Kisah Puteri Junjung Buih hampir tidak asing lagi bagi
masyarakat Kalimantan Selatan khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Kisah
yang begitu melekat di hati urang banua karena terkait pula dengan kisah-kisah
seputar situs Candi Agung yang terletak di kota Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai
Utara. Kisah tersebut terkait pula dengan sebuah nama yang menjadi nama
perguruan tinggi negeri terbesar di Kalimantan, yaitu Sang Patih Lambung
Mangkurat (:Universitas Lambung Mangkurat). Karena ia termasuk dalam cerita
rakyat yang berkembangnya secara lisan atau dari mulut ke mulut, tidak heran
jika ada beberapa perbedaan atau beberapa versi cerita.
Tersebutlah sebuah kerajaan yang hendak mencari pemimpin
terbaik bernama Negara Dipa. Sang Patih yang bernama Lambung Mangkurat bertapa
sekian waktu. Hingga seorang puteri berkenan menjelma ke permukaan air. Di
antara buih-buih, ia hadir dengan wujud perempuan yang sangat cantik. Karena
itulah ia disebut Puteri Junjung Buih. Sebelumnya, para gadis menyirang kain sebagai persyaratan dari sang puteri yang harus dipenuhi. Dalam kisah lain disebut juga sang putri meminta Mahligai setinggi rumpun bambu sebagai persyaratan.
|
Prolog Dipa |
Kemunculan sang puteri menarik perhatian dua perjaka
terbaik Negara Dipa, Sukmaraga dan Padmaraga yang tak lain adalah kemenakan
Lambung Mangkurat. Sayangnya, Sang Paman tidak senang melihat kedekatan
Sukmaraga dan Padmaraga terhadap Puteri Junjung Buih. Menurut Lambung
Mangkurat, kedua lelaki tersebut tidak layak untuk dekat dengan Puteri Junjung
Buih.
|
Pertapaan Lambung Mangkurat sebelum Putri Junjung Buih menjelma |
Dalam berbagai versi, disebutkan pada akhirnya para
ponakan tewas di tangan paman sendiri. Maka muncullah sebuah lelucon yang
sebenarnya tidak lucu, lelucon tentang sang pahlawan adalah pembunuh. Akan tetapi
dalam pementasan bertajuk Dipa: Tales of Sukmaraga And Padmaraga, hal tersebut
disampaikan berbeda.
Unsur Yang Membangun Pementasan Dipa
Diangkatnya kisah Putri Junjung Buih menjadi sebuah pementasan
atau pertunjukan bukan hal yang baru. Sekadar menyebut contoh, Sanggar Air HSU
pernah mengangkatnya dalam sebuah pertunjukan pada momen Aruh Sastra Kalsel
Banjarbaru beberapa tahun lalu. Pertunjukan yang memaksimalkan gerak (tari) dan
musik didukung visualisasi siluet yang elegan membuat kisah Junjung Buih
menancap penuh kesan di hati penonton meski kisahnya telah khatam dibaca bahkan
kisahnya sudah di luar kepala.
Bagaimana menghadirkan kisah yang telah diakrabi oleh
masyarakat menjadi sebuah tontonan baru yang memikat merupakan sebuah tantangan
bagi insan seni pertunjukan. Sebuah tontonan yang lebih sesuai dengan suasana
kekinian (:zaman now) sehingga cerita-cerita rakyat akan tetap menjadi pilihan
masyarakatnya sendiri; sehingga penonton tidak merasa rugi membeli tiket dan meluangkan waktu untuk menonton.
Hal ini pula kiranya yang menjadi tantangan bagi tim
Sendratasik Berkarya 7 yang mementaskan kisah Putri Junjung Buih pada 27-28
Desember 2017 lalu di Gedung Balairung Sari Taman Budaya Kalimantan Selatan. Disutradarai
oleh Bayu Bastari Setiawan dan Astrada Supriyanto, Sendratasik Berkarya 7 berhasil menjawab tantangan tersebut. Pementasan Dipa membawa angin segar bagi dunia seni pertunjukan. Ia sepertinya diharapkan
dapat menjadi satu indikasi bahwa lokalitas masih menjadi pilihan yang seksi di
era kekinian. Untuk itulah, seperti yang dituturkan dalam Buku Pementasan,
konsep garapan yang dipilih agak berbeda dari pakem. Jika selama ini kisah
tertuju pada satu titik semata “sang Puteri”, bagaimana kalau kali ini fokus
utama bukan sang puteri?
“Tim Sendratasik Berkarya 7 ingin keluar dari jalur
kebiasaan tersebut, sehingga memutuskan untuk lebih menyorot tokoh dua putera
Mandastana, yaitu Sukmaraga dan Padmaraga dengan tidak mensubordinasi peran
Lambung Mangkurat dan Puteri Junjung Buih.” (Buku Pementasan, 2017).
|
Bagian pemenuhan persyaratan dari Putri |
Yang menjadi persoalan berikutnya adalah seberapa
berhasil Dipa keluar dari “pakem” cerita Junjung Buih yang terlanjur beredar
dan melekat di ingatan masyarakat? Apakah ketika hal itu tidak berhasil
dilakukan sama dengan kegagalan Dipa sebagai sebuah pementasan? Tulisan ini
mencermati hal tersebut secara sederhana menggunakan Model Perselingkuhan
Kreatif (Suryanata, 2016:135) antara model pengkajian sosiologis dan
struktural.
Sebagaimana karya sastra pada umumnya, Dipa: Tales of
Sukmaraga Padmaraga dibangun atas beberapa unsur:
|
Lambung Mangkurat menyambut kehadiran Putri Junjung Buih |
1.
Tema dan amanat
Pada umumnya tema
yang berkembang di masyarakat tentang kisah Puteri Junjung Buih terkait dengan
pentingnya kepemimpinan serta kisah terlarangnya kasih sayang sang puteri
dengan dua bersaudara Sukmaraga Padmaraga. Akan tetapi melalui dialog-dialog
cerdasnya, Dipa mencoba mengusung tema lain, yaitu tema sosial. Ini terlihat
dari beberapa adegan yang menampilkan Sukmaraga dan Padmaraga dididik oleh sang
ayah untuk menjadi pemuda yang selalu melakukan kebaikan, mendahulukan
kepentingan orang banyak, membela rakyat yang lemah, tidak membiarkan
kesewenangan terjadi begitu saja di depan mata.
Hanya saja jika
dicermati lebih dalam, secara tersirat Dipa masih belum bisa lepas dari tema
pakem, yaitu kisah cinta terlarang. Dipa masih mengungkap cinta yang dibedakan
oleh kedudukan atau kasta seseorang. Ini terdapat dalam dialog yang diucapkan
oleh Lambung Mangkurat yang mengungkapkan bahwa sebagai raja puteri titisan
dewata, Junjung Buih tidak layak bersanding dengan dua bujang pilihan Negara
Dipa. Puteri titisan dewata hanya pantas bersanding dengan putera titisan
dewata.
|
Putri Junjung Buih disambut gembira |
2.
Tokoh, perwatakan dan penokohan
Dari judulnya, terlihat
bahwa tokoh utama pementasan Dipa adalah Sukmaraga dan Padmaraga. Pemilihan Sukmaraga
dan Padmaraga membuat pementasan ini berkategori tokoh sederhana karena sifat
dan watak keduanya tidak berubah dari awal sampai akhir. Kebaikan dan ketulusan
hati dua bersaudara ini terasa sampai akhir pertunjukan. Pemilihan para pemain
dan inner action para aktor dalam pementasan berhasil membuat perwatakan dan
penokohan Sukmaraga dan Padmaraga menarik perhatian para penonton melebihi porsi
ketokohan Junjung Buih dan Lambung Mangkurat.
|
Sukamaraga dan Padmaraga bersama Puteri Junjung Buih |
Akan tetapi,
kharisma Junjung buih dan Lambung Mangkurat tidak bisa dipadamkan begitu saja
walau penggarapan Dipa telah ditata sedemikian rupa untuk menonjolkan sisi ketokohan
Sukmaraga dan Padmaraga.
Junjung Buih masih ditampilkan sebagai yang tercantik
dalam pertunjukan. Secara tersurat, Junjung Buih menaruh hati pada dua pemuda yang tidak lain adalah rakyatnya sendiri. Ia bahkan harus berdebat dengan Lambung Mangkurat dalam urusan ini. Meski seorang Raja (Ratu), Junjung Buih juga manusia, demikian yang ingin disampaikan Dipa. Kalau saya menyukai dan ingin berteman dengan mereka memangnya kenapa? So what? kira-kira begitu bahasa kekiniannya.
Sementara itu, Lambung Mangkurat masih ditonjolkan sebagai pemegang
mutlak kekuasaan di Negara Dipa. Bahkan pementasan ini melakukan upaya
pembelaan terhadap Lambung Mangkurat dengan mengajukan pertanyaan naka “Bagaimana
kalau”. “Bagaimana kalau” dalam pementasan Dipa salah satunya adalah bagaimana
kalau Lambung Mangkurat tidak membunuh Sukmaraga dan Padmaraga sementara
sejarah telah mencatat keduanya tewas mengenaskan. Lalu dicarilah dan
dimunculkanlah tokoh antagonis sang perompak dari negeri seberang yang secara open
ending story menjadi salah satu tokoh yang berpeluang menjadi tersangka
pembunuhan terhadap Sukmaraga dan Padmaraga.
3.
Latar atau setting dan pelataran
Latar dan
pelataran Dipa hampir tidak jauh berbeda dengan pementasan cerita serupa pada
umumnya, yaitu istana tempat tinggal puteri Junjung Buih dengan segala atributnya
dan lingkungan keseharian Sukmaraga Padmaraga. Ada sedikit tambahan latar fantasi sebagai pengembangan cerita utama.
Ada beberapa
faktor pendukung unsur latar dan pelataran Dipa sebagai sebuah pementasan. Selain
memaksimalkan panggung Balairung Sari, Dipa memanfaatkan teknik visualisasi pada
layar yang bersumber dan didukung teknologi komputer sehingga membuat Dipa tidak
melulu berada di zamannya. Pementasan Dipa juga didukung penuh oleh musik
suasana dan vokal kualitas prima para choir sebagai bagian dari upaya penguatan
latar dan pelataran.
4.
Alur dan pengaluran
Alur pementasan
Dipa diilhami dari naskah “Lambung Mangkurat di Negara Dipa” Karya DMA. H.
Adjim Arijadi yang digubah dengan tambahan tokoh-tokoh fiktif dan perubahan
ending cerita. Sebagai sebuah pementasan utuh, Dipa menawarkan alur gabung
dengan menampilkan penombakan yang dilakukan oleh Lambung Mangkurat di awal
cerita. Ini membuat kesan awal, “Oh, kisah ini sama saja dengan yang saya
ketahui” di benak penonton. Berikutnya, penonton mendapat banyak kejutan
sehingga Dipa tidak lantas menjadi pertunjukan yang membosankan.
5.
Bahasa dan gaya bahasa
Pementasan Dipa
menggunakan bahasa Indonesia dengan menyelipkan gaya-gaya sindiran melalui
lelucon atau humor segar pada beberapa bagian. Secara umum gaya bahasa yang
dipilih cenderung lurus dan sangat berhati-hati sehingga kesan klasik masih
tetap ada. Sebagaimana lazimnya karya-karya drama, simbolisme menjadi satu hal
yang akan semakin terbuka pemaknaannya setelah dipentaskan. Berbagai sarana
panggung atau pementasan seringkali sangat membantu dalam proses penafsiran makna
yang disimbolkan (Suryanata, 2016:57).
Dalam pementasan
Dipa simbol ini salah satunya bisa kita dapati pada properti yang membuat
posisi Ibu Sukmaraga Padmaraga berada di atas, lebih tinggi daripada tokoh lain
dalam sebuah adegan. Ini menyimbolkan sosok seorang ibu yang paling dihormati
dan dihargai. Ini juga mendukung kemungkinan seorang ibu selalu berada “di atas”
dalam hal feeling atau firasat.
Simbol lain dapat
kita temukan pada prosesi munculnya Puteri Junjung Buih setelah para gadis
menyirang kain, serta simbol-simbol lain pada kostum yang dikenakan para
pemain.
Catatan pementasan
Pementasan Dipa merupakan proyek tahunan bertajuk
Sendratasik Berkarya dengan Dipa sebagai yang ke-7. Ketua pelaksana adalah Nida
Arifah, Pimpro Aminuddin, Stage Manager Ove Natari. Pementasan tersebut
menghadirkan 14 orang pemusik, 21 pemain teater, 4 orang choir dan 6 orang
penari utama.
Kekuatan pementasan Dipa, seperti kekuatan pementasan
Sendratasik lainnya ada pada penataan setting, penata tari dan penata musik. Pementasan
Dipa menghadirkan 5 orang penata setting, 2 orang penata tari serta 3 orang
penata musik. Ketiga hal ini digarap maksimal sehingga menghasilkan kolaborasi
yang harmoni di atas panggung. Nyaris tidak ada yang janggal dalam tiga hal
pendukung tersebut. Tiap properti (termasuk kostum) memiliki makna sehingga
hampir tidak ada properti yang mubazir. Begitu juga dengan musik dan tari, tidak
ada musik dan tari yang hadir sebagai pelengkap semata. Hampir semua komponen
merupakan unsur utama yang memiliki peran utuh dalam pementasan Dipa.
Siapakah Sebenarnya Pusat Cerita dalam Dipa: Tales of
Sukmaraga Padmaraga?
Pengkajian Pementasan Dipa secara sosiologis yang
mendekati sastra sebagai cermin proses sosial-ekonomi yang terjadi di masyarakat menghasilkan beberapa
hal sebagai berikut:
Kebaikan akan selalu ada berdampingan dengan kejahatan. Seberapa
besarpun kejahatan akan selalu ada upaya-upaya perlawanannya. Ini dapat kita
lihat dari pembelaan yang dilakukan oleh Sukmaraga dan Padmaraga terhadap para
dayang yang sedang diganggu para perompak jahat.
Cerminan lain yang diungkap Dipa adalah masih terdapatnya
pengkastaan dan pelevelan manusia berdasar derajat-derajat yang pengukurannya
dibuat oleh manusia itu sendiri. Hingga akhir waktu, cinta akan selalu
menemukan tantangannya sendiri-sendiri. Sekalipun ia seorang puteri yang
harusnya bisa mempunyai kehendak, Junjung Buih tidak diperkenankan memilih
belahan jiwanya. Nyanyian sedih Junjung Buih seta tarian-tarian cantiknya
membuat sang putri masih menjadi power of story dalam Dipa.
Berikutnya, yang dapat kita temukan ketika melongok ke
cermin Dipa, adanya sebuah ketetapan bahwa seorang pemimpin harus menjunjung
hukum yang berlaku dan bertindak sesuai hukum tersebut. Hanya saja pada kasus
Lambung Mangkurat, Dipa tidak dengan tegas menunjukkan dia berada di pihak yang
mana. Dengan kata lain, Dipa tidak tegas menunjukkan apakah sejatinya yang
menjadi dasar sikap Lambung Mangkurat. Pada adegan Lambung Mangkurat berperang
dalam batinnya sendiri, batin Lambung Mangkurat menyindir benarkah larangan
kedekatan Sukmaraga Padmaraga terhadap Puteri Junjung Buih murni didasari
keinginan Lambung Mangkurat menjunjung hukum yang berlaku di Negara Dipa?
“Biarlah orang-orang menyangka aku yang membunuh
Sukmaraga Padmaraga. Biarlah sejarah mencatat aku sang pembunuh” menyiratkan
sebuah pembelaan terhadap Lambung Mangkurat. Dipa mencoba mengaburkan “hal”
yang selama ini dianggap fakta oleh masyarakat tentang Lambung Mangkurat sang
pembunuh. Dipa memunculkan peluang “Bagaimana kalau catatan sejarah selama ini
keliru? Bagaimana kalau bukan Lambung Mangkurat yang membunuh dua ksatria
Negara Dipa? Sebagai sebuah kisah yang berkembang secara lisan, maka Dipa
memiliki sedikit “kebolehan” atau “kewajaran” untuk membuat jawaban-jawaban
lain tentang Lambung Mangkurat.
Ketika ketiga hal tersebut (Sukmaraga dan Padmaraga; Putrj Junjung Buih; dan Lambung Mangkurat) tampil secara seimbang dalam
pementasan Dipa, maka mari kita bertanya, benarkah Dipa: Tales of Sukmaraga
Padmaraga adalah kisah tentang Sukmaraga dan Padmaraga? []
Nai, Kayutangi Januari 2018
Referensi
Tim Kreatif Sendratasik Berkarya 7. 2017. Buku Pementasan Dipa: Tales of Sukmaraga and Padmaraga.
Suryanata, Jamal T. 2016. Pengkajian Drama. Yogyakarta: Akar Indonesia.
Aku pernah denger kisah junjung buih ini, lumayan seru .. Dan waktu itu tau dari guru mulok di sma yang cerita beginian hehe
BalasHapusIya mba sering banget dengar nama Junjung Buih ini, kalo ceritanya sih masih belum pernah dengar secara panjang kali lebar. Hihihi
BalasHapusKalo yang berkembang di masyarakat cerita Lambung Mangkurat seperti itu, kenapa dijadikan nama kampus ya mba? Duh, sumpah saya pengen tau lebih dalam lagi ttg cerita Negara Dipa lagi, kalo bisa sampai cerita yg sebenar2nya yang terjadi. Mba, kapan2 bahas lagi yaa yaa yaaa *pemaksaan 😁
BalasHapusWah nggak tahu sama sekali euy kisah junjung buih ini. Tahunya cuma putri junjung buih lahir dari buih. Heu
BalasHapusWah ternyata begitu ya ceritanya.. Keren ya bu.. Ulun sebenarnya belum pernah baca.. Hihi.. *malu.. Dulu itu apa pernah ya kisah2 spt ini diceritakan disekolah.. Kok sepertinya memory ulun masih nol besar kecuali nama2nya.. Berarti harus dibuat makin waw nih penyebaran kisahnya spy dimemory lengket.. *otaknya mungkin yang salah ya.. Haha
BalasHapusAku belum pernah ngeliat pementasan di Banjarmasin ini. Hihi Siapa tau mbak nai mau ngajakin aku liat beginian nanti. Wkwkwkwk
BalasHapusBtw, aku lalau pas liburan di Kota lain malah liat, yg disini ga ngerti sistemnya buat nonton-nonton sih. He
Ceritanya bagus banget mbak. Jadi tau cerita tentang putri junjung buih.
BalasHapus