Sabtu, 06 Juni 2020

# esai # sastra

Semalam Bersama Kenangan, Setelah itu Lahirlah Kembali (Catatan Kumpulan Puisi Aku Ingin Lahir dari Rahim Puisimu Karya Ikhlas El Qasr)


Oleh Nailiya Nikmah JKF


                Diterbitkan oleh Edulitera 2020, Kumpulan Puisi Aku Ingin Lahir dari Rahim Puisimu (AILdRP) karangan Ikhlas El Qasr menambah satu lagi daftar buku kumpulan puisi karya penulis Kalimantan Selatan. Sebagaimana buku-buku lainnya, ia akan menemukan takdirnya sendiri kelak. Bahwa puisi adalah istimewa, tidak akan membuat nasib sebuah buku puisi serta-merta menjadi istimewa. Bahwa puisi adalah kata-kata yang bermantra, lihatlah bagaimana mantra itu bekerja pada Ikhlas, padaku, padamu, dan padanya yang lain.


sesaat menjelang bedah buku daring

Pendahulauan
Masih ingat silang pendapat soal kata mudik dan pulang kampung? Itu contoh kasus tentang diksi yang relevan dengan sikon kekinian pada masa covid. Hanya pada masa covid, kedua kata tersebut menjadi perdebatan. Tetiba sebagian besar orang berpikir dan seperti baru saja menyadari bahwa kata-kata memiliki makna. Ya, setiap kata memiliki makna. Lebih dari itu, ia memiliki jiwa. Hanya jiwa-jiwa terpilih yang mampu menembus dinding hati pembaca atau pendengar.
Untuk itulah kata-kata selalu dipilih sebelum digunakan. Proses pemilihan itu ada meski kadang prosesnya berlangsung begitu cepat dan kita tidak menyadarinya. Geraf (2002) pernah mengungkapkan bahwa “Pengertian pilihan kata atau diksi jauh kebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata itu. Istilah ini bukan saja dipergunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa dan ungkapan.”
Kita bisa saja menemukan kata-kata yang bermakna mirip atau nyaris sama persis, tetapi kita tidak serta-merta bisa memakai maupun menukar posisi penggunaan kata-kata tersebut dalam sebuah karya. Dipilihnya kata gadis, perempuan  atau wanita misalnya. Meski ketiganya bersinonim, ada nilai rasa yang tidak bisa sepenuhnya dianggap sama. Terlebih ketika ia sudah berada dalam situasi, kondisi dan ruang tertentu. Bahkan ketika kata-kata tersebut memiliki tingkat kesamaan makna yang nyaris sempurna seperti kursi dan bangku, tidak akan membuat kita lantas seenaknya saja menaruh sebuah kata dalam karangan. Otak dan hati kita akan bertarung bersama-sama dalam waktu yang sangat cepat untuk memutuskan kata apa yang dipilih.
Kata-kata adalah mantra bagi para penyair. Sayap-sayap makna yang dibawanya membuat kata-kata dalam puisi tidak bisa diukur secara mutlak sebagaimana ilmu pasti. Seringkali kita menemukan kata-kata yang bermakna ambigu dalam puisi, bahkan bisa jadi, satu puisi yang dibaca seratus orang akan menghasilkan seratus penafsiran dan mungkin lebih. Meskipun demikian, puisi yang bagus tidak selalu yang memuat kata-kata rumit berbelit. Kadang, puisi-puisi sederhana; puisi-puisi yang menggunakan kata-kata lugas justru menjadi sangat menyentuh dan memikat hati pembacanya. Kita tidak akan lupa betapa sederhananya cinta yang ingin diungkap Sapardi dalam puisi “Aku Ingin” – yang sering dipakai para pecinta untuk mengungkapkan cintanya kepada sang kekasih. Tengok pula kesederhanaan diksi yang dipilih Taufiq Ismail dalam puisi-puisi sosialnya. Begitu pula yang ditulis oleh Y.S. Agus Suseno dan Micky Hidayat. Pada umumnya, semua puisi itu hadir secara sederhana, kita penafsirnyalah yang membuatnya berjuta makna. Ruang-ruang dalam jiwa, kerja otak dan hati yang berkolaborasi dengan pengalaman hidup membuat kita menemukan proses klik yang berbeda-beda terhadap suatu puisi.

Teori dan Pendekatan
Membaca sebuah karya adalah membaca pengarangnya. Meski ada yang berpendapat, setelah sebuah karya tercipta dan dilempar menjadi milik pembaca, maka matilah pengarangnya, pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Jika kita memahami bahwa selalu ada dua unsur dalam sebuah karya sastra, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik, kita tidak akan pernah bisa mengabaikan sang pengarang. Siapa dia, apa profesinya, apa pandangan hidupnya, bagaimana masa kecilnya, buku apa yang dia baca, di masa apa dia hidup, siapa yang membuat ia jatuh setengah mati, siapa yang membuat ia bangkit beribu kali, semua itu sedikit banyak akan mempengaruhi karyanya. Termasuk kata-kata atau diksi apa yang paling menghantuinya. Bukan, mungkin bukan kata-katanya secara fisik, melainkan konsep atau makna dari kata-kata tersebutlah yang menghantuinya.
Carlyle (1827) menulis kritik sastra tentang keterkaitan antara seorang penyair yang puisinya mencerminkan tingkah laku yang berhubungan secara psikologis. Cukup lama orang menganggap karya-karya sastra terkait dengan masalah biografi pengarang; karya sastra merupakan cerminan perasaan, dan lebih ekstrim lagi sastra merupakan ekspresi impuls seksual yang terpendam dari si pencipta. Menurut Abrams, sebelum telaah mendalam tentang hal tersebut, ada beberapa unsur yang peru diketahui.  Salah satu unsur tersebut adalah perlunya membaca suatu karya sastra untuk menemukan cerminan kepribadian si pengarang dalam karya tersebut. Fenomena sastra sebagai “cermin” pribadi telah lama berkembang meskipun demikian Endraswara menyatakan tidak selamanya pribadi pengarang selalu masuk ke dalam karya sastranya. (Minderop, 2013:61-62).
Pendekatan psikologi sastra menjadi pilihan yang tepat untuk membedah kumpulan puisi ini setelah melalui observasi awal yang menghasilkan suatu temuan betapa banyak puisi dalam buku ini yang berbicara tentang keadaan batin aku lirik – yang ditengarai tidak jauh berbeda dengan keadaan batin sang pengarang.

Pembahasan
Buku ini memuat 100 judul puisi – yang jika ditelusuri titi mangsanya tata urutan peletakan halamannya sangat acak – dengan jumlah bait setiap puisi rata-rata empat sampai lima bait. Lirik-lirik yang tidak bisa dibilang pendek di setiap bait menggambarkan penyair memiliki nafas yang cukup panjang dalam berkreasi. Secara keseluruhan puisi-puisi dalam buku ini bertema cinta, lebih tepatnya deraan cinta yang menciptakan kesedihan berkepanjangan.
Sejak kemarin, kita masih duduk di bangku keheningan.
Memeluk biji-biji cemas yang tumbuh liar di kepala kita.
Berakar pada jalar-jalar yang mematikan logika

Aku tahu, merindu adalah jantung dari segala kesakitan yang menyetubuhi raga
(Meruntuhkan Hening, hlm 134)

Beberapa kata yang menjadi key word dalam bait tersebut yaitu keheningan, cemas, liar, kepala, mematikan logika, jantung, kesakitan, raga dan merindu. Kita akan temukan satu benang merah dalam hal ini yaitu merindu sebagai entah hulu entah hilir-nya perasaan cinta menyebabkan munculnya gangguan-gangguan seperti perasaan cemas, logika yang mati, keliaran dalam berpikir. Orang yang sedang jatuh cinta adalah orang yang sedang mengalami distorsi tanda petik. Logika bisa terbolak-balik bahkan bisa jadi mati alias tidak rasional lagi dalam berpikir dan bertindak. Gangguan-gangguan psikologis tersebut ketika sudah berada pada taraf akut akan menyerang fisik seperti munculnya rasa sakit pada raga. Pernah mendengar orang muntah mendengar nama mantan disebut? Atau mendadak sakit kepala atau jantung berpacu lebih cepat ketika lewat depan rumah mantan? Semacam itulah yang ingin diungkapkan dalam puisi tersebut.
Tema cinta sudah biasa. Tidak terhitung berapa karya di dunia ini yang bicara soal cinta. Inilah kenyataan, inilah data bahwa persoalan cinta adalah persoalan utama umat manusia di muka bumi. Tema cinta yang tak sampai selalu menjadi serbuan like para patah hati-wan. Perasaan senasib sependeritaan membuat empati mudah dibangun. Tulisan-tulisan seputar cinta yang mati berkali-kali entah karena dikhianati, entah karena diri sendiri yang ke lain hati membuat manusia menyadari mereka tidak sendirian di planet ini.
Konon, sebuah penelitian yang menjadi salah satu dasar teori psiko-analisis menyebutkan bahwa obat bagi penderita histeria - sebuah gangguan kejiawaan yang berefek ke fisik- begitu sederhana, yaitu bercerita. Inilah yang dipilih oleh aku lirik dalam buku ini.  Beberapa puisi ditulis begitu panjang dengan bentuk jalinan kisah. Persis seperti orang yang sedang bercerita.
Aku tahu, kamu tidak benar-benar ingin pergi, Tidak pernah. Kamu hanya hilang ditelan malam saat sepi lebih sering menyungkupmu dengan beragam kecemasan. (Sebuah Ikatan, hlm 51).
Orang yang sedang dimabuk cinta adalah orang yang paling keras kepala. Sering kali kekeraskepalaan itu membuat ia jatuh dalam kesengsaraan yang berpanjangan. Kekeraskepalaan atau kekerashatian tersebut sebenarnya hanyalah merupakan upaya menghibur dirinya sendiri. Sebuah upaya dengan cara menipu diri sendiri. “Dia tidak jahat, kok. Dia terlalu baik malah. Dia tidak bermaksud menyakiti aku. Dia cuma sedang ingin sendiri” dst. Pernah dengar kalimat pembelaan semacam itu? Atau barangkali kalimat itu yang keluar dari mulutmu ketika dijahati orang tercinta? Kutipan bait hlm 15 menuturkan sikap menipu diri sendiri aku lirik dengan sangat baik. Salah satu sikap yang akan kita tunjukkan ketika menghadapi rasa sakit adalah berupaya menolak kenyataan. Mencoba mencarikan argumen dan pembelaan agar hati senang karena masih telalu menyayangi. Pada fase ini perbedaan antara terlalu cinta dan terlalu bodoh seringkali amat tipis.
Puisi “Semalam Bersama Kenangan” hlm 100-102 habis-habisan memuntahkan seluruh penderitaan aku lirik. Seluruh kata, tidak bisa tidak, adalah jantung buku ini. Ia menyimpan seluruh rahasia aku lirik. Ia adalah cerita utuh perjalanan hati aku lirik. Ia adalah gambaran fluktuatif perasaan aku lirik yang menyeluruh. Diksi yang merupakan key word-nya seperti retakan rembulan, kenangan, menyakitkan, menyesal, bersahabat dengan luka, memaafkan, lebih dari cukup untuk deskripsi sebuah kisah luka batin yang aku alami.
Puisi “Semalam Bersama Kenangan” adalah sebuah trial and error –nya aku lirik dalam upaya move on. Ia mencoba membersamai kenangan dalam satu malam untuk mengukur kekuatan hatinya. Seseorang bisa saja bilang “Aku sudah menyadari aku disakiti, aku sudah memaafkan. Aku sudah melupakan. Aku sudah move on. Aku baik-baik saja”. Tentu saja itu yang terjadi di alam sadar. Sebagai manusia yang baik, seseorang harus memaafkan, demikian super ego bicara. Seseorang harus melangkah maju dsb. Akan tetapi yang terjadi di alam bawah sadar sering kali jauh bertolak belakang daripada yang diperlihatkan oleh alam sadar. Cobalah dengarkan kembali lagu kenangan bersama si dia. Jika sudah tidak menangis lagi, berbahagialah. Setidaknya di alam sadar, kita sudah tidak bersimbah air mata lagi. Adapun yang terjadi dengan alam bawah sadar baru bisa kita buktikan dengan melihat impact dan wujudnya pada apa yang kita lakukan dan jalani di tahun-tahun setelahnya.
Puisi “Aku Ingin Lahir dari Rahim Puisimu” hlm 18 menggambarkan sebuah keadaan baru bagi aku lirik. Ini juga harus dibaca secara utuh. Barangkali kelahiran baru aku lirik  dalam puisi ini bisa disetarakan dengan era new normal pasca gempuran korona. Ada banyak persiapan yang harus dilakukan sebab sebagaimana serangan virus ce o ve i d yang bisa ada gelombang  kedua ketiga dst, itu berarti peluang untuk serangan berikutnya masih terbuka lebar. Peluang untuk sakit hati kembali oleh orang yang sama masih ada selama kita masih satu planet dengannya. Di sinilah aku lirik memilih langkah cerdas. Ia memilih untuk move on dengan cara yang berbeda, yaitu ingin terlahir dari rahim puisi. Ya, ia memilih jalan sunyi para penyair.

Penutup
Puisi bisa jadi hanya permainan kata bagi sebagian orang yang tidak memahami makna cinta. Puisi bisa jadi sekadar bualan di mulut para penipu hati. Penyair dan waktu yang akan membuktikan seberapa jujur puisi bertutur dan seberapa rapi ia bisa menyimpan rahasia. Lalu, ingatlah sekeras apapun seseorang melawan kenangan; senyaring apapun seseorang berteriak bahwa ia sudah move on, hanya sebuah kelahiran jiwa yang baru yang akan menjawabnya. Selamat lahir kembali, Ikhlas El Qasr. [] Nai, Zona Merah, 2020.


catatan:
Tulisan ini disampaikan oleh Nailiya dalam Bedah Buku Daring, Sabtu, 6 Juni 2020.





2 komentar:

  1. Luar biasa daratan borneo. Selalu melahirkan pemuisi berbakat. Bravo mnak Nay

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Mbak Anis. Senang bisa dikunjungi oleh orang hebat.

      Hapus