Rabu, 05 Agustus 2020

# esai # sastra

Ben dan Belantara Rindunya: Pengantar Buku Kumpulan Puisi Hutan Segala Rindu Karya HE Benyamin

Oleh Nailiya Nikmah JKF



Menjadikan alam dan lingkungan hidup sebagai latar tempat maupun suasana dalam sebuah karya barangkali merupakan hal biasa yang relatif mudah dilakukan oleh para pencipta (:penulis) karya sastra. Yang dilakukan oleh HE Benyamin (Ben) dalam kumpulan puisi ini lebih dari itu. Alam dan lingkungan hidup menjadi bangunan utama puisi-puisi Ben; menjadi sandaran setiap judul; menjadi ruh setiap bait. Ia menumpahkan tidak hanya perasaan-perasaan yang bersinggungan dengan nilai estetika sebuah karya dalam puisinya  tetapi juga mencurahkan seluruh pemikiran dan ide-ide yang tidak cukup diungkapkan melalui jalan biasa.

Membaca puisi-puisi dalam buku ini menggiring kita perlahan-lahan untuk memasuki gerbang ekokritisme - yang menurut Glotfelty adalah sebuah studi tentang hubungan sastra dan lingkungan hidup. Isue kerusakan lingkungan, krisis global dan kerentaan bumi memengaruhi cara pandang manusia tentang dirinya sendiri dan kaitannya dengan alam/lingkungan. Setelah cara pandang tentang hubungan manusia dan alam mulai diperbaiki, bermunculan kajian hijau/ekokritisme. Kajian ini sendiri mulai marak pada 1900-an. Karya sastra (:puisi-puisi) dapat dipandang sebagai bagian dari ekosistem pada sebuah kajian sastra lingkungan.

Melalui puisi-puisinya, Ben menyampaikan keindahan alam dan lingkungan Kalimantan. Kita disuguhi diksi-diksi seperti hutan,belantara, lahan gambut, rawa, bukit, sawah, gunung, pantai, gerimis, hujan, embun, bunga, anggrek, keragaman hayati, ranting, akar, kulit kayu, daun-daun dan sebagainya. Ia hadir sebagai dua hal yang kontradiksi sekaligus.

Dalam  kumpulan puisi yang diberi judul Hutan Segala Rindu (HSR), kita dibentangkan fakta-fakta lingkungan yang bisa jadi belum tersentuh dengan sempurna oleh rumpun ilmu lain secara leluasa. Kita disodori hal-hal memprihatinkan yang mungkin akan sangat sulit diperjuangkan dengan cara lain, yang dalam buku ini di-capture dengan baik oleh Ben melalui puisi. Kebakaran dan pembabatan hutan, rawa yang tenggelam, sawah beracun, limbah, banjir, menjadi topik dalam HSR.

Di antara sekian banyak hal yang bisa dipilih terkait alam dan lingkungan hidup, Ben memilih hutan sebagai fokus utama. Di sinilah sisi kearifan lokal seorang penyair bermain. Pada banyak bagian, Ben secara spesifik bicara tentang Kalimantan (khususnya Kalimantan Selatan). Pulau Kalimantan adalah salah satu paru-paru dunia karena hutannya. Dalam beberapa kurun waktu yang lalu, laju deforestasi di Kalimantan sangat cepat. Untuk itulah berbagai upaya perlu dilakukan oleh semua pihak.

HSR mengungkapkan cerita tentang eksploitasi terhadap Meratus; penambangan batubara; gelondongan kayu; serta hal-hal lain yang mengungkapan ketamakan manusia terhadap lingkungan dalam aktivitasnya mengambil habis isi kekayaan alam tanpa upaya pengembalian kondisi. Pembabatan hutan serta pertambangan tanpa reklamasi dan reboisasi misalnya. “Meratus Rantai Pengetahuan Tak Boleh Putus” menjadi salah satu puisi yang bisa kita jadikan referensi dalam hal ini.

Ada yang menarik dalam diksi atau pilihan kata yang digunakan Ben dalam puisi-puisinya. Kita akan temukan diksi yang bersinonim bahkan ada yang sama persis dalam beberapa puisi yang berbeda. Ini bisa kita telusuri pada beberapa cuplikan bait berikut: /Mata mistismu bagai embun sapa mentari/ dalam puisi“Bunga-bunga Menjelma Kau”; /sudah berapa lama mata mistismu menghuni imajinasi hatiku/ dalam puisi “Hujan Mendekap Aura Rahim”; /mata mistismu mencurahkan kebeningan telaga rindu/ dalam puisi “Mencurahkan Kebeningan”; /tatapanmu alur mantra mendekam/ dalam puisi “Kejernihan Tak Tersesat”; /mata mistismu ramuan belantara dan samudera/ dalam puisi “Terbakar Tumbuh Kembali”; /menemu matamu, rindu balian menari dalam hujan/ dalam puisi“Balian Mantra Matamu”; /kau menatap tanpa binar/ dalam puisi “Deras Ternyata Rindu Mengalir”; /matamu memancar dalam jiwaku/ dalam puisi “Kekasih (13)”; /kilat sesekali mengejutkanku, matamu begitu mistis/ dalam puisi “Kekasih (14)”. Puisi-puisi tersebut seakan mengabarkan bahwa kita telah tiba pada suatu fase di mana bukan kita yang memantau atau melihat alam dan lingkungan hidup melainkan sebaliknya, alam dan lingkungan hiduplah yang saat ini sedang mengawasi dan mengintai kita. Ketika kita lengah dan lalai maka kita harus siap menerima segala konsekuensinya.

***

Tidak ada puisi tanpa kerinduan di dalamnya. Bahkan hal tersebut dari awal telah diakui oleh Ben dengan meletakkan kata rindu sebagai bagian dari judul buku ini. Pertanyaannya, kerinduan macam apa yang dimiliki olehnya? /alangkah hebat rindu melumat waktu dan jarak/ tuturnya dalam puisi “Terbakar Tumbuh Kembali”. Sejalan dengan itu, puisi berjudul “Kekasih (9)” berikut menjelaskan dengan lugas; mewakili seluruh kerinduan yang ada.

Kekasih, ribuan lesung pipitmu kuatkan ketidakberdayaanku

Hanya rindu penuh mampu tatap hujan sungguh puitis

Kau tahu, jarak dan waktu terkurung dalam hatiku

Melapangkan hadirmu.

 

Demikianlah, belantara rindu, jarak dan waktu semua berpulang pada hati yang lapang. Selamat menjelajah Hutan Segala Rindu. [] Zona Merah di Utara, 02 Juli 2020

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar