Oleh Nailiya Nikmah JKF
Menjadikan alam dan lingkungan hidup sebagai latar tempat
maupun suasana dalam sebuah karya barangkali merupakan hal biasa yang relatif
mudah dilakukan oleh para pencipta (:penulis) karya sastra. Yang dilakukan oleh
HE Benyamin (Ben) dalam kumpulan puisi ini lebih dari itu. Alam dan lingkungan
hidup menjadi bangunan utama puisi-puisi Ben; menjadi sandaran setiap judul;
menjadi ruh setiap bait. Ia menumpahkan tidak hanya perasaan-perasaan yang
bersinggungan dengan nilai estetika sebuah karya dalam puisinya tetapi juga mencurahkan seluruh pemikiran dan
ide-ide yang tidak cukup diungkapkan melalui jalan biasa.
Membaca puisi-puisi dalam buku ini menggiring kita perlahan-lahan
untuk memasuki gerbang ekokritisme -
yang menurut Glotfelty adalah sebuah studi tentang hubungan sastra dan
lingkungan hidup. Isue kerusakan lingkungan, krisis global dan kerentaan bumi
memengaruhi cara pandang manusia tentang dirinya sendiri dan kaitannya dengan
alam/lingkungan. Setelah cara pandang tentang hubungan manusia dan alam mulai
diperbaiki, bermunculan kajian hijau/ekokritisme. Kajian ini sendiri mulai
marak pada 1900-an. Karya sastra (:puisi-puisi) dapat dipandang sebagai bagian
dari ekosistem pada sebuah kajian sastra lingkungan.
Melalui puisi-puisinya, Ben menyampaikan keindahan alam
dan lingkungan Kalimantan. Kita disuguhi diksi-diksi seperti hutan,belantara,
lahan gambut, rawa, bukit, sawah, gunung, pantai, gerimis, hujan, embun, bunga,
anggrek, keragaman hayati, ranting, akar, kulit kayu, daun-daun dan sebagainya.
Ia hadir sebagai dua hal yang kontradiksi sekaligus.
Dalam kumpulan puisi
yang diberi judul Hutan Segala Rindu (HSR),
kita dibentangkan fakta-fakta lingkungan yang bisa jadi belum tersentuh dengan
sempurna oleh rumpun ilmu lain secara leluasa. Kita disodori hal-hal
memprihatinkan yang mungkin akan sangat sulit diperjuangkan dengan cara lain,
yang dalam buku ini di-capture dengan baik oleh Ben melalui puisi. Kebakaran dan
pembabatan hutan, rawa yang tenggelam, sawah beracun, limbah, banjir, menjadi
topik dalam HSR.
Di antara sekian banyak hal yang bisa dipilih terkait
alam dan lingkungan hidup, Ben memilih hutan sebagai fokus utama. Di sinilah
sisi kearifan lokal seorang penyair bermain. Pada banyak bagian, Ben secara
spesifik bicara tentang Kalimantan (khususnya Kalimantan Selatan). Pulau Kalimantan
adalah salah satu paru-paru dunia karena hutannya. Dalam beberapa kurun waktu
yang lalu, laju deforestasi di Kalimantan sangat cepat. Untuk itulah berbagai
upaya perlu dilakukan oleh semua pihak.
HSR mengungkapkan cerita tentang eksploitasi terhadap
Meratus; penambangan batubara; gelondongan kayu; serta hal-hal lain yang
mengungkapan ketamakan manusia terhadap lingkungan dalam aktivitasnya mengambil
habis isi kekayaan alam tanpa upaya pengembalian kondisi. Pembabatan hutan
serta pertambangan tanpa reklamasi dan reboisasi misalnya. “Meratus Rantai
Pengetahuan Tak Boleh Putus” menjadi salah satu puisi yang bisa kita jadikan
referensi dalam hal ini.
Ada yang menarik dalam diksi atau pilihan kata yang
digunakan Ben dalam puisi-puisinya. Kita akan temukan diksi yang bersinonim
bahkan ada yang sama persis dalam beberapa puisi yang berbeda. Ini bisa kita
telusuri pada beberapa cuplikan bait berikut: /Mata mistismu bagai embun sapa mentari/ dalam puisi“Bunga-bunga
Menjelma Kau”; /sudah berapa lama mata
mistismu menghuni imajinasi hatiku/ dalam puisi “Hujan Mendekap Aura
Rahim”; /mata mistismu mencurahkan
kebeningan telaga rindu/ dalam puisi “Mencurahkan Kebeningan”; /tatapanmu alur mantra mendekam/ dalam
puisi “Kejernihan Tak Tersesat”; /mata
mistismu ramuan belantara dan samudera/ dalam puisi “Terbakar Tumbuh
Kembali”; /menemu matamu, rindu balian menari
dalam hujan/ dalam puisi“Balian Mantra Matamu”; /kau menatap tanpa binar/ dalam puisi “Deras Ternyata Rindu
Mengalir”; /matamu memancar dalam jiwaku/
dalam puisi “Kekasih (13)”; /kilat
sesekali mengejutkanku, matamu begitu mistis/ dalam puisi “Kekasih (14)”. Puisi-puisi
tersebut seakan mengabarkan bahwa kita telah tiba pada suatu fase di mana bukan kita yang memantau atau melihat
alam dan lingkungan hidup melainkan sebaliknya, alam dan lingkungan hiduplah
yang saat ini sedang mengawasi dan mengintai kita. Ketika kita lengah dan lalai
maka kita harus siap menerima segala konsekuensinya.
***
Tidak ada puisi tanpa kerinduan di dalamnya. Bahkan hal
tersebut dari awal telah diakui oleh Ben dengan meletakkan kata rindu sebagai bagian dari judul buku
ini. Pertanyaannya, kerinduan macam apa yang dimiliki olehnya? /alangkah hebat rindu melumat waktu dan
jarak/ tuturnya dalam puisi “Terbakar Tumbuh Kembali”. Sejalan dengan itu, puisi
berjudul “Kekasih (9)” berikut menjelaskan dengan lugas; mewakili seluruh kerinduan
yang ada.
Kekasih, ribuan lesung pipitmu
kuatkan ketidakberdayaanku
Hanya rindu penuh mampu tatap
hujan sungguh puitis
Kau tahu, jarak dan waktu
terkurung dalam hatiku
Melapangkan hadirmu.
Demikianlah, belantara rindu, jarak dan waktu semua
berpulang pada hati yang lapang. Selamat menjelajah Hutan Segala Rindu. [] Zona
Merah di Utara, 02 Juli 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar