Sabtu, 10 Mei 2014
Sebutir Impian yang
Terwujud
Catatan Kecil Nailiya
Nikmah
Sejak kecil,
satu hal yang termasuk dalam daftar impianku adalah menjadi penyiar radio.
Entah mengapa aku sangat ingin menjadi penyiar radio. Mungkin karena sejak
kecil hobiku adalah mendengarkan radio, mungkin pula karena aku sadar diri
wajahku pas-pasan jadi tidak mungkin aku jadi penyiar televisiJ
Aku pernah
menjuarai lomba baca puisi, pernah pula menjuarai lomba pidato (semacam dai
cilik). Aku bahkan pernah mewakili TPA ku untuk menyampaikan tausiyah di acara
peresmian sebuah TPA lain. Di SMP, aku selalu menjadi juara 1 lomba pidato,
begitu pula di SMA. Kalau ada acara yang memerlukan siswa menyampaikan pidato
atau sambutan, guru-guru biasanya memilihku (narsis.com).
Yang tak terlupa
dalam memori abu-abu putihku (bukan kisah kasih di sekolah;)) adalah ketika
dalam satu pekan ada lomba di sekolah dalam rangka bulan bahasa alias
memperingati sumpah pemuda, aku memenangi beberapa cabang lomba. Akibatnya aku
terpilih menjadi juara umum se-SMA ku. Aku juara lomba menulis berita, juara
pidato, dan juara lomba baca berita. Yang terakhir ini nih yang paling
berkesan. Aku masih ingat, waktu itu aku dapat no urut 2. Para
juri adalah guru bahasa Indonesia di sekolahku. Selesai aku membacakan berita
dengan gaya
yang sangat “penyiar TVRI”, guru-guruku tersenyum-senyum dan ada yang bilang,
“Langsung jadi penyiar RRI saja kamu…” Dalam hati aku sangat senang. Aku memang
sangat ingin menjadi penyiar radio. Kalimat guruku membuatku semakin ingin jadi
penyiar. Sayang aku belum menemukan jalan ke sana. Mungkin pula aku kurang gigih. Aku
belum berani melamar menjadi penyiar. Yang kulakukan waktu SMA hanya menjadi
fans radio swasta di kotaku. Aku hadir di beberapa acaranya dan menjalin
persahabatn dengan sesama fans. Kulihat penyiarnya keren dan cantik (ceritanya
dulu aku minderan).
Kesukaanku pada
radio, membuatku sering bermain sandiwara radio. Adikku adalah pendengar
setianya. Tiap malam aku mengudara dalam kamar. Ceritanya kubuat bersambung.
Seingatku kisahnya kisah persilatan. Aku begitu menghayati. Kalau ceritanya pas
tokohnya naik kuda, maka kubuatlah suara ringkikan kuda dari mulutku sendiri.
(lama-lama aku capek pake suara, akhirnya cerita kutulis…).
Setiap ada
pelatihan motivasi, aku selalu mencantumkan ingin menjadi penyiar radio sebagai
salah satu daftar impianku. Waktu aku pindah ke kota lain karena melanjutkan studi, aku
dengar salah seorang kawan akrabku berhasil menjadi penyiar radio. Betapa
irinya aku saat mendengarnya. Belakangan, aku sadar, mungkin aku memang tidak
ditakdirkan menjadi penyiar radio. Impianku kupersempit, okelah aku tidak bisa
jadi penyiar radio tapi setidaknya aku ingin merasakan bagaimana rasanya
mengudara, berbicara sendiri dengan suara sebagus-bagusnya tapi ada yang denger
di seberang sana.
Beberapa kali aku hampir mendapat kesempatan menjadi nara sumber di radio tapi selalu berbelok
alias tidak jadi.
Hingga tibalah
hari itu. Hari ketika seorang kawan menelponku. Aku diminta mengisi acara di
radio, temanya tentang seni budaya, terserah aku mau ngomong tentang apa. Saat
itu anak bungsuku sedang sakit dan rasanya tidak mungkin meninggalkannya.
Selain itu, aku sendiri kurang sehat. Tenggorokanku sakit, hidungku meler,
suaraku serak. Bagiku pastilah suaraku tidak sempurna. Akan tetapi hati kecilku
berkata, saat ini kamu diminta karena tugas organisasi dan sepertinya inilah
kesempatanu untuk mencapai salah satu impian masa kecil. Akupun menyiapkan diri
sebaik-baiknya. Mencari ide, menyusun kerangka, mengumpulkan referensi. Aku
memilih topik sastra daerah.
Rasanya tidak
percaya ketika aku sampai di halaman RRI. Lebih tidak percaya lagi ketika aku
memasuki ruangannya dan memasang peralatan siaran. Hei, here I am! Aku
terkenang guruku yang dulu pernah berkata Langsung jadi penyiar RRI saja… Oh Bu
Guru, apakah kautahu ucapanmu tersebut kini menjadi nyata walau hanya sekali
ini.
Selesai aku
siaran, aku berfoto dengan kru dan penyiarnya (salah satunya ternyata teman
kuliahku!). Yang menyenangkanku, sorenya ketika pulang kerja, suamiku memutar
suaraku saat sedang mengudara. Ternyata ia merekamkannya untukku. Malam itu akupun
narsis mendengarkan suara sendiri. Terima kasih Tuhan, kini aku sudah tahu
rasanya mengudara alias siaran…:) hehe.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar