Kamis, 01 Februari 2018

# kisahinspiratifFLP # miladflp21

Separuh Jiwaku, FLP, dan Sebuah "Kutukan"

Aku, Adikku dan Saprudi
Aku sedang berlibur ke pantai Turki Kalsel hari itu bersama keluarga kecilku tersayang. Sesuai hasil musyawarah keluarga, kami mengisi hari libur dengan berkemah di pantai. Kami tiba di pantai ketika hari menjelang sore sehingga sempat menikmati indahnya matahari terbenam di pantai. Akupun berharap besok bisa menikmati keindahan matahari terbit. Aku setengah memaksa anak-anak tidur cepat, meski dalam hati aku memaklumi mereka susah tidur karena sulit beradaptasi dengan tenda yang pengap. Setelah keempat anakku terlelap, aku malah bengong sambil berkipas-kipas. Aku belum bisa memejamkan mata meski penat mendera. Sementara itu, malam semakin jauh merayap.


***
Dari Pantai, dengan Cinta…
Iseng-iseng aku membuka ponsel, sekadar membuka beberapa pesan di grup WA yang belum sempat kubaca karena kesibukanku. Sinyal tidak terlalu bagus, tidak bisa membuka medsos yang lain. Kulihat cukup banyak notif di grup FLP. Artinya aku cukup lama tidak membuka grup. Sedikit ragu kubuka dan kubaca chat kawan-kawan. Ternyata ada satu postingan info tentang lomba blog oleh FLP. Temanya “Aku, Kamu dan FLP”. Seketika aku tersentak. Terasa ada yang meletup dalam dada. Februari di ambang pintu. Milad FLP lagi. Kali ini yang ke-21. Selama itu, aku belum pernah mencatatkan kenanganku bersama FLP di rumah mayaku, Tatirah. Bukankah visi Tatirahku adalah merawat kenangan? Mengapa aku sampai alpa merawat kenanganku bersama FLP? Aku mencoba memastikan dan mengingat-ingat, apa benar aku benar-benar lalai dalam hal ini. Aku tersenyum, ah tidak juga. Ada satu catatanku di Tatirah tentang FLP. Catatan itu berupa artikel atau esai yang cukup formal yang pernah dimuat di koran daerahku. Tulisan itu berjudul FLP dalam Kesusastraan Kalimantan Selatan, kutulis dalam rangka milad FLP ke-16. Aku pun bertekad, kali ini aku harus ikut lomba blog FLP, harus! Bukan sekadar untuk meramaikan milad FLP melainkan karena inilah satu-satunya peluangku untuk “memaksa” diri memahat prasasti bertajuk FLP di Tatirah sebelum segalanya hilang bersama angin.

Setelah memancang tekad tersebut, aku berhasil terlelap tapi kemudian kembali terjaga sekitar pukul 03.00 wita. Aku mencoba menyusun ulang puzzle kenanganku bersama FLP. Tetiba aku teringat seseorang bernama Ra dan selorohnya tentang sebuah "kutukan". Aku menyelimuti kaki dengan kantong tidur, udara pantai sudah berubah drastis.

Proses Pencatatan
Sebelumnya, aku minta maaf, mungkin saja ada kekeliruan dalam pencatatanku karena aku manusia biasa. Ingatkan aku dengan cara yang baik karena demi kebenaran sejarah aku siap mengubahnya. Ditemani debur ombak yang hanya berjarak 100 meter dari tendaku, aku menyusun draf ini (:selanjutnya draf kulengkapi di rumah). Aku menulisnya dengan pena mata hati, mengukirnya berdasar ketajaman memoriku. Bagaimanapun, bicara tentang FLP adalah bicara tentang separuh jiwaku. Sesekali aku menyeka butiran airmata yang mengalir di sudut pipi. Saatnya aku membagi kisah jiwaku. Inilah derap kenanganku bersama FLP, serta kutukannya….

Aku dilahirkan oleh FLP, dibesarkan oleh KSI



Jika ada yang bertanya tentang riwayat kepenulisanku, dengan bangga aku menjawab “Aku dilahirkan oleh FLP dan dibesarkan oleh KSI (Komunitas Sastra Indonesia) Banjarmasin.”

Sejak menguasai baca tulis huruf latin, aku sudah keranjingan membaca dan menulis. Di bangku SD aku sudah memiliki kebiasaan menulis diary. Aku menulis apa saja, menulis puisi, menulis cerita dan hal-hal lain yang membuat aku merasa asyik. Ini seirama dengan hobi membacaku. Seingatku, di bangku SD, selain membaca majalah Bobo, Ananda dan Kawanku serta majalah anak lainnya, aku sudah membaca majalah Anita Cemerlang, Tempo, Senang, Intisari serta serial Wiro Sableng dan novel “Jangan Ambil Nyawaku” (tapi jangan tanya detil kisahnya, aku sudah lupa). Tentu saja aku harus sembunyi-sembunyi ketika membaca bacaan yang tidak sesuai umur itu, sebab kalau tidak aku akan dimarahi oleh ibuku. Kecuali majalah Tempo, lho yaa. Ayah dan ibu tidak pernah melarangku membaca Tempo mungkin karena Tempo enak dibaca dan perlu, hehe. Selain itu, aku suka membaca kisah petualangan seperti Lima Sekawan-nya Enid Blyton.

Bicara FLP Selalu Teringat Annida
Kelas 6 SD menuju SMP, aku mulai hobi korespondensi dan filateli. Aku punya banyak sahabat pena dari berbagai pulau di luar Kalsel. Salah satunya seorang santri dari Prenduan. Cukup lama aku bersahabat pena dengannya. Dia juga membuatku tergabung dalam sebuah klub menulis jarak jauh bernama Kharisma Fans Club (KFC). Aku suka mengirim puisi ke klub. Sampai aku kuliah kami masih terhubung. Santri tersebut dalam salah satu suratnya menasihatiku agar mulai membaca majalah-majalah islami seperti Ummi dan Annida. Aku bingung. Majalah macam apa itu, dari namanya saja terdengar kampungan. Tidak sekeren bekennya Aneka dan tidak sesyahdu Ceria Remaja yang mulai rutin kubeli dengan uang sakuku sendiri. Siapa sangka, di bangku kuliahlah untuk pertama kalinya aku mengenal majalah-majalah tersebut.
Beberapa Koleksi Annida-ku yang masih Tersisa

Seiring proses hijrahku dalam berislam, aku rutin membeli Annida. Yang aku heran, saat itu sulit sekali mendapatkan Annida di Banjarmasin padahal aku sudah kesengsem berat. Sampai akhirnya aku mengenal keluarga Ustadz yang menjadi agen majalah islami di kotaku. Lalu, aku malah menjadi pengedar Annida di kampus. Setalah membaca Annida, aku mulai punya visi “menulis untuk dakwah.” Aku mengagumi para penulisnya.

Aku langsung ikut memesan ketika ada info terbitnya buku kumpulan cerpen islami berjudul Sembilan Mata Hati. Buku tersebut buku pertama yang menjadi media aku menyampaikan nilai-nilai baik kepada kawan-kawan dengan cara meminjamkannya kepada mereka. Aku bukan tipikal teman yang banyak omong kalau tidak dimintai pendapat. Caraku menyampaikan sesuatu adalah lewat tulisan, baik itu tulisanku sendiri maupun tulisan orang lain. 

Setelah Sembilan Mata Hati, satu per satu terbit buku fiksi islami yang hampir tak pernah kulewatkan (beli, baca, pinjamkan). Ketika Mas Gagah Pergi, Hingga Batu Bicara (nah, aku punya kisah menarik tentang koleksi Hingga Batu Bicara yang kini sudah tidak di tanganku lagi)), Pinkan, Tiga Ribu Tanda Tangan, Serial Aisyah Putri, Muara Kasih, Nyanyian Perjalanan, Trilogi Gola Gong, dll. Bacaan-bacaan fiksi islami tersebut cukup besar perannya dalam keistiqomahanku menapak jalan dakwah, selain nasyid-nasyid seperti yang dinyanyikan grup Raihan, Brother, The Mupla, Bestari, Saujana, dkk (terbayang kan aku angkatan lama?). Gara-gara prinsip beli, baca dan pinjamkan ini, aku dan adikku sempat membuka perpustakaan kecil di rumah, khusus bacaaan islami. Selain fiksi aku juga mengoleksi dan meminjamkan majalah  nonfiksi seperti Sabili, Tarbawi dan Ummi.

Beberapa Di antara Koleksi Buku Fiksi Islamiku

Inilah mulanya...
Suatu ketika, dalam salah satu edisinya, Annida membuka pendaftaran kelompok penulis islami bernama “Forum Lingkar Pena (FLP)." Maaf, aku sudah lupa bagaimana detil pengumumannya. Yang jelas, di halaman tersebut ada formulir yang harus diisi. Akupun mengisi formulir dan mengirimnya bersama selembar foto ke alamat yang tertera di majalah. Aku bersemangat sekali ingin menjadi bagian dari komunitas tersebut, sama semangatnya ketika aku bergabung dalam sebuah kelompok pergerakan Islam di kampus. Aku menunggu balasan dari forum tersebut.

Sesuatu yang mengejutkan terjadi. Aku ditelepon oleh panitianya. Tidak lama kemudian, aku menerima sepucuk amplop berisi beberapa formulir peserta yang berasal dari provinsiku. Aku malah diminta menjadi koordinator FLP di Kalsel. Bukan, bukan karena aku paling hebat. Kurasa karena akulah satu-satunya pengirim yang memiliki alamat paling lengkap plus nomor telepon rumah. Singkat cerita, suatu hari aku berhasil mengundang para pengirim formulir tersebut ke rumahku melalui surat yang kukirim ke alamat masing-masing. Mereka dari berbagai kampus, berbagai kelompok dakwah, bahkan ada juga yang masih SMA. (Kelak, hal ini - bahwa aku koordinator FLP Kalsel diabadikan Mbak Helvy dalam bukunya Segenggam Gumam).

Sampai bagian ini, aku agak kesulitan mengingat. Aku membayangkan slide demi slide seputar berdirinya FLP di bumi Antasari, bumi Lambung Mangkurat. (Sepulang dari pantai, aku membuka “kotak pandoraku”, di situ aku temukan kembali benda-benda yang menjadi saksi bisu persekutuanku dengan FLP. Aura kutukannya menguar membuatku kewalahan menepis kenangan).

Membongkar Kotak Pandora; Memutar Slide Memori

Disket FLP diantar oleh Mas Bahtiar HS ke rumahku

2001 rumahku didatangi Mas Bahtiar HS. Beliau memberiku satu disket berkaitan dengan FLP tapi aku lupa apa saja persisnya isi disket ini. Aku diminta mengaktifkan FLP di Kalsel, setidaknya Banjarmasin. Aku sempat beberapa kali mengadakan pertemuan dengan teman-teman untuk koordinasi dalam hal ini.

Februari 2002, Mbak Asma Nadia datang ke Kalsel. Sebenarnya waktu itu bukan acara FLP. Akan tetapi, Mbak Asma mencari kontak FLP (aku) dan mencetuskan ide perekrutan anggota di acara tersebut. Kebetulan panitia acara tersebut ada yang berteman dengan teman-temanku di FLP. Mereka tidak keberatan acara Peluncuran Buku Ketika Duka Tersenyum disisipi agenda perekrutan calon anggota FLP.

Acara Bersama Mbak Asma Nadia

Seterusnya aku dibantu teman-teman (termasuk adikku Nailiya Noor Azizah) dari organisasi dakwah kampus . Mereka bersedia menjadi anggota tambahan. Beberapa di antaranya mau gabung karena mereka yakin betapa perlunya dakwah melalui tulisan dan ingin belajar menulis, beberapa lagi karena menyukai cerpen islami, sisanya adalah orang-orang yang tidak terlalu suka membaca dan menulis tapi bersedia bergabung karena ingin membantu sisi manajemen organisasinya. Dari sinilah kepengurusan FLP di Bjm/Kalsel yang lebih rapi terbentuk. Tahap berikutnya adalah Diklat FLP Banjarmasin. Karena aku kuliah di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, aku lebih mudah mencari pemateri Diklat di bidang Sastra.

Juli 2002, FLP mengadakan Silaturrahmi Nasional (Silnas) I bertempat di Kuningan Jakarta. Kami bertekad akan mengirim utusan ke Jakarta. Setelah dirapatkan, diputuskan ada 4 orang yang berangkat. 2 laki-laki, yaitu Khairani dan Saiful; 2 perempuan, yaitu aku dan Irva. Waktu itu tiket pesawat masih mahal. Dana hasil sebar proposal tidak terlalu banyak (terima kasih teman-teman yang rela bersusah payah mencari dana), kami harus merogoh saku pribadi alias minta dengan ortu secukupnya. Tidak mungkin kami bisa berangkat menggunakan pesawat terbang. Di antara kami berempat, hanya Irva yang sudah berpengalaman ke luar pulau karena orang tuanya tinggal di Jakarta (dia kos di Banjarmasin).

Silnas 1 adalah pengalaman pertamaku ke Jakarta; naik kapal laut dan kereta api.



Kenangan Silnas 1 
Ayah merelakan ponselnya kubawa (saat itu, ponsel masih barang mewah eui). Kami berangkat menggunakan kapal laut, Banjarmasin-Surabaya. Aku tidak akan pernah lupa pengalaman naik kapal laut kelas ekonomi. Betapa panik dan takutnya aku sesaat setelah gerbang keberangkatan dibuka, para calon penumpang berlarian dan berdesakan masuk kapal. Aku tidak siap. Tas yang kubawa cukup besar, tidak sebanding dengan tenagaku. Aku sempat terjatuh ketika berdesakan. Sampai dalam kapal aku hampir menangis karena Irva sudah tidak ada di sampingku. Sesaat aku bengong. Tidak tahu harus berbuat apa. Penumpang lain sudah mulai menempati tempat duduk. Nyaris tak ada lagi kursi kosong. Banyak penumpang yang duduk di lantai. Ibu-ibu dengan bayinya yang rewel, tua-muda, laki-perempuan, aku pusing, berdiri di tengah-tengah sambil menjinjing tas besar. Aku berdoa, berharap Irva mencariku. Lalu seorang lelaki bertubuh besar menyapaku. Dia memberikan tempat duduknya padaku. Tidak, jangan berharap ini berlanjut dengan perkenalan, tukar nomor ponsel dan seterusnya seperti adegan di film-film romantis, India, Korea atau FTV. Aku paranoid, sempat takut dan berprasangka buruk. Sambil duduk, aku tetap waspada, memasang kuda-kuda. Dalam hati aku menggumam, ingat ya…ingat…kalau ditawari minum jangan mau, siapa tahu ada obat tidurnya; kalau ditanya-tanya jangan lihat matanya. Mulutku komat-kamit membaca aneka doa yang kuhafal. Aku membayangkan lelaki itu penjahat, penculik, germo wanita tuna susila, antagonis pokoknya. Kupasang tampang jelek sejelek-jeleknya, lalu dia begitu saja hilang dari pandanganku. Saking takutnya aku sampai-sampai lupa berterima kasih sudah dikasih kursi (maafkan aku). Untunglah, tidak lama Irva datang menemuiku. Adegan selanjutnya, aku mabuk laut, muntah-muntah ketika ombak mengombang-ambing kapal. Kami menginap satu malam di Surabaya, di rumah saudara kandung ketua KAMMI Bjm. Setelah itu, lanjut perjalanan dengan bis ke Jakarta.

Aku tidak akan pernah lupa, kami tiba di Jakarta dengan pakaian kusut dan sederhana sementara teman-teman dari Kaltim datang dengan seragam yang rapi jali, mereka tiba dengan pesawat terbang. Lucunya, ada yang mengira Kalsel dan Kaltim itu sama sehingga ada yang bertanya padaku, “Kamu kok tidak memakai seragam seperti mereka?” Aku tersipu sambil menjelaskan bahwa aku dari Banjarmasin. Banjarmasin itu di Kalsel sedangkan Kaltim itu lain lagi. Tidak butuh waktu lama, teman-teman langsung paham. 




bersama HTR, GG, Ali Muakhir dan teman FLP daerah lain

Banyak cerita berharga di Silnas 1. Rasanya tak percaya aku bisa bertemu dan berfoto dengan para pendiri FLP seperti Mbak Helvy Tiana Rosa dan Mbak Asma Nadia yang karya-karyanya berperan dalam semangat hidupku. Lebay dikit gapapa kan ya? O,iya yang paling berkesan di Silnas 1 adalah berkenalan dengan Mbak Dee (yang super enerjik dan ramah), berdiskusi dengan anggota FLP utusan seluruh Indonesia bahkan ada juga FLP Mesir. Selain itu aku juga berkenalan dengan Mas Gola Gong. Aku juga sempat bertemu Pak Taufiq Ismail di acara ini, sempat berfoto dengan beliau. Wuiih... aku berasa mimpi bisa ngobrol dengan Pak Taufiq Ismail. Sebelumnya hanya bisa menikmati karyanya di buku dan pelajaran sekolah.
Atas: Aku Bersama Pak Taufiq Ismail
Bawah: Aku, Khairani dan Saiful Nazar

Di Silnas 1 aku juga membeli buku. Salah satunya antologi cerpen FLP Cermin dan Malam Ganjil. Buku tersebut jadi "azimat" bagiku. Di sana ada tanda tangan beberapa orang penting. Tanda tangan kenalanku di silnas, tanda tangan para penulisnya dan tanda tangan Pak Taufiq Ismail. 


Dalam salah satu rute perjalanan pulang, rombongan kami sempat menggunakan kereta api (Kereta api beneran! yang selama kecil kunyanyikan saja, hehe.)

FLP Banjarmasin pernah mengadakan kerja sama dengan Annida dalam acara Kafe Nida

3 November 2002, aku dan adikku menikah bersamaan. Acara pernikahan kami dihadiri oleh teman-teman FLP dan aktivis dakwah lainnya (aku dan adikku tergabung juga dalam Masyarakat Peduli Jilbab). 
Dalam rentang fase ini, FLP Banjarmasin sempat mengadakan acara Kafe Nida bekerja sama dengan majalah Annida mengundang Mbak Dian Yasmina Fajri. Yang zaman dulu bacaannya Annida pasti tahu Kafe Nida:)
Proposal Kafe Nida FLP Bjm

Adikku pindah ke Jogja mengikuti suaminya. Sebelumnya, FLP sempat mengadakan 
acara rihlah tapi aku tidak bisa ikut.

Aku hamil. Untuk itu, aku bergegas menyelesaikan skripsiku yang berjudul “Realitas Ideologi dalam Novel Setitik Kabut Selaksa Cinta Karya Izzatul Jannah”. (Selain HTR, IJ adalah penulis yang karyanya termasuk menggelitik dan membangun jiwaku). Semula novel yang kupilih ini ditentang oleh beberapa dosen. Mereka tidak mengizinkan aku mengangkat novel tersebut. Alasannya novel-novel islami (FLP) yang aku dan teman-teman ajukan dianggap tidak nyastra. Padahal aku berani menjamin, betapa nyastranya karya penulis-penulis FLP. Untunglah masih ada dosen yang mendukung. (Aku sempat menghubungi Mbak Helvy dan Mbak Ije untuk menanyakan beberapa hal seputar judulku). Alhamdulillah, proposalku disetujui oleh dosen-dosen penguji. Aku sungguh-sungguh menggarapnya. Maka, betapa bangganya aku, ketika skripsiku mendapat nilai memuaskan. Ya, aku dapat A. Februari 2003 aku lulus S1 dengan IPK tertinggi di Prodi dan menyelesaikan S1 dalam waktu 3,5 tahun.

FLP Banjarmasin Mati Suri
Setelah melahirkan anak pertama, aku masih sempat menjadi panitia dan menjuri lomba menulis yang kami adakan. Setelah itu, rumah sekretaris FLP kebakaran. Semua arsip dan dokumen kami terbakar. Bendahara pindah ke Jakarta. Pengurus lain, satu satu menikah. Ada juga yang melanjutkan pendidikan ke luar daerah. Lalu, tidak tahu bagaimana kejadiannya, lambat laun FLP Banjarmasin pun mati suri. (Bisa jadi fase awal FLP di bumi Antasari yang aku tulis ini terlupakan).

2007
Aku baru saja menyelesaikan S2-ku. Selain itu, suamikupun sudah berhasil mutasi ke Banjarmasin (kami sempat terpisah 3 tahun karena pekerjaan). Lepasnya beban-beban itu membuatku lebih lancar menulis. Selintasan, aku mendengar ada oknum-oknum yang mengaku sebagai pengurus FLP Banjarmasin padahal bukan. Rasanya tidak rela saja kalau nama FLP dipakai oleh orang yang bukan kader FLP. Akupun membicarakannya dengan adikku dan mengontak Khairani. Dalam rapat kecil di rumahku, kami sepakat untuk mengaktifkan kembali FLP secara resmi di kotaku.

Februari 2007, Cerpenku dimuat pertama kali di Koran Minggu daerahku. Perjalanan menulis fiksiku panjang betul hingga 2007 baru melahirkan karya yang di-publish di media cetak. Di bagian catatan kaki cerpen tersebut aku tulis “Penulis adalah Pengurus Forum Lingkar Pena Banjarmasin.” Cerpen inilah tonggak awal kiprahku di dunia sastra kreatif. Satu minggu setelah cerpenku dimuat, seorang kritikus sastra menulis ulasan cerpenku. Isinya puja-puji yang membuatku melambung (hehe). Dalam ulasan tersebut, dia juga menyebut nama FLP. Sejak itu aku rajin mengirim tulisan ke Koran. Tidak hanya cerpen, aku pun mengirim esai dan puisi.

Aku sempat mengikuti kelas menulis jarak jauh oleh FLP pusat, namanya PMJ FLP (lupa apa kepanjangannya). Kelas ini berbayar, lho. Cukup mahal untuk ukuranku saat itu. Aku memilih konsultasi pembelajaran menggunakan print-out yang dikirim via pos. Kalau aku tidak salah ingat, nama mentorku Denny Prabowo. Sayangnya, aku tidak menyelesaikan tugas akhir sehingga aku tidak sempat mendapatkan sertifikat.
Beberapa Materi PMJ FLP

Tidak lama setelah cerpen-cerpenku dimuat di Koran daerahku, aku diundang dalam sebuah pertemuan di Taman Budaya Kalimantan Selatan. Aku diundang untuk bergabung dalam kepengurusan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Cabang Banjarmasin (ditunjuk sebagai bendahara). Dalam pertemuan itu, aku disebut-sebut berpotensi memajukan KSI mengingat aktivitasku di FLP. FLP merupakan sebuah organisasi yang rapi di mata teman-teman. Mereka sedikit banyaknya sudah mengetahui FLP melalui anggota KSI cabang lain. Inilah yang kumaksud dengan aku dilahirkan oleh FLP dan dibesarkan oleh KSI. Berbagai kegiatan keren di bidang sastra (tingkat Kalsel) mulai kuikuti semenjak aku tergabung dalam KSI.

Sejalan dengan baktiku di FLP (aku dan adikku juga mulai aktif di FLP bersama suami kami masing-masing). Aku mulai dipercaya menjadi pemateri, pembicara, juri, dalam acara kebahasaan dan kesusastraan di Kalimantan Selatan. Terkait dengan itu, namaku sulit dipisahkan dari nama FLP. FLP seolah melekat menjadi identitasku. Setiap aku berkumpul teman-teman sastra, mereka kerap bertanya bagaimana kabar FLP? – entah itu pertanyaan basa-basi atau beneran mau tahu.

Pada fase ini FLP Banjarmasin bermetamorfosis menjadi FLP Wilayah Kalsel (Ketua Khairani) dan untuk FLP Cabang Banjarmasin sendiri ada juga dibentuk (ketuanya Sri Murni, lalu ada Hangga, setelah itu Panji, selanjutnya Ervina). FLP Cabang Banjarmasin sempat mengundang Mbak Sinta Yudisia dalam sebuah acara kepenulisan. Sementara itu FLP Banjarbaru pernah diketuai oleh Saprudi dan Erry Zulfian.

Oiya, seingatku aku tidak pernah mau jadi ketua, baik itu ketua wilayah maupun ketua cabang Bjm. Aku merasa bebanku sebagai koordinator Kalsel sudah cukup berat. Aku dan teman-teman mempercayai Khairani untuk memimpin kami. Lelaki aktivis bersahaja dari kampus lain yang dulu pernah jadi rekan bisnisku berdagang majalah islami😊. Kelak setelah dia sangat sibuk menjadi orang penting di sebuah sekolah swasta islami, FLP wilayah Kalsel dipercayakan kepada adikku, Nailiya Noor Azizah.

Silaturrahmi Nasional FLP di LPPTK Jakarta dan Kutukan Itu…

Juli 2008 FLP mengadakan Silnas lagi bertajuk "Pekan Sastra Hijau". Aku pun bertekad ikut. Kayaknya aku hobi ikut silnas, hehe. Kalau urusan Munas, biasanya Pak Khairani yang berangkat. Kali ini aku berangkat bersama suami dan kedua anakku. Kami memakai dana pribadi. Sementara dana yang ada di FLP akan dipakai oleh teman lain yang juga berangkat ke Silnas. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini aku berangkat menggunakan pesawat terbang. O,iya aku selalu membawa anak-anakku dalam kegiatan-kegiatanku, terutama kegiatan FLP. Hitung-hitung mengkader anak sendiri, hehe.

Sebelum berangkat, aku menghubungi teman lama sesama anggota FLP. Ia dari pulau seberang, kupanggil ia Ra.


Album Kenangan Silnas 2
Awalnya aku iseng saja untuk mengecek apakah nomor ponsel Ra masih berlaku. Ketika tersambung dan sapaan khas darinya terdengar, aku terlonjak kegirangan. Ra salah satu pengurus FLP dari pulau sebrang yang kukenali di Silnas 1. Setelah tanya ini-itu basa-basi, aku menanyakan apakah Ra masih aktif di FLP. Kusampaikan aku akan berangkat ke Jakarta untuk Silnas lagi. Dari seberang Ra terkejut lalu terkekeh.
anak-anakku tertidur saat materi
“Apa?! Kau masih saja bersibuk di FLP? Tak ada regenerasi atau bagaimana? Kita ni orang lama, sudah terlalu tua di kepengurusan. Jadi penasihat sajalah. Atau jangan-jangan…kau sama seperti si A (dia menyebut sebuah nama, aku lupa), dia juga kena kutukan FLP, begitu kami menyebutnya. Kalau kena kutukan FLP memang susah untuk berhenti dari kepengurusan, hahaha…” dia tertawa riang.
Aku membelokkan pembicaraan. Kami ngobrol kesana kemari. Di akhir pembicaraan dia masih saja menyebutku kena kutukan. Aku menggenggam ponsel sambil terus memikirkan kata kutukan yang diucapkan Ra. Ah, Ra. Kau tahu,  kutukan ini terlalu indah dan sungguh aku belum mau melepaskannya. 


Berita acr FLP di SK
09 November 2008 FLP Banjarmasin mencoba gaya baru, kami mengadakan acara bertajuk Seminar Pendidikan yang pesertanya adalah para guru se-kalimantan selatan, bahkan waktu itu ada peserta dari luar provinsi. Bertema Menjadi Guru Idola, menghadirkan Penulis Buku Amir Tengku Ramly. Ketua Kegiatan waktu itu Jumiadi KF alias suamiku, hehe.

Kepemimpinan Adikku (2011 s.d 2013)
Buku Kumpulan Cerpenku Rindu Rumpun Ilalang termasuk dalam daftar buku yang boleh diresensi dalam Lomba Resensi Buku Memperingati Milad FLP ke-15 tahun 2012. Aku turut senang ketika yang meresensi bukuku tersebut menjadi salah satu pemenang. 
Profil FLP Banjarmasin di Radar Banua

2011 s.d 2013 FLP Wilayah Kalsel diketuai oleh adikku, Nailiya Noor Azizah. Semula aku masih hendak diajukan sebagai ketua tapi aku lantas teringat Ra dan olok-olok kutukan yang ia celotehkan. Suamiku, Jumiadi Khairi Fitri terpilih menjadi Bendahara. Aku sendiri ada di Divisi Pengkaderan. Mungkin sudah takdirku untuk menerima “kutukan” ini, pikirku. Pelantikan sekaligus up-grading dihadiri oleh Mbak IJ. Seminar menulis juga diadakan untuk menyemarakkan agenda kami. Selainbak IJ, hadir juga Y.S. Agus Suseno sebagai pembicara. 

Pada acara tersebut FLP Wilayah Kalsel me-launching buku antologi cerpen berjudul “Pelangi di Pelabuhan”. Dalam masa kepengurusan tersebut, 2 cabang baru terbentuk, yaitu FLP Cabang Amuntai dan FLP Cabang Barabai. Kami mengunjungi kota-kota tersebut dalam rangkaian acara FLP goes to School sekaligus pelantikan pengurus cabang. Dengan FLP Banjarmasin dan FLP Banjarbaru, maka total ada 4 Cabang FLP di lingkup Wilayah Kalimantan Selatan.

Pada fase ini FLP Wilayah Kalsel menjadi satu komunitas menulis yang sudah "dianggap" oleh kawan-kawan sastra di Kalsel. Aku dan adikku serta teman-teman FLP wilayah memiliki agenda silaturrahim ke sastrawan-sastrawan Kalsel. Kalsel banyak penyairnya. Satu-satu kami jadwalkan untuk didatangi. Pada periode ini pula, FLP mendapat undangan resmi Acara Aruh Sastra Kalsel (sebuah event sastra yang sangat keren di Kalsel).


O,iya masih ingat kasus karya Mbak Jazimah al-Muhyi yang bukunya dituduh mengandung konten pornografi? FLP Wilayah Kalsel turut mengambil sikap serius lho saat itu. Ketua dan para pengurus lainnya mengadakan audiensi ke pihak terkait. Selain itu, FLP Kalsel sempat pula bekerja sama dengan sebuah radio untuk menyampaikan konfirmasi kepada masyarakat luas secara on air (waktu itu yang jadi nara sumber langsung ketua, yaitu Nailiya Noor Azizah bersama Divisi Humas M.Haris Arsyad). Sementara itu, aku berjuang juga melalui sebuah esai atau Artikel di Koran tentang Buku Ada Duka di Wibeng yang dimuat di harian daerahku.

Setelah periode tersebut berakhir, FLP Wilayah Kalsel dipimpin oleh Saprudi. Muswil sekaligus pelantikan dihadiri oleh Kang Ali Muakhir. Selanjutnya, aku ditempatkan sebagai penasihat bidang sastra.


Ketika Mas Gagah Pergi adalah Duka Sedalam Cinta

KMGP akan difilmkan. KMGV The Movie ! Kabar itu sampai juga ke telingaku. Wow, aku kegirangan. Betapa lama aku menantikan hal ini. Mas Gagah dan Gita, aku ingin segera mengenalkannya pada anak-anakku. Kami menontonnya bersama-sama di bioskop Banjarmasin. Rasanya seperti mimpi. Mas Gagah dan Gita hadir di era anak-anakku. Selamat Mbak Helvy. Inilah film teridealis yang pernah ada.

Para petinggi dan pendiri FLP sudah bersinar di karirnya masing-masing. Sekarang siapa yang tidak kenal dengan Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia dan Habiburrahman. Aku sebut tiga nama saja sebagai contoh. Begitu banyak tokoh FLP lainnya yang sudah sukses pula karena ketekunannya. Lihatlah, sekarang Ayat-ayat Cinta ramai diperdebatkan oleh siapa saja padahal dulu mungkin “Fahri” hanya dikenali oleh para aktivis dakwah yang hobi membaca novel. Mas Gagah dan Gita pun sudah bisa tervisualisasikan secara konkret melalui media sosial para pemain filmnya sehingga Islam sebagai gaya hidup bisa ditangkap lebih mudah oleh remaja zaman now. Ide-ide Asma Nadia tidak hanya berputar di kepala para aktivis akhwat masjid kampus tapi sudah menjadi bagian keseharian para ibu gaul gara-gara sinetron Catatan Hati Seorang Istri. Kita juga tidak bisa memungkiri jika Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 mengantarkan Oki Setiana Dewi menjadi selebritis muslimah yang membuat eksistensi muslimah di Indonesia menjadi lebih baik.
Mama, penulis FLP yang ini kok bukunya best seller dan difilmkan, ya? Kok Mama tidak? Novel Mama kok tidak difilmkan?” ini pertanyaan lugu anakku yang tumbuh di tengah-tengah kegiatan sastra dan buku. Aku hanya tersenyum.
Memandang logo FLP di novel-novel penulis keren itu membuatku turut bangga menjadi bagian dari FLP; aku rela menjadi bagian yang mendapat “kutukan FLP” jika kutukan itu memang ada.
Hingga hari itu tiba, hari ketika aku harus melepas kutukan itu. Alangkah berat kurasakan. Inilah Duka Sedalam Cinta versi aku.

--… file error, autosaved…--*

Sampailah aku pada proses akhir pemahatan prasasti ini. Aku teringat pada episode datangnya Mbak HTR ke Banjarbaru akhir 2017 dan aku tidak bisa menemuinya. Adakah duka yang lebih dalam selain tak bisa bertemu orang yang kaukagumi padahal ia sudah setanah denganmu? 

Kulihat jam dinding ruang kerjaku menunjukkan pukul 02.10 wita. Hujan deras menemaniku sejak setengah jam yang lalu.

*Aku mengetik “file error, autosaved”, untuk mewakili bagian yang tidak bisa aku tulis secara detil di sini. Sesuatu yang terjadi dalam jiwaku setelah beberapa kejadian kecil.
Di penghujung cerita, ada beberapa miskomunikasiku dengan teman-teman di FLP Kalsel (tak usah ditulis, biar tidak abadi, biar ditelan hujan malam ini). Mungkin aku sudah tidak cocok dengan kids zaman now. Mungkin benar kata Ra, saatnya regenerasi. (Hei, aku lupa berapa NRA-ku. Aku bahkan belum pernah menerima kartu anggotaku sampai hari ini!)

Lalu, aku tidak bisa hadir pada  pertemuan penting FLP Kalsel hari itu. Entah karena lukaku, egoku, atau karena memang “kutukan” itu sedang berproses untuk lepas dariku. Hari itu pas juga aku tidak bisa kemana-mana: anakku sakit, ayahku sakit. Aku juga enggan berkomentar di grup.

Kiranya pertemuan itupun berakhir, sebuah pesan kubaca, “Teman-teman tetap di grup ini, jangan keluar, kita tetap silaturrahim meski tidak bisa aktif lagi jadi pengurus” kurang lebih begitu makna yang kutangkap dari kalimat mantan ketua di grup WA FLP Kalsel. 

Kalimat itu semacam mantra untuk melepas kutukanku. Harusnya aku hepi, sebagaimana sejatinya seseorang yang terlepas dari kutukan. Anehnya, ada rasa janggal yang menyusup diam-diam ke suatu tempat di hatiku yang aku tak tahu harus menamainya apa. Di luar, hujan masih bersenandung tanpa petikan gitarmu, tanpa sebait pun puisi perpisahan.

Epilog
Mungkinkah "kutukan" itu masih ada padaku? Who knows?!

Dari Pantai Turki ke Rumah Putih, Januari 2018 [Nai]. 
*Sengaja diendapkan sebelum di-publish.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar