Senin, 23 September 2013

# Buku Harianku

Tanpamu Aku Bukan Apa-apa



TANPAMU AKU BUKAN APA-APA
Oleh Nailiya Nikmah

Barangkali kau punya pengasuh saat si kembar lahir, sehingga masih banyak waktu untuk menulis.
Kalimat tersebut adalah SMS yang kuterima dari seorang kawan. Tak ada angin, tak ada hujan, tak ada prolog sebelumnya. Entah apa yang sedang terjadi dengannya atau yang sedang ia pikirkan ketika mengirim SMS tersebut ke nomorku, aku senyum-senyum saja membacanya. Tanganku menekan tombol-tombol HP, membalas SMS-nya.
Semoga saja kawanku tersebut membaca tulisanku yang ini karena sesungguhnya jawabanku beberapa waktu lalu tidak terlalu tepat dan tidak begitu jujur.
Si kembar lahir tepat ketika semangat menulisku sedang tinggi-tingginya. Sebelumnya aku sempat mengalami fase kegelapan, demikian aku menyebut masa-masa aku stagnan menulis dan bersastra. Fase itu menimpaku setelah aku menikah. Mungkin masa beradaptasi. Saat itu yang ada dalam pikiranku hanyalah bagaimana agar aku bisa lulus kuliah S1 tetap sesuai targetku (3,5 tahun) – aku menikah ketika masih kuliah dan masih ingin meneruskan ke S2, bagaimana agar aku bisa menjadi istri dan ibu yang baik dan bagaimana agar keluarga kecilku hidup bahagia sejahtera selamanya (seperti ending dongeng-dongeng ).
Sepertinya aku memegang standar yang terlalu ideal tentang istri dan ibu yang baik. Aku tidak lagi memiliki waktu untuk keluar bersama teman-teman se-gank, aku tidak punya waktu lagi untuk menulis banyak hal kecuali beberapa puisi galau, aku bahkan tidak terlalu banyak lagi membaca buku kecuali buku tentang merawat diri, merawat bayi, dan buku resep masakan. Waktuku habis untuk rumah tangga dan kantor. Belakangan aku pikir mungkin bukan karena aku tak punya waktu lagi melainkan karena aku tidak menginginkannya sekuat aku menginginkannya dulu.
Fase kegelapanku berakhir setelah aku menyelesaikan studi S2-ku. Saat itu anakku sudah dua dan aku sudah mendapat pekerjaan tetap. Aku mulai sering diserang ide. Aku katakan diserang karena aku tidak mencari-carinya ke sana kemari. Ide itu mengepungku, minta segera dituliskan. Aku mencoba menulis cerpen lagi. Meski aku punya banyak ide, aku tidak punya banyak waktu untuk menuliskannya. Rasa ada yang menekan-nekan di pikiran, rasa ada yang mendesak-desak ingin dikeluarkan. Aku memilih tengah malam sebagai waktu menulis. Itupun kadang tidak cukup.
Cerpen pertamaku setelah masa kegelapanku adalah Episode Durian, dimuat 2 pekan setelah kukirim (thanks Om Sandi). Cerpen yang disambut baik oleh pembaca. Ulasan seorang kritikus membuat cerpen tersebut makin bermakna. Setelah itu, satu-satu cerpenku yang lain lahir. Sesekali aku juga menulis esai dan puisi. Saat itu suamiku bertindak sebagai manajer. Aku tahunya cuma menulis di rumah. Dialah yang mengirimkan cerpenku, mengecekkan hasilnya di koran minggu dan mengambilkan honornya jika cerpenku terbit. Selain menulis, aku sering diminta menjadi pembicara dalam beberapa acara seperti seminar, diskusi, workshop, dan bedah buku seputar sastra dan kepenulisan. Dalam hal ini, suamiku pula yang banyak mendorong dan membantuku. Aku juga mulai aktif di beberapa komunitas sastra dan kepenulisan, pernah juga memenangi lomba menulis cerpen bahasa Banjar.
Di tengah-tengah aktivitas mengajar dan menulisku, aku tetaplah seorang ibu yang sesekali menangis ketika menghadapi anak-anakku. Yang lagi sakit, lah. Yang dinakali teman di sekolah, lah. Yang mogok makan, lah. Yang minta tunggui selama sekolah. Yang menangis ketika dititip dengan Kakak penjaga. Semua sama dengan ibu-ibu lainnya. Mungkin salah satu tips dariku adalah tentang menyiasati waktu. Siasatku adalah tidur paling akhir dan bangun paling awal. Ketika semua penghuni rumah tertidur, aku mengerjakan semua aktivitasku. Membereskan rumah, menyetrika pakaian, mencuci pakaian, menyiapkan bahan mengajar, membaca buku dan mengetik naskah.
Yang paling berkesan adalah ketika aku akan menjadi penguji sidang mahasiswa (:aku seorang dosen). Berhubung saat itu tidak ada yang bisa dititipi, anak-anak kubawa ke kampus. Setengah jam menjelang sidang, aku masih sibuk menegejar kedua anakku dengan sendok yang berisi bubur ayam di halaman kampusJ Syukurlah pas giliran menyidang, ada mahasiswa yang mau kutitipi anak-anak. Alhamdulillah sidangku lancar-lancar saja.
            Si kembar lahir 3 tahun setelah Episode Durian. Si Sulung waktu itu berusia 6 tahun dan si adik 5 tahun. Ketika aku masih di rumah sakit, aku tersenyum membaca esaiku yang dimuat koran Radar (thanks om Randu). Esai tersebut kutulis dan kukirim menjelang kelahiran si kembar. Aku menganggap itu adalah kado melahirkan yang paling indah. Pasca kehadiran si kembar, aku masih bisa aktif. Aku sempat jadi juri lomba menulis cerpen bahasa Banjar. Beberapa karyaku diterbitkan dalam bentuk buku. Ada yang keroyokan, ada yang sendirian.
            Dengan adanya si kembar, otomatis anakku jadi empat orang. Mengurus empat orang anak tanpa pembantu dan masih sempat membaca dan menulis sepertinya adalah hal yang istimewa. Memang waktu anak pertama dan kedua aku sempat memakai jasa penjaga. Tapi tugasnya hanya menjaga anak-anakku selama aku mengajar. Semua pekerjaan rumah tetap aku yang mengerjakan (Salah satu prinsip di keluargaku adalah “Tidak Ada Pembantu is The Best”). Aku malah yang menyiapkan makan dan minum Kakak Penjaga. Bahkan pernah ada Kakak Penjaga yang tidak bisa naik motor. Aku lah yang mengantar jemputnya. Setelah anak-anakku sekolah, aku tidak lagi memerlukan Kakak Penjaga. Nah, pas giliran si kembar, sulit sekali mencari penjaganya karena tidak ada kakak Penjaga yang berani menjaga dua bayi sekaligus.
Lalu, bagaimana aku bisa tetap aktif setelah ada si kembar? Nah, aku pikir sudah saatnya aku mengemukakan rahasia dibalik semuanya. Tentu aku tidak boleh tinggi hati dan melupakan jasa orang-orang terdekatku. Semua itu tidak akan berjalan dengan baik jika aku tidak dibantu dan didukung oleh suami dan kedua orang tuaku. Kadang-kadang adikku ikut pula menjadi penjaga anakku. Kepada merekalah aku biasanya menitipkan anak-anak jika aku mengajar, rapat organisasi, mengisi acara atau sekadar mencari bacaan ke toko buku. Salam hormat dan terima kasih untuk mereka. Terlebih Ayahku, kakek si kembar. Beliau lah yang menjaga dan mengasuh si kembar akhirnya karena bertepatan setelah si kembar lahir, Ayah pensiun (ibuku belum pensiun). Sungguh hebat Ayahku, berani menjaga dua bayi sekaligus!
            Tidak hanya dalam urusan penjagaan anak-anak. Begitu pula dengan pekerjaan rumah. Semua turun tangan membantuku. Dalam hal ini aku benar-benar berterima kasih kepada kedua orang tuaku yang tak bosan-bosannya membantu. Aku bukan apa-apa tanpa mereka.
            Setelah membaca tulisanku, semoga kawanku paham, maklum dan memaafkanku kalau SMS balasanku tidak selengkap tulisan ini. Waktu itu aku hanya membalas: Pengasuh? Haha. Kedua orang tua kami tidak pernah mengizinkan ada pengasuh/pembantu di rumah kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar