(Sejarah yang Dititipkan dalam Novel May Karya Sandi Firly)
Oleh Nailiya
Nikmah JKF
Prolog
Disadari atau tidak,
sejarah hanya memuat dua hal besar dalam perjalanannya, yaitu rasa cinta dan
rasa benci. Perasaan cinta dan benci sama-sama memberikan energi yang besar
pada seseorang untuk melakukan sesuatu. Cinta cenderung mengarah kepada hal-hal
positif sedangkan benci cenderung mengarah kepada hal-hal negatif. Rasa cinta
atau benci yang mendominasi hati seseorang akan menutupi dirinya dari segala
hal yang bernama objektivitas. Segalanya menjadi subjektif dan menjadi sulit
untuk menerima pendapat orang lain. Mampukah kita menjadi lebih adil ketika
berhadapan dengan berbagai peristiwa demi sesuatu yang bernama sejarah sebab sejatinya
sebuah sejarah adalah riwayat mengadanya kita dan segala yang pernah ada.
Sastra dan Psikologi
Fenomena sastra sebagai
cermin pribadi telah lama berkembang. Hanya saja, istilah “cermin” di sini
bukan berarti sebagai cermin pribadi pengarang karena tidak selamanya pribadi
pengarang selalu masuk ke dalam karya sastra yang ia ciptakan ( Endraswara
dalam Minderop, 2013). Tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita, ada untuk
membangun kisah, membangun suatu objek, secara psikologis merupakan wakil sang
pengarang. Pesan-pesan pengarang muncul melalui para tokoh yang ia hidupkan
dalam ceritanya.
John Keble berpendapat
kedekatan antara karya sastra dan psikologi dapat dicermati melalui, misalnya
karya-karya sastra yang merupakan ungkapan pemuasan motif konflik – desakan
keinginan dan nafsu yang ditampilkan para tokoh untuk mencari kepuasan
imajinatif yang dibarengi dengan upaya menyembunyikan dan menekan perasaan –
dengan menggunakan ‘cadar’ atau ‘penyamar’ dari lubuk hati yang paling dalam
(Abrams dalam Minderop). Gelora jiwa dan nafsu yang tampil melalui para tokoh
inilah yang dapat digali melalui pendekatan psikologi. Psikologi sastra
merupakan sebuah interdisiplin psikologi dan sastra. Mempelajarinya sama dengan
mempelajari manusia dari sisi dalam. Menurut Minderop, daya tarik psikologi
sastra adalah manusia yang melukiskan potret jiwa. Bukan jiwa sendiri saja yang
muncul, melainkan perwakilan jiwa-jiwa orang lain. Setiap pengarang menambahkan
pengalamannya sendiri dalam karyanya, pengalaman tersebut sering pula dialami
oleh orang lain.
May
Membaca May (2019) adalah membaca jiwa-jiwa para tokoh; membaca sekelumit peristiwa
sejarah yang menjadi hal traumatik bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya
secara langsung maupun tidak langsung. Peristiwa kelam yang dalam kepala
masyarakat serta-merta berlabel “Politik” dengan sebutan khusus yaitu Jumat Kelabu. Jumat Kelabu mungkin menjadi
satu-satunya tragedi besar di bidang politik bagi warga Kalimantan Selatan
khususnya Banjarmasin. Ia menambah satu lagi point dalam daftar abu-abunya
sejarah Indonesia. Tidak jelas diketahui apa sebenarnya yang terjadi, siapa,
mengapa dan bagaimana.
...bukankah terkadang kebenaran sejarah itu sering ditutup-tutupi, bahkan
disembunyikan sampai mati? Sejarah menjadi sejarah itu sendiri.”
“Lalu apa yang hendak kamu sampaikan dengan novelmu?”
“Mungkin tentang tragedi manusia-manusia setelah peristiwa kerusuhan itu.”(hlm 128).
Kutipan tersebut dan
kutipan lainnya yang senada dengan itu (cari dan bacalah sendiri), sejalan
dengan teori psikologi sastra sebelumnya yang menyebutkan bahwa pesan-pesan
pengarang muncul melalui para tokoh yang ia hidupkan dalam ceritanya. Sandi
memunculkan Kin sebagai sosok yang tidak terlalu jauh berbeda dengan dirinya.
Seakan-akan Kin adalah Sandi yang sesungguhnya. Sandi sebagai pengarang bisa
saja berlindung dibalik fiksionalitas sebuah novel. Akan tetapi, sesungguhnya,
sandi terjebak pada fiksionalitas tersebut. Dengan beberapa pengaburan, ia
justru seperti memperlihatkan banyak hal yang ia titipkan dalam May. Berikut,
beberapa hal yang dititipkan Sandi dalam May.
1.
Ketakutan,
kegamangan sebagai orang yang hidup dalam masa terjadinya tragedi tersebut.
Kegamangan dan ketakutan Sandi sudah
terbaca dari sisi penamaan para tokoh. Ketakutan-ketakutan yang lumrah setiap
kita hendak bicara politik menjangkiti pemikiran Sandi. Menyebut satu kata,
satu nama, bisa jadi akan membuat kita terlibat banyak dalam suatu kejadian. Karena
itulah kita takut, takut menyebut nama seseorang, takut membuat orang terfitnah
atau tertuduh tanpa pembuktian yang jelas. Sandi memilih menamai tokohnya
dengan gadis kedai, pak tua, laki-laki berjenggot, lelaki gendut, laki-laki
muda, perempuan dewasa, pelaut muda, pemuda berdasi. Penamaan yang teramat
umum, sulit untuk diidentifikasi terutama jika dikaitkan dengan lokalitas
setting novel ini. Beberapa tokoh yang diberi nama misalnya, May, ini semacam
berlindung dibalik penanda waktu kejadian saja. Tidak bisa dirujuk kepada satu
sosok tertentu. Pak Gun, juga bukan nama seseorang yang mewakili tempat
peristiwa ini terjadi secara khusus.
2.
Opini
Sandi tentang tidak adanya penanda tragedi Jumat Kelabu dan karakter orang
Banjar.
Jika kita membaca hlm 125 – 127 kita akan dapatkan hal utama yang hendak
disampaikan pengarang dalam novel ini.
“Mengenai
peristiwa 23 Mei, apakah ada tugu peringatannya? Tanya kin.
“Tidak
ada.” Jawab May singkat. (hlm 125).
....
3.
Alam bawah
sadar dan traumatik para tokoh
Hampir seluruh tokoh yang terlibat dalam tragedi
23 Mei dalam novel ini mengalami traumatik gangguan kejiwaan. Sebagai orang
Banjar yang biasanya pemaaf, May merasa harus sudah bisa memaafkan dan
melupakan. Tidak banyak orang tahu bahwa tanpa penanganan psikologis yang
tepat, alam bawah sadar selamanya akan bekerja mengenang peristiwa sebagaimana
kejadian awalnya.Yang paling parah, tidak salah lagi adalah May si gadis kedai.
Sayangnya, ia pun ditulis dalam kegamangan hingga ending.
Kegamangan dalam novel ini bukan sesuatu
yang buruk. Inilah sebuah pilihan tema yang dengan berani diambil oleh
pengarangnya. Ia adalah bukti nyata bahwa demikianlah fenomena sejarah kita. Entahlah.
Postingan mengenai kehidupan politik kaka sangat bermanfaat, saya blogger juga dan menulis di Blog Edukasi dan juga mengelola situs yang bernama Situs pendidikan dan juga blog pendidikan Terimakasih semoga sukses!
BalasHapus