Rabu, 30 Januari 2013
Inikah Kasudahannya?
(Tentang Cerpen “Kada
Bakasudahan” Vs “Karindangan”)
Oleh Nailiya Nikmah
JKF
Sudah
sepekan ini perbincangan tentang kecurigaan terhadap cerpen “Kada Bakasudahan”
yang ditulis oleh Nur Hidayah mewarnai pemberitaan di kolom Seni Budaya Media
Kalimantan. Hal ini diawali oleh Tajuddin Noor Ganie (TNG) (Media Kalimantan, 6
Desember 2010) yang memaparkan hasil temuannya, yaitu 7 paragraf di “Kada
Bakasudahan” yang mirip dengan paragraf di cerpen “Karindangan” karya Seroja
Murni.
Temuan
tersebut cukup mengejutkan saya tetapi saya belum bisa berkomentar apa-apa
karena menurut saya semuanya masih kabur. 7 paragraf, istilah hypogram dan
beberapa kalimat lain yang ditulis TNG membuat saya ragu-ragu mengambil
simpulan apapun terhadap karya Nur Hidayah.
Saya
mencoba mengingat kembali suasana sidang dewan juri saat mencari pemenang lomba
cerpen tersebut. Saat proses penjurian berlangsung kami tak tahu cerpen A
ditulis oleh siapa, cerpen B ditulis oleh siapa dan seterusnya karena nama
pengarang telah dihilangkan oleh panitia sebelum cerpen-cerpen tersebut
diserahkan ke tangan kami. Betapa
menyenangkan melakukan penilaian tanpa mengetahui siapa nama-nama dibalik
penulisan cerpen tersebut. Perdebatan seputar ide mana yang paling menarik, diksi
yang tepat, alur yang bagus dan sebagainya mewarnai proses penjurian. Dalam hal
ini istilah unsur yang kami pakai adalah bahasa, bentuk dan isi. Ada cerpen yang idenya
biasa saja tapi dari segi diksi (bahasa) sangat kuat, ada yang sebaliknya dan ada juga
yang bagus semua unsurnya (selengkapnya baca buku Aruh Manyanggar Banua, 2010:55-61).
Menurut
saya, Cerpen “Kada Bakasudahan” cukup menarik dilihat dari ide, alur dan terutama
diksinya. Kesan “Banjar”nya pun sangat menonjol. Setelah cerpen “Karindangan”
karangan Seroja Murni sampai ke tangan
saya, mulailah saya membaca, membandingkan dan menganalisis kedua cerpen
tersebut. Pertama, unsur tema. Tema
besar kedua cerpen ini mirip, yaitu tema percintaan. Yang membedakan adalah
“Karindangan” mengangkat tema percintaan orang dewasa sedangkan “Kada
Bakasudahan” mengangkat tema percintaan ‘orang muda’. Yang kedua, segi alur. Cerpen “Karindangan” bercerita tentang
seorang perempuan lajang yang mencintai dan menginginkan seorang lelaki untuk
menjadi suaminya. Sayangnya lelaki tersebut sudah beristri dan beranak. Meski
sang perempuan sudah tahu lelaki idamannya sudah ada yang memiliki, ia tetap
menaruh harapan. Wacana poligami pun muncul. Ia bahkan mendatangi ‘calon
madunya’ untuk meminta restu. Proses ini lah yang menjadi pusat cerita cerpen
ini. Sementara itu pada cerpen “Kada Bakasudahan”, diceritakan seorang
perempuan remaja yang jatuh cinta pada seorang lelaki lajang. Ia mendatangi
rumah lelaki tersebut dengan maksud menyampaikan isi hatinya pada si lelaki. Proses
inilah yang jadi pusat cerita. Ia terkagum-kagum pada segala keindahan yang ada
di rumah lelaki tersebut. Di akhir cerita ada sebuah kejutan ternyata lelaki
tersebut sudah mempunyai pacar. Hancurlah hati sang perempuan.
Ketiga , kedua cerpen ini memiliki
kemiripan pada hal tak sampainya sebuah hasrat untuk memiliki seseorang yang
dicintai. Kemiripan atau bahkan kesamaan ide cerita bukanlah sebuah kesalahan.
Tak sedikit penulis membuat sebuah karya yang idenya mirip dengan karya orang
lain padahal ia tak pernah membaca karya orang tersebut. Hal inilah yang membuat
saya sampai pada detik-detik terakhir sebelum membaca “Karindangan” punya
Seroja Murni – selalu bersikap
positif dan berprasangka baik kepada Nur Hidayah.
Setelah
itu saya meneliti paragraf-paragraf yang dianggap mirip oleh TNG. Sayapun
memberanikan diri membuat simpulan (atas
nama pribadi) bahwa Nur Hidayah telah
melakukan pengutipan terhadap paragraf-paragraf tersebut. Di dunia kepenulisan,
pengutipan boleh dan bisa saja dilakukan, khususnya pada karangan non fiksi
atau karangan ilmiah. Tentu saja, ada tata cara dan teknik pengutipan yang
harus dipatuhi. Pada karangan fiksi pun sebenarnya pengutipan boleh dilakukan
untuk mendukung cerita dan tentu saja
ini pun ada aturan dan etikanya. Pengutipan yang tidak dilakukan dengan
etika pengutipan yang benar bukanlah pengutipan yang diperbolehkan dalam dunia
tulis-menulis. Pengutipan yang dilakukan Nur Hidayah tidak hanya mendukung
cerpen “Kada Bakasudahan” tetapi juga menjadi kekuatan cerpen ini. Sebagai
contoh, paragraf awal yang begitu memesona tak lain adalah paragraf awal cerpen
“Karindangan”.
Ketidakjujuran pengarang “Kada Bakasudahan”
membuat beberapa pihak jadi kesal, marah dan kecewa. Secara hiperbolik HE
Benyamin pun melampiaskannya kepada dewan juri sehingga nila setitik telah merusak susu sebelanga. Berkenaan dengan tulisan
HEB di Media Kalimantan, 12 Desember 2010,
saya memberi tanggapan sebagai berikut: Pertama,
juri sudah berusaha melakukan penilaian seobjektif mungkin. Kedua, juri sudah berupaya melakukan
penilaiai sesuai dengan kapasitas masing-masing sehingga tidak benar jika
dikatakan juri tidak serius mengemban amanah. Menangnya sang plagiat bukanlah
sesuatu yang disengaja oleh juri. Ketiga,
pendapat HEB yang menyatakan “…seandainya, cerpen peserta lomba Aruh Sastra
tersebut plagiat dari cerpen yang tidak pernah dipublikasikan, maka hal seperti
ini dapat dimaklumi.” menurut saya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Keempat, yang kita cari sekarang adalah
solusi bukan bacakut papadaan.
Tulisan HEB menurut saya kurang memberikan solusi tapi malah menyiratkan kesan
ketidaksenangannya terhadap person
(mohon maaf kalau saya keliru menafsirkan.) Kelima,
seharusnya HEB (dan siapapun) melakukan penyorotan yang seimbang. Tidak hanya
mengarahkan jari telunjuk kepada juri tapi juga menyadarkan si plagiator dan
menyuarakan serta mensosialisasikan betapa berdosanya perbuatan memplagiat
karya orang lain.
Berdasarkan
uraian di atas, dengan segala kerendahan hati, kami (:saya, karena belum ada
sidang formal dewan juri) memohon maaf
apabila terpilihnya cerpen “Kada Bakasudahan” menjadi salah satu nominasi dan
menjadi juara harapan II Lomba Menulis Cerpen Bahasa Banjar dalam rangkaian
kegiatan Aruh Sastra Kal-sel VII dianggap merugikan banyak pihak. Izinkan
kami mengulang kalimat terakhir kami di Manyanggar
Banua: 2010:61 “Tak ada gading yang tak retak, tak ada gading yang tak
retak!” Kami juga mengucapkan terima kasih kepada TNG yang telah menemukan
data/bukti seperti yang sudah saya sebut di awal. Secara pribadi saya mencoba
menyapa Nur Hidayah untuk berbesar jiwa ‘menerima’ kenyataan ini.
Semoga
tulisan ini dapat dianggap sebagai
langkah awal upaya positif dan solutif dari kami.
Flamboyan, 12 Desember 2010.
sastra
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar