Rabu, 30 Januari 2013
# esai
# makalah
(Analisis Sudut Pandang dalam Novel Pengikat Surga Karya Hisani Bent Soe)
by
Nailiya Nikmah
on
04.38
Ketika Asma Curhat*
(Analisis Sudut
Pandang dalam Novel Pengikat Surga Karya
Hisani Bent Soe)
Oleh Nailiya Nikmah
JKF
Karya
sastra diciptakan dengan daya kreativitas dan imajinasi. Kreativitas itu
merupakan upaya pengarang melahirkan pengalaman batin dalam karyanya sekaligus memilih unsur-unsur terbaik dari pengalaman
hidup manusia yang dihayatinya. Pengalaman-pengalaman
tersebut diramu dengan imajinasi pengarang. Novel merupakan salah satu jenis
karya sastra. Novel secara fisik memberi ruang yang luas kepada pengarang untuk
menuangkan sebanyak-banyaknya pengalaman hidup yang diramunya dengan kreasi dan
imajinasi.
Seperti
karya sastra lainnya, novel dibangun oleh unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik.
Salah satu unsur tersebut adalah tokoh. Ada
empat cara utama untuk menampilkan tokoh dalam fiksi, yaitu dengan cara memberitahu
pembaca, meminta tokoh bercerita, menyuruh tokoh lain bercerita, dan menggunakan
tindakan tokoh. Selain itu ada cara lain, dengan bahasa tubuh, emosi dan dialog
(Silvester dan Alexander,2004:32)
Ketika
memperoleh ide suatu cerita, pikirkan siapa yang menceritakannya. Di sinilah sudut
pandang masuk. Beberapa jenis sudut pandang, yaitu (1) sudut pandang orang pertama
yang terdiri dari (a) protagonis org pertama – aku adalah tokoh utama yg
menceritakan kisahnya sendiri; (b) saksi orang pertama - cerita tokoh utama
diceritakan oleh tokoh lain; (c) pencerita-kembali orang pertama—cerita
diceritakan oleh orang yang telah mendengar cerita itu dari orang lain, (2)
sudut pandang orang kedua, (3) sudut pandang orang ketiga.
Novel
berlatar sejarah bukan sesuatu yang asing sebenarnya. Yang terkesan baru,
mungkin adalah novel berlatar sejarah Islam. Sebagai sebuah novel sejarah Islam
– (: sejarah kenabian) pengarang
novel Pengikat Surga (PS) cukup
berani mengambil sudut pandang orang pertama, yaitu sudut pandang tokoh utama
dalam novel ini. Ini dapat dikatakan unik sekaligus juga berisiko. Tokoh utama
dalam novel ini adalah Asma. Asma bukan sembarang Asma. Dia adalah Asma Bint
Abu Bakar, putri tercinta sang pembenar, putri seorang sahabat dekat
Rasulullah.
Asma dilahirkan 17 tahun sebelum Muhammad Saw. diutus menjadi Nabi
(Quthb,1995:15). Dia menyaksikan pengutusan Muhammad sebagai Nabi, mengetahui
detil-detilnya karena ia terlibat di dalamnya. Asma adalah anggota keluarga Abu
Bakar yang sekian lama menjadi tempat singgah yang aman bagi Rasulullah.
Rasulullah hampir setiap hari mengunjungi rumah Abu Bakar.
Di kemudian hari semua terpesona dengan sejarah yang diukirnya melalui
sabuknya pada peristiwa hijrah Rasulullah yang ditemani ayahanda tercinta. Pada
hari keberangkatan dari Gua Tsur menuju Yastrib, Asma lah yang membuatkan bekal
perjalanan. Dia lupa membawa tali untuk mengikatkan makanan dan minuman pada
tunggangan. Dengan kecerdasannya, ia melepas sabuknya dan membelahnya jadi dua.
Rasul bersabda, “Allah telah menggantikan sabukmu ini dengan dua sabuk di
surga.” Peristiwa ini selalu dikenang oleh kaum muslim sepanjang masa. Sebuah
gelaran ia dapat dari peristiwa ini. Ya, dialah Asma Dzaatu Nathaqain.
Bukit batu terjal menuju Tsur telah
terlihat. Mendakinya tak mungkin dengan menenteng makanan. Makanan ini harus
kuikat kebadanku agar aku lincah bergerak. Tak ada kain yang dapat kugunakan
untuk mengikat makanan ini. Aku luput memikirkan untuk menyiapkannya. Aku
meraba sabuk yang menahan perutku … Aku memotong sabukku memanjang menjadi
dua…. (hlm 223)
Tidak hanya itu keistimewaan Asma. Dia adalah tokoh perempuan yang pernah
menghadapi “dua setan” dengan ketabahan hati, yaitu Abu Jahal dan Al Hajjaj ibn
Yusuf Al-Tsaqafi. Dalam Novel Pengikat
Surga baru satu setan yang diceritakan (hlm 224).
Keunikan
pemilihan sudut pandang pada novel ini sudah terlihat sejak paragraf pertama.
Kami berlarian saling kejar mengejar menuju
bukit Shafa. Minggu ini kali ketiga kami melakukannya. Skornya 2-1 untuk aku.
Dan kali ini, ia, Ruqayyah, sahabatku, mengatakan ia akan menyamakan kedudukan.
…(hlm 1)
Novel ini dimulai dengan adegan kejar-kejaran dua sahabat, perempuan!
Bukit Shafa, Ruqayyah, dua kata yang sudah memperlihatkan pada pembaca betapa
istimewanya cerita yang akan dituturkan pengarang. Otak pembaca disirami
keindahan imajinasi membayangkan dua perempuan berkejaran menuju bukit Shafa
dalam rangka bermain, disamping itu otak pembaca juga “terjaga” untuk selalu
“waspada” dan bertanya-tanya, ada apa selanjutnya. Kenapa Ruqayyah yang dipilih
sebagai pendamping tokoh utama di permulaan novel ini? Tentu ini bukan pilihan
iseng. Semua terjawab ketika membaca teks selanjutnya, Teks selanjutnya pun
menimbulkan pertanyaan yang dijawab di teks berikutnya lagi. Begitu seterusnya
Novel ini dari awal sudah mengingatkan pembaca bahwa novel ini dijaga
staminanya oleh pengarang. Oleh sebab itu, pembaca pun harus menjaga staminanya
untuk bisa menikmati novel ini hingga tetes terakhir. Sebuah novel sejarah
sangat rentan menebarkan virus bosan dan ngantuk pada pembacanya. PS pun tak
mustahil akan menyebarkan virus tersebut padahal membaca novel ini sampai tamat
adalah sesuatu yang sangat bermanfaat bagi pembaca. Hisani Bent Soe sepertinya
sangat menyadari kelemahan sebuah novel sejarah. Untuk itulah ia memilih sudut
pandang yang unik dan cukup berisiko ini. Sebuah sudut pandang yang sifatnya
menyuarakan semua hal tentang tokoh utama bahkan sampai hal-hal yang
tersembunyi di hati sang tokoh. Pengarang sangat berani mengupas semua hal
tentang Asma, bahkan sampai hal-hal kecil yang mungkin selama ini luput dari
bahasan para sejarawan. Hal kecil yang justru membuat novelnya semakin indah.
Tiba-tiba saja Mush’ab dan AzZubayr datang
ke rumahku. Lamunanku buyar. Aku gugup demi melihat kehadiran mereka berdua.
Ayah mempersilakan mereka duduk dan membincang alokasi-alokasi keuangan yang
harus dilakukan dengan cermat. Sesekali
Az Zubayr menatapku. Tak sanggup
menahan gugup, aku berlalu saja ke kamarku. (hlm 101)
Aku memperhatikan semua kesibukan persiapan
hijrah. Jika berpapasan dengan Az Zubayr mata kami saling menatap. Mataku
berkata padanya temuilah ayahku. Tetapi aku memahami situasi ini … sesuatu yang
dinamakan kerinduan, kerinduan untukmu Az Zubayr!!! (hlm 125)
Hal kecil
lainnya ada pada kutipan teks berikut:
Aku meraba sabuk yang menahan perutku.
Bayiku bereaksi tanda persetujuan. …(hlm 223)
Kutipan tersebut mengisahkan bagian dari peristiwa Asma sampai bergelar
Si Dua Sabuk. Berapa banyak yang tahu bahwa saat itu Asma sedang hamil?
Gaya bertutur pengarang dalam PS persis gaya seorang perempuan
yang sedang curhat. Entah dengan
seseorang, atau mungkin curhat di buku diary. Pilihan pengarang terhadap Asma
sebagai tokoh utama novel ini sangat tepat mengingat Asma adalah anak Abu Bakar
– orang terdekat Rasul. Asma juga saudara seayah Aisyah – istri Rasul. Dan yang
lebih penting lagi, Asma hidup sejak Muhammad belum diangkat menjadi
Rasulullah. Dari segi politis, Asma mengetahui banyak hal sehingga ketika Asma
yang dipilih oleh pengarang untuk jadi tokoh utama, pilihan tersebut sangat
tepat. Melalui curhatan Asma, pembaca
bisa belajar banyak hal tentang sirah.
Pembaca juga disuguhi pengetahuan seputar turunnya ayat Quran secara berurutan
tanpa menyadarinya.
Disamping keunikan dan kelebihan-kelebihan di atas, PS dengan sudut
pandang orang pertama juga memiliki risiko dan kelemahan. Pada suatu adegan
atau peristiwa yang saat itu Asma tidak ada atau tidak melihat, sudah pasti tak
bisa diceritakan dengan gaya
yang serupa. Yang bisa diceritakan “aku” adalah yang dilihat, dialami, dan
dirasakan “aku”. Kelemahan ini diantisipasi dengan cantik oleh pengarang.
Pengarang menggunakan teknik Asma bertutur berdasarkan cerita tokoh lain
kepadanya. Ini bukan pekerjaan gampang. Pengarang harus jeli dan cermat, tokoh
mana yang dalam faktanya benar-benar menyaksikan peristiwa tersebut dan
berkesempatan menceritakaannya kembali sehingga sampai ceritanya ke tokoh
utama. Misalnya, kejadian di Gua Tsur. Saat itu hanya ada Rasul dan Abu Bakar.
Bagaimana cerita tersebut bisa menjadi curhatan
Asma?
Aku ingat bagaimana Ayah menceritakan pada
kami, tentang yang terjadi sewaktu hijrahnya bersamaRasulullah.
“Aku berjalan kadang di depannya, kadang di
belakangnya. Aku takut sesuatu menyergap Rasulullah. Lalu kami mencapai Gua
Hira…. (hlm 363-364)
Sekali lagi, pemilihan Asma sebagai tokoh utama dalam PS sangat tepat.
Asma mendapat cerita tersebut langsung dari tokoh ayah. Contoh lain adalah pada
saat pengarang ingin menjelaskan peristiwa Isra Mi’raj. Dipilihlah dialog
antara Asma dengan sang sahabat, Ummu Kultsum.
“Apa yang Rasulullah ceritakan padamu
tentang Israa Mi’raj?”
“Jibril datang di pembuka malam. Membawa
ayahku ke beranda Masjid Al Haram. Dan di sana
ada buraq”…(hlm 178)
PS memadukan keakuratan sejarah kenabian dengan romantika seorang
perempuan bernama Asma. Hanya saja pengarang perlu menyiapkan jawaban ketika
ada yang iseng bertanya, bukankah novel adalah karya fiksi, lantas pada bagian
manakah di PS yang merupakan fiksi? Bisa
saja pada bagian geretek hati Asma
lah fiksi nya muncul, ketika Asma merindukan Az Zubayr, ketika Asma cemburu
pada Atikah Bint Zayd, atau pada bagian lain? Apapun itu, PS sangat lezat
dinikmati hingga hidangan penutup. Ending
novel ini pun benar-benar mengejutkan. Novel ini ditutup dengan sebuah kalimat
yang sangat mengguncang.
“Aku menceraikanmu”
*Disampaikan pada Bedah Novel "Pengikat Surga" karangan Hisani Bent Soe,
Banjarmasin 11 Juli 2010 -- Olah gawe FLP Banjarmasin
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar