Kamis, 20 Maret 2014
Antara Bakat dan
Sekolah
(Catatan Nailiya Nikmah JKF)
Anak pertama
kami, seorang anak perempuan yang suka membaca dan menulis. Di raportnya, mata
pelajaran Bahasa Indonesia adalah mata pelajaran yang nilainya paling tinggi di
antara mata pelajaran lainnya selain mata pelajaran Agama Islam. Ini sangat
menyenangkanku. Yang lebih menyenangkan lagi, ia bilang, ia paling suka dua
mata pelajaran tersebut. Aku pikir, kombinasi keduanya akan bermuara pada
“muslimah yang berdakwah lewat tulisan.”
Awal semester,
aku membaca sebuah buku tentang menjadikan anak gila membaca. Ini artinya
levelnya sudah di atas suka membaca. Aku bertekad untuk menerapkannya pada
anak-anakku terutama Nisrina, anak pertama kami. Yang paling tua biasanya akan
menjadi contoh bagi adik-adiknya. Ya…semacam pilot project lah.
Di luar
perkiraanku, dalam sepekan, upayaku sudah mulai membuahkan hasil. Nisrina
benar-benar sudah mulai gila membaca. Setiap waktu ia membaca. Ketika ada
bazaar buku, ia selalu merengek minta dibelikan buku. Buku-buku yang disukainya
adalah novel dan buku-buku psikologi.
Selain itu, ia
juga kugiring pada kegiatan lain yang masih saudara dengan membaca, yaitu
menulis. Kukatakan bahwa setelah membaca, pasti lebih menyenangkan lagi kalau
menulis. Ia sempat rajin membuat ulasan singkat dari novel-novel yang sudah ia
baca. Salah satu ulasannya kukirim ke media lokal dan dimuat. Ia juga suka
menulis puisi, cerpen dan semi novel.
Suatu hari, ia
bilang guru di sekolah menyuruhnya ikut lomba menulis dengan tema angka 17.
Sebelumnya ia pernah mengikuti beberapa lomba tapi belum pernah menang. Aku
sempat ragu ketika membaca selebarannya. Lomba menulis cerpen tapi
pengirimannya melalui facebook (FB). Ketentuan lombanya, peserta harus berteman
dengan grup panitia, lalu wajib men-share postingan lomba dan menge-tagnya pada
akun sekian orang. Cerpen juga ditulis di Catatan FB dan diposting dengan
menge-tag sekian orang (jumlah minimal ditentukan panitia). Untunglah banyaknya
jumlah teman yang me-like postingan cerpen tidak dijadikan salah satu ketentuan
lomba.
Yang merepotkan,
Nisrina belum mempunyai akun FB. Aku memang belum mengizinkan anak-anakku untuk
eksis di jejaring sosial. Aku tidak ingin ia meminjam akunku. Akhirnya, aku
membuatkan satu akun untuknya dengan kata sandi yang kurahasiakan. Jadi, untuk
sementara, ia hanya bisa membuka akunnya di bawah pengawasanku. Ia menulis draf
cerpennya di buku tulis. Setiap pulang sekolah, meski sudah capek seharian
belajar, ia menulis cerpen. Malam sebelum tidur juga menulis cerpen. Setelah
drafnya selesai, aku pinjami laptop untuk mengetik. Setelah itu, hasil
ketikannya kubaca. Beberapa kesalahan ejaan, diksi, kalimat kuberi tanda lalu
kudiskusikan dengannya apakah ia mau memperbaikinya atau tidak (semua terserah
padanya) kuberitahu alasan-alasannya. Ada
hal yang mau ia terima, ada juga yang ia tolak. Dalam hati aku salut dengan
kegigihannya. Oiya satu hal lagi, lomba ini terbuka untuk semua usia. Artinya,
Nirina akan bersaing dengan para mahasiswa juga. Aku sempat melarangnya ikut.
Aku takut ia kecewa tapi ia bersikeras untuk ikut.
Kurang lebih
seminggu (atau dua minggu?) kemudian, aku membaca pengumuman pemenang lomba
yang ditulis di status panitia. Kulihat namanya tertera sebagai juara tiga.
Hadiahnya voucher pembelian buku. Nisrina sangat gembira. Yang paling membuat
ia gembira ketika dari voucher itu ia bisa mendapatkan buku yang sudah lama ia
idamkan. Sebuah novel tentang balerina cilik.
Setelah itu, ia
bertekad ingin menulis banyak cerpen agar bisa dibukukan. Aku hanya tersenyum
mendengar impiannya. Ia kembali asyik membaca. Kali ini tambah gila. Disuruh
makan, ia membaca. Disuruh tidur, ia membaca. Disuruh mandi, ia membaca. Aku
mulai kerepotan. Suamiku bilang, “Nah tuh programmu sudah berhasil. Selamat
menikmati efeknya,”
Selain membaca,
kini ia juga lagi kepengen-kepengennya sholat tahajud. Niat awalnya memang
karena takut dimarahi guru di sekolah. Katanya, sekarang anak kelas 5 wajib
sholat tahajud minimal sekali dalam sepekan (sebelumnya kegiatan tahajud sudah
dikenalkan pada anak melalui agenda mabit tiap akhir semester di sekolah). Tiap
malam ia minta dibangunkan di sepertiganya. Di hari pertama ia tahajud, setelah
kami selesai sholat dan berdoa, aku menyodorkan buku “Akibat-akibat Fatal
karena Meremehkan Sholat Tahajud”. Kubilang, “Sholatlah karena Allah, bukan
karena gurumu”. Dalam buku itu terdapat beberapa keutamaan sholat tahajud,
mengapa kita sholat tahajud, ayat-ayat atau dalilnya dan apa akibatnya jika
melalaikan tahajud. Ia manggut-manggut membacanya.
Tiba pekan ujian
tengah semester (UTS). Tiap malam kami belajar. Kata Nisrina, “Bahasa dan Agama
gampil, Ma.” Maksudnya, mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Agama ia sudah
paham. Gampang saja. Ia sempat bilang, coba SD itu seperti kuliah, belajar yang
disukai aja (:sudah penjurusan). Anehnya, meski suka menulis, Nisrina malah
bercita-cita ingin jadi dokter. Kalau tidak, ingin jadi peracik obat.
Hanya saja, kali
ini Nisrina mendapat ujian. Ia mendapat nilai rendah pada dua mata pelajaran
yang ia bilang gampil. Sore itu ia menanyaiku dengan sedih, “Mama percaya tidak,
Nisrina harus remidi ulangan Bahasa Indonesia,”. Aku tak dapat menyembunyikan
kekagetanku. Sayangnya hasil ulangan tidak dibagi, aku tidak tahu apa
kesalahannya. “Untunglah tidak dibagi. Nisrina malu sekali. Saat guru
mengumumkan nama-nama yang remidi, saat nama Nisrina disebut, teman-teman riuh
karena tidak percaya. Tidak ada yang percaya bahwa Nisrina harus remidi bahasa Indonesia.”
Ia terlihat sangat terpukul. “Agama juga…” gumamnya.
Aku jadi gundah.
Saat Nisrina sedang giat-giatnya membaca dan menulis, nilai Ulangan Bahasa
Indonesianya malah jatuh. Saat Nisrina sedang getol-getolnya tahajud, nilai
Ulangan Agamanya malah jatuh juga. Antara praktik dengan teori seperti tidak
terhubung baginya.
Aku teringat
buku Home Schooling-nya Kak Seto. Di situ ada cerita tentang anak Kak Seto yang
bernama Minuk. Pada saat itu, anak pertama saya, Minuk, berusia lima belas tahun. Minuk
duduk di kelas 3 SMP, di sebuah sekolah favorit dan berstatus “nasional plus”.
Namun rupanya, tidak semua sekolah favorit membuat anak senang belajar. Minuk
sangat frustasi karena dia merasa memiliki potensi unggul di bidang kesenian,
namun nilai kesenian yang diperolehnya di sekolah hanya 4 (2007:116). Ceritanya
panjang sampai akhirnya Minuk memilih untuk homeshooling.
Sebenarnya ide
homeschooling ini sudah ada di benakku ketika aku S2 (saat itu anak-anakku
masih sangat kecil dan baru dua orang). Ketika itu, aku mendapat tugas mereview
sebuah buku karangan Ivan Illich, tentang kemungkinan pendidikan di luar
sekolah. Aku mencari beberapa referensi untuk menunjang presentasiku. Salah
satunya majalah Ummi Edisi Spesial. Sepertinya konsep homeschooling menarik
karena saat itu aku belum menemukan sekolah yang (kuanggap) aman untuk
anak-anakku di kota
kami. Aku menghela nafas panjang. Mungkin aku harus meperbaiki dan mencoba
beberapa hal dulu sebelum aku memberi kesempatan Nisrina untuk memilih, tetap hidup di sekolah atau memilih homeshooling. Bagaimanapun ini adalah
keputusan besar. Keputusan yang akan sangat berpengaruh dalam rutinitas keseharian
kami. Sebab bisa jadi, ketika Nisrina menganggap di rumah lebih nyaman baginya,
maka akupun harus keluar dari kantor. Menurutku, untuk anak bisa sukses
homeshooling, ibu harus stand by di rumah.
***
“Ma, amputasi
itu artinya dipotong ya?” tanya Nisrina beberapa hari kemudian.
“Iya, kenapa?”
“Aku baru tahu.
Pantas saja aku salah waktu ulangan bahasa kemarin”
Aku tertegun.
Selama ini memang satu kata itu hampir tak pernah terdengar di rumah kami. Kata
itu terlalu mengerikan bagiku dan keluarga. Terlebih setelah salah satu anak
kembarku punya masalah pada salah satu kakinya di bagian paha (saat ini aku
sedang melakukan terapi herbal padanya). Kami seakan menganggap kata itu tidak
ada di kamus manapun di dunia ini. Kata itu seperti hantu bagiku.
Siangnya, di
salah satu stasiun TV diputar Film Heart yang dibintangi Acha Septriasa,
Irwansyah dan Nirina Zubir. Sebenarnya dulu Nisrina sudah pernah menontonnya
tapi mungkin waktu itu ia belum terlalu menghayati. Di film itulah ia menemukan
diksi “amputasi” lengkap dengan contohnya. Sebuah kebetulan yang sangat betul
meski aku yakin, tidak ada yang kebetulan.
“Film yang
sangat mengharukan. Film yang adil” komentarnya.
“Maksudmu?”
“Syukurlah Rahel
mati. Kalau ia hidup, kasihan dia. Lagipula, hatinya kan sudah disumbangkan.”
Ah, Nisrina…
ternyata melalui film ia menemukan satu kata dan maknanya secara utuh. Satu
kata yang menjadi salah satu penyebab nilai bahasa Indonesianya jatuh. Mungkin
masih banyak kata lain yang selama ini aku tutupi darinya. Sepertinya banyak PR
untukku tentangmu, Nak…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar