadap Alas Kalingga. Ancaman terhadap dunia manusia pula. Seluruh makhluk berduyun-duyun menuju pusat aroma yang kemudian akan menjadi mangsa Puspa Karsa.
Seperti inilah efek aroma puspa karsa direpresentasikan melalui suara Lambang, salah satu tokoh AK yang menjadi bagian tim ekspedisi pencarian puspa Karsa:

“Aroma aneh di udara kian menyerang. Lambang tak tahan lagi. Ia beusaha menahan nafas dan malah semakin sesak. Anehnya bau tak lazim itu, yang bersabur limbur antara buah, bunga, kayu, rempah, daging, keringat, lendir kelamin dan entah apalagi. Terkadang begitu lezat hingga memancing liur dan membuat ia ingin menghirup sedalam mungkin. ... yang paling menggetarkan dari bau itu adalah kekuatannya. ... Lambang seperti dikuasai sesuatu dan tak berdaya mengambil alih. ... Di atas sana, di rumah-rumah pohon, pecahlah suara-suara tak terkendali. Laki-laki-perempuan. Jeritan melengking, tawa bengis, lolongan, geraman, racauan. Lambang menyaksikan kengerian baru. Rumah-rumah bergetar karena penghuninya menandak-nandak dan membetot-betot tali yang mengikat tangan dan kaki mereka.” (Lestari, 2018:644).

“Ambrik sudah diincar untuk penitisan. Kalau kalian kawin, punya anak, dan anak kalian perempuan, penitisan Sanghyang Batari Karsa akan bersambung ke anakmu, kecuali Girah Rudira dilakuan.” (Lestari, 2018:614).
Jika penitisan terjadi, maka kembangnya akan bertambah. Dunia pun semakin mudah berada di bawah kendalinya. Dee memilih perempuan sebagai perwujudan penguasa dalam AK. Dewi Puspa yang kemudian dikenal dengan Sanghyang Batari Karsa, menjelma dalam wujud bunga dan manusia perempuan, yang hanya akan menitis kepada perempuan pilihannya. Dialah yang dipanggil oleh Suma sebagai “Ibu”.

Epilog
Demikianlah, saya menemukan kekusaan perempuan dalam novel yang menyimpan pesan “Selamatkan lingkungan dari ambisi manusia” ini. Open ending yang dipilih Dee bagi saya memberikan peluang lebar bagi pemerhati ekofeminisme untuk mengkaji lebih dalam lagi. Manusia mestinya memahami betapa keserakahan dan ketidakarifan terhadap alam akan membuat celaka bagi dirinya sendiri. Semoga pembaca menangkap makna atas frase genderang perang yang dipilih Dee untuk menutup ceritanya. Akankah di dunia nyata bermunculan Banaspati-Banaspati yang dapat menjaga Hutan Meratus misalnya? Mari optimis. Mari melakukan sesuatu sebanyak yang bisa kita lakukan, sesuai peran kita di bumi ini. Selamat Hari Bumi.[] Nai

Referensi
Alfianti, Dewi. “Kerusakan Hutan sebagai Pengetahuan Bersama dalam Perspektif Sosiokognitif
Teun A. Van Dijk (Analisis Wacana Kritis Kumpulan Puisi Konser Kecemasan karya Penyair Kalimantan Selatan)” dalam Prosiding Ecology of Language and Literature, Seminar Proceedings Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Maret, 2015, 45-65.
Lestari, Dewi. 2018. Aroma Karsa. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Nikmah, Nailiya. “Alam dan Femininitas dalam Kumpulan Puisi Mantra Rindu Karya Kalsum Belgis“ dalam
Prosiding Ecology of Language and Literature, Seminar Proceedings Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Maret, 2015, 185 -202.
Sukidi. 2001. “Spiritualitas Feminis dalam Gerakan New Age” dalam Jurnal Perempuan No.20 Tahun 2001,
7-21. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Blog Collab Female of Blogger Banjarmasin Edisi April 2018 dengan tema “Hari Bumi” selanjutnya sedang dikaji ulang secara serius untuk sebuah karya tulis ilmiah di bidang sastra oleh penulis.


8 komentar:

  1. Oh Mbak Nai, dalam betul resensinya. Aku terpuaskan. Terima kasih telah mereview novel AK dengan cara yg berbeda. Aku belum baca novelnya dan yah jadi tergerak untuk membacanya setelah membaca ulasan ini. Dee selalu berhasil membuat novel dengan totalitas penggarapannya. Salut buat Dee dan Mbak Nai sekaligus. Semoga resensi ini bisa dikembangkan menjadi karya ilmiah yang keren.

    BalasHapus
  2. Emang beda ya kalau yg resensi buku penulis juga. Dalem banget bu resensinya sy jd mupeng mau baca. Boleh minjem? Hihihi. Akhirnya setelah lama bnget baca postnya sy manggut2 baca kalimat terakhirnya "selanjutnya sedang dikaji ulang secara serius untuk sebuah karya tulis ilmiah di bidang sastra oleh penulis" waaah, sukses bu untuk karya tulis ilmiahnya. Slalu salut sam ibu nih.. :)

    BalasHapus
  3. Mba nai ini memang hebat sekali, resensi nya dalam banget pembahasan nya, jadi pengen baca deh padahal aya bukan hobi baca ��

    BalasHapus
  4. Baru sekali ini sy membaca ulasan buku yg dikaitkan dengan tema dan hasilnya begitu dalam. Jadi ikut tergugah untuk membaca novelnya juga nih, Bu Nai. :D

    Melihat jumlah halaman lumayan keder sih, tapi jadi semakin penasaran juga dengan tulisan Dee yang satu ini. :)

    BalasHapus
  5. Wah mantap nih Mba resensinya keren banget, aku jadi penasaran sama isi bukunya. Hhahaha

    Benar banget Mba endingnya itu, keserakahan manusia terhadap alam itu bakal menjadi boomerang buat dirinya sendiri. Hiks

    BalasHapus
  6. Mbak, ini bukan resensi tapi analisis yang tajam menurut saya. Selamat ya. Oh ya saya minta izin mengutip untuk artikel ini (tentu menyertakan nama mbak dan sumber tulisan ini di daftar pustaka). Terima kasih sebelumnya.

    BalasHapus