Selasa, 05 April 2016

# esai # makalah

Sastra sebagai Penguat Identitas Nasional dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)



Sastra sebagai Penguat Identitas Nasional
dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN
Oleh Nailiya Nikmah, M.Pd.
Penulis berkerudung coklat paling ujung, saat membawakan makalah ini.(Foto Dok Panitia)


ASEAN telah banyak mengalami perubahan dan perkembangan yang signifikan menuju pada tahapan baru yang lebih integratif dan berwawasan ke depan, yaitu Masyarakat ASEAN. Masyarakat ASEAN adalah kesatuan bangsa Asia Tenggara yang berpandangan keluar, hidup damai, stabil dan makmur, serta terikat bersama dalam kemitraan pembangunan yang dinamis dan saling peduli. Pembentukan Masyarakat ASEAN dilatarbelakangi antara lain oleh adanya pengaruh negatif krisis ekonomi yang menimpa negara-negara ASEAN pada 1997. Hal itu mendorong ASEAN berinisiatif untuk menciptakan kawasan yang memiliki daya tahan ekonomi.
Masyarakat Ekonomi ASEAN dibentuk untuk mewujudkan integrasi ekonomi ASEAN, yakni tercapainya wilayah ASEAN yang aman dengan tingkat dinamika pembangunan yang lebih tinggi dan terintegrasi, pengentasan masyarakat ASEAN dari kemiskinan, serta pertumbuhan ekonomi untuk mencapai kemakmuran yang merata dan berkelanjutan. Untuk itu, MEA memiliki empat karakteristik utama, yaitu pasar tunggal dan basis produksi, kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi, kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata, serta kawasan yang terintegrasi penuh dengan ekonomi global.
Dalam upaya menciptakan sebuah kawasan yang kompetitif, ASEAN telah menetapkan beberapa sektor kerja sama yang perlu ditingkatkan antara lain: perlindungan konsumen, hak kekayaan intelektual (HKI), pengembangan infrastruktur dan e-commerce. Kebijakan HKI salah satunya dapat  menjadi pendorong yang kuat bagi kreativitas budaya, intelektual dan seni beserta aspek komersilnya.
Sebagai salah satu negara ASEAN, Indonesia sudah semestinya melakukan berbagai persiapan menuju MEA. Hal ini merupakan suatu upaya mengingat MEA akan menghadirkan berbagai tantangan selain peluang-peluang positif bagi masyarakat Indonesia. Salah satu tantangan tersebut menyangkut persoalan identitas nasional bangsa Indonesia.
Identitas nasional adalah suatu jati diri yang khas yang dimiliki oleh suatu bangsa dan tidak dimiliki oleh bangsa lain. Dalam hubungan antarbangsa, identitas menjadi penting karena menyangkut keberlanjutan eksistensi sebuah bangsa terutama dalam konteks global. Identitas nasional merupakan kumpulan nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan dari ratusan suku yang dihimpun dalam satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan nasional dengan acuan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika sebagai dasar dan arah pengembangannya. Identitas nasional Indonesia merujuk pada suatu bangsa yang majemuk. Unsur-unsur pembentuk identitas nasional meliputi suku bangsa, agama, budaya dan bahasa.
Sebagai salah satu unsur pembentuk identitas nasional, bahasa Indonesia memiliki peluang sekaligus tantangan dalam menghadapi MEA. Persaingan bahasa terus menjadi pembahasan yang menarik untuk diperbincangkan. Bila sebelumnya beberapa pakar bahasa di Indonesia menyebutkan bahwa bahasa Indonesia memiliki potensi untuk menjadi salah satu bahasa Internasional yang berpengaruh, dalam situasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) potensi bahasa Indonesia juga turut diteliti serta dicanangkan untuk menjadi bahasa ASEAN.
 Terdapat empat argumentasi yang mendukung hal ini, yaitu bahasa Indonesia itu sudah banyak dipelajari pada banyak negara, mudah dikuasai, laju perkembangannya fantastis, dan sebagaian kosa kata Indonesia juga ada di dalam bahasa negara-negara ASEAN lainnya. (Lihat http://www.goodnewsfromindonesia.org/2016/01/10/inilah-alasan-mengapa-bahasa-indonesia-bisa-menjadi-bahasa-asean).
Bahasa Indonesia merupakan salah satu identitas instrumental yang diatur dalam undang-undang. Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, salah satu fungsi bahasa Indonesia adalah sebagai lambang identitas nasional. Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia dijunjung tinggi di samping bendera dan lambang negara. Dalam hal ini bahasa Indonesia dapat memiliki identitasnya apabila masyarakat pemakainya membina dan mengembangkannya dengan baik.
Bahasa Indonesia memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pemanfaatannya dalam menjembatani komunikasi antarwarga, antardaerah dan antarbudaya menjadikannya sangat penting di samping penggunaan bahasa daerah yang ada di Indonesia. Di tengah-tengah ratusan bahasa dan budaya daerah yang ada, bahasa Indonesia menjadi unsur istimewa yang tidak bisa dilepaskan dari keseharian masyarakat Indonesia. Ini menjadikan bahasa Indonesia sebagai satu-satunya alat perhubungan antarwarga, antardaerah sekaligus antarbudaya yang paling memungkinkan.
Selain sebagai alat perhubungan, bahasa Indonesia merupakan alat penyatuan berbagai suku, bahasa dan budaya yang ada di Indonesia. Sebagai bangsa yang terdiri atas sekian ratus suku, Indonesia serta merta terdiri atas lebih dari sekian ratus bahasa daerah sekaligus budaya daerahnya masing-masing. Keragaman suku, bahasa dan budaya ini merupakan tantangan tersendiri bagi integrasi bangsa Indonesia. Keberadaan bahasa Indonesia terbukti mendukung upaya integrasi bangsa yang terus-menerus. Eksistensi bahasa Indonesia sebagai satu hal yang menguatkan identitas nasional membuat masyarakat saling menghargai perbedaan suku, bahasa dan budaya yang ada serta tetap merasa satu dalam NKRI. Ketika memahami hal ini, akan muncul pemahaman berikutnya bahwa bahasa Indonesia tidak saja berperan sebagai alat untuk berkomunikasi tapi juga sebagai alat untuk menyatukan masyarakat Indonesia yang majemuk. Bahasa Indonesia dijunjung tinggi sebagai bahasa persatuan dengan tidak mematikan peranan bahasa daerah. Sebaliknya, bahasa daerah justru memperkaya bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia sudah membuktikan eksistensinya secara internal bagi masyarakat Indonesia. Kini, di era MEA, bahasa Indonesia diuji eksistensinya secara eksternal. Bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa Indonesia kini akan berhadapan dengan bahasa lainnya di kawasan Asia Tenggara bahkan di kawasan lainnya secara internasional.
Pakar bahasa dari Institut Teknologi Bandung menegaskan bahawa Bahasa Indonesia perlu internasionalisasi agar bisa menjadi bahasa ASEAN. Dibanding negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak. Ini menunjukkan bahasa Indonesia memiliki jumlah penutur yang mayoritas pula. Prof. Mahsun mengatakan, saat ini bahasa Indonesia terancam tergeser oleh bahasa Inggris dalam pelaksanaan MEA. Menurutnya, jika bahasa Indonesia tidak digunakan dalam MEA, Indonesia akan kehilangan identitasnya padahal era MEA merupakan era persaingan dan hanya bangsa yang memiliki identitas kuat yang bisa memenangkan persaingan.
Pembicaraan tentang bahasa suatu negara tidak bisa dilepaskan dari hal-hal yang menyangkut bidang kesusastraan. Begitu juga dengan bahasa Indonesia, sastra merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pembelajaran, karya sastra merupakan unsur penting yang mendukung keterampilan berbahasa seseorang. Bicara tentang karya sastra berarti bicara tentang unsur-unsur intrinsik sekaligus unsur ekstrinsik yang membangunnya. Itu artinya, pembacaan terhadap sebuah karya sastra merupakan penafsiran-penafsiran terhadap bahasa sekaligus nilai-nilai budaya yang melingkupinya. Nilai-nilai budaya inilah yang menjadi pembentuk identitas nasional.
Berikut ini dapat penulis paparkan beberapa hal penting yang berhubungan dengan sastra sebagai penguat identitas nasional di era MEA. Pertama, pentingnya penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam karya sastra. Yang disebut sastra Indonesia adalah karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia, yaitu ketika bahasa Indonesia pertama kali diumumkan sebagai bahasa persatuan pada momen Sumpah Pemuda 1928. Sejak itulah segala macam kegiatan komunikasi dan berkarya sastra ditulis dalam bahasa Indonesia (Rani, 1996:40). Roman yang dianggap sebagai roman pertama lahirnya sastra Indonesia oleh para ahli adalah roman Azab dan Sengsara karangan Merary Siregar. Selanjutnya, bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa semakin kuat tercermin melalui kemunculan karya sastra Indonesia modern yang berkembang pesat setelah kemerdekaan.
Dalam bukunya, Segenggam Gumam, Helvy Tiana Rosa menyebutkan adanya semacam pengakuan bahwa Indonesia adalah negeri dengan perkembangan sastra terpesat dari negara serumpun lainnya (2003:128). Hal ini kemudian disusul dengan ‘ketakutan’ negeri-negeri jiran terhadap hegemoni bahasa Indonesia, dikaitkan dengan era teknologi informasi. Bahasa Indonesia dengan penutur sekitar 200 juta orang, dianggap telah memengaruhi kemurnian bahasa Melayu.  
Kedua, penggalian nilai-nilai di balik karya sastra. Karya sastra yang baik adalah karya yang mampu memberikan pencerahan kepada pembacanya. Setiap karya sastra membawa amanat bagi kehidupan. Tinggal sedalam apa penggalian terhadap amanat tersebut diupayakan. Penggalian nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra dapat membantu mengenalkan sekaligus mempertahankan hal-hal positif dari nilai-nilai karya sastra itu sendiri. Sastra sebagai bagian dari kebudayaan didukung oleh unsur kebudayaan lainnya, yaitu bahasa dan seni. Setiap bahasa memiliki tradisi sastranya dalam kadar yang berbeda-beda. Sastra sebuah bangsa mencerminkan tinggi rendahnya peradaban suatu bangsa. Bahasa yang dapat dipelajari melalui karya sastra sarat dengan kandungan pemikiran dan ideologi. Kedua unsur ini kemudian dianggap sebagai jati diri suatu bangsa.
Sutardji Calzoum Bachri menyatakan bahwa dengan karyanya seorang pengarang menorehkan identitas dirinya. Ketika pengarang menorehkan identitas dirinya ia juga telah menorehkan identitas bangsanya. Jadi, sastra memberi ruang yang di dalamnya persoalan-persoalan kebangsaan dapat ditemukan. Penggalian karya-karya sastra yang mengeksplorasi budaya lokal misalnya, dapat menuntun kita pada konteks sosial dan zaman yang terepresentasi dalam karya tersebut.
Ketiga, pentingnya perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap perlindungan hak cipta khususnya karya sastra. Pembajakan, penjiplakan, plagiat, merupakan persoalan-persoalan yang masih menghantui dunia karya sastra Indonesia. Tindakan-tindakan yang mencerminkan sikap tidak menghargai karya orang lain tersebut tidak hanya dilakukan oleh masyarakat bangsa Indonesia sendiri tapi juga dilakukan oleh masyarakat asing. Pemerintah Indonesia perlu meningkatkan perhatiannya terhadap dunia sastra untuk meningkatkan industri kreatif sastra di Indonesia.
Keempat, perlunya peran serta masyarakat Indonesia dalam segala kegiatan dan kelompok sastra  ASEAN. Beberapa negara anggota ASEAN telah ada yang melakukan kerja sama di bidang seni sastra bahkan ada yang terjalin jauh sebelum era Masyarakat ASEAN. Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya telah sering bekerja sama dalam kegiatan dan kelompok-kelompok sastra. Sekadar menyebut beberapa, ada Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) dan Pertemuan Sastrawan Malaysia (PSM), Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera), ASEAN Literary Festival dan lain-lain.
Pada agenda-agenda besar yang dapat mengangkat nama negara seperti ini hendaknya pemerintah memberikan kontribusi yang serius. Selama ini momen sastra di kawasan negara ASEAN dimaksudkan sebagai upaya untuk menyejajarkan sastra negara-negara kawasan ASEAN dengan sastra dunia. Selain itu, terdapat harapan saling mengenal produk dan nilai-nilai sastra  antarnegara ASEAN. Bagi Indonesia sendiri, momen-momen seperti ini dapat mengenalkan sekaligus menguatkan sastra Indonesia di mata negara-negara peserta lainnya yang secara langsung juga memperkuat posisi bahasa Indonesia di mata dunia. Peserta yang diutus menjadi delegasi pun hendaknya dapat menjaga citra bangsa di hadapan negara-negara lain dan dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan kualitas diri dan negeri.
Demikianlah, karya sastra Indonesia yang bermutu diharapkan dapat menguatkan identitas nasional di era masyarakat ekonomi ASEAN. Sebaliknya, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar secara konsisten dapat meningkatkan perkembangan sastra di negeri ini.[]


Referensi
Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN, Kementerian Luar Negeri RI. 2015. Ayo Kenali ASEAN.
-------. 2015. ASEAN Selayang Pandang Edisi Ke-21.
Rosa, Helvy Tiana. 2003. Segenggam Gumam. Bandung: Syamil.
Sunarti, Sastri. 2014. Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai Identitas Bangsa. Tabloid Sastra. https://tabloidsastra.wordpress.com/2015/02/16/bahasa-dan-sastra-indonesia-sebagai-identitas-bangsa/


*Makalah ini disampaikan dalam Seminar Bahasa dan Sastra, Himbi Sastra, K
FKIP Unlam, Banjarmasin, 2 April 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar