Senin, 23 September 2013

# Kelas Fiksi

Pesan untuk Zelda



Pesan untuk Zelda

Zelda, tak ada hujan hari ini karena musim hujan telah berlalu, namun mendung masih menggantungi pikiranku. Mendung itu kamu, Ze!
Seperti yang pernah kusampaikan padamu, menjadi penulis bukan hanya sebuah pilihan bagiku. Kadang-kadang aku berpikir bahwa menjadi penulis adalah sebuah kewajiban. Ketika kita memiliki sesuatu yang berharga, yang seharusnya dibagi dengan orang lain, kadang menulis adalah suatu keharusan.
Katamu penulis adalah orang-orang individualis. Suka mengurung diri di kamar berjam-jam, mungkin berhari-hari hanya untuk memuaskan diri sendiri, menghasilkan tulisan yang bagus, yang belum tentu dibaca orang. Kamu salah besar, Ze. Menjadi penulis adalah menjadi arti bagi orang lain. Menjadi penulis adalah mengabdi sepanjang masa. Menjadi penulis akan membuat kita memerlukan orang lain. Menjadi penulis adalah terlebih dahulu menjadi pendengar yang baik. Sekalipun yang kita tulis adalah bualan!
Kau tahu Ze, ada pembual yang berhasil mengubah sikap dan gaya hidup beberapa orang dari hasil bualannya (kau sebut kita para pembual karena yang kita tulis adalah karya fiksiJ). Ada pula pembual yang bisa menyumbangkan hasil jualan bualannya untuk membantu sesama.
Mengapa ragu meneruskan langkahmu di jalan pena, Ze? Aku tahu, penulis juga butuh nasi. Jangan khawatir, Ze. Tidak sedikit pembual yang sungguh-sungguh, mereka tidak hanya mampu membeli nasi tapi juga sanggup membeli rumah dan mobil mewah. Tentu saja semua tidak semudah membalik tangan. Kita harus berusaha keras, Ze. Tidak ada yang kebetulan. Tidak ada yang tiba-tiba. Semua sudah ada jatahnya. Masih ingat Misteri DNA-nya Kazuo Murakami? Kupikir di gen kita telah tertulis kata “pembual seumur hidup”. Mungkin saat ini gen pembualmu sedang tertidur.
            Kaubilang kautakut, Ze? Takut apa? Takut pada kritikus? Menurutmu mereka seperti komentator bola yang sibuk mencela para pemain sementara mereka sendiri belum tentu bisa main bagus. Ah, Ze. Kau tidak boleh berpikir seperti itu. Para pemain bola belum tentu dapat melihat semua sudut pandang. Sementara Komentator bola tentu dapat melihat dengan bebas ke segala arah. Ada hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh pemain bola yang hanya bisa dilihat oleh komentator. Begitu juga dengan kritikus. Tentu mereka lebih objektif memandang karya kita dan penglihatannya lebih tajam daripada kita. Apa? Pembantaian? Kautakut karyamu dibantai, Ze? Lebih baik kau tidak usah menulis seumur hidup jika kau takut karyamu dibantai. Untuk apa menulis kalau karyamu tidak boleh dibaca orang lain? Jangan katakan kau ingin karyamu dibaca dan dipuji saja biarpun pujian itu cuma basa-basi “Bagus banget tulisanmu…” padahal di belakangmu sang pemuji mencibir.
Aku tahu Ze, tidak mudah menghasilkan sebuah tulisan. Mau puisi, mau cerpen, mau novel, semua sama-sama tidak gampang. Arswendo pasti lagi membual waktu nulis “Mengarang itu Mudah”. Tapi bukankah tidak ada yang tidak mungkin. Tidak ada yang sulit jika kita berusaha mempelajarinya. Kau sudah membuktikannya? Nah, bagus kalau kau sudah membuktikannya. Berarti Om Arswendo tidak membual. Sekarang apalagi? Kau takut hasil jerih payahmu dicemooh orang? Kupikir wajar saja kau takut dicela. Kupikir tidak ada manusia yang mau dicela tapi coba lihat sisi baiknya, Ze. Dengan celaan itu kita bisa tahu kelemahan kita. Dari celaan itu kita bisa memperbaiki karya kita. Kau menangis saat dicela? Tak apa, Ze. Menangis sajalah. Asal habis menangis segera kauperbaiki karyamu. Ketahuilah Ze, setiap karya akan menemukan nasibnya sendiri. Rasanya aku pernah baca hal demikian di buku Munsyi Sastra Maman S Mahayana. Kita sebagai pengarang tidak pernah bisa menebak apakah karya kita akan jadi monumen atau akan jadi sampah. Tapi aku yakin seyakin-yakinnya, ketika kita menulisnya dari hati, dengan niat terbaik kita, lalu berusaha sebaik-baiknya (dengan banyak baca dan belajar tekniknya), tidak akan ada yang sia-sia.
Kau tanya tentang niat terbaik? Sudah lupakah, Ze? Siapakah kita sebelum menjadi penulis? Siapakah kita sebelum menjadi pembual? Aku tak ingin menjelaskannya di sini. Aku yakin kau akan mengingatnya kembali. (Kecuali jika kau benar-benar lupa).
Masih ragu di jalan ini? Carilah kawan selain aku. Bersama kawan, segalanya akan lebih mudah. Ah, ya aku tahu kau juga takut berkawan dengan para pembual. Memang ada beberapa yang suka ngomong ceplas-ceplos, sikut situ sikut sini, hina sana hina sini, giliran ia yang dihina tidak terima sampai mati. Tapi itu tidak semua kan, Ze? Masih banyak yang baik-baik.
Sekarang, mana karya terbarumu, Ze? Boleh aku baca? Apa?! Sedang tidak mood menulis? Oh, kau masih menjadi budak mood, Ze? Bukankah kita sepakat untuk tidak bergantung lagi pada mood? Ayolah, Ze. Kita bukan pembual ketika kita sedang diam. Kita bukan penulis ketika kita sedang tidak menulis. Penulis itu adalah orang yang menulis, Ze. Sekali lagi “Yang menulis”!
Aku tunggu tulisanmu, Ze. Salam Pena!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar