Minggu, 14 Januari 2018

# Cerpenku

Senyum Ibu

Senyum Ibu
Cerpen Nailiya Nikmah JKF

Ini yang ke lima kali aku mengganti bajuku. Rahmi mengajakku makan siang di sebuah restoran, dia akan menjemputku. Dia baru saja memenangi lomba foto. Aku akui jepretan Rahmi selalu keren.  Foto bidikan Rahmi seperti memiliki jiwa, menyentuh hati siapa saja yang memandangnya. Sebenarnya ini bukan yang pertama kali dia menang lomba tapi kali ini dia merasa harus merayakannya denganku. Menurutnya, ide foto tersebut berasal dariku padahal aku tak merasa memberinya ide. Dia juga mengajak kedua orangtua dan kakaknya. Untuk itulah, pertama kali sepanjang hidupku, aku mau direpotkan dengan urusan baju. Tolong, ya Firda, tampil yang agak manis dikit, pintanya. Ah, sudah lama aku tak dipanggil ‘Firda’.
Aku tak tahu apakah kemeja kotak-kotak merah hitam yang lengannya kugulung sampai siku dengan celana kain hitam akan membuatku’ tampil yang agak manis dikit’ seperti permintaan Rahmi. Biasanya aku memakai celana jeans dan kaos oblong, lalu melengkapinya dengan jaket lusuh dan topi. Aku sungguh terkejut ketika mendapati Rahmi dengan sebuah bungkusan di depan kamarku.
“Hm, lumayan tapi untuk bawahnya kamu ganti dengan ini,” ia menyorongkan kantong plastik hitam entah apa isinya.
Aku bergegas membukanya lalu melotot setelah mengibaskan isinya, “Rahmi, kau memaksaku pakai rok!” aku memekik. Rok hitam berlipit-lipit warna hitam semata kaki seperti tersenyum menggodaku.
“Ayolah, sekali ini saja. Oh, iya bisakah kau memakai anting yang biasa saja di kedua telingamu?” Rahmi menunjuk telinga kananku yang dihiasi sederet anting berbagai bentuk.
Aku nyaris berkata tidak punya sampai Rahmi mengeluarkan sepasang anting mutiara putih, tentu saja imitasi. Ia juga menjepitkan sebuah pita model serupa di pinggir belahan rambut pendekku. Tidak cukup sampai di situ, Rahmi membedaki wajahku dan memerahi bibirku tipis-tipis. Aku merasa akan menjadi badut sebelum aku memandang bayanganku sendiri di depan cermin.
“Sekarang, berhentilah bersedih. Senyumlah… Senyum perempuan,” kata Rahmi. Ia beberapa kali menjepretku sementara aku masih terpana di depan cermin mengagumi bayang yang dipantulkannya. Aku seperti melihat seseorang. Seseorang yang sangat kukenal. Aku mencoba mengingat dan aku hampir menangis ketika berhasil mengingatnya. Wajah itu, wajah ibuku!
Aku mencoba tersenyum. Oh, inikah jawaban salah satu pertanyaanku tentang senyum Ibu? Pertanyaan-pertanyaan yang membuat Rahmi menemukan ide dan memenangi lomba foto. Aku membendung airmata yang hampir keluar.
***
Pernahkah Ibu Tersenyum?
“Ayo semua ikuti Ibu guru, kita senyum sama-sama. Siapa yang tidak senyum kita gelitiki rame-rame” seperti biasa Bu Tia selalu mengawali pagi dengan mengajak aku dan teman-teman tersenyum. Hampir semua anak di TKku menyebut Bu Tia dengan sebutan Bu Senyum. Para orang tua murid juga.
Kata Bu Tia, dengan tersenyum kita akan lebih sehat. Semua kesakitan dan kesedihan akan berlalu ketika kita tersenyum. Aku percaya dengan yang dikatakannya. Buktinya setelah aku mengikuti perintahnya, aku sudah lupa kalau beberapa jam sebelumnya aku berpikir bahwa aku anak paling malang sedunia. Aku sudah lupa bagaimana sakitnya cubitan Ibu karena aku ngompol lagi di kasurnya yang tipis. Aku sudah lupa bagaimana sedihnya diejek Kikan karena hari itu aku tidak membawa pensil warna lagi. Aku sudah lupa bagaimana risaunya memiliki enam kakak perempuan yang sama galaknya dengan ibuku.
Pertama kali dapat pelajaran tentang senyum, pulang sekolah aku berloncat-loncat mencari ibuku. Aku ingat, ibuku berkali-kali pernah bilang, “Ibu sedih, tau, gara-gara kamu” atau “Jangan membuat ibu sakit hati lagi. Cukup sudah semuanya!”. Seingatku Ibu belum pernah tersenyum, pantas ibu selalu sedih dan risau. Aku menemukan Ibu sedang meracik bawang di dapur. Kotak-kotak berserakan. Ibu sedang menyiapkan nasi kotak pesanan pelanggan. Sebenarnya aku tahu, aku harus menunggu sampai pekerjaan Ibu selesai tapi aku juga tahu pekerjaan Ibu tak pernah benar-benar selesai. Bahkan ketika waktunya tidurpun Ibu masih bekerja di dapur. Aku tidak yakin ibu punya waktu khusus untukku.
“Ibu! Ibu pernah tersenyum, tidaak?” aku bertanya manja.
Kulihat mata ibu yang berair karena bawang melotot setajam pisau yang dipegangnya. Udara di dapur yang panas karena beberapa kompor menyala bersamaan terasa tambah panas setelah ibu berteriak, “Bocah nakal, datang-datang nanya yang tidak-tidak. Keluar sana, ganti baju, cuci piring!”
Setelah itu aku memang segera ganti baju karena aku gerah dengan rok ungu di bawah lutut yang wajib kupakai ke sekolah, menggantinya dengan kaos dan celana pendek. Ibu tak pernah peduli tentang rok atau celana yang kupakai. Ibu hanya ingin aku mencuci piring. Sayangnya, aku tidak mencuci piring. Aku tak mau mencuci piring. Mencuci piring adalah pekerjaan kakak-kakakku yang cerewet. Lebih baik aku main bola dengan teman-teman sekomplek. Seperti biasa, aku mendapat hukuman dari Ibu.
Malamnya, sebelum tidur sempat-sempatnya aku menanyakan hal yang sama pada Ibu. Lagi-lagi Ibu melotot dan membentakku. Malah ditambah dengan cubitan di lengan kananku. Sejak malam itu sampai aku berpisah dengan Bu Tia, aku tak pernah bertanya lagi pada Ibu.

Seperti apakah senyum Ibu?
Di antara enam kakakku, hanya Rastri yang agak mudah diajak bicara. Mungkin karena usianya hanya terpaut satu tahun denganku. Itupun kalau lagi angin baik. Seperti sore itu, kulihat Rastri sedang menyiram mawarnya. Dia bersenandung sambil senyum-senyum sendiri.
“Ras, senyum tulus itu seperti apa, sih?” tanyaku hati-hati takut salah ngomong.
“Senyum tulus? Ya…senyum yang tidak dibuat-buat, apa adanya, nggak pakai maksud apa-apa. Begitu barangkali,” lalu ia tersenyum.
Kupandangi senyumnya. Seperti itukah senyum tulus? “Memangnya, senyum macam-macam ya, Ras? Apa saja?” tanyaku.
Rastri berhenti menyiram. Ia menegakkan tubuhnya. Dahinya berlipat-lipat sebentar, “Ada berapa, ya? Senyum simpul, senyum manis, senyum kecut, senyum sinis, senyum hambar, senyum menggoda, senyum terpaksa, senyum pura-pura…Ah, entahlah, aku tak yakin,” jawabnya. “Kenapa sih nanya tentang senyum?” Kali ini kulihat senyumnya berubah, tidak seperti yang pertama tadi. Ia seperti menggodaku.
“Ras, pernah lihat Ibu senyum nggak? Seperti apakah senyum Ibu?” tanyaku lagi.
Rastri menggeleng, “Aku tidak ingat, Fir. Memang kenapa?” Berikutnya aku yang menggeleng.
“Apakah Ibu tak mau tersenyum karena Ayah sudah tiada?” gumamku. Aku masih ingin berbincang dengan Rastri, sayang Adi telah menjemputku. Kami mau latihan futsal di SMP teman Adi.
***
“Berapa kali Ibu bilang. Berhenti main band. Berhenti bergaul dengan anak-anak tidak beres itu!” Ibu melemparkan buku raport ke wajahku. Sakit tapi hatiku lebih sakit. Aku ingin sekali menangis tapi tak pernah bisa.
“Tahun depan kamu ujian akhir. Kalau nilaimu masih seperti ini, kamu tidak usah kuliah,” ancaman Ibu membuatku takut. Aku ingin sekali kuliah. Kuliah di teknik. Aku suka mesin. Listrik juga bagus.
Menjelang ujian akhir aku mati-matian belajar. Aku ikut bimbingan belajar. Sebuah keberuntungan besar bagiku, Yati kakak sulungku mau membiayai. Di tempat kursus bimbingan belajar itulah aku bertemu Sonya. Tingginya sama denganku, matanya sipit, alisnya seperti diukir, bibirnya merah muda, kulitnya putih bersih, rambutnya sepinggang merah kecoklatan, suaranya lembut, kalau dia tersenyum hatiku tidak karuan.
Sonya membuatku terdampar di sebuah pulau yang paling asing. Kulihat burung-burung pemangsa siap menerkamku. Anehnya, di pulau itu aku juga melihat beratus-ratus bunga aneka warna yang harumnya menusuk hidungku. Sonya yang lembut, Sonya yang ‘perempuan’ membuatku menemukan sesuatu yang selama ini tersembunyi di dalam diriku. Aku berpikir aku adalah sejiwa laki-laki yang terperangkap dalam tubuh perempuan. Ah, mungkin ini adalah pemikiran klise dari orang senasibku. Dan semua itu hanya berawal dari senyum Sonya yang indah. Seiring tumbuhnya rasa itu, samar-samar kudengar tanya seorang anak TK, Ibu pernah tersenyum tidaak.

Mengapa Ibu Tak Pernah Tersenyum Lagi?
“Anak tak tahu untung! Kurang ajar! Kucincang kamu!” Ibu memukulku bertubi-tubi dengan gagang sapu ijuk.
“Ampun, Bu…, ampun…” aku memohon pada Ibu. Ibuku tak mau mendengarkan. Sama seperti yang sudah-sudah, mana pernah Ibu mau mendengarkanku. Kali inipun tidak. Aku ingin menjelaskan, aku tidak mengapa-apakan Sonya. Aku hanya men-ci-um. Ya, aku tidak tahan melihat pipinya yang kemerahan saat tersenyum. Lalu aku menciumnya. Sonya dan Mentor di tempat kursus bilang aku hendak memperkosa Sonya. Aku dikeluarkan dari bimbel.
Ibu mendorongku ke kamar mandi. Ia mengguyurku dengan air berember-ember. Kakak-kakakku menonton dengan tatapan jijik, kecuali Rastri. Hanya Rastri yang menonton sambil menangis. Aku tersengal-sengal. Mataku sakit, hidungku sakit, kepalaku sakit, tubuhku sakit, dan hari itu aku pun tahu satu hal, jiwaku sakit. Sebelum aku kehilangan kesadaran, aku mendengar suara Bu Tia, senyum akan membuat rasa sedih dan sakit hilang… Berjam-jam – aku lupa persisnya –  aku dikurung dalam kamar mandi. Rastri bilang aku pingsan ketika ia membuka pintu kamar mandi setelah diizinkan Ibu. Aku membantah. Kukatakan aku hanya tertidur. Dalam tidur aku melihat Ibu tersenyum tapi senyumnya menakutkan seperti monster.
Sejak itu aku jarang berbicara dengan Ibu meski dalam hati aku masih sering bertanya, apakah Ibu pernah tersenyum. Sejak itu pula Ibu memanggilku ‘Firdon’. Panggilan yang mengejek tapi sama sekali tidak menyakitkan bagiku. Aku malah senang dipanggil Firdon. Kakak-kakak, teman main, semua ikut-ikutan Ibu. Hanya Rastri yang tidak.
Gara-gara kasus itu aku kacau balau. Nilaiku jelek dan aku nyaris gagal kuliah karena Ibu tak mau membiayaiku. Lagi-lagi Rastri dewi penolongku. Ia merelakan seluruh tabungannya untuk biaya pendaftaran kuliah dan SPP semester pertamaku. Seterusnya aku membiayai kuliahku sendiri. Aku mengamen di warung-warung dekat kampus, menjadi tukang ketik di rental komputer, menjaga warnet, sesekali mengemis. Yang terakhir ini sangat jarang kulakukan, itupun kalau terpaksa dan aku hampir selalu gagal karena aktingku kurang meyakinkan. Rata-rata temanku tahu siapa aku. Aku tak pernah menyembunyikan identitasku. Yang tidak tulus perlahan-lahan mundur dan menjauh, yang tulus – ini sangat sedikit – akan selamanya menjadi temanku. Rahmi di antara yang sedikit ini.
Waktu itu Rahmi sedang asyik menikmati semangkok mie ayam. Sejak pagi aku belum makan. Aku memetik gitar sambil menyanyikan lagu Opick. Entah mengapa melihat Rahmi aku jadi ingin menyanyi lagu Opick, mungkin karena ia berkerudung lebar dan bergaun panjang. Hujan kau ingatkan aku pada satu rindu… Lagu itu tentang Ibu! Aku menyanyi sambil memikirkan Ibu. Aku ingat Sonya, ingat Rastri, kejadian di kamar mandi, senyum Bu Tia. Ketika lagu itu berakhir, aku seperti tidak menyadari kalau lagu itu sudah berakhir. Aku bahkan tidak menyangka bahwa aku yang menyanyikannya. Rahmi bertepuk tangan pelan. Ia mengeluarkan selembar lima ribuan dari dompetnya.
“Aku mau request lagu, boleh?”tanyanya sambil menatap wajahku.
Aku diam. Sebenarnya berapa lagupun aku mau menyanyi tapi saat itu aku sangat lapar.
“Kutambah, “ ia mengeluarkan selembar lima ribuan lagi.
“Tidak, tidak usah, aku mau. Mau lagu apa?”tanyaku buru-buru. Ia menyebut sebuah judul lagu. Aku menggeleng. Aku tak tahu lagunya.
“Kalau begitu, terserah kau saja,” putusnya.
Aku menyanyikan ulang lagu Opick. Kulihat ia berdiri. Kupikir mau pergi. Ternyata ia mengeluarkan kamera dari dalam tasnya. Sesaat kemudian ia memotretku dari berbagai sudut. Mulanya aku merasa malu. Lama-lama aku membayangkan diriku seorang artis. Selesai aku menyanyi, Rahmi mengulurkan tangan, menjabat tanganku, menyebut namanya dan mentraktirku semangkok mie ayam.
Selanjutnya seperti air mengalir, Rahmi menjadi sahabatku dan aku menjadi sahabat Rahmi. Siasat persahabatan selalu sama, aku sudah sering mempelajarinya dari gelantungan awan yang ditiup angin. Kejujuran adalah taktik paling rahasia dalam persahabatan. Rahmi satu-satunya teman yang kuceritakan riwayat hidupku dengan lengkap. Termasuk tentang Sonya. Rahmi sama sekali tidak berubah. Ia malah menawarkan diri menjadi pengobatku. Ia mengajakku ke lingkungannya. Lingkungan para malaikat, aku menyebutnya. Rahmi tersenyum sambil menggeleng, “Kami bukan malaikat. Kami sama sepertimu, tercipta dari saripati tanah…” lalu ia mendongengiku tentang jutaan sperma yang berebut menuju sel telur dan kejadian dalam rahim. Dongeng yang sepertinya belum pernah kudengar.
***
“Apakah semua perempuan mempunyai satu jenis senyum yang sama untuk anak-anaknya?”tanyaku suatu hari pada Rahmi. Waktu itu aku menemaninya berburu daun kering. Rahmi ingin mengoleksi foto berbagai jenis daun yang sudah kering.
Rahmi terdiam. Kamera tergantung di lehernya. Ia menghela nafas. Beberapa detik kemudian alisnya bertaut, matanya setengah terpejam. “Pertanyaanmu! Pertanyaanmu indah sekali, Fir. Terima kasih, terima kasih,” Rahmi memelukku erat lalu menarik tanganku menerabas ilalang. Setelah itu Rahmi berburu senyum perempuan.
“Coba kau tanya kakak pertamamu. Mungkin dia mengetahui sesuatu, sesuatu yang merahasiakan senyum ibumu.” Rahmi memberiku saran.
Bersama Rahmi, aku mendatangi rumah Kak Yati. Ia menikah ketika aku semester dua.
“Aku tak tahu mengapa kau sangat ingin tahu tentang senyum Ibu,” desahnya.
“Aku juga tak tahu, Kak. Tapi aku berfirasat, itu ada hubungannya denganku,”timpalku.
“Ayah sangat ingin punya anak laki-laki. Sayang takdir sudah menulis bahwa semua yang keluar dari rahim Ibu adalah perempuan,” ungkap Kak Yati. Aku melihat beban yang sangat berat di wajahnya.
“Tapi mengapa Ibu hanya membenciku? Bukankah kalian semua perempuan sama sepertiku?”tanyaku.
“Setelah Rastri lahir, Ayah memaksa Ibu hamil lagi. Lalu Ibu hamil lagi. Bidan, tukang urut, semua tempat Ibu memeriksakan kehamilannya meramalkan adik kami tersebut kelak adalah laki-laki. Ibu pun bahagia. Ayah sumringah. Kami bersuka cita. Semua persiapan diarahkan ke satu titik ’anak laki-laki’ yang lucu.”
“Tapi kenapa dengan anak laki-laki? Kenapa juga dengan anak perempuan?” aku melolong. Aku pikir aku sudah tahu kelanjutannya. Ada nyeri di ujung lorong hatiku. Aku mengajak Rahmi pamit. Aku sudah tahu, tidak lama setelah itu, Ayah meninggal karena sakit yang tidak sembuh-sembuh. Ibu sudah pernah menceritakannya sewaktu aku kecil. Tangan Kak Yati menahanku. Ia masih ingin membagi rahasia.
 Jauh di luar dugaanku, ternyata aku belum cukup tahu semuanya. Lorong itu belum berujung. Penjelasan Kak Yati selanjutnya membuatku terperosok ke jurang yang sangat dalam dan penuh duri.
Sejak kamu keluar dari rahim Ibu, sejak dukun beranak itu bilang, ‘perempuan’, sejak itulah senyum Ibu hilang. Sejak itu pula seorang istri kehilangan suami dan tujuh anak perempuan kehilangan Ayah. Ayah tidak meninggal. Ayah meninggalkan kita, menikah dengan perempuan lain untuk mencari anak laki-laki.[]


Pernah dimuat di Media Kalimantan, kemudian disunting sebelum diterbitkan dalam Antologi Mandi Bungas.
6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar