Di Balik SC
Oleh Nailiya Nikmah JKF
Novel Sekaca
Cempaka kutulis berdasar banyak kisah nyata di samping imajinasiku tentunya.
Sudah lama aku ingin menulis novel. Beberapa ide sempat kutulis beberapa
halaman, kutinggalkan. Kutulis, kutinggalkan. Selalu begitu. Sampai muncul ide
SC ini, aku merasa harus menuntaskannya. Ada
banyak rindu yang memenuhi hati. Aku ingin mengabadikannya dalam bentuk sebuah
novel.
Aku membiarkan
rindu ini mengalir tapi tidak untuk novelnya. Novel ini harus ada muaranya.
Novelku harus selesai, kali ini. Aku tidak ingin main-main. Aku ingin total
dalam berkarya. Akupun riset ke kampungku, Hulu Sungaiku. Separuh jiwaku di sana. Sepenggal kisahku di
sana. Aku harus
ke sana. Di
kunjunganku yang pertama, sialnya aku tak mendapatkan yang kucari. Aku
membutuhkan sesuatu, semacam deadline agar novelku selesai. Sebenarnya ada sih,
aku sudah janji pada seseorang akan menghadiahkan novelku di hari ulang
tahunnya. Lebai juga ya. Kayak sangkuriang saja. Berani menjanjikan sesuatu
yang sulit. Dan lebainya lagi, di halaman ke-20, file-ku terkena virus. Hilang.
Jadilah aku ngetik dari awal.
Aruh Sastra
ke-13 akan digelar di Banjarbaru. Aruh Sastra itu adalah ajang sastra paling
keren di Kalimantan Selatan, bahkan mungkin di dunia, hehe…. Baru kali itu ada
cabang lomba menulis novel. Biasanya lomba nulis puisi dan atau cerpen saja. Sebagai
penganut aliran “tidak ada yang kebetulan”, aku makin memantapkan niatku untuk
menulis novel. Ini yang kubutuhkan sudah ada. Aku butuh deadline, bukan? Inilah
deadlinenya. Akupun mengajukan proposal alias izin nulis novel kepada suami dan
anak-anakku. Bagaimanapun, aktivitas menulis novel pasti akan mempengaruhi
kualitas dan kuantitas pengabdianku pada mereka. Kusampaikan visi misiku,
teknis, rencana, hingga deadline lomba. Seperti biasa mereka selalu
mendukungku. Sangat mendukung. Saking mendukungnya, dulu di awal rencanaku
ingin punya novel, pernah pada suatu hujan yang deras, kami berempat naik motor
saja ke Hulu Sungai (waktu itu belum punya mobil).
Separuh dari
batas halaman minimal sudah kuketik. Tiba-tiba aku didera keraguan. Banyak hal
yang menyurutkan langkahku. Di tengah malam aku terkaget-kaget, suamiku
membangunkanku. “Ayo, ketik novelmu. Lanjutkan, lanjutkan!” Aku yakin, tidak
ada suami lain macam dia di dunia ini. Membangunkan istrinya tengah malam
“hanya” untuk menulis novel! Aku juga mengontak beberapa kawan di Hulu Sungai
untuk memperoleh beberapa informasi penting sehubungan isi novelku.
Lalu, datanglah
cobaan itu. Salah satu anakku sakit parah. Aku tambah ragu menyelesaikan novelku.
Sempat terpikir, mungkin ini bukan deadlineku yang sebenarnya. Lagi-lagi
suamiku menyuruhku menyelesaikannya. Masalahnya, lanjut atau tidaknya kisahku
bergantung pada beberapa hal yang untuk mendapatkannya aku harus riset
lapangan, tidak bisa tidak. Aku harus kembali ke Hulu Sungai. Bagaimana aku
bisa meninggalkan anakku yang sakit? Kata “operasi” mungkin cukup untuk
menggambarkan seberapa parah penyakit anakku.
Saat itu
menjelang Ramadhan 2013. “Pergilah, biar anak-anak denganku. Setelah kaudapat
yang kaucari, pulanglah. Setelah itu baru kita pikirkan rencana operasi anak
kita” itulah keputusan suamiku. Yang kami khawatirkan, setelah operasi, aku
tidak akan bisa kemana-mana lagi. Dengan berat hati aku berangkat. Aku tidak
membawa baju ganti. Niatnya semalam-malamnya, aku pulang hari itu juga.
Setelah sholat
subuh suamiku mengantarku ke Pal 7. Tempat angkutan umum biasa mangkal. Hari
masih gelap. Kami pilih-pilih angkutan. Karena aku berangkat sendiri, aku tidak
bisa sembarangan milih angkutan. Mobil colt berplat kuning tujuan Hulu Sungai
menjadi buruan kami. Selain aku, ada seorang ibu paruh baya yang juga menunggu
angkutan tapi dia mau ke Martapura saja. Entah mengapa hari itu agak sulit
mencari angkutan. Ada satu mobil dengan tiga penumpang laki-laki
semua yang tampangnya seperti orang habis mabuk. Tentu saja aku tidak berani
naik. Ibu itupun melarangku naik. Syukurlah tidak lama ada mobil tujuan Hulu
Sungai yang penumpangnya lebih meyakinkan. Di Banjarbaru beberapa penumpang
lain menambah ramai mobil tersebut. Di persimpangan, ternyata kami harus ganti
mobil sebab mobil yang kami tumpangi ternyata ke Barabai. Aku agak cemas karena
sudah lama tidak bepergian sendiri.
“Ganti mobil,
lah Ding. Tu ada yang ke Amuntai” Kata Dek Sopir. Ia, Dek Sopir, sebab aku
yakin sopir itu jauh lebih muda daripada aku. Mungkin tampangku yang imut
membuat ia mengira aku lebih muda daripada dia.
Di angkutan yang
kedua itu ada seorang penumpang yang mengajakku ngobrol, “Sekolah di mana,
Ding?” tanyanya.
Ya ampun, dia
pikir aku anak Madrasah apa? Aku pandangi baju yang kukenakan, rok hitam,
kerudung hitam, baju kemeja batik hijau, memang salahku juga, aku seperti anak
sekolahan.
“Ulun sudah
tidak sekolah,” jawabku.
“Oh…sudah kuliah
kah?” tanyanya lagi.
Aku benar-benar
malas melanjutkan pembicaraan. Aku takut kalau-kalau dia bermaksud jahat. Aku
hanya menggeleng, berharap dia tidak lagi menanyaiku. Nomor hp temanku
berkali-kali kuhubungi. Aku sms dia apakah aku berada di jalan yang benar.
Angkutan yang kutumpangi ini angkutan dalam kota, alur yang dia pilih bukan alur yang
biasa aku tempuh.
Aku lega sekali
ketika sampai di terminal Palampitan. Ojek ramai menawarkan diri. “Tidak, ulun
sudah dijemput,” tolakku. Untunglah sahabat baikku bersedia menjemputku. Dia
berjanji akan membantuku selama riset.
“Oh, dia sudah
dijemput kakaknya, tuh,” Kata Pak sopir.
Aku garuk-garuk
kepala. Masa sahabatku dia bilang kakakku.
Ternyata
informan yang aku perlukan saat itu sedang berada di Martapura! Malam baru
datang. Terpaksa aku harus menginap. Lagi-lagi aku harus berterima kasih pada
sahabatku ini. Aku tidak berani menginap di hotel sendirian. Jadilah aku
menginap di rumahnya. Hikmah lainnya, aku lebih banyak waktu. Aku berbincang
dengan para pengarang bunga, aku juga akhirnya jadi mendatangi Hapingin. Negeri
bunga-bunga. Di bawah gerimis, berkali-kali aku merapalkan puisi cinta.
Begitulah, esok
siangnya aku baru pulang membawa sehelai puisi yang menyusup dalam
perjalananku. Puisi yang begitu harum. Seharum negeri bungaku, Hapingin. Tentu
saja membawa serta tekad yang berkibar “novelku harus selesai.”
Ini adalah foto aku dan sahabatku bersama dua orang informanku, pengarang bunga dari Bayur. Di atas meja tampak kuntum-kuntum bunga kenanga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar