Rabu, 30 Januari 2013
Entrepreneurship
dalam Karya Religi Berkonteks Lokal
(Sebuah Pembacaan
Novel Bulan Sabit di Langit Burniau)
Oleh Nailiya Nikmah,
S.Pd., M.Pd.
Merantau atau
pergi ke suatu tempat/negeri yang lain untuk mencari “sesuatu” kadang menjadi
pilihan wajib bagi orang-orang yang berpikiran kreatif. Tak jarang, manusia
menemukan titik cerahnya setelah ia pergi ke tempat lain. Dalam jagat kisah, Malin Kundang – terlepas
dari label anak durhaka yang ia terima – pun telah membuktikan hal ini. Kisah
yang melegenda ini secara tersirat menyampaikan bahwa orang Minang adatnya
merantau. Konsep merantau pun ada dalam budaya masyarakat Banjar. Adanya
istilah madam cukuplah menjadi salah
satu pembukti hal ini. Dalam Kamus Banjar Indonesia terdapat istilah madam ‘merantau’; bamadaman ‘bepergian’(Hapip, 2001:114).
“Sesuatu” yang
dicari di perantauan tak harus berupa harta benda atau materi yang terlihat.
Ilmu pun adalah “sesuatu” yang bisa diperoleh dengan cara pergi ke negeri
seberang. Inilah yang dilakukan Rasyid, tokoh utama dalam novel Bulan Sabit di Langit Burniau karangan
Hafiez ‘Aliyatul Anwar. Rasyid pemuda asli Martapura diberangkatkan oleh Haji
Syamsuddin ke Tanah Jawa untuk menutut ilmu.
Di kota Apel, Rasyid tak
hanya berkesempatan menuntut ilmu. Persis seperti apa yang ditengarai oleh salah
satu tokoh dalam novel ini, yaitu Pak Haji, Rasyid memiliki jiwa entrepreneur.
Jadi – meminjam istilah Ahmad Tohari – Rasyid ini adalah cerita yang
mengeksplorasi santri salaf metropolis dan musafir yang sadar entrepreneurship.
Menurut
Suharyadi, dkk (2008: 9-10), semangat kewirausahaan dibangun berdasarkan asas
pokok sebagai berikut : a. kemauan
kuat untuk berkarya (terutama dalam bidang ekonomi) dan semangat mandiri; b. mampu membuat keputusan yang tepat dan berani
mengambil risiko; c. kreatif dan
inovatif; d. tekun, teliti dan
produktif; serta e. berkarya dengan
semangat kebersamaan dan etika bisnis yang sehat. Jika kita cermat membaca
BSdLB kita akan menemukan hal-hal tersebut.
Ambillah satu
contoh berikut, Ia berniat jika nanti
memang uang itu tak ia gunakan, ia akan kembalikan uang itu kepada Pak Haji. Ia
tak nyaman jika harus terus bergantung hidup kepada orang lain yang bukan
siapa-siapa baginya (hlm 19).
Di Malang, ia
bekerja menjadi tukang ketik di sebuah rental. Ia juga bekerja di Dinoyo
Printing, di bagian penyablonan (hlm 19). Rasyid tidak menggunakan uang kiriman
Pak Haji jika tidak mendesak, ia bahkan berniat mengembalikan uang Pak Haji.
Secara keseluruhan saya melihat novel ini sebagai novel religi berjiwa
entrepreneurship.
Pada bagian
pertama diceritakan kilas balik riwayat keberadaan Rasyid di kota
Malang. Ibu
Rasid meninggal setelah melahirkan Rasyid dan saudara kembarnya. Tak berapa
lama, ayahnya meninggalkannya pergi bersama saudara kembarnya itu. Rasyid
dititipkan kepada Julak Basun. Kehidupan Rasyid bersama Julak Basun adalah
episode yang penuh perjuangan. Sejak kecil, Rasyid bangun sebelum fajar. Ia dan
Julak Basun membuat kue kemudian menjajakannya dan menitipkannya ke
warung-warung. Sepertinya Julak Basun lah yang menanamkan “bakat” entrepreneur
dalam diri Rasyid. Saat Rasid 14 tahun, Julak Basun meninggal. Ia diasuh oleh
Kakek Abdul Ja’far – ayah dari ibu Rasyid. Pengasuhan Kakek Ja’far merupakan
penyeimbang didikan Julak Basun. Kakek Ja’far mendidik Rasyid agar tahu diri
sebagai hamba Allah. Kakeknya pula yang membuat Rasyid mondok di Darul Hijrah asuhan Kiai Muhammad Karim Mubarak. Pondok
yang membuat ia berkesempatan nyantri ke Hadramaut (hlm 12-13).
Selepas mondok,
atas petuah Kakeknya, Rasyid tak lantas berbelok menjadi ulama. Ia tetap mantap
di jalur “pengusaha”. Rasyid pun bekerja di toko intan milik saudagar kaya,
Haji Syamsuddin yang tak lain adalah teman kakeknya. Sifat-sifat baik Rasyid
membuat Haji Syamsuddin terpesona. Ia tidak hanya menguliahkan Rasyid tapi juga
ingin menikahkan Rasyid dengan putrinya yang cantik (hlm 6).
Di bagian kedua
diceritakan pertemuan Rasyid dengan Zahra setelah sebuah insiden “kebetulan”.
Tak ada yang kebetulan di dunia ini. Pada bagian selanjutnya akan terlihat
bahwa insiden ini adalah sebuah tanda bagi kehidupan Rasyid di masa depan.
Bagian ketiga menggambarkan secara bertahap keistimewaan Zahra. Perangainya yang ramah, tutur kata lembut,
santun, sopan, gaya
berpakaiannya bear-benar berbeda dari yang lain, muslimah dan cantik
buuuaaanget…apalagi ia putri seorang Kiai (hlm 50).
Bagian keempat
memuat dua hal yang kontras. Rasyid menerima lamaran Kiai Syamsuddin untuk
Amelia sedangkan di pihak lain, Zahra telah jatuh hati dengan Rasyid, pemuda
Banjar yang telah menolongnya. Konflik cinta segitiga pun mulai terlihat di
bagian kelima dan keenam, antara Rasyid, Zahra dan Amelia. Di bagian ini
ketiganya, dikisahkan sama-sama pulang kampung. Uniknya, Zahra bertemu dengan
Amelia di ruang tunggu keberangkatan. Kepulangan Rasyid adalah kepulangan
Kakeknya ke alam baka. Pada bagian tujuh dan delapan diceritakan kepergian sang
kakek untuk selamanya.
Bagian sembilan
masih mengisahkan kepedihan Rasyid ditinggal Kakeknya. Di bagian Zahra,
dikisahkan rencana reuni pondok. Di bagian ini lah Rasyid bertemu lagi dengan
Zahra, kali ini Rasyid bisa dengan lengkap mengetahui identitas Zahra yang
ternyata adalah putri Kiai nya. Zahra yang jatuh cinta pada Rasyid sejak
pandangan pertama, tak bisa menerima pinangan orang lain. Ia telah berharap
Rasyid lah jodohnya. Bagian 10 dan 11 memuat kesalahpahaman Zahra terhadap
pinangan lelaki lain yang berujung penolakannya pada pinangan tersebut. Rasyid
sendiri seandainya belum dijodohkan dengan Amelia pun sebenarnya tertarik
dengan Zahra (hlm 162).
Di bagian 12 dan
13, keinginan Rasyid untuk bisa bertemu dengan Amelia menjadi kenyataan. Ia
bertemu untuk pertama kalinya dengan Amelia ketika gadis itu membeli beras di
kios Acilnya. Pernikahan dipercepat karena Haji Samsuddin tak berumur panjang.
Sebelum meninggal, Haji Samsuddin menikahkan Rasyid dan Amelia.
Sayang,
kebahagiaan keduanya tak berlangsung lama. Di bagian 14, 15 dan 16, Rasyid
mengalami kecelakaan. Kapal yang ia tumpangi dari Jawa ke Banjarmasin mendapat musibah. Rasyid
menghilang tak diketahui rimbanya. Rasyid termasuk dalam daftar orang hilang
(hlm 217). Amelia sangat terpukul, apalagi ia dalam kondisi hamil. Akhirnya,
Zaki, anak mereka terlahir tanpa mengenal ayah kandungnya.
Sepeninggal
Rasyid, Amelia menikah lagi dengan Mujahid. Masalah pun muncul, ternyata Rasyid
tidak meninggal dalam kecelakaan itu. Pada bagian 17 dan 18 Rasyid muncul dan
menceritakan kejadian yang menimpa dirinya sampai ia bisa kembali lagi. Ternyata
Rasyid sempat kehilangan memori. Di bagian 19 dituliskan Amelia menemukan kembali
cintanya yang hilang. Hal ini membuat Amelia tak mampu menahan gejolak jiwanya.
Ia menemui Rasyid untuk mengungkapkan isi hatinya. Tapi keimanan Rasyid membuat
Rasyid mampu menahan dirinya. Ia berusaha tidak menghiraukan ekspresi muka
mantan istrinya supaya tidak ikut terbawa perasaan (hlm 252).
Rasyid
menegaskan pada Amelia bahwa mereka bukan suami istri lagi. Yang mestinya
Amelia lakukan adalah memuliakan suaminya suaminya sekarang, yaitu Mujahid.
Mereka harus menerima kenyataan ini sebagai sebuah ketetapan dari Allah. Pertemuan Amelia dengan Rasyid ternyata
diintip oleh Mujahid. Setelah Amelia pergi, Mujahid pun menemui Rasyid. Tak
sedikitpun Mujahid menunjukkan sikap marah. Mereka berbicara antara sesama lelaki
yang mencintai Amelia. Mujahid menghormati Rasyid sebagai orang yang dicintai
amelia. Sikap ikhlas Mujahid membuat Rasyid bangga terhadap orang yang akhirnya
ia panggil Dangsanak. Rasyid pun
merasa bahwa Mujahid adalah orang yang pantas menjadi suami Amelia. Ia yakin,
Mujahid bisa membahagiakan Amelia. Hal ini membuat Rasyid lega. Ia dan Mujahid
sepakat untuk sementara antara Rasyid dan Amelia tidak usah bertemu.
Bagian 20 adalah
bagian yang di dalamnya terdapat sebuah kisah lama, legenda urang banua Banjar,
manakib Syaikh Muhammad Arsyad AlBanjary, Datuk Kelampayan. Kisah tersebut
digunakan oleh Mujahid untuk membujuk hati Amelia yang sedang “galau” karena
kemunculan Rasyid. Hingga akhirnya hati Amelia pun sadar dan kembali ke bilik
hati Mujahid, suaminya yang sekarang. Masalahnya sekarang adalah bagaimana
dengan si kecil Zaki? Ya, Zaki anak Amelia dengan Rasyid. Di Bagian 21 Rasyid
dipertemukan dengan Zaki oleh neneknya, yaitu ibu dari Amelia. Pada saat itu,
sang nenek juga menawari Rasyid menjadi konsultan bisnis rumah makannya. Pada
saat yang hampir bersamaan Rasyid juga ditawari menjadi manajer tambak oleh
Kiai Karim. Di bagian 22 dan 23 pertemuan Rasyid dan Zahra mendominasi alur.
Hingga di bagian 24 Kiai Karim meminta Rasyid menikahi Zahra.
Novel BSdLB
tergolong novel religi karena jika kita membacanya dengan seksama akan terasa
sekali nuansa religi tersebut. Unsur religius tersebut tidak hanya karena novel
tersebut berlatar Martapura yang sudah dikenal sebagai kota santri tapi secara keseluruhan,
tokoh-tokoh yang terdapat dalam BSdLB berkarakter kuat sebagai muslim dan
muslimah yang taat. Tokoh utamanya, Rasyid adalah pemuda soleh yang begitu
sering mendapat ‘kebetulan’yang menguntungkan. Sebagai seorang lelaki, Rasyid
merupakan tokoh yang nyaris sempurna dalam novel ini. Tokoh-tokoh lain pun
mirip dengan Rasyid. Terutama Mujahid, rival Rasyid dalam persoalan Amelia.
Mujahid tidak kalah soleh dibanding Rasyid. Tokoh-tokoh perempuannya pun
solehah-solehah dan cantik-cantik dengan hati lembut seperti salju.
Hampir tidak ada
konflik yang tajam dalam novel ini, kecuali ketika Rasyid hilang dalam sebuah
kecelakaan kapal dan konflik Amelia dengan Mujahid pasca kemunculan Rasyid.
Uniknya, konflik tersebut justru lebih mengarah pada konflik batin Amelia.
Kisah Syarifah akhirnya menempatkan Mujahid pada posisi pemenang di hati
Amelia. Lantas, bagaimanakah dengan Rasyid? tidak salah lagi, yang menjadi
pendamping Rasyid adalah Zahra. Novel ini mengingatkan kita pada gaya karya-karya Kang Abik
(Habiburrahman Elshirazy). Karya yang tidak memunculkan konflik antara tokoh
antagonis dan protagonis seperti konflik cerita pada umumnya. BSdLB persis
seperti karya-karya Kang Abik yang menghadirkan dunia malaikat ke dalam cerita.
Di satu sisi, hal ini bisa menjadi kelemahan jika pengarangnya tidak
menyadarinya. Di sisi lain, hal ini mungkin menjadi kekuatan jika memang
pengarangnya memilih dengan sadar alur yang ia pilih untuk ditempuh para
tokohnya.
Maka, Rasyid
telah membuktikan bahwa sesuai dengan janji-Nya, perempuan yang baik untuk
laki-laki yang baik, laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik.
*disampaikan pada Bedah Novel Bulan Sabit di Langit Burniau, MAN 2 Model Banjarmasin, 27 April 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar