Sabtu, 05 Oktober 2013
# esai
# Lemari Buku Nai
Perempuan yang Menggelisahkan ASA (Pembacaan Terhadap Buku Menolak Bayang Karya Ali Syamsudin Arsi
by
Nailiya Nikmah
on
12.19
Perempuan yang Menggelisahkan ASA*)
Oleh Nailiya Nikmah
JKF
“Bukankah kau perempuan?” ….
“Aku? Perempuan? Pertanyaan apa itu.”
/1/
Ada dua hal yang menjadi
kebutuhan pokok seorang pengarang. Pertama,
ia memerlukan saat-saat untuk mengeluarkan kegelisahan-kegelisahan yang
memenuhi ruang batinnya. Kegelisahan kreatif yang membuatnya menghasilkan salah
satu atau lebih bentuk karya sastra. Kedua,
ia memerlukan orang lain di luar dirinya untuk menikmati kreativitasnya
tersebut. Ia memerlukan pembaca-pembaca yang bisa menangkap dan menafsirkan
kegelisahan-kegelisahannya baik yang berada di permukaan saja maupun yang
menukik jauh ke kedalaman maknanya.
Membangun
tradisi menulis di tengah masyarakat yang sudah lekat dengan tradisi lisan
tidak mudah. Ini bertalian pula dengan tidak mudahnya membangun tradisi
membaca. Tanpa pengarang tidak mungkin ada karya sastra. Akan tetapi, karya
sastra tidak ada artinya jika tidak dinikmati oleh pembaca. Tradisi membaca
tidak hanya akan mencerahkan masyarakat sebagai penerima makna pesan-pesan tapi
juga akan mencerahkan pengarang sebagai pengirim makna pesan.
Kiranya,
dua tradisi inilah, menulis dan membaca yang menjadi fokus perhatian seorang Ali
Syamsudin Arsi (ASA). ASA banyak menulis tapi ia tidak berhenti sampai di situ.
Ia tidak lantas berpuas hati ketika ia mampu menuangkan kegelisahannya dalam
berbagai teks. Ia juga mengupayakan bagaimana cara agar kegelisahannya
tertangkap oleh orang lain. ASA tidak jarang melakukan “promosi-promosi” agar
orang lain bisa menemukan kegelisahannya; agar orang lain mau dan mampu membaca
hasil pemikiran panjangnya.
/2/
Menurut
Maman S. Mahayana (2012:18) teks terlahir dari sejumlah persoalan di
belakangnya dan sekian harapan di depannya. Ada proses panjang dan tidak seketika jadi.
Teks merupakan hasil perjalanan panjang sebuah proses pergulatan pemikiran
manusia pengarang dalam kepungan berbagai budaya yang diterima sekaligus
ditolaknya.
Pergulatan
pemikiran ASA dapat kita temukan (dengan tidak mudah) dalam buku terbarunya
yang ia sebut sebagai kumpulan cerpen berjudul Menolak Bayang (MB) diterbitkan oleh 2A Dream Publishing (September
2013). Dilihat dari bentuk dan gaya
penulisan, kumpulan cerpen ASA memiliki bentuk dan gayanya sendiri yang ketika
kita membacanya kita akan -- mau tidak mau -- teringat pada bentuk karyanya
yang lain, yaitu gumam ASA.
Ada banyak persoalan di
belakang kelahiran kumcer MB, salah satu yang menarik adalah persoalan
perempuan. Persoalan perempuan selalu menarik untuk ditulis dan dibaca. Menarik
karena dia memiliki dilema. Ketika “perempuan” tidak dilibatkan dalam
peran-peran penting di luar peran domestik dan peran “wajib”, ada kejanggalan
dan ketimpangan yang menggoda untuk dipertanyakan. Akan tetapi ketika mereka
dilibatkan dengan alasan keperempuanannya, hal ini justru akan semakin
mempertajam pandangan tentang perbedaan perempuan dengan laki-laki.
Cerpen
“Lelaki Penjaga” (2013:82) seperti terlahir dari pemikiran dilematis tersebut.
Tokoh aku (seorang perempuan) mencoba mewakili suara perempuan yang tidak mau kemampuan
dirinya dipertanyakan karena alasan dia seorang perempuan. Kutipan yang saya
tampilkan dalam bagian pembuka tulisan ini menjadi corongnya. Perempuan tidak
mau dipandang pantas atau tidak pantas, mampu atau tidak mampunya dia melakukan
sesuatu dari sudut keperempuanannya. Hanya karena dia perempuan, dia dianggap
tidak layak/tidak pantas melakukan sebuah penelitian dengan topik dan lokasi
penelitian yang berbahaya. Ketika tokoh lelaki menanyakan hal ini dengan
kalimat“Bukankah kau perempuan?”, tokoh
perempuan menjadi gusar dan menjawab,“Aku?
Perempuan? Pertanyaan apa itu.” Jawaban ini memberi gambaran keberanian
perempuan sekaligus kekesalannya terhadap pandangan orang lain yang meremehkan
dirinya. Tersimpan sebuah tekad untuk membuktikan kemampuannya dibalik jabatan
perempuan yang ia sandang.
Hanya
saja, ASA tidak membiarkan perempuannya menjadi gagah berani begitu saja. ASA
menghadirkan ancaman bahaya bagi tokoh perempuannya. Dalam cerpen itu tergambar
bahwa yang menyebabkan tokoh perempuan dalam bahaya tidak lain adalah para
lelaki hidung belang -- dari jenis
laki-laki. Ini menjadi ironis. Yang menjadi ancaman dalam cerpen ini adalah
lelaki, di sisi lain yang menjadi penyelamat tokoh perempuan dalam cerpen ini
juga laki-laki. Laki-laki menjadi pisau bermata dua bagi perempuan. Satu sisi
ia bisa menjadi pengancam, di sisi lain ia juga yang menjadi penjaga perempuan.
Perempuan
bukan makhluk yang kedudukannya berada di bawah laki-laki tapi kedudukan
perempuan juga tidak mungkin berada di atas laki-laki. Kurang lebih begitu yang
ingin disampaikan ASA dalam kumcernya MB. Perempuan terlalu menggelisahkan bagi
ASA dalam MB. MB ingin menghebatkan perempuan tapi keinginan menghebatkan itu
selalu berhasil dibelokkan kembali. Semacam ada keraguan, ketakutan, kekhawatiran
jika perempuan berhasil dihebatkan. Bacalah, ketika tokoh perempuan dalam
“Lelaki Penjaga” berhasil melakukan penelitiannya dengan memuaskan (mendapat nilai
A). Kemenangan itu tidak begitu saja bisa dirayakan oleh tokoh perempuan dengan
dirinya sendiri sebagai sebuah pribadi yang tunggal. ASA merasa perlu menaruh
embel-embel bahwa keberhasilan itu disebabkan oleh pertolongan tokoh lelaki
yang setia menjaganya. Tidak cukup sampai di situ, tokoh lelaki penjaga ini
pula yang berhasil mencuri hatinya. Maka kutipan kalimat “Ini semua merupakan
bagian dari emansipasi, kau mau mengerti?” menjadi tidak terlalu penting lagi
karena ia telah kehilangan ruhnya.
Hal
serupa juga tampak dalam “Puisi yang Melintas”(2013:53). Dua tokoh perempuan,
Nisda dan Ningsih ditampilkan sebagai perempuan cerdas yang memiliki minat sama
dalam hal konstruksi sebuah bangunan besar bernama kebudayaan. Pemahaman demi
pemahaman tentang terbentuknya tatanan besar kebudayaan yang lahir dari
semangat kebersamaan yang luar biasa diserap oleh Nisda dari Ningsih. Akan
tetapi lagi-lagi kecerdasan mereka harus disela oleh hal lain yang meski hanya
selintas tapi patut diperbincangkan, yaitu seorang laki-laki. Yang mereka
rumpikan adalah selera makan Kobar, tokoh laki-laki dalam cerpen ini. Ketika
Ningsih menyampaikan pemikirannya tentang kebudayaan, Nisda lebih banyak diam.
Lihat kutipan Nisda dengan hikmad
menyerap saja kata-kata yang disimaknya atau Nisda masih membisukan bibirnya. Anehnya, ketika Ningsih
menyampaikan “wawasannya” tentang selera makan Kobar, Nisda tidak bisa tinggal
diam. Ia segera membalasnya dengan “Dia juga suka yang pedas-pedas,”. Ending
cerpen ini pun menjadi bukti bahwa laki-laki harus menjadi power dalam MB. Kobar melintas dalam pikirannya.
Dalam
“Berlari Semakin Jauh” (2013:22) kita bisa melihat peran perempuan melalui
tokoh Siti Masmurah. Siti Masmurah
biasanya akan memainkan peran yang tidak gampang. Jam terbangnya sudah tidak
diragukan berhadapan dengan persoalan seperti ini. Perempuan dalam hal ini
berada di antara dua lelaki, Dulmas dan Burhan, yaitu suami dan anaknya
sendiri. Perempuan menjadi bijak dan adil dalam menyikapi perbedaan pandang dua
lelakinya. Sementara itu, “P tanpa
Bunga” (2013:68) menampilkan penderitaan beberapa perempuan sekaligus. Seakan
perempuan menyandang dosa turunan. Dosa turunan yang membuat ia harus susah
payah untuk bisa hidup normal, punya suami dan anak-anak yang lucu. Cerpen ini
menegaskan bahwa perempuan tidak akan “normal” jika ia tidak memiliki suami
(laki-laki) dan anak-anak yang lucu. Sekali lagi, anak-anak yang lucu. Itu artinya tidak cukup satu anak.
/3/
Teks
menyimpan begitu banyak makna tersembunyi dan itu hanya mungkin dapat
ditelusuri dan diungkap lebih lengkap jika kita melacak jejak pengarangnya. Mungkin
bingkai sosial, budaya, agama, yang melekati pengarangnya membuat MB
sedemikian. Mungkin saja banyak makna lain tentang perempuan yang tersembunyi
dalam Kumcer MB karya ASA. Dengan mengenali ASA lebih
jauh, lebih dari sekadar ia seorang penyair yang lahir di Barabai, yang karya-karyanya
adalah ini dan itu, yang pengalamannya ternyata begini dan begitu. Mungkin
perlu juga kita telusuri pemikiran-pemikirannya dalam jejak gumamnya yang
sekarang entah sampai mana. Tidak berhenti sampai persoalan bentuk dan gaya semata tapi hal lain
menyangkut persoalan apa yang ingin ASA sampaikan melalui gumamnya. Hal-hal
lain yang membuat kita meraba-raba momentum cerpen “Abah Aluh” yang ia tulis di
Sebamban, Juli 1991. Agar kita tidak mengerutkan kening saja ketika ASA
mengklaim Abah Aluh sebagai pahlawan zamannya? Mengapa bukan Mama Aluh,
misalnya?;) []
*) Disampaikan sebagai pengantar
Diskusi Malam Sabtu, 4 Oktober 2013 – 20:30 – selesai, Topik: Menolak Bayang
Menembus Bias Cahaya (Buku Menolak Bayang – Kumpulan Cerpen Ali Syamsudin Arsi)
di Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah (Pustarda) kota Banjarbaru
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar