HUJAN DAN KENANGAN TIGA LELAKI
Oleh Nailiya Nikmah
JKF
Terbitnya
buku Kumpulan Puisi Nun, Kota (Di) Tanah Rawa (Juni 2014) yang memuat
puisi-puisi tiga lelaki asal Kalimantan, yaitu Sandi Firly, Hajriansyah dan M.
Nahdiansyah Abdi menambah deretan buku kumpulan puisi yang ditulis oleh para penyair
asal banua. Buku tersebut memiliki
sampul yang didominasi warna kuning, warna yang erat dengan kesakralan budaya
Kalimantan Selatan. Separuh buku ini berisi kata pengantar yang ditulis oleh
penyair Micky Hidayat. Lumayan banyak untuk sebuah kata pengantar. Hal ini
menyiratkan betapa terbitnya buku kumpulan puisi tersebut adalah sesuatu yang
dipandang sangat berharga oleh Micky Hidayat.
Buku
tersebut pernah pula diulas oleh Sumasno Hadi dari sudut pandang filsafat yang
dimuat secara bersambung di harian Media Kalimantan. Sumasno Hadi membagi-bagi
pokok pembahasannya berdasarkan tiga nama penyairnya, sama seperti yang
dilakukan oleh Micky Hidayat dalam pengantarnya terhadap buku ini. Pembagian
seperti ini menyiratkan bahwa ketiga penyair tersebut adalah tiga pribadi yang
sudah memiliki “posisi” masing-masing di mata publik sehingga agak sulit bagi
pembaca untuk memandang puisi-puisi tersebut secara independen sebagai sebuah
puisi (tanpa melihat siapa penulisnya). Sulit untuk membaca “Hujan Bulan
November” misalnya, tanpa mengaitkannya dengan posisi Sandi sebagai seorang
penulis prosa. Begitu juga dengan puisi-puisi dua penyair lainnya.
Hal
tersebut sejalan dengan dengan pendapat Maman S. Mahayana yang menyebutkan bahwa
memberi kebebasan seluas-luasnya kepada pembaca tidak berarti mematikan
pengarang. Secara faktual, benar teks sudah terlepas dari diri pengarangnya.
Tetapi secara kultural, teks itu tetap menyimpan ruh kultural pengarangnya.
Puisi
merupakan genre sastra yang paling unik. Entah itu puisi lama, entah itu puisi
baru (modern). Terlebih puisi modern yang tidak terikat dengan baris dan larik
seperti yang terdapat pada puisi lama. Kata-kata menjadi permainan indah di
tangan para penyair. Hal yang rumit bisa menjadi sederhana dalam sebuah puisi.
Sebaliknya hal yang sederhana bisa menjadi ‘wah’ dalam sebuah puisi. Hujan
salah satunya. Fenomena alam ini bagi sebagian orang adalah hal yang biasa
namun bagi sebagian yang lain ia merupakan fenomena alam yang spesial.
Dalam
kumpulan puisi NK(d)TR, hujan adalah salah satu hal yang istimewa. Setidaknya,
ia menjadi istimewa karena tiap penyair menyertakan puisi tentang hujan dalam
kompilasi tersebut. Baik yang menggunakannya sebagai judul puisi maupun yang
menggunakannya sebagai bagian dari isi puisi. Hujan Bulan November ditulis oleh Sandi (hlm 54), Rumput bulan April; Kenangan ditulis
oleh Hajri (hlm 78), UntukMu ditulis
oleh M. Nahdiansyah Abdi (hlm 92). Berikut puisinya,
Hujan Bulan November
Puisi Sandi Firly
Hujan kali ini mengingatkan aku
pada basah rambutmu
tanah yang menguap sehangat pipimu
juga kopi sore hari
senyummu, selalu seperti gerimis ini,
rinai dan kupetik menjadi kembang gula
Kucari denting langkahmu pada aspal
yang mengkilap sehabis hujan
itu seperti baru saja terjadi
kaki kecilmu berlari jauh
memecahkan genangan air
di kolam hatiku
Pandangi hujan kali ini
dan rasakan deru angin rindu
yang kukirim dari lembah tersunyi
tempat yang dulu pernah kita singgahi
November 2008
Rumput Bulan April;
Kenangan
Puisi Hajriansyah
Hujan april tak semeriah kejutanmu
Daun dan kembang menari di jendelaku
Kita berdua berhadapan, tapi tak saling
berpandangan
Ya, bukankah kita telah sama lelah
Menguraikan kenangan jadi rumputan
UntukMu
Puisi M. Nahdiansyah Abdi
Hujan membekas di hatiku
penuh rasa iba dan dingin
Buru-buru puisi ini kubikin
hidup menderaku sambil membanyol
18022001
Mari
kita bicara keunikan tiga puisi ini. Pertama, ketiga puisi ini memiliki bait berurutan dari
angka terbanyak hingga tersedikit yaitu, 3, 2, dan 1. Puisi Sandi 3 bait, puisi
Hajri 2 bait dan puisi Nahdi 1 bait. Bisa jadi ini ada hubungannya dengan
“posisi” mereka di luar perpuisian. Sandi sebagai seorang novelis (yang
cenderung menulis lebih banyak kata), Hajri seorang cerpenis dan Dian seorang
esais.
Kedua, kecuali puisi Nahdi, puisi ini
mengaitkan hujan dengan bulan tertentu. Sandi mengaitkannya dengan November
sedangkan Hajri dengan April. Dalam konteks pembagian musim di Indonesia,
tidak ada yang istimewa dengan hujan bulan November karena pada bulan tersebut
memang musim hujan. Inilah pertanyaan awal ketika memasuki gerbang puisi hujan
Sandi. Ada hal
spesial apa di hujan bulan November?
Sementara
Hajri memilih hujan di bulan April sebagai baris pertama puisinya. /Hujan april
tak semeriah kejutanmu/…. Pemilihan lirik tersebut sebagai baris awal puisi ini
mengundang tanya di benak pembaca. Haruskah hujan April meriah? Meriah apa yang
dimaksud oleh penyair? Bulan April termasuk bulan yang bukan musim hujan di Indonesia.
Artinya, memang hujan di bulan ini adalah sesuatu yang jarang terjadi. Lalu ada
apa dengan kejutan di bulan April? Mungkinkah yang dimaksud penyair adalah
kejutan semacam April Mop? Jika ya, maka hujan tersebut memang sangat tidak
seru.
Berbeda
dengan Sandi dan Hajri, Nahdi tidak menyebutkan secara tersurat hujan di bulan
apa yang sedang ia tuliskan dalam puisinya. Akan tetapi, pembaca masih dapat
menafsirkan dari catatan kecil di bawah puisi. Berdasarkan catatan kecil
tersebut dapat diketahui puisi ini ditulis pada 18 Februari. 4 hari setelah
orang-orang merayakan hari kasih sayang. Hari yang didominasi warna pink dan
bentuk-bentuk hati. Hanya saja, sama dengan April Mop, hari yang satu inipun
bukan budaya yang melekat pada Hajri dan Nahdi sebagai masyarakat Kalimantan Selatan
yang kental nilai-nilai islaminya. Barangkali inilah pengaruh interaksi
keduanya dengan budaya-budaya luar.
Ketiga, puisi-puisi tersebut bicara tentang penyikapan
mereka (para lelaki) terhadap kenangan dan hal-hal yang berkaitan dengan
komunikasi. Hal ini dapat ditelusuri dari pembacaan ketiganya.
Benarkah
hujan di bulan November tidak istimewa?
/Hujan
kali ini mengingatkan aku pada basah rambutmu/…. Demikian tulis Sandi. Inilah jawaban
pertama tentang istimewanya hujan bulan November. Begitu banyak kenangan aku
lirik yang terjadi ketika hujan. November kerap disambangi hujan. Alangkah
perih yang dirasakan aku lirik karena pada bulan itu ia kerap pula disambangi
kenangan tentang seseorang yang sekarang sudah tidak lagi bersamanya. Begitu
lekat kenangan yang ia miliki sehingga seakan-akan semua itu baru saja terjadi.
Hujan
membangkitkan kenangan dan kenangan yang pertama kali diingat aku lirik adalah
fisik orang yang dirinduinya dalam hal ini rambut. Berturut-turut kemudian
pipi, bibir (yang diungkapkan dengan ‘senyum’) dan kaki. Ini mengingatkan kita
pada pandangan bahwa laki-laki lebih banyak menilai perempuan dari fisiknya.
…//Pandangi
hujan kali ini/ dan rasakan deru angin rindu /yang kukirim dari lembah tersunyi/.
Kutipan ini memperlihatkan bahwa aku lirik mencoba berkomunikasi kembali dengan
seseorang yang dirindukannya. Ia berharap kesunyian yang ia rasakan juga dapat
dirasakan oleh seseorang itu. Sandi berupaya membangun monumen kenangan.
Kenangan yang tidak bisa dilupakan, kenangan yang menurut aku lirik harus juga
dipahat oleh seseorang yang sudah berlari jauh.
Pandangan
Hajri jauh berbeda tentang kenangan dalam puisi Rumput bulan April; Kenangan. Keadaan yang datar, monoton, menjadi
sesuatu yang ingin disampaikan dalam puisi ini. //Ya, bukankah kita telah sama
lelah/ Menguraikan kenangan jadi rumputan//. Baris terakhir puisi Hajri
memperjelas situasi. Jika Sandi sangat asyik dengan kenangannya, Hajri justru
merasa lelah dalam kenangan. Hajri menyampaikan kejujurannya tentang yang ia
rasakan. Ia berharap sesuatu yang lebih dari sekadar kenangan.
…//Daun
dan kembang menari di jendelaku/…. Hujan yang jatuh menimpa tetanaman membuat
daun dan kembangnya terlihat seperti menari. Daun dan kembang selalu
berpasangan. Puisi ini bicara tentang ‘keharusan’ berpasangan. Bahwa sebuah
hubungan harus tetap dipertahankan, seburuk apapun keadaannya. Tidak sedikit
pasangan yang mengalami hal seperti ini.
…/Kita berdua berhadapan, tapi tak saling/ berpandangan//.
Dalam teori komunikasi, kontak mata merupakan hal yang penting untuk
tercapainya komunikasi yang efektif. Bahkan, kontak mata juga menjadi indikasi
kejujuran karena salah satu ciri orang berbohong adalah menghindari kontak mata
dengan lawan bicara. Kutipan tersebut menyiratkan tentang pasangan yang bersama
tapi dalam kebersamaannya tidak terjalin komunikasi yang efektif. Bisa jadi
karena masing-masing menyimpan kebohongan. Ini adalah tentang harapan untuk
bisa memaknai kembali arti kebersamaan. Sebab apalah artinya bersama tanpa
komunikasi yang baik.
Nahdi
memiliki pula kenangan dalam hujan. Ia begitu hemat dengan 1 bait untuk bicara
kenangan dan hujan. /Hujan membekas di hatiku/, /penuh rasa iba dan dingin/,
/Buru-buru puisi ini kubikin/, /hidup menderaku sambil membanyol.
Bagi
Nahdi, hujan membekas di hatinya. Hujan yang membekas dalam hati adalah
kenangan. Aku lirikpun menjadi melankolis, penuh rasa iba dan dingin.
Perasaan-perasaan sendu, haru-biru yang oleh orang zaman sekarang disebut
‘galau’ dialami aku lirik. Akan tetapi, berbeda dengan Sandi dan Hajri, entah
mengapa, Nahdi tampak ‘jual mahal’. Ia seperti merasa perlu buru-buru
mengalihkan kesenduannya. Nahdi seakan-akan mencoba menyampaikan aku tidak cengeng seperti yang kaukira. Aku bisa cepat melupakanmu. Ini terlihat
dari kata ‘buru-buru’. Sayang sekali, Nahdi gagal menunjukkan ‘kekuatannya’.
Pengalihan yang ia lakukan justru makin memperjelas betapa ia masih merasakan
kesenduan itu. … /Buru-buru puisi ini kubikin/…. Nahdi menuliskan kenangannya
menjadi puisi. Tidakkah menuliskan kenangan menjadi puisi adalah mengabadikan
kenangan itu sendiri? Bisa jadi, Nahdi sengaja menipu pembaca. Bisa jadi pula,
Nahdi yang tertipu oleh kenangannya sendiri. Deraan hidup yang dijalani Nahdi,
baik suka maupun duka, baik serius maupun lelucon, semuanya sejatinya takkan
mampu membuat Nahdi menghapus hujan(:kenangan) dalam hatinya.
Satu
hal yang menjadi misteri dalam puisi ini (jika ini bukan kesalahan teknis) adalah
penggunaan huruf m besar pada judul UntukMu. Apakah Mu di sini dimaksudkan Nahdi merujuk pada Tuhan karena menurut
ejaan yang benar, UntukMu yang merujuk pada Tuhan seharusnya ditulis Untuk-Mu. Seandainya
Mu di sini dimaksudkan sebagai Tuhan,
maka inilah bentuk komunikasi Nahdi pada penciptanya. Inilah pengaduan singkat
Nahdi kepada Tuhannya, bahwa ia makhluk yang lemah. Yang salah satu kelemahannya
itu muncul ketika menghadapi ‘kenangan’.[]
Menanti hujan di Flamboyan, Oktober 2014
*Dimuat di Media Kalimantan, 19 Oktober 2014
Detail sekali kak nay.. Keren.. :)
BalasHapus(kalo ulun kada ngerti puisinya kalo kd baca tafsirannya.. 😂)
*belajar sastra lawan kak nay aja nah.. :D