Media Kalimantan, 7 Okt 2014 |
Rabu, 08 Oktober 2014
Suatu Malam di Sidang Pembaca
Catatanku Tentang
Diskusi Novel Sekaca Cempaka
Oleh Nailiya Nikmah JKF
Aku sangat
berterima kasih pada sidang pembaca yang bersedia hadir di malam diskusi novel
Sekaca Cempaka (SC), Jumat, 5 September 2014 pukul 20.30 Wita. Acara yang
digawangi oleh Harie Insani Putra dkk (Bubuhan Onoff Solutindo) tersebut
berlangsung di Aula Pustarda Banjarbaru. Malam itu peserta tidak hanya dari
Banjarbaru dan Banjarmasin
tapi datang juga peserta dari Martapura dan Hulu Sungai (Barabai, Kandangan,
Amuntai) serta Tanah Bumbu dan Kotabaru. Peserta tidak hanya sastrawan prosa,
para penyair (puisi) pun datang. Beberapa komunitas teater dan seni ada hadir.
FLP Banjarbarupun mengirim utusannya. Sang fotografer, salah satunya, Yulian
Manan pun tidak ketinggalan.
Acara dimoderatori
oleh Sainul Hermawan, dosen Unlam yang tulisan-tulisannya kerap mejeng di koran
(kritikannya itu lhooo, terasa sampai ke hati hehe.) Moderator membukanya
dengan menyampaikan bahwa Aruh Sastra Kalsel 2013 telah berlalu namun malam ini
kita kembali mengingatnya dengan dua hal, yaitu novel SC karya Nailiya Nikmah
JKF sebagai Unggulan dan Dewi Alfianti sebagai pemenang lomba Menulis Esai.
Pemateri adalah
Aliman Syahrani (sastrawan asal Hulu Sungai Selatan) dan Dewi Alfianti (Dosen
Unlam). Tiga orang yang namanya kusebut ini kuyakini sudah membaca SC dengan
baik. Mereka menyampaikan pemaparan dari kaca mata masing-masing. Diskusi
dimulai segera tidak lama setelah aku datang karena para pembicara sudah hadir
lengkap. Dewi membawakan esainya yang sebelumnya terbit di Media Kalimantan, Sekaca Cempaka dalam Perspektif Feminis
Kritis.
Yang mendebarkan
adalah sesi diskusi. Komentar, kritikan, pertanyaan, saran, dan lainnya dari
peserta diskusi membuat aku ber-o panjang dalam hati. Niatku semula untuk “diam
mendengarkan saja” menjadi terlupakan. Akupun tidak tahan hati untuk tidak
menjawab komen-komen tersebut.
Aliman Syahrani
menganggap alur ketika anak Nurul sakit dan Nurul membawa anaknya ke rumah
sakit adalah bagian yang kurang penting.
Andi Syahludin
menanyakan apakah penulis pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga; apakah
penulis pernah merasakan tinggal di tengah-tengah lingkungan laki-laki; apakah
penulis pernah punya teman yang pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga. (Andi
Sahludin lebih dari satu kali berkomentar). Menurutnya, poligami bukan hal yang
khusus terjadi di Hulu Sungai melainkan bisa terjadi di mana saja.
Hajriansyah
memaparkan tanggapannya setelah membaca SC dari BAB belakang. Ia menghargai
upaya penulis dalam melakukan riset kecil-kecilan sebelum menulis SC.
Iberamsyah
Barbary menanyakan di mana letak islaminya novel SC karena ada label NI. Mana
nilai-nilai islaminya. Ia juga memaparkan pengetahuannya tentang bunga cempaka
dalam botol.
Datang
bersama Aliman seorang sastrawan dari Kandangan yang mengingatkan kita pada
Boerhanuddin Soebly. Beliau memaparkan pembacaan-pembacaan sastra yang pernah
beliau baca.
Seorang
mahasiswa dari Darussalam Martapura memaparkan konsep islami yang mungkin
muncul dalam karya sastra islami.
Yang menyenangkan
juga adalah diskusi tersebut dihadiri oleh dua orang juri lomba menulis novel
Aruh Sastra Kalimantan Selatan 2013,
yaitu Randu Alamsyah dan Sandi Firly. Menurut
Randu, ia
mengunggulkan SC dibanding novel satunya (saingan SC dalam lomba tersebut). Ia
mengatakan bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang setia karena itu sulit
untuk move on.
Hatmiati Masy’ud,
penulis cerpen perempuan dari HSU memaparkan tentang alasan laki-laki menikah
lagi tidak lain hanya sebgai pembuktian dirinya. Dia juga memaparkan tentang
bunga cempaka dalam botol yang menjadi kerajinan khas dari Amuntai. Selain itu
Hatmiati bercerita tentang “misteri” perempuan Hulu Sungai yang mampu memikat
hati lelaki.
Budi
Kurniawan menyampaikan apresiasinya. Ia juga menanyakan mengapa bunga cempaka
yang dipilih. Benarkah cempaka khas Kalimantan?
Sandi Firly
menyayangkan mengapa dalam diskusi tersebut penulis terlalu ngotot tentang
adanya bunga dalam botol tersebut. Ia lebih melihat bagaimana teknik
penceritaan yang baik yang seharusnya dilakukan oleh penulis novel.
Apapun yang
mereka sampaikan, bagiku keindahan. Tidak ada yang lebih indah selain ketika
karya kita diapresiasi, dikritik, dibicarakan. Syukur-syukur jika dari situ ada
sesuatu yang dibawa pulang oleh peserta dan pembaca lainnya. Thanks, all. Begitu
banyak komen lain yang ingin kudengar sebenarnya. Ada Nahdiansyah Abdi di
ruangan itu, ada HE Benyamin, ada Ali Syamsudin Arsy, ada Zian Army Wahyufi,
ada Maulana Usaid, ada Syam Indra Pratama dan yang lainnya. Mereka kukenal sebagai
pembaca-pembaca kritis juga. Sayang mereka tidak menyampaikan sepatah katapun.
Lain waktu barangkali, semoga….[]
*Larut malam,
sebelum memejamkan mata aku bertanya padanya, adakah kata-kataku yang salah di
acara tadi?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar