Sabtu, 06 Oktober 2018

# esai # sastra

Mencarimu di Bawah Langit Beku


Penggalan sebuah surat yang kutulis sehabis pertunjukan Musikalisasi Puisi di Bawah Langit Beku

---
Sedang apa kau sekarang?
Apa yang kau harapkan dari sebuah pertunjukan puisi? Kedamaian? Keindahan? Sesuatu yang menyentuh kalbu? Perenungan? Siraman jiwa?





Sungguh aku tak berani menyebutkan harapan yang muluk-muluk terhadap sebuah pertunjukan puisi. (Sama takutnya dengan berharap yang muluk-muluk terhadap kehidupan ini). Biasanya aku cukup berharap acara semacam itu mampu mengurangi sedikit dahaga dalam jiwa, mengusir penat, melabuhkan angan ke tempat semestinya. Minimal masih bisa meyakinkan diriku sendiri bahwa jalan yang kupilih bukan jalan yang keliru.
Malam ini, ketika surat ini kutulis, aku baru saja pulang dari menonton sebuah pertunjukan puisi di kota kita. Tak sabar untuk segera menceritakannya padamu (entah kaupaham atau tidak), kutulislah surat ini.
---
tiket

Apakah kau sudah makan? Kalau belum, makanlah dulu. Makan yang banyak. Kaubilang masakan temanmu enak bukan?

Oiya, Karya-karya yang dibawakan malam 5 Oktober 2018 tersebut adalah karya-karya terbaik penyair Y.S. Agus Suseno. Apa? Kau tidak mengenalnya? Ah, ya, aku lupa. Kamu bukan orang sastra. Kapan-kapan kamu cari tentang dia di mesin pencarian andalanmu, hehe.
Dari begitu banyak karya puisinya, yang digarap dan dipentaskan malam itu ada 9 puisi. Semula aku pesimis bisa menikmati sembilan  puisi berturut-turut dalam sekali pementasan. Aku lupa membawa bekal minum dan kudapan. Aku kira aku bakal didera bosan.


Mungkin kaubertanya-tanya, jika punya prasangka buruk begitu, mengapa aku mau membeli tiketnya (@Rp25.000,00) pada hari pementasan? Tunggu, ada yang belum aku ceritakan padamu. Beberapa hari sebelumnya, aku melihat cuplikan acara tersebut di akun medsos penyairnya. Di antara sekian rasa pesimis, terselip optimistis dalam hatiku. Seakan ada yang menarik-narik jiwa agar aku menonton acara bertajuk musikalisasi Puisi “Di bawah Langit Beku”dan Pembacaan Puisi oleh Y.S Agus Suseno.
Singkatnya, aku membeli tiket, duduk manis di bangku lalu menonton pertunjukan.
---

Sedang apa kau sekarang? Pasti jawabanmu, “Sedang membaca suratmu.”

Aku lanjut cerita, ya. Acara dibuka langsung oleh sang penyair Y.S. Agus Suseno. Dia berperan sebagai MC sekaligus menyampaikan kata pengantar yang manis, nyaris tak ada kalimat yang percuma. Dia sempat bilang, inilah musikalisasi versi dia. Tidak ada sambutan-sambutan dari pihak manapun lagi. Dia menyampaikan rencana atau skenario malam itu, termasuk pembacaan puisniya yang berbahasa Banjar tentang situasi terkini.

Setelah itu kami larut dalam puisi. Tiap selesai satu puisi aku selalu bilang dalam hati, ini puisi yang paling aku sukai. Itu terjadi berulang hingga puisi terakhir. Aku terpesona.
Ketika puisi pertama ditampilkan, ada sesuatu dalam hatiku. Ini ,,sungguh indah. Di sela-sela puisi tersebut dilagukan, ada selingan ungkapan hati mereka. Ada cerita di balik layar. Ada cerita di balik makna puisi yang mereka aransemen dan bawakan. Mereka: Isbey, Zay, Finni dan Ole. Mereka membuat suasana malam itu begitu spesial. 

Aku tidak percaya saat itu sedang ada di kota kita. Acara sekeren ini ada di kota kita? Kamu di mana? Meski kamu gak ngerti puisi, aku yakin kamu akan berkomentar “Sound system-nya keren, gila, bagus banget.” Atau “Kostumnya lucu, serasi, cantik” atau “Berasa sedang duduk di kafe minum kopi” atau "Suara vokalisnya bening banget", "Petikan gitarnya mantap", atau ungkapan lainnya selain puisi tentu saja.


Oiya, ini judul-judul puisinya:
Kata Pengantar untuk Sajak Cinta
Kota-kota pun Tertidur
Hujan
Perjalanan Pantai
Pondok Kulit Kayu di Pegunungan Meratus
Sajak Cinta
Menulis Sajak Membuka Cakrawala Membaca Sejarah
Di Redup Cahaya Bulan Mati
Di Bawah Langit Beku

Dari sembilam puisi yang terpilih untuk dibawakan malam itu, aku menangkap sebuah perenungan dan pencarian yang dalam tentang hidup dan kehidupan,; hakikat manusia, agama, Tuhan, rumah, kota, hutan. Di puisi Hujan, ketika sampai bait terakhir, aku tidak tahu bagaimana tiba-tiba sudut mataku basah. .../Orang-orang menepi di masjid ini./ Entah kalimatnya, entah nadanya, entah keduanya menyatu meluruhkan dinding tebal dalam hatiku.  Kubaca catatannya, puisi hujan ditulis 1985. Aku masih 5 tahun ketika puisi itu lahir. Bagaimana aku bisa menangis ketika malam ini puisi tersebut dimusikalisasikan?



Apa kabar, Cinta?


Jangan kurung puisi-puisi dalam kepalamu, tapi bebaskan maknanya dalam hatimu.

Hingga tiba puisi Sajak Cinta aku tak bisa menahan gejolak. Cinta selalu membuat kita menjadi lebih muda, remaja, ceria, bahagia, penuh harapan dan mimpi. Nada yang paling berbeda ada di puisi ini. Aransemennya membuat aku mengingat diriku dalam bingkai yang kaubuat, yaitu masa remaja. Aku mendengar nada itu dan aku melihat kebahagiaan itu dalam puisi Sajak Cinta. Aku ternganga. Bagaimana kebahagiaan sajak cinta bisa mewakili Agus malam itu? Semakin akhir, semakin serius dan berat makna yang kutangkap dari aransemennya. Puisi-puisi terakhir sukses membuat airmataku luruh; ada rasa yang tak dapat kuungkapkan dengan kata-kata.. Awesome!



bersama sastrawan  Hatmiati Masyud dan Sandy Firli

Kamu di mana?
Selama pertunjukan, beberapa kali aku membalikkan punggung dan kepalaku; kautahu, para penonton, para penikmat puisi, meraka begitu khidmat dan khusyuk. Nyaris tidak ada gangguan dari penonton. Dalam perjalanan pulang, aku tak putus-putus dari kesan berasa habis nonton konser ekslusif.  Ini pertunjukan terbaik yang pernah kutonton.

Aku sempat mewawancari Dr. Hatmiati Masy'ud, sastrawati Kalsel sekaligus dewan komisi pemilu, aku tanya bagaimana komentar dia terhadap pertunjukan. Kulihat beberapa orang penting malam itu hadir menyaksikan pertunjukan.


bersama Y.S.Agus Suseno dkk

Dia sempat terdiam. Aku tahu apa yang ia rasakan. Aku lihat pancaran ketakjuban di wajahnya. "Gurih" jawabnya sambil tersenyum renyah.

Aku rasa, ini bukan semata pencapaian seorang Y.S. Agus Suseno atau pencapaian 4 orang berkostum nuansa merah tersebut, melainkan pencapaian Kalimantan Selatan, pencapaian Indonesia. Usai pertunjukan ada adegan foto dan salam selamat. Lagi-lagi aku dikepung rasa "Di mana aku? Apakah benar aku sedang di kotaku? Dan bagaimana jawaban pertanyaanku di awal tulisan ini? Ah, kautahu aku mendapatkan semua hal dari pengharapan yang muluk-muluk itu malam ini.

Kau tahu apa yang paling kusesali dalam pertunjukan itu? Satu-satunya yang kusesali adalah kau tidak ada di situ malam itu. Harusnya kau ada, turut menjadi saksi keindahan kota kita di bawah langit beku. []




Tidak ada komentar:

Posting Komentar