Catatan ini kutulis pada hari terakhir anakku di SMP-nya. Sebenarnya ini bukan tentang proses 3 tahun saja melainkan perjalanan panjang pendidikan dasar anakku sejak bangku SD. Tulisan ini semacam upaya menyimpan kenangan saja sehingga jangan dibaca dengan sudut pandang rumit dan kening berkerut. Ini cuma catatan seorang emak pada hari terakhir anaknya bersekolah di SMPIT Nurul Fikri Banjarmasin.
3 Tahun yang Lalu
“Yang sekolah aku atau Mama sih?”
Aku tidak akan lupa kalimat andalan yang keluar dari mulut anakku saat itu. Kalimat
itulah yang membungkam mulutku sehingga tidak lagi mampu mengeluarkan segala
macam bantahan. Akupun teringat saat aku seusianya, rasanya aku tidak seberani dia memutuskan sendiri ingin sekolah apa.
“Baiklah, kau boleh memilih sekolah manapun sesukamu dengan satu syarat, sekolah
tersebut menjamin kerudungmu aman dari segala gangguan dan ancaman.” Akhirnya
hanya itu yang mampu kuucapkan.
Lalu betapa bersyukurnya aku pagi itu, hari terakhir pendaftaran SMPIT
Nurul Fikri anakku memutuskan untuk mendaftar di sana, melanjutkan kembali masa
belajarnya setelah sebelumnya SD juga di sana. Betapa bangganya aku, dia mengurus pendaftaran sendiri. Aku tinggal datang saat tes wawancara
orangtua/wali murid.
3 Tahun yang Penuh
Makna
“Ma, berangkat...,” pamitnya. Setiap
pagi aku melepasnya dengan doa sambil tak henti mengucap syukur melihat dia berangkat sekolah dengan kerudung rapi menjuntai khusyuk. Baju kurung sepaha,
rok lebar, manset, ciput, celana panjang dalaman, kaos kaki, tas ransel yang
ditaruh dalam kerudung lebar, semua tak pernah luput dari pandanganku. Meski kadang
ada desir cemas di hatiku, akankah itu semua akan tetap menjadi identitasnya ketika kelak dia tidak lagi menjadi murid di sekolah yang sekarang? Aku tahu
persis bagaimana lingkungan dapat mempengaruhi seseorang dan betapa seseorang
itu tergantung pada siapa ia berteman.
Tiga tahun ini, ah tidak, bahkan sejak SD aku telah berhutang banyak pada
para guru alias ustadz dan ustadzah terkait konsistensinya menutup aurat. Hutang yang tidak akan pernah
bisa aku lunasi sekalipun dengan seluruh materi yang kupunya.
Hari pertama orientasi sekolah, anakku pulang membawa cerita tentang
pemeriksaan kelengkapan uniform sekolah. Lebih tepatnya pemeriksaan seragam
muslimah. Setiap murid dipastikan mengenakan celana panjang sebagai bagian dalaman
rok, memakai ciput untuk menjaga rambut, memakai manset tangan, dan memakai
kaos kaki tentu saja. Kerudung ada standar ukuran (ketebalan dan panjang yang
harus dipatuhi).
Aku ingat, suatu hari anakku pulang sambil menahan tangis. Aku langsung
khawatir dan bertanya ada apa. Ternyata tanpa sengaja rambut panjangnya tergerai
dari ikatannya dan ustadz yang mengetahui hal tersebut menegur dan mengatakan akan memotong
rambutnya. Sejak hari itu dia sangat berhati-hati menjaga mahkotanya. Keren juga teguran ustadz.
Masa putih biru menjadi penanda beberapa perubahan anakku. Piring makan yang
selalu licin tanpa sisa makanan, pengarsipan dokumen sekolah, pengelolaan
perlengkapan sekolah, pengerjaan tugas sekolah semua dikerjakan secara
mandiri.
Aku mencatat beberapa hal ini sebagai bagian prasastinya di Nurul Fikri: tahfidz, dhuha rutin, sabit, outbond, persami, ekskul panahan, ekskul korean, ekskul jurnalis/mading, mentoring, lomba puisi dan saritilawah, bimbingan konseling dsb. Pertemuan orang tua murid dan guru setiap bulannya turut pula mewarnai kenangan kami.
Sebelum dia mendapat haid, doa dan tata cara mandi wajib sudah menjadi
capaian pembelajaran di tahun-tahun pertama SMPnya. Aku kira kecil kemungkinan sekolah umum akan menjadikan tata cara mandi wajib sebagai materi ujian praktik.
Selain soal busana dan hijab, puasa sunnah juga menjadi bagian dari program sekolah yang patut diacungi jempol. Meski maafkan jika kadang-kadang aku sempat saja ngomel karena mata masih mengantuk
tapi harus menyiapkan sahur. Eh, ujung-ujungnya malah aku ikut-ikutan puasa.
Selama SMP anakku menunjukkan satu hal yang sangat berlawanan denganku. Jika selama SMP nilai olah ragaku paling rendah dalam raport, dia sebaliknya, nilai olah raganya tinggi sekali. Ah, tapi itu hanya angka bukan? Aku nyaris tak terlalu peduli dengan taburan angka dalam raport. Apalagi urutan bernama rangking. Apalagi sampai membandingkannya dengan angka dalam raport anak lain. Wah, bukan aku banget. Meski jujur saja kadang-kadang jauh di kedalaman hatiku tentu saja aku ingin anakku meraih nilai yang tinggi. Bukan supaya aku bangga. Sama sekali bukan. Aku ingin dia bangga terhadap dirinya sendiri.
Suatu ketika aku dipanggil guru anakku. Katanya anakku kurang bagus progres hafalan Qurannya. Katakanlah dia ketinggalan dari beberapa temannya. Its ok. Aku tak berani menuntut banyak pada anakku. Hanya bisa menitipkan harapan dan mengirim doa.
Untuk para guru
Untuk para guru anakku aku mengucapkan salam hormat dan ucapan terima kasih setulus hati. 3 tahun kalian menanam, sepanjang masa kamilah yang akan memetik hasilnya. Usia SMP adalah masa peralihan yang susah susah asyik bagi orang tua, terutama ibu bekerja seperti aku. Terima kasih sudah menjadi teman baik anakku selama tiga tahun ini. Hanya Allah yang dapat mengganti semua jasamu dengan balasan yang terbaik. Maafkan segala kekurangan dan kekhilafan kami dan anak kami selama 3 tahun ini.
Oiya, selesai ujian akhir, anakku dan teman-temannya mendapat kesempatan magang di sekolahnya sendiri menjadi semacam guru atau kakak pendamping di jenjang sekolah yang lebih rendah.
Yang paling mengagumkan adalah capaian akhir sebelum anakku lulus. Kuanggap inilah bagian utama dalam portofolio SMPnya setelah unsur pendidikan islami. Yeay, apalagi kalau bukan menerbitkan buku kumpulan cerpen mereka!
Mungkin ada yang kepo. Dari tadi memuji saja. Memangnya sedang endorse ya si emak? Tidak. Ini bukan endorse, bukan pula iklan. Ini hanya catatan hati seorang emak yang lagi melow di akhir tahun ajaran sebab setelah ini terputus sudah ikatan kami dengan sekolah Islam yang satu ini. Adik-adiknya tidak ada yang bersekolah di sini. Karena ini bukan endorse, aku sampaikan saja sekolah ini bukannya tak punya kekurangan. Hanya saja, kritik dan saran sudah aku salurkan sesuai tempatnya. Pesanku: tidak ada sekolah yang sempurna. Jangan pernah mencari sekolah sempurna. Carilah sekolah yang cocok dengan jiwa dan fitrah anakmu. Carilah guru-guru yang mau menjadi sahabat anakmu dan yang mau menjadi rekan baikmu dalam mendidik anakmu.
3 jam lebih di hari terakhir.
Aku duduk di antara para wali murid yang lain. Menikmati sajian acara demi acara. Sesekali bertegur sapa dan saling bermaafan dengan para wali murid yang lain. Rasanya, inilah pertemuan dan kebersamaan kami yang terakhir. Setelah acara pengukuhan hari ini, aku akan jarang sekali ke sini. Sampai tiba acara menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Mars Nurul Fikri aku berlinangan air mata. Indah dan mulia visi misi sekolah tersimpan dalam syairnya. Aku takkan bisa sendirian mewujudkan visi dam misi tsb
“Mama ingin aku menjadi apa?” di penghujung musim dia dulu pernah bertanya padaku.
Sungguh, itu pertanyaan terberat yang pernah dia berikan kepadaku. Tidak,
aku tidak punya jawaban jika yang dimaksud adalah tentang profesi, pekerjaan,
jurusan sekolah dan sejenisnya. Aku terlanjur berdamai dengan hatiku terhadap
hal-hal tersebut. Aku tidak ingin memaksakan dia dan adik-adiknya harus menjadi
apa kelak. Aku sangat menghargai minat, bakat dan passion. Hanya saja,
jika aku masih boleh meminta, aku ingin dia menjadi bagian dari penyeru
kebaikan yang mengajak orang untuk berbuat baik dengan cara yang harum dan
lembut sebagaimana kusematkan harapan itu pada namanya.
Selamat melepas masa SMP, anakku Nadiya Nisrina. Semoga menemukan sekolah lanjutan yang tepat untukmu. [] Nai.
Wah nisrina sudah tamat smp ternyata. Lebih tinggi dari ibunya yaa :)
BalasHapusHehe.. iya Mbak Antung. Yang dulu kecil mungil selalu ngintil di acara kepenulisan, s3karang sudah lebih tinggi dari emaknya.
Hapus